Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159805 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Irfan Wahid
"Seiring perkembangannya, tasawuf dikenal melahirkan istilah-istilah baru. Diantaranya adalah istilah syathaẖāt yang merupakan ungkapan ekstase yang lahir akibat goncangan spiritual di dalam diri seorang sufi. Ungkapan mengejutkan sufi ini menuai pro dan kontra dari para sufi sendiri. Diantaranya adalah Abu Nashr As-Sarraj At-Thusi dan Abu Hamid Al- Ghazali. Ungkapan para sufi ini telah dibahas oleh keduanya di dalam Al-Luma' dan Ihya Ulumiddin. Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam tesis ini adalah penelitian pustaka (library research) yang bersifat deskriptif-analitik-kualitatif.
Ruang lingkup penelitian dibatasi pada syathaẖāt atau ungkapan ekstase sebagai objek penelitian serta pandangan kedua tokoh di atas sebagai unit analisis. Sedangkan metode pengumpulan data dilakukan dengan penelahaan bahan-bahan pustaka baik yang terdiri dari bahan-bahan yang bersifat primer maupun sekunder, dan metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis dari Miles dan Huberman, serta tahap-tahap penelitian dalam penelitian ini menggunakan metode Bogdan, yaitu tahap pra lapangan, tahab kegiatan, dan tahap analisis data.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pandangan antara keduanya yang dilatar belakangi perbedaan keadaan sosial dan kehidupan intelektual. Namun keduanya juga memiliki kesamaan tujuan, yakni berusaha menjelaskan hakikat tasawuf yang sesuai dengan ajaran syariat.

By the time, Sufism known by a lot of new terms. It's called syathaḫāt which means an ecstatic expression that overflows as a result of ecstatic power in sufi's hearts. This shocking expression takes a lot of views. It's Abu Nashr As-Sarraj At-Thusi and Abu Hamid Al-Ghazali views. This terms has been discused by both of them. The type of the research used by the writer is considered as library research, and then the research design of this study also regards as descriptive- analitics-qualitative.
The scope of this research is based on syathaḫāt as the object of the research, along with Abu Nashr As-Sarraj At-Thusi and Abu Hamid Al- Ghazali's views as analysis units. Afterward, the methods used to collect the data were done by doing library research that consists of primary and secondary data. Besides, the analysis methods of this research used Miles and Huberman analysis models. Moreover, the stages of this research use Bogdan Methods, which are pre-field, working level and analyzing phase.
The results of this research show the difference view of Abu Nashr As- Sarraj At-Thusi and Abu Hamid Al-Ghazali due to they differences in social and intelectual life. But both of them have a common goal, that's to explain the essence of Sufism in accordance with the teaching of sharia.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Fauzi
"Dalam kajian metode istinbath hukum Islam dikenal dua corak pendekatan. Pertama, pendekatan tekstual yang menyakini bahwa apa yang tercantum dalam lahiriah teks adalah yang diinginkan oleh Allah. Tugas manusia hanya menjalankan saja. Kedua, pendekatan kontekstual yaitu bahwa untuk menemukan rumusan hukum, tidak saja berpegang pada lahiriah teks semata, tetapi harus mempertimbangkan realitas sosial demi kemaslahatan umat manusia. Kedua pendekatan ini lahir sejak abad ke 2 Hijriah yang lebih dikenal dengan istilah Ahli Hadits (tekstual) dan ahli Ra'yu (kontekstual).
Bagi kalangan tekstual pemahaman salaf dan praktek islam di zaman nabi dan shahabat dalah tipe islam ideal yang harus diikuti. Bahkan apa yang dirumuskan oleh salaf dalam kodifikasi mekanisme penyimpulan hukum dan atau memahami teks-teks hukum sebagaimana dilakukan oleo Imam Syafi'i, seringkali diposisikan sebagai bentuk akhir dan sistem bake yang bersifat mutlak dan berlaku di segala zaman.
Sementara kalangan kontekstualis meyakini bahwa antara teks dan konteks mempunyai hubungan erat yang tak bisa dipisahkan. Kelompok ini memposisikan seluruh karya salaf sebagai bagian tradisi yang terikat ruang dan waktu tertentu. Oleh karena itu, tidak serta merta bisa diterapkan, namun hams dikaji, dikritisi, dirubah bahkan diganti dengan metode yang paling sesuai dengan realitas sosial yang menjadi sandaran permasalahan.
Dewasa ini kebutuhan akan pembaruan metode istinbdth hukum Islam menjadi satu keresahan umum, ketika rumusan hukum masa lalu dan perangkat metodologi tradisional, dianggap tidak lagi mampu memberikan solusi terhadap kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Penggunaan perangkat keilmuan kontemporer menjadi tak terhindarkan untuk menemukan metodologi yang solutif. Salah satu yang menarik banyak minat intelektual muslim adalah hermeneutika. Meskipun awalnya lahir dan berkembang dalam disiplin ilmu tafsir, namun diyakini berdampak pada proses istimbkth hukum Islam.
Dampak ini jelas terlihat ketika metode hermeneutika diterapkan pada ayat-ayat hukum. Salah satu tokoh yang menggunakan hermeneutika dalam menafsirkan teks (Al-Quran ) adalah Nashr Hamid Abu Zayd. Matra atas dasar inilah, penelitian tentang hermeneutika dan pembaruan metode istinbath hukum Islam menjadi sangat menarik untuk dikaji secara mendalam."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T 17939
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Rijaal Soedrajad
"Tulisan ini merupakan studi mengenai esensi kemurnian Islam dalam diskursus Islam Pribumi dan Islam Puritan yang ada di Indonesia. Berbagai peristiwa sosiologis berperiodik di wilayah Nusantara telah membuat masyarakat muslim di Indonesia kini terfragmentasi menjadi dua kelompok berbeda, berdasarkan kiblat ideal otentisitas Islam masing-masing. Sebagian ada yang menganggap bahwa esensi Islam ada pada zaman keemasan Muhammad dan berkiblat pada budaya Timur Tengah pada masa itu. Sebagian lainnya menganggap bahwa esensi Islam justru sudah hadir dan hidup di tengah transformasi sosial dan budaya di wilayah Nusantara. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali seperti apa esensi dan wajah Islam di Indonesia yang seharusnya, melalui dialektika antara kedua jenis kelompok tersebut. Metode yang dipakai di dalam tulisan ini adalah studi literatur dengan pendekatan melalui hermeneutik Nasr Hamid Abu Zayd, dengan gagasannya terkait pembacaan kitab suci melalui konteks historis dan kritik teks Al-Qur’an. Esensi dan wajah Islam sesungguhnya telah hidup di Indonesia sejak awal kehadirannya di wilayah Nusantara karena Islam di Indonesia harus dapat berdialektika dengan pluralitas budaya dan masyarakatnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompatibilitas gagasan Islam Pribumi dengan kondisi Indonesia, sesuai dengan pendekatan Nasr Hamid dalam melihat agama yang seharusnya dapat bersinergi dengan budaya.

This paper is a study of the essence of Islam in the discourse of Puritan Islam and Indigenous Islam in Indonesia. The Muslim community in Indonesia is now fragmented into two distinct groups. The first group considers that the essence of Islam must follow Middle Eastern traditions in all its aspects. The second group considers that the essence of Islam must adapt to local traditions/cultures as long as it does not conflict with the holy text of the Qur'an and Sunnah of Muhammad SAW. The purpose of this research is to explore what the essence of Islam in Indonesia should be. The method used in this paper is a literature study through Nasr Hamid Abu Zayd's hermeneutic approach with his ideas related to the reading of the Qur’an through the historical context and criticism of Quranic verses. The results of the study indicate that the essence of Indonesian Islam is Indigenous Islam because Islam should be able to synergize with all times and places and thus be able to have a dialectic with the plurality of culture and society, so that Islam can be accepted by all, including Indonesian cultures that is different from the Middle Eastern culture."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Nasr Hamid Abu Zayd menerapkan konsep penafsiran al-Qur'an melalui kebebasan berpikir terhadap teks-teks al-Qur'an, dan ia mengikuti pemikiran Mu'tazilah yang menegaskan bahwa al-Qur'an adalah makhluq. Dalam bukunya yang berjudul "Mafhum an-Nash", terdapat hal-hal yang membingungkan, bahkan ia menyatakan bahwa al-Qur'an adalah produk budaya, hingga akhirnya dituduh sebagai orang yang murtad. Dan pemikiran Abu Zayd dipengaruhi oleh pemikir-pemikir Barat. Bahwa metode penafsiran yang didengungan oleh Nasr Hamid Abu Zayd terhadap teks al-Qur'an sangat membingungkan, dan ia juga menegaskan bahwa penafsiran pada teks al-Qur'an dan Injil adalah sama. Dan Nasr Hamid Abu Zayd juga merujuk pada orientalis yang merivisi pemahaman terhadap al-Qur'an sebagai wahyu Allah. Dan ia menempatkan Nabi Muhammad sebagai penulis al-Qur'an. Hal itulah yang memunculkan pertanyaan kenapa Muslim dan penafsir tidak saja mempertanyakn al-Qur'an secara kontektual."
KONSTAINT 9:1 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Atika Dwi Adjeng
"ABSTRAK
Diskursus tentang nafs merupakan salah satu kunci bidang metafisika, yang bisa dilihat dari perspektif filsafat serta tasawuf yang notabene membicarakan seputar kajian ba?ini. Peranan nafs adalah sebagai proses berfikir, dari proses inilah akan timbul sebuah pemahaman yang menghasilkan pengetahuan, yaitu bagaimana seorang manusia memandang serta menyikapi hakikat dari kehidupan. Terdapat dua tokoh yang juga memiliki andil penting sebagai tokoh yang mendalami serta memperinci hakikat nafs menurut perspektif dari masing-masing zaman yang telah dilaluinya. Keduanya memiliki beberapa persamaan dan perbedaan dalam pemikirannya tentang nafs. Terdapat tiga persamaan dan lima perbedaan pada pemikiran kedua tokoh dalam memandang hakikat nafs. Beberapa persamaan yang nampak mengenai definisi nafs, potensi-potensi nafs, serta kekekalan nafs, meskipun begitu memiliki lebih banyak perbedaan dalam pemikirannya seperti memandang wujud nafs, hubungan jasad dan nafs, pemikiran tentang ruh, rsquo;aql, qalb, dan nafs, tungkatan-tingkatan nafs, serta konsep kebahagiaan nafs. Dari pemikiran ini terlihat pemikiran yang saling mendominasi serta transisi perubahan yang akan mempengaruhi pemikiran tokoh, yang dianggap sebagai hasil pembahasan yang menarik. Dari ringkasan ini peneliti berusaha membandingkan konsep pemikiran kedua tokoh tersebut yang dilihat dari ranah filsafat serta tasawuf. Metode yang akan digunakan adalah deskriptif-analisis, yaitu dengan menjabarkan keseluruhan pemikiran kedua tokoh tentang hakikat nafs, kemudian menganalisis dengan menemukan persamaan serta perbedaan dari kedua tokoh.

ABSTRACT
The discourse on the nafs is one of the keys of the field of metaphysics, which can be seen from the perspective of philosophy and is certainly present in Sufism which in fact speaks of the study of ba ini. The role of the nafs is as a process of thinking, and from this process will arise an understanding that produces knowledge, that is how a human view and address the nature of life. In the talk about the nafs there are two figures who also have an important role as a figure who explore and detail the nature of the nafs according to the perspective of each era that has been passed. Both of these figures have some similarities and differences in their thinking about the nafs, which is of course some very significant differences on the background of the transition of the character 39 s thinking. There are three similarities and five differences in thinking of the two figures in viewing the nature of the nafs. Some of the apparent similarities to the definition of the nafs, the potential of nafs, and the eternal consciousness of nafs have, nevertheless, more differences in thinking such as the appearance of the nafs, the relationship of the body and nafs, the thought of the spirit, 39 aql, qalb, and nafs, nafs, and the concept of eternal bliss nafs. From this thinking will look dominant thoughts and transition changes that will affect the thinking of the figure, which is considered as the result of an interesting discussion. From this summary the researcher tried to compare the concept of thinking of the two figures that seen from the realm of philosophy and islamic mysticism. The method to be used is descriptive analysis, that is by describing the overall thoughts of the two figures about the nature of the nafs, then analyze by finding the similarities and differences of the two figures."
2017
T49182
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cooper, John
Jakarta: Erlangga , 2002
297.61 COO p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1997
297.4 ISL it
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Sutan Iskandar
Jakarta: Balai Pustaka, 2018
899.221 NUR a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Naupal
"Konsep mengenai Tuhan bersifat fluksitas atau mengalir. Makna kata "Tuhan" terus menerus mengalami pengayaan semantis dan sosio-pragmatis. Perjalanan konsep Tuhan berkembang sesuai dengan perkembangan alam pikiran manusia Sejarah perkembangan manusia memperlihatkan adanya aliran-aliran dalam konsep ketuhanan, misalnya dikenal konsep teisme, deism; panteisme dan lain sebagainya Aliran-aliran itu muncul sebagai keragaman cara pandang terhadap realitas yang tertinggi dari fenomena di batik dunia yang tampak.
Kekayaan makna konseptual Tuhan menimbulkan pertanyaan yang cukup menggelisahkan penulis. Apa yang menyebabkan keragaman tersebut muncul dan apakah ada suatu landasan dasariah atas keragaman tersebut. Pertanyaan tersebut muncul sebagai akibat dari realitas empirik yang memperlihatkan bahwa konsep tentang Tuhan sernakin terpragmentasi dan multiperspektif; bahkan dalam satu agama pun orang mungkin memiliki pandangan berbeda mengenai Tuhannya. Hal ini dapat terjadi karena konsep Tuhan tidak lahir dari ruang hampa budaya, melainkan dari interpretasi dan penalaran manusia yang terbungkus dalam konteks.
Cara pandang manusia tentang Tuhan dalam perjalanan selanjutnya dilandasi oleh dua sumber:
1. Akal budi (rasio), yang menghasilkan argumen filosofis mengenai keberadaan Tuhan
2. Pengungkapan (revelation) yang tertuang dalam teks-teks suci (wahyu) dengan argumen teologisnya.
Kedua sumber itu yang kemudian sering kali menjadi dua kutub yang saling bertubrukan dan bergesekan, yaitu kebenaran wahyu dan kebenaran akal budi. Kedua legitimasi kebenaran tersebut bagaikan pendulum selalu berayun dari satu sisi ekstrim ke sisi ekstrim yang lain sehingga ada kelompok yang menafikan kebenaran akal budi dan hanya mau menerima kebenaran wahyu, seperti kelompok aliran kebatinan dalam Islam atau yang terlihat pada masa dark ages sebagian umat Kristiani di Eropa pada abad pertengahan. Sedang sisi ekstrim kebenaran akal terlihat pada para filsuf positivistik yang menafikan segala yang berbau metafesik termasuk Tuhan.
Sikap berlebih-lebihan dari dua kelompok tersebut mendapat perhatian yang cukup mendalam dari para filsuf ketnhanan. Tesis ini akan menunjukkan bagaimana Al-Ghazali dan Thomas Aquinas sebagai tokoh filsuf ketuhanan dalam Islam dan Kristen berusaha mendamaikan kedua paham ekstrim tersebut dengan argumen-argumen yang kokoh. Baik Al Ghazali maupun Thomas Aquinas berusaha menempatkan kedudukan akal dan wahyu secara proporsional sesuai dengan fungsinya masing-masing. Pandangan kedua filsuf tentang kedudukan akal dan wahyu sangat penting untuk dipahami, karena akan mengantarkan kita kepada pemahanan akan pernikiran filsafat ketuhanan mereka, seperti tentang konsep keesaaan, transendensi dan imanensi, nama-nama dan sifat-sifat Tuhan.
Walaupun ada beberapa hal yang berbeda tentang konsep ketuhanan dari kedua tokoh tersebut, karena perbedaan agama, budaya, dan latar belakang kehidupan dan gagasan dasar ide ketuhanan, tapi keduanya telah berusaha memurnikan ajaran agama masing-masing dari segala bidang, baik dari kaum filsuf dan kaum teolog. Keduanya telah menggunakan argumentasi argumentasi rasional dan filosofis bagi eksistensi Allah dengan tetap menaruh pertalian yang besar terhadap kebenaraan wahyu sebagai argumen tekstual yang bersifat adi kodrati.
Pemikiran-pemikiran filosofis tentang konsep ketuhanan dari Al-Ghazali dan Thomas Aquinas masih perlu untuk diteliti, bahkan tetap relevan hingga kini, walaupun keduanya hidup pada abad pertengahan, sebab ajaran-ajaran mereka hingga kini masih tetap dilestarikan dan terus dikaji. Di hampir seluruh Pondok Pesantren di Indonesia, karya-karya Al-Ghazali masih menjadi bacaan wajib, demikian juga ajaran Thomas Aquinas masih terus dipelajari, bahkan para mahasiswa di Sekolah Tinggi Driyarkara begitu akrab dengan Thomisme."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naupal
"ABSTRAK
Konsep mengenai Tuhan bersifat fluktuasi atau mengalir. Makna kata "Tuhan" terus menerus mengalami pengayaan semantis dan sosio-pragmatis. Perjalanan konsep Tuhan berkembang sesuai dengan perkembangan alam pikiran manusia. Sejarah perkembangan manusia memperlihatkan adanya aliran-aliran dalam konsep ketuhanan, misalnya dikenal konsep teisme, deisme, panteisme dan lain sebagainya. Aliran-aliran itu muncul sebagai keragaman cara pandang terhadap realitas yang tertinggi dari fenomena. di balik dunia yang tampak.
Kekayaan makna konseptual Tuhan menimbulkan pertanyaan yang cukup menggelisahkan penulis. Apa yang menyebabkan keragaman tersebut muncul dan apakah ada suatu landasan dasariah atas keragaman tersebut. Pertanyaan tersebut muncul sebagai akibat dari realistis empiris yang memperlihatkan bahwa konsep tentang Tuhan semakin terpragmentasi dan multiperspektif, bahkan dalam suatu agama pun orang mungkin memiliki pandangan berbeda mengenai Tuhannya. Hal ini dapat terjadi karena konsep Tuhan tidak lahir dari ruang hampa budaya, melainkan dari interpretasi dan penalaran manusia yang terbungkus dalam konteks.
Cara pandang manusia tentang Tuhan dalam perjalanan selanjutnya dilandasi oleh dua sumber:
1. Akal budi (rasio), yang menghasilkan argumen filosofis mengenai keberadaan Tuhan.
2. Pengungkapan (revelation) yang tertuang dalam teks-teks suci (wahyu) dengan argumen teologisnya.
Kedua sumber itu yang kemudian sering kali menjadi dua klub yang saling bertubrukan dan bergesekan, yaitu kebenaran wahyu dan kebenaran akal budi. Kedua legitimasi kebenaran tersebut bagaikan pendulum selalu berayun dari suatu sisi ekstrim ke sisi ekstrim yang lain. Sehingga, ada kelompok yang menafikan kebenaran akal budi dan hanya man menerima kebenaran wahyu, seperti kelompok aliran kebatinan dalam Islam akan hanya mau menerima kebenaran wahyu, seperti kelompok aliran kebatinan dalam Islam atau yang terlihat pada masa dark ages sebagai umat Kristiani di Eropa pada abad pertengahan. Sedang sisi ekstrim kebenaran akal terlihat pada para filsuf positivistic yang menafikan segala yang berbau metafisik Tuhan.
Sikap berlebih-lebihan dari dua kelompok tersebut mendapat perhatian yang cukup mendalam dari para filsuf ketuhanan. Tesis ini akan menunjukan bagaimana Al-Ghazali dan Thomas Aquinas sebagai tokoh filsuf ketuhanan dalam Islam dan Kristen berusaha mendamaikan kedua paham ekstrim tersebut dengan argumen-argumen yang kokoh

Baik A1-Ghazali maupun Thomas Aquinas berusaha menempatkan kedudukan akal dan wahyu secara proporsional sesuai dengan fungsinya masing-masing. Pandangan kedua filsuf tentang kedudukan akal dan wahyu sangat panting untuk dipahami, karena akan mengantarkan kita kepada pemalraman akan pemikiran filsafat ketuhanan mereka, seperti tentang konsep keesaan, transendensi dan imanensi, nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Walaupun ada beberapa hal yang berada tentang konsep ketuhanan dari kedua tokoh tersebut, karena perbedaan agama, budaya, dan latar belakang kehidupan dan gagasan dasar ide ketuhanan, tapi keduanya telah berusaha memurnikan ajaran agama masing-masing dari segala bidaah, baik dari kaum filosofis bagi eksistensi Allah dengan tetap menaruh perhatian yang besar terhadap kebenaran wahyu sebagai argumen tekstual yang bersifat adi kodrati.
Pemikiran-pemikiran filosofis tentang konsep ketuhanan dari A1-Ghazali dan Thomas Aquinas masih perlu untuk diteliti, bahkan tetap relevan hingga kini, walaupun keduanya hidup pada abad pertengahan, sebab ajaran-ajaran mereka hingga kini masih tetap dilestarikan dan terus dikaji. Di hampir seluruh Pondok Pesantren di Indonesia, karya-karya Al-Ghazali masih menjadi bacaan wajib, demikian juga ajaran Thomas Aquinas masih terns dipelajari, bahkan Para mahasiswa di Sekolah Tinggi Driyarkara begitu akrab dengan Thomisme. "
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>