Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 67938 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Handarbeni Imam Arioso
"Tesis ini membahas gugatan administratif terhadap izin lingkungan terkait dengan upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui peradilan administrasi. Rezim hukum lingkungan hidup di Indonesia pada saat ini diatur dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) serta peraturan-peraturan pelaksananya. Dalam Pasal 38 UU PPLH disebutkan bahwa izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara. Pengujian izin lingkungan tersebut diajukan dengan gugatan melalui pengadilan tata usaha negara dengan mendasarkan pada alasan-alasan pembatalan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (2) UU PPLH serta mengacu pada alasan-alasan pembatalan yang diatur dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara itu sendiri. Selain itu dasar hukum pengajuan gugatan administratif terhadap izin lingkungan diatur khusus dalam Pasal 93 ayat (1) UU PPLH. Namun demikian, dalam prakteknya di peradilan tata usaha negara, penerapan Pasal 93 ayat (1) UU PPLH tersebut dilaksanakan secara berbeda-beda oleh Majelis Hakim peradilan tata usaha negara. Perbedaan penerapan tersebut diakibatkan oleh rumusan atau anasir Pasal 93 ayat (1) UU PPLH yang bersifat multitafsir karena mengandung frasa bersyarat yang berpotensi ditafsirkan sebagai pembatasan/pengecualian kompetensi absolut peradilan tata usaha negara untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan izin lingkungan sebagai obyek gugatan. Dalam Tesis ini akan diuraikan analisis mengenai penerapan Pasal 93 ayat (1) UU PPLH tersebut khususnya mengenai gugatan administratif terhadap izin lingkungan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan studi kepustakaan dan wawancara dalam pengumpulan data, kemudian data-data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

This thesis discusses administrative claims on environmental permits in relation to efforts to resolve environmental disputes using administrative courts. Indonesia's currently prevailing environmental law regime is regulated by Law Number 32 year 2009 regarding the Protection And Management of the Environment (UU PPLH) with its bylaws. Article 38 of the UUPLH states that environmental permits can be revoked through a decision of the State Administrative Court. The review of said environmental permit is initiated by the submission of a claim through the State Administrative Court using the reasons for revocation as set out in article 37 paragraph (2) of the UU PPLH as well as referring to the reasons for revocation in the State Administrative Court Law itself. In addition to the above, the legal grounds for submitting an administrative claim against an environmental permit is specifically regulated in Article 93 paragraph (1) of the UU PPLH. However, in practice in the State Administrative Court, the council of judges applied Article 93 paragraph (1) of the UU PPLH in a diverse. Said diversity in application is caused by the multi-interpretative nature of the elements of article 93 paragraph (1) of the UUPLH because it contains a conditional phrase that can potentially be interpreted as a limitation/exclusion of the State Administrative Court?s absolute competence to examine, review, and decide on environmental permits as the object of a claim. This thesis will explain the analysis on the application of said Article 93 paragraph (1) of the UU PPLH especially regarding administrative claims on environmental permits. This research is a normative legal research by using a library study and interview technique for its data resources, then the obtained data will be analyzed using a qualitative approach."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T44542
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwiek Awiati
"Peran Pemerintah dalam hal ini Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam menjalankan mandat dan kewenangannya telah dilengkapi dengan seperangkat peraturan, kelembagaan dan mekanisme untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Selain itu Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga telah melengkapi berbagai instrumen akuntabilitas untuk dapat mempertanggungjawabkan tindakan yang dilakukannya. Akuntabilitas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai bagian dari pemerintahan yang demokratis telah berjalan dengan cukup baik. Permasalahannya adalah, mengapa Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang telah dilengkapi berbagai peraturan perundangan, kelengkapan kelembagaan serta mekanisme pengawasan dan sanksi tidak berbanding lurus dengan hasil kinerja yang diharapkan, yaitu berkurangnya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup di Indonesia.Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai beberapa masalah yaitu; Bagaimana akuntabilitas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Penegakan Hukum Lingkungan Administrasi di Indonesia? Bagaimana jaminan peran serta masyarakat dalam menjaga akuntabilitas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam penegakan hukum lingkungan administrasi di Indonesia? Serta bagaimana akuntabilitas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan peran serta masyarakat dalam kasus Gemulo?

The role of the Government in this case the Ministry of Environment and Forestry to carry out government affairs in the field of environmental protection and management has been complemented by a set of regulations, institutions and mechanisms to prevent environmental damage.In addition to that, the Ministry of Environment and Forestry has also equipped itself with various instruments of accountability. The accountability of the Ministry of Environment and Forestry as part of a democratic government has worked quite well.The problem is, why the Ministry of Environment and Forestry that has been equipped with various laws and regulations, institutional and supervisory mechanisms and sanctions are not directly proportional to the expected performance results, namely the reduction of pollution and environmental degradation in Indonesia.In this paper will be discussed on several issues namely What is the accountability of the Ministry of Environment and Forestry in Enforcement of Environmental Administrative Laws in Indonesia What is the guarantee of public participation in maintaining the accountability of the Ministry of Environment and Forestry in the enforcement of administrative environment law in Indonesia And how is the accountability of the Ministry of Environment and Forestry and community participation in Gemulo case."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T49550
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fathan Nautika
"Hukum lingkungan disusun sebagai bentuk perlindungan atas lingkungan hidup. Dari sistem hukum lingkungan tersebut, terkandung didalamnya berbagai prinsip dalam penegakan hukum lingkungan. Prinsip pencegahan adalah salah satu prinsip yang bertujuan melindungi lingkungan sebelum terjadinya kerusakan. Selain prinsip pencegahan terdapat juga prinsip kehati-hatian. Prinsip ini menjadi prinsip yang sangat penting dalam penegakan hukum lingkungan dalam mencegah terjadinya kerusakan lingkungan yang serius dan tidak dapat dipulihkan. Pada prinsip-prinsip inilah kita menggantungkan masa depan alam kita agar tetap terjaga, berkelanjutan dan dapat dimanfaatkan oleh generasi mendatang. Mengajukan gugatan tata usaha negara atas izin kegiatan dan/atau usaha yang potensial merusak lingkungan merupakan salah satu langkah pemenuhan prinsip tersebut.

Environmental law constructed as protection for environment. In that environmental law system, various principle of environmental law enforcement contained. Preventative principle is one of the principles that aim to protect the environment before damage occurs. Besides preventative principle there is also precautionary principle. This principle is become very important in environmental law enforcement to prevent serious and irreversible damage to the environment. In that principles we depend our future so that protected, sustainable, and the next generation can take advantage from the environment. Filing administrative law suit on permit activity and/or business that potentially damage the environment is an effort to fulfill that principle."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43627
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Susiani
"Kasus sengketa lingkungan hidup pada umumnya diselesaikan melalui pengadilan, baik secara perdata, maupun secara pidana yang diatur diadalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 Undang-undang Nomor : 4/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH). Namun jarang sekali kasus sengketa lingkungan hidup yang menang di pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui Pengadilan memerlukan waktu yang tidak sedikit, sementara itu pencemaran terus berlangsung. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar proses sidang pengadilan relatif lebih menguntungkan, karena waktu yang diperlukan lebih singkat, para pihak dapat bermusyawarah dan bermufakat sehingga dapat menghasilkan keputusan yang bersifat win-win dalam arti tidak ada pihak yang menang ataupun yang kalah. UULH tidak mengatur tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar proses sidang pengadilan. Namun di dalam Rancangan Undang-Undang Lingkungan Hidup (RUULH) yang akan datang diatur tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar proses sidang pengadilan. Bahkan RUULH secara tegas membuka peluang bagi tumbuh dan berkembangnya mediator swasta disamping mediator yang berasal dari aparat pemerintah. Hal itu tercermin dalam Pasal 28 RUULH. Sebagai alternatif penyelesaian sengketa lingkungan, arbitrase banyak mempunyai kelebihan yaitu, cepat, murah dan efektif. Pada umumnya arbitrase dipakai dalam penyelesaian sengketa komersial (perdagangan) baik dalam negeri maupun luar negeri. Arbitrase karena sifatnya yang menjurus kepada privatisasi penyelesaian sengketa dapat mengarah kepada situasi win-win dan bukan win-lose. Meskipun lebih menguntungkan penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbitrase masih kalah populer dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui mediasi. Hal ini terbukti belum satu pun sengketa lingkungan hidup yang diselesaikan melalui Arbitrase. Kurang populernya penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbitrase, karena kurang dikenalnya lembaga tersebut di dalam negeri sendiri."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Wenas
"Paksaan pemerintah merupakan sanksi administratif dalam kasus lingkungan yang paling banyak digunakan di Indonesia. Terlepas banyaknya perubahan pengaturan lingkungan melalui UU Cipta Kerja, paksaan pemerintah ternyata masih berlaku di Indonesia. Tetapi bila pengaturan dan konsepnya dari awal sudah tidak tepat, hal ini berarti pemerintah layaknya menggunakan pisau yang tumpul untuk menyelesaikan pelanggaran lingkungan hidup. Penelitian ini berusaha untuk mengungkap konsep dan pengaturan, pelaksanaan hingga memberikan solusi permasalahan dari paksaan pemerintah di Indonesia. Hal ini dilakukan dengan penelitian yuridis-normatif dan analisis kualitatif terhadap berbagai jenis data. Data penelitian yang diperoleh berasal dari data sekunder, seperti peraturan maupun literatur jurnal atau buku. Selain itu, penelitian ini juga diperkuat dengan data lapangan melalui putusan maupun surat keputusan, serta wawancara dengan pihak KLHK. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pemerintah selama ini keliru mengerti dan menerapkan paksaan pemerintah. Konsep yang ada tidak tepat, seperti tindakan hukum belaka yang diperintahkan kepada pihak pelanggar. Pengaturannya juga tidak jelas dan tidak konsisten, seperti kapan paksaan pemerintah dapat diterapkan. Penerapan oleh pemerintah pusat juga bisa berbeda dengan pemerintah daerah. Belum lagi pemerintah keliru mengerti denda keterlambatan, uang paksa maupun eskalasi sanksi paksaan pemerintah. Terhadap berbagai permasalahan ini, pemerintah secara konseptual harus menggunakan tindakan nyata maupun mengubah payung hukum dan instrumen yang ada. Penyamarataan dan penegasan penerapan paksaan pemerintah antara pemerintah pusat dan daerah juga penting untuk memperbaiki dan memperkuat penegakan hukum lingkungan hidup kedepannya di Indonesia.

In Indonesia, administrative coercion is the first choice by governments when dealing with environmental offences. Despite huge amendments of environmental regulations through the Job Creation Act (UU Cipta Kerja) in 2020, administrative coercion itself remained unchanged. However, if the concepts and regulations are already flawed to begin with, that means the government is metaphorically sending someone on a fool’s errand to solve environmental enforcement. This research will try to provide answers to the real concepts and regulations, implementations and solutions for the problems facing administrative coercion in Indonesia. This will be done though normative-legal research and qualitative analysis on a variety of data. The data will be secondary sources derived from current regulations, journal and texts. Additionally, this research will also be adding interview with the officials as well as rulings and administrative decision to strengthen the results. This research found that the government misunderstood and implemented an incorrect form of administrative coercion. The concepts were false, such as mere orders given to offenders assumed as concrete actions. The regulations were also faulty as it is unclear and inconsistent such as parameters of when administrative coercions should be implemented. Implementation between regional and central government varies, and there are misconceptions regarding ‘daily fine’ and other related instruments. The government conceptually, need to implement concrete actions and amend the current rules and regulations. Moreover, equal and bold implementation between the central and regional government will be the key in improving and strengthening future enforcement for a better environmental management in Indonesia. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Eko Jaya, 2004
R 344.046 Ind h
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2010
344.046 KOM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta : PPSML UI, [date of publication not identified]
342.346 UNI h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Poedjiono
"ABSTRAK
Peternakan sapi perah merupakan salah satu usaha peternakan dengan tujuan untuk memberikan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak. Namun demikian peternakan sapi perah juga, merupakan salah satu kegiatan yang potensial menimbulkan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu tata cara penyelenggaraannya harus didasarkan pada peraturan hukum yang berlaku, agar usaha tersebut tidak merugikan alam dan atau manusia itu sendiri.
Berdasarkan sifat yang bertentangan tersebut, kiranya nenarik bila dilakukan penelitian-penelitian, antara lain mengenai pelaksanaan ketentuan hukum lingkungan pada peternakan sapi perah.
Masalah pokok yang diteliti adalah: Bagaimana pelaksanaan ketentuan hukum lingkungan pada peternakan sapi perah rakyat di Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah.
Penelitian ini dilakukan pada peternakan rakyat yang mendapat bantuan ternak sapi perah dari Penerintah di Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah.
Tujuan penelitian untuk mengetahui pelaksanaan ketentuan hukum lingkungan pada peternakan sapi perah bantuan Pemerintah di Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah. Adapun yang dimaksud hukum lingkungan adalah jenis hukum yang berorientasi kepada kepentingan lingkungan hidup dan yang memerintahkan manusia untuk melindungi dan memelihara lingkungan hidup secara serasi, selaras dan seimbang dengan sistim ekologi. Hukum lingkungan dapat diartikan juga sebagai perangkat norma yang mengatur tindakan orang dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu suatu pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat.
Digunakannya metode ini, karena penelitian ini bertujuan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai pelaksanaan ketentuan hukum lingkungan pada peternak sapi perah rakyat di Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah.
Pengambilan sampel dilakukan secara acak (random sampling) dengan intensitas 107 terhadap persebaran populasi, sehingga dari 765 peternak, didapat contoh sebanyak 77 peternak. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan, dan wawancara yang disertai dengan observasi di lapangan.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa sarana yang dimiliki peternak, kesadaran dan kemampuan peternak mempunyai hubungan dengan pelaksanaan ketentuan hukum lingkungan pada peternakan sapi perah. Artinya jika sarana yang dimiliki memadai, didukung adanya kesadaran dan kemampuan peternak, maka ketentuan hukum yang berlaku bagi usahanya akan dilaksanakan atau ditaati. Diketahui juga bahwa sanksi merupakan pengukuh atau pendukung bagi dilaksanakannya ketentuan hukum lingkungan pada peternakan sapi perah. Artinya sanksi baru diterapkan kepada peternak, jika sarana yang dimiliki memadai, mempunyai kesadaran dan kenampuan untuk melaksanakan ketentuan hukum itu, tetapi usaha peternakan yang diselenggarakan, tidak sesuai dengan ketentuan hukum tersebut.
Dari hasil penelitian diketahui perlunya penyuluhan hukum pada umumnya dan hukum lingkungan pada khususnya bagi peternak, juga perlunya pembentukan kelompok ternak atau desa ternak yang menempati lokasi khusus dengan jarak sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum yang berlaku.

ABSTRACT
Dairy farm is one of farming business aimed at improving income and welfare of dairy farmers. However, it has to be admitted that dairy farming is a kind of activity which is potential to generate environment pollution. Therefore, it has to be organized based on the valid regulators. So that it will not be harmful either to the natural environment or to the people them selves. The two opposing charateristics above, encouraged the writer to conduct the research to find out the environmental law implemented to dairy farming.
The main problems being investigated are: How are the environmental law implemented to dairy farming?
The research was conducted to investigate the people's dairy farm having grant of dairy cattle from the government in Banyumas regency, Central Java.
The objectives of research are to find out the environmental law implemented to dairy farming.
The method used in the research is descriptive, that is fact finding based on appropriate interpretation.
The reason for using this method is that the writer wanted to make a factual, accurate and systematic description about the environmental law implemented to dairy farming.
Sampling was done in a random way with intensity of 10 X. So that out of 765 dairy farmers 77 person are taken as sample. The data were collected based on review of literature, interview and field observation.
The result of research shows that facilities used to ability to carry out the law have correlation with environmental law implemented to dairy farming. 5o sanction is finally alternative to enforcement law.
The result tell us further, that information guiding of law in general and environmental law in particular should be given to dairy farmers, and setting up farmer group in certain areas.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>