Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 213224 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Krisnawati Wijayakusuma
"Terorisme yang dipandang sebagai kejahatan kriminal luar biasa dan pelanggaran berat HAM telah menjadi ancaman serius terhadap perdamaian, keamanan dan perkembangan sosial/ekonomi negara di berbagai kawasan. Indonesia secara konsisten mengutuk keras segala bentuk tindakan terorisme dan memiliki komitmen kuat dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pendanaan terorisme. Mengingat jaringan dan operasi teroris/kelompok teroris merupakan masalah kompleks dan lintas negara sehingga perlu terus meningkatkan kerjasama internasional, baik dalam kerangka multilateral (PBB) maupun regional serta bilateral.
Maraknya aksi terorisme tersebut melatarbelakangi usaha melawan pendanaan terorisme. Pendanaan merupakan faktor utama dalam setiap aksi terorisme sehingga upaya penanggulangan tindak pidana terorisme diyakini tidak akan berhasil tanpa pemberantasan pendanaannya. Perhatian dunia internasional terhadap praktek pencucian uang dan pendanaan terorisme semakin meningkat setelah FATF mengeluarkan The Forty Recommendations dan DK PBB mengeluarkan UNSCR 1267 Tahun 1999, yang pada prinsipnya meminta agar setiap negara melakukan “pembekuan seketika (freezing without delay)” terhadap dana dan aset keuangan lainnya atau sumber ekonomis dari individu dan entitas yang berkaitan dengan Al-Qaida dan/atau Taliban atau kegiatan terorisme lainnya.
Dengan adanya UU No.6 Tahun 2006 dan Rekomendasi FATF serta kelemahan pada peraturan yang ada, maka Indonesia wajib membuat atau menyelaraskan peraturan per-UU agar sejalan dengan ketentuan dalam konvensi/rekomendasi tersebut sehingga terbit UU No.9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Terrorism is seen as extraordinary crime and gross violations of human rights has become a serious threat to peace, security and social development/economic countries in various regions. Indonesia consistently condemns all forms of terrorism and has a strong commitment to preventing and combating the financing of terrorism a criminal offense. Given the network and terrorist operations / terrorist groups is a complex issue and cross-country so it needs to continue to enhance international cooperation, both within the framework of multilateral (UN) and regional and bilateral.
The rise of terrorism are behind the fight against the financing of terrorism. Funding is a major factor in any act of terrorism so that the response to terrorism is believed to not be successful without suppression of funding. International attention to the practice of money laundering and financing of terrorism has increased after the FATF issued the Forty Recommendations and the UN Security Council issued UNSCR 1267 of 1999, which, in principle, requested that each country undertake "immediate freezing (freezing without delay)" of the funds and other financial assets or economic resources of individuals and entities associated with Al-Qaida and / or the Taliban or other terrorist activities.
With the existence of Act 6 of 2006 and the FATF Recommendations as well as weaknesses in the existing legislation, the Indonesian establish or harmonize regulation by-laws to be in line with the provisions of the convention/recommendation so that rised Act No.9 Year 2013 Concerning The Prevention And Suppression Criminal Acts Of Terrorism Financing.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dondang Kristine
"Korban kejahatan pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana. Pada umumnya korban dirumuskan sebagai seseorang yang menderita kerugian fisik, mental, emosional, maupun ekonomi. Masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga korban kejahatan. Namun, korban tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan. Apabila terjadi suatu pelanggaran hukum, tentu saja mengakibatkan ketidakseimbangan dalam diri korban atau keluarganya. Misalnya dari aspek finansial (materiel), yaitu bila korban merupakan tumpuan hidup keluarga, aspek psikis (immateriel) berwujud pada munculnya kegoncangan pada diri korban. Untuk menyeimbangkan kondisi korban tersebut, maka harus ditempuh upaya pemulihan baik materiel dan/atau immateriel, yaitu melalui hak restitusi korban. Dalam tesis ini penulis membahas mengenai hak restitusi korban tindak pidana perdagangan orang, dengan menganalisa dari hasil putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang nomor 1633/PID.B/2009/PN.TK, atas nama Fitriyani Binti Muradi yang merupakan satu-satunya putusan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang yang menghukum pelaku untuk membayar restitusi kepada korban. Hak restitusi korban tindak pidana perdagangan orang sudah diatur dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Penelitian tersebut membahas mengenai peranan penegak hukum dalam melaksanakan hak restitusi korban tindak pidana perdagangan orang. Dari hasil penelitian tersebut, peranan penegak hukum baik di tingkat penyidikan, penuntutan, sampai dengan proses persidangan tidak maksimal dalam memperjuangkan hak restitusi korban, yaitu sebatas menanyakan besarnya kerugian yang diderita korban baik materiel maupun immateriel. Kurangnya upaya yang maksimal dari penegak hukum menyebabkan dikabulkannya hak restitusi korban hanya sebatas putusan saja atau hanya di atas kertas saja. Hal ini dikarenakan terdapat kendala-kendala, diantaranya: kendala dari perundang-undangan yang tidak memiliki peraturan pelaksanaan dan dimuatnya pidana kurungan sebagai pengganti dari restitusi, sehingga memberikan pengaruh pada upaya pemenuhan restitusi yang pelaksanaannya tidak secara total, kemudian kendala dari kurangnya kesadaran penegak hukum dan sumber daya manusia yang terlatih dan terampil dalam memperjuangkan hak restitusi korban. Selanjutnya, kendala dari kesadaran hukum korban, yang mana korban beranggapan seandainya melakukan tuntutan ganti rugi hasil yang ia dapatkan tidak sebanding dengan yang ia alami (tidak bisa mengembalikan keadaan semula) bahkan ia juga beranggapan jika melakukan tuntutan ganti rugi justru akan menambah penderitaan dan mengalami kerugian lain sehingga mereka menjadi apatis.

Victims of crime is basically a party that suffered most in a crime. In the most cases the victim is defined as a person who suffers physical harm, mental, emotional, and economic. Issues of justice and respect for human rights does not only apply to offenders but also victims of crime. However, victims do not get much protection as provided by law the perpetrators. In the event of a violation of law, of course, lead to an imbalance in the victim or his family. Example of the financial aspects (material), that is when the victim is the foundation of family life, psychological aspects (immaterial) tangible to the emergence of shock on the victim. To balance the condition of the victim, then the remedy should be taken both the material and / or immateriel, namely through the restitution rights of victims. In this thesis the author discusses about the restitution rights of victims of trafficking in persons, by analyzing the decision of the Court of Tanjung Karang number 1633/PID.B/2009/PN.TK , in the name of Fitriyani Binti Muradi which is the only decision that sentenced the offender to pay restitution to victims. Restitution rights of victims of trafficking in persons has been regulated in Article 48 of Act Number 21 / 2007 on Combating the Crime of Trafficking in Persons. The study discusses the role of law enforcement agencies in carrying out the restitution rights of victims of trafficking. From this research, the role of law enforcement both at the level of investigation, prosecution, court proceedings are not up to the maximum in the fight for the rights of victims restitution, which is limited to asking the amount of loss suffered by the victims of both material and immaterial. Lack of a maximal effort of law enforcement led to the granting of the rights of the victim restitution was limited to ruling only, or only on paper. This is because there are constraints, including: the constraints of legislation that does not have implementing regulations and publishing imprisonment in lieu of restitution, thereby giving effect to the implementation of restitution compliance efforts are not in total, then the constraint of lack of awareness of law enforcement and human resources are trained and skilled in fighting for the restitution rights of victims. Furthermore, the constraints of the legal consciousness of the victim, where the victim thinks that if their demands compensation she has received the results not comparable to those he experienced (can not restore the original state) even if it is also assumed to compensation claims will only add to the suffering and loss other so that they become apathetic.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29881
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Darmawan
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, 2021
345.023 TAN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Grace Maria Oktaviana
"ABSTRAK
Tindakan Pidana Pemalsuan Surat Yang Dituduhkan Kepada Seorang Notaris Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tanggal 28 Maret 2016 Nomor 71K/Pid/2016 Tesis ini membahas mengenai salah satu kasus tindak pidana yang dituduhkan kepada seorang notaris. Fokus utama analisis Penulis dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 71K/Pid/2016 adalah mengenai kewenangan Notaris saat meneruskan Akta Pengikatan Jual Beli Nomor 3, tanggal 09 Juni 2010 menjadi Akta Jual Beli Nomor 2, tanggal 12 Februari 2012, dan tanggung jawab Notaris atas surat-surat yang dibuatnya. Metode Penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual-Beli menjadi Akta Jual Beli yang dibuat sudah dilaksanakan sesuai dengan kewajibannya dalam pembuatannya sudah memperhatikan keharusan pemenuhan persyaratan dalam membuat Akta Jual Beli yaitu melakukan pengecekan setipikat atau pemeriksaan ke Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah dengan daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan sertipikat aslinya, serta melakukan pembayaran pajak atas tanah dan validasi pajak, sehingga pada akhirnya dikabulkan permohonan balik nama tersebut oleh Kantor Pertanahan BPN dan dapat dibuatkannya Akta Jual Beli. Namun, Notaris harus mempunyai prinsip dan berani untuk menolak jika permintaan dari klien dirasakan tidak sesuai dengan koridor atau ketentuan hukum yang berlaku. Mengenai tanggungjawab Notaris terhadap surat yang dibuatkannya tidak terdapat masalah yang signifikan karena surat-surat yang dibuatkannya sudah sesuai dengan proses yang sebagaimana mestinya dilakukan oleh seorang Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya. Dari penelitian ini menyarankan perlunya kegiatan pelatihan berkala yang diselenggarakan dari Organisasi Notaris INI terutama materi-materi yang berkaitan dengan tugas dan jabatan Notaris untuk selalu mempertahankan kinerja dan pengetahuan Notaris yang semakin mutakhir dan mengikuti perkembangan dalam masyarakat.Kata kunci : Tindak Pidana, Pemalsuan Surat, Notaris.

ABSTRACT
Criminal Act of Letter Forgery alleged towards a Notary Case Study of Supreme Court of the Republic of Indonesia on 28th March 2016 Verdict Number 71K Pid 2016 . This thesis will discuss on a case where a notary has been alleged for criminal act. The main focus of the author 39 s analysis of the Supreme Court Decision Number 71K Pid 2016 is regarding the authority of a Notary in forwarding the Sale and Purchase Agreement No. 3 dated June 9, 2010 to the Deed of Sale and Purchase Number 2 dated February 12, 2012, the letter he made. The research method used is juridical normative which is analytical and descriptive and uses a qualitative approach. The result of the research shows that the making of Sale and Purchase Agreement into the Sale and Purchase Deed that has been made in accordance with its obligation in its manufacture has been paying attention the requirement of fulfillment of requirement in making Deed of Sale that is checking the certificate or inspection to Land Office concerning conformity of certificate of land right with list existing at local Land Office by showing original certificate, the requirement of making the Deed of Sale and is to make the payment and validation of the tax, so in the end it is granted the request behind the name by the Office Land. However, a Notary must have a principle and dare to refuse if the request from the client if it is not aligned with the principles or provisions of the applicable law. Regarding the responsibility of Notary to the letter he made there is no significant problem because the letters he made are in accordance with the process as should be done by a Notary in carrying out his duties and positions. Ultimately, there is a need for thoroughly organized regular training activities by Notary Organization INI , specifically on materials related to the duties and positions of Notaries and how they must strive on improving their performance and knowledge in harmony to the many developments taking place within the society. Keywords Criminal act, Letter Forgery, Notary "
2018
T50749
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Tri Yanti Merlyn Christin
"ABSTRAK
Tulisan ini memiliki dua pokok bahasan. Pertama, mengenai pengaturan gratifikasi di Indonesia yaitu meliputi tipologi gratifikasi sebagai tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta perbedaannya dengan tindak pidana suap. Kedua, mengenai perkembangan gratifikasi sebagai tindak pidana di Indonesia yaitu meliputi pembahasan mengenai relevansi pengaturan gratifikasi di Indonesia dilihat dari review UNODC, perkembangan bentuk gratifikasi sebagai tindak pidana, dan kaitan gratifikasi sebagai tindak pidana dengan illicit enrichment. Penggunaan metode penelitian kepustakaan yang dilengkapi dengan penelitian lapangan berupa wawancara terhadap pihak-pihak terkait bertujuan untuk memberikan paparan mengenai hukum yang berlaku dan penerapannya di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi khususnya mengenai gratifikasi sebagai tindak pidana. Hukum yang berlaku yaitu berbagai macam peraturan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu juga disertakan juga perbandingan mengenai definisi dan gratifikasi sebagai tindak pidana dengan beberapa negara yaitu Malaysia, India, dan Singapura. Dari paparan tersebut kemudian dapat ditemukan inti permasalahan serta solusi dalam menghadapi permasalah tersebut.

ABSTRACT
This research mainly discusses about three problems. Firstly, is concerning the management of gratification in Indonesia that includes gratification typology as a criminal act as regulated in Article 12 B of Law Number 20 Year 2001 concerning Amendment to Law Number 31 Year 1999 concerning the Eradication of Corruption and its difference with the crime of bribery. Second, concerning the development of gratification as a criminal act in Indonesia that covers the discussion about the relevance of gratification arrangement in Indonesia seen from UNODC review, the development of gratification form as a criminal act, and the link of gratification as a criminal act with illicit enrichment. By using literature research methods combined by field research in the form of interviews with related parties aims to provide an overview of the applicable law and its application in the field of eradication of criminal acts of corruption, especially regarding gratification as a crime. The applicable law is a variety of regulations concerning the eradication of criminal acts of corruption. It also includes a comparison of definition and gratification as a criminal offense with several countries namely Malaysia, India, and Singapore. From the exposure can then be found the core problems and solutions in the face of the problem"
2017
S68715
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raisya Qanita
"Skripsi ini membahas mengenai makna unsur menerbitkan keonaran dalam Tindak Pidana Ketertiban Umum di Indonesia yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan peraturan perundang-undangan lainnya. Menimbulkan keonaran atau dalam bahasa Belanda nya “Onrust Verwekken” artinya mengakibatkan keresahan atau kegelisahan di dalam masyarakat. Namun, mengenai batasan dari makna keonaran belum diatur secara jelas oleh peraturan perundang-undangan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis. Seiring dengan adanya kemajuan teknologi dan perkembangan masyarakat di Indonesia, keonaran tidak dapat dimaknai secara sempit. Keonaran yang timbul dalam masyarakat tidak hanya dapat ditandai dengan perbuatan masyarakat secara fisik, seperti unjuk rasa, kekerasan terhadap barang atau orang, dan perbuatan fisik lainnya, melainkan juga perbuatan masyarakat secara non-fisik seperti di media sosial. Oleh karenanya diperlukan pengaturan atau penjelasan yang lebih jelas mengenai makna dari keonaran, sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran hukum.

This thesis mainly discusses the meaning of causing riot element under criminal act of public order in Indonesia which is regulated in Indonesia Criminal Code (Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana “KUHP”) and other relevant laws and regulations.  Causing riot or in Dutch, "Onrust Verwekken" means to cause anxiety or discomfort in the community.  However, the clear boundaries for the meaning of riot has not been clearly regulated by the laws and regulations.  The research method used in this thesis is a juridical-empirical research method.  Along with the advance of technology and the development of society in Indonesia, riot shall not be narrowly interpreted.  Causing riot in the community could not only be limitedly defined as physical actions of the community, such as demonstrations, violence against goods or people, and/or other physical actions, but also the actions of the community in a non-physical way such as on their expressions in social media.  Therefore a clearer explanation or deeper meaning is urgently needed to elaborate the meaning of the riot in order to avoid misinterpretation of the law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Wirjono Prodjodikoro, 1903-
Bandung: Eresco, 1974
364.159 8 WIR t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
R. Wirjono Prodjodikoro, 1903-
Bandung: Eresco, 1986
364.159 8 WIR t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
R. Wirjono Prodjodikoro, 1903-
Jakarta: Refika Aditama, 2010
364.159 8 WIR t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>