Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 100974 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eko Resmono
"Upaya pembangunan nasional berkelanjutan senantiasa menghasilkan konflikkonflik sebagai efek sampingnya. Konflik-konflik ini jika tidak ditangani secara baik akan menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang terlibat. Salah satu upaya penanganan konflik adalah dengan mengidentifikasi sedini mungkin potensi-potensi konflik yang dapat terjadi di masa datang. Dewasa ini jumlah konflik dalam bidang perkebunan cenderung meningkat dan persentasenya paling tinggi di antara sektor lainnya. Konflik penggunaan tanah dalam bidang perkebunan dapat mengganggu tujuan pembangunan nasional. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk dan kemiskinan menyebabkan meningkatnya kebutuhan tanah yang menjadi faktor penyebab timbulnya konflik penggunaan tanah.
Hasil penelitian menunjukkan, wilayah yang berpotensi konflik tinggi terletak di bagian tengah sebelah barat, sedangkan wilayah berpotensi konflik sedang terletak di bagian utara dan tengah sebelah timur, sedangkan wilayah berpotensi konflik rendah terletak di bagian selatan daerah penelitian. Karakteristik spasial yang mempengaruhi adanya potensi konflik penggunaan tanah perkebunan adalah pengelolaan perkebunan, kepadatan penduduk, jumlah keluarga miskin, lahan belum digarap dan rasio penguasaan tanah pertanian. Karakterteristik spasial pengelolaan perkebunan dan jangka waktu berakhirnya HGU perkebunan mempengaruhi tingkat potensi konflik pada masing-masing perkebunan.

Sustainable national development efforts continue to generate conflicts as a side effect. These conflicts if not handled properly will cause harm to the parties involved. One of conflict resolution is to identify as early as possible the potential conflicts that may occur in the future. Today the number of conflicts in the plantation sector is likely to increase and the highest percentage among other sectors. Land use conflicts in the plantation sector can interfere with national development objectives. On the other hand, population growth and poverty lead to increased soil needs to be a factor causing land use conflicts.
Results showed, a high potential conflict region located in the central west, while a medium potential conflict region located in the northern and central east, while the lower potential conflict region located in the southern of the study area. Spatial characteristics that influence the potential conflicts of land use is plantation estates management, population density, the number of poor families, the land has not been farmed and the ratio of agricultural land ownership. Characteristics of spatial management of plantation and plantation HGU expiration affects the level of potential conflicts in their respective plantation.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2015
T44289
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahdah Fadil
"Dalam Perekonomian Indonesia, Komoditas kelapa sawit dan bahan tambang mempunyai fungsi sebagai salah satu sumber devisa Negara. Untuk pelaksanaan kegiatan perkebunan dan pertambangan dibutuhkan tanah dalam melakukan kegiatan usaha. Permasalahan tumpang tindih terjadi disebabkan penerbitan izin lokasi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten yaitu Bupati. Bupati menerbitkan izin pertambangan yang letaknya dalam lokasi izin perkebunan.
Permasalahan yang diangkat siapa pihak yang berhak atas tanah yang terletak di Desa Sebabi, Kenyala dan Tanah Timur, Kalimantan Tengah dan bagaimana penyelesaian dari tumpang tindih tanah antara perkebunan dan pertambangan tersebut. Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan desain deskriptif.
Hasil penelitian menyarankan agar tidak ada yang dijadikan prioritas terhadap salah satu usaha tersebut dan perlu diadakannya suatu tim khusus atau lembaga yang tugasnya pertimbangan terhadap permohonan izin lokasi kepada pejabat yang berwenang agar semua izin yang telah dan akan diterbitkan dapat terdata; Bupati harus dapat menjadi penengah dalam menyelesaikan tumpang tindih sehingga dapat diambil keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat.

In Indonesian economy, the commodities of oil palm and mineral have a function as one of source of foreign exchange. For the implementation of plantation and mining, it is required land to conduct a business. The overlapping land problems occurred because of the license publication which issued by local governments, particularly the Government of the District of Regents. The regent issued a mining permit which was situated in the location of plantation licenses.
The problem which appointed is the person who entitled to the land located in the village of Sebabi, Kenyala and Land East, Central Kalimantan and how the settlement of land overlap between the plantation and mining. This research is normative with descriptive design.
The results suggest that there is no priority of one of these business and need to be holding a special team or an institution whose job is to consider of the site permit application to the competent authority for all permits that have been and will be published can be recorded; Regents should be able to overcome this problem, so that the decision can be made by deliberation and consensus."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28179
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Suporaharjo
"Obyek sengketa tanah antara komunitas Ketajek dengan Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Jember adalah bekas hak Erfpach Verponding No. 2712 dan Verponding No. 2713 dikenal dengan nama kebun Ketajik I dan II atas nama NV Land Bow My Oud Djember (LMOD) leas keseluruhan 477,87 ha yang berakhir haknya tanggal 29 Juli 1967, terletak di desa Pakis dan desa Suci kecamatan Panti, kabupaten Jember, Propinsi Jawa Timur.
Sengketa tanah Ketajek mulai mencuat ketika pada tahun 1972 pemerintah daerah kabupaten Jember yang dipimpin Bupati Abdul Hadi yang juga sebagai komisaris PDP jember mulai berencana mengambil alih Kebun Ketajek I dan 11 yang telah digarap warga Ketajek sejak tahun 1950-an.
Proses pengambilalihan oleh PDP Jember atas tanah kebun Ketajek I dan II yang telah didistribusikan kepada warga Ketajek melalui kebijakan land reform pada tahun 1964 ini akhirnya menimbulkan konflik yang berlarut-larut hingga saat ini. Mengapa konflik sosial atas tanah Ketajek terus bertahan cukup lama dan bagaimana pilihan strategi penyelesaian konflik yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa serta para pihak yang terlibat dalam pusaran konflik tersebut coba dipahami lebih mendalam melalui penelitian ini.
Tujuan penelitian ini adalah:
1) Menelusuri dan memetakan sejarah dan sumber penyebab konflik;
2) Menemukenali faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya eskalasi konflik;
3) Mendalami proses-proses pilihan dan akibat dari strategi manajemen/penyelesaian konflik yang digunakan para pihak yang berkonflik; dan
4) Memberikan rekomendasi perbaikan atas cara-cara penyelesaian konflik antara masyarakat Ketajek dan PDP Jember yang selama ini dilakukan.
Pendekatan yang dilakukan untuk penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena dianggap sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu memahami fenomena peristiwa terjadinya konflik dan kaitannya terhadap keberadaan berbagai pihak, baik yang pro maupun kontra dengan penyelesaian konflik atas tanah antara komunitas Ketajek dan PDP Jember. Dari kelompok yang pro dan kontra coba dilakukan wawancara dan pemahamam secara mendalam atas usulan penyelesaian yang seharusnya dilakukan atas sengketa tanah Ketajek ini. Berbagai pendapat dari wawancara dengan informan dan penelusuran dokumen atas cara intervensi untuk menyelesaikan konflik ini kemudian direview dan di analisis kekuatan dan kekurangannya dengan cara membandingkan pengalaman di tempat lain atau kasus-kasus yang sudah pernah terjadi.
Dalam penelitian ini konflik dilihat sebagai suatu bentuk interaksi yang dapat membangun, mengintegrasikan dan meneruskan struktur dalam masyarakat. Konflik coba dipahami dari sisi positif dan sisi negatif. Konflik seharusnya dihadapi dan dikelola karena konflik dapat dipahami dari para pihak yang terlibat, sumber penyebab, tahapan perkembanganya, faktor-faktor yang mempengaruhi eskalasi dan kemungkinan mekanisme intervensinya.
Temuan penting dari hasil penelitian ini antara lain: adanya lima cara penyelesaian yang diusulkan para pihak yang berkepentingan, yaitu:
1) Pemberian tali asih/ganti rugi;
2) Membawa kasus sengketa ke pengadilan (peradilan umum);
3) Menempuh jalur hukum non pengadilan atau jalur politik;
4) Musyawarah; dan
5) Membangun kemitraan antara PDP dan warga Ketajek.
Pilihan terhadap tali asih/ganti dan membawa kasus ke lembaga pengadilan merupakan pilihan utama dari Pemerintah kabupaten/PDP Jember. Sementara pihak komunitas Ketajek lebih menyukai pendekatan jalur hukum non pengadilan atau politik dan musyawarah.
Dari hasil analisis terhadap kegagalan beberapa pilihan strategi penyelesaian yang telah ditempuh menunjukkan bahwa keputusan pilihan jalan keluar dilakukan secara sepihak oleh yang berpower kuat dan tidak mengatasi sumber penyebabnya, rendahnya keahlian para mediator/fasilitator, lemahnya anal isa atas problem bersama, dialog antara para pihak yang bersengketa sering bersifat konfrontatif, berbagai proses yang dilakukan lebih bersifat permusuhan dari pada kolaboratif, terjadinya polarisasi dalam berbagai kelompok dari komunitas Ketajek, terjadinya rivalitas antara para pihak yang berkepentingan mendampingin komunitas, tidak ada kemauan politik dari pimpinan/elit yang berada di pemda/PDP, DPRD untuk berbagi power/kegiatan manfaat kepada komunitas lokal atas aset sumberaya alam yang ada.
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa cara penyelesaian yang telah ditempuh seperti pemberian tali asih/ganti rugi, musyawarah dan membawa kasus ke peradilan umum telah gagal menyelesaikan sengketa tanah Ketajek, karena cara-cara tersebut tidak membawa kepada kesepakatan secara bulat yang didukung oleh semuat pihak yang terlibat dan memuaskan kepentingan seluruh pihak.
Sedangkan dari sisi kebijakan pemerintah daerah kabupaten Jember, dapat disimpulkan bahwa pemda tidak memiliki infrastruktur baik dari segi kelembagaan maupun sumberdaya manusia untuk melaksanakan penyelesaian konflik secara non litigasi atau alternative dispute resolution (ADR). Niatan untuk menyelesaikan konflik secara ADR hanya ada dalam teks saja, dalam prakteknya tidak ada kebijakannya.
Oleh karena itu, dengan melihat berbagai usulan dari para pihak yang berkepentingan dengan sengketa tanah Ketajek, maka direkomendasikan kepada pemda dan DPRD kabupaten Jember untuk mempertimbangkan strategi kolaborasi untuk menyelesaikan sengketa tanah Ketajek.
Dalam melaksanakan strategi kolaborasi para pihak yang bersengketa harus mempunyai kemauan untuk merubah penyelesaian konflik dari pendekatan permusuhan ke pendekatan yang bukan bersifat permusuhan (nonadiersarial approach). Karena dalam proses kolaborasi perlu keterbukaan, kesadaran adanya saling ketergantungan, menghormati perbedaan, membutuhkan partisipasi aktif para pihak yang berkonflik, membutuhkan jalan keluar dan penetapan hubungan yang disepakati bersama dan kesadaran bahwa kolaborasi adalah suatu proses bukan resep.
Ada empat desain umum untuk kolaborasi yang harus mendapatkan perhatian seksama para pihak yang berkonflik, yaitu yang berkaitan dengan upaya-upaya bersama menemukan pilihan yang tepat atas:
1) Perencanaan yang apresiatif;
2) Strategi kolektif;
3) Dialog; dan
4) Menegosiasikan penyelesaian.
Agar dapat membangun desain kolaborasi yang konstruktif dan mendapatkan komitmen dari para pihak yang bersengketa maka harus ada kejelasan tahapan yang dapat dijadikan panduan bersama. Tahapan ini paling tidak terdiri dari, tahap pertama, kejelasan dalam menetapkan problem; tahap kedua, kejelasan dalam menetapkan arah kolaborasi; dan tahap ketiga, kejelasan dalam menetapkan pelaksanaannya.
Untuk mendukung keberhasilan strategi kolaborasi, juga peran dukungan pemerintah daerah kabupaten jember merupakan faktor penting. Tanpa kemauan yang kuat dari pihak pemda untuk mendukungnya maka mustahil tahapan proses kolaborasi tersebut dapat dijalankan. Oleh karena itu, kemauan politik dari pemda tidak cukup hanya dicantumkan dalam teks POLDAS tapi harus diwujudkan dalam praktek, yaitu dengan cara menyediakan sumberdaya manusia yang terlatih sebagai fasilitator/mediator andal dan dukungan membangun kelembagaannya.
Review Strategies For The Resolution Of Social Land Conflicts: A Case Study Of Ketajek Community Vs. Jember Estate Company, In Kecamatan Panti, Kabupaten Jember East Java Province The land disputed by Ketajek community and Jember estate company (PDP) used to belong to the rights of Erfpach Verponding No. 2712 and No. 2713. They are known as Ketajek Estate I and If, on behalf of NV. Land Bow My Oud Djmber (WOD), with the overall area of 477.87 hectares located in Pakis and Suci villages, kecamatan Panti, Kabupaten Jember, East Java. The rights ended on 29 July 1967.
The land conflict broke out in 1972 when the local government under Bupati Abdul Hadi, who was also one of PDP's board of directors, planned to take over Ketajek Estate I and II which had long been cultivated by Ketajek local people since 1950s.
Ketajek I and II having been distributed since 1964 by means of land reform policy, the take-over has caused an intractable conflict-up to now. This research tries to explore how the social conflict of Ketajek land remains unresolved, and what kinds of conflict resolution strategies have been adopted by the conflicting parties as well as those involved in the turbulence of conflict. So, the objectives of this research are:
1) To dig up and map the history and sources of conflict;
2) To identify the factors influencing the conflict escalation;
3) To observe the process of selection and the result of conflict management/resolution strategy applied by the conflicting parties; and
4) To provide a recommendation of how to improve the existing conflict resolution methods between Ketajek community and PDP Jember.
The research made use of qualitative approach. This approach best-matched with the objectives of the research, i.e. to understand conflict fenomena in connexion with the presence of multi parties, both those in favor and those against the resolution of the land conflict between Ketajek community and PDP Jember. For the pros and cons, interviews were given to get a deep understanding of what opinions they have about the resolution proposed for Ketajek land conflict. Ideas obtained from the interviews with informants and data from scrutinizing the documents about intervention methods for this conflict were collected to be reviewed and analyzed to get the strength and weaknesses by comparing with experience from other sites or with the preceding cases.
In this research, conflict was seen as a form of interaction that can develop, integrate, and continue the structures within a society. It is understood from both positive and negative perspectives because conflict should be faced and managed as it can be understood from the perspectives of the parties involved, from the very cause, from the stages of development, from the factors influencing the escalation and from the possibilities of intervention mechanisms The important findings of the research are, among others, five methods of resolution proposed by interest parties, i.e.:
1) Providing a compensation;
2) Bringing the case to the court;
3) Taking an extra-court law (nonlitigation) orpolitical action;
4) Building dialog/negotiation; and
5) Building a partnership between PDP and Ketajek local people. The local governmentiPDP jember prefers options 1 and 2, whereas Ketajek community prefers points 3 and 4.
From the analysis of the above failure, it was found that: the options were made unilaterally by the power-ed party, and it failed to hit the source of the problems, the facilitators/mediators were unskilled, the analysis of the shared problems was poor, dialogs between conflicting parties were frequently confrontational, the processes were more confrontational than collaborative, groups of Ketajek community were polarized, there was a rivalry between interest parties that went with the community, there was a lack of political will from elites in the local government/PDP, DPRD to share power/activities/benefit with the local community over the natural resources.
The conclusion is that the five resolutions failed to lead to an agreement supported by all parties and failed to satisfy all. From the perspective of Jember local government's policy, it can be concluded that the local government did not have adequate infrastructures, either in the form of institutions or human resources to enact a no litigation conflict resolution or alternative dispute resolution (ADR). To manifest the ADR was all in theory; in practice, none of the policies used it.
Considering the ideas proposed by interest parties in the Ketajek Iand conflict, therefore, it is recommended to the local government and DPRD Jember to think over collaborative strategies to resolve Ketajek land conflict.
In plying the collaborative strategies, the conflicting parties must have a will to shift from adversarial approaches to no adversarial ones since the collaborative processes need openness, respect for difference, the awareness of interdependency, active participation of the conflicting parties, way out and agreed relationship, and the awareness that collaboration is a process, not a recipe.
There are four general designs for collaboration to be noted carefully by the conflicting parties related to joint efforts to make the smart choice of
1) Appreciative planning;
2) Collective strategy;
3) Dialog; and
4) Negotiation of resolution.
In order to be able to build a constructive design for collaboration that all conflicting parties are committed to, there must be clear stages for a common guideline, The stages should at least comprise first stage, a clear problem statement; second stage, a clear direction of collaboration; and third stage, a clear operation.
To support a successful collaborative strategy, the support from Jember local government is an important factor. Without a strong will from the local government to sustain it, it is impossible for the collaborative processes to be operated. Therefore, the political will of the local government should not only be typed on POLDAS text, but should also be realized in practice, by providing skilled human resources for the best facilitators/mediators and giving support or developing the institution.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11544
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desi Susilowati
"Kecamatan Kintamani di Kabupaten Bangli merupakan salah satu daerah yang cocok untuk pertumbuhan tanaman kopi. Tahun 2000 produksi kopi Kintamani sedang meningkat pesat akan tetapi ditahun 2014 produksi kopi Kintamani ini mulai mengalami penurunan secara signifikan. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil produksi kopi Kintamani pada tahun 2015yang mencapai 2.482,78 ton dimana tergantikan oleh tanaman jeruk Kintamani yang semakin meningkat sampai ke 117.596 ton per tahun.
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa produksi kopi Kintamani selalu berubah dan cenderung menurun disetiap tahunnya. Hal ini diduga berkaitan dengan pemanfaatan lahan perkebunan di Kecamatan Kintamani.
Berdasarkan pemaparan tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisisdinamika spasial perkebunan kopi Kintamanidari tahun 1999-2018 yang kemudian diproyeksikan ke tahun 2033 sesuai dengan kebijakan RTRW pemerintah Kabupaten Bangli tahun 2013-2033.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cellular Automata Markovdengan beberapa faktor pendorongterjadinya perubahan penggunaan lahan antara lain jarak dari hutan, jarak dari jalan, jarak dari sungai, dan jarak dari pemukiman. Penggunaan lahanyg digunakan antara lain ditahun 1999, 2014 dan 2018. Nilai akurasi kappapada model mencapai 87%.
Hasil prediksi menunjukkan bahwa dinamika spasial perkebunan kopi Kintamani tidak menurun secara signifikan karena diprediksi keberadaan kopi Kintamani masih dalam jangka panjang. Penurunan lahan perkebunan ini terus menurun seiring dengan perkembangan lahan permukiman."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Putro Erianto Wicaksono
"Mengingat pentingnya peranan air, sangat diperlukan adanya sumber air yang dapat menyediakan air yang baik dari segi kuantitas dan kualitasnya. Di Indonesia, sumur gali merupakan sarana air bersih yang banyak digunakan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan karena sumur gali tergolong mudah dan murah dalam pembuatannya. Akan tetapi sumur gali mempunyai resiko pencemaran yang sangat tinggi. Kondisi fisik lingkungan dapat berpengaruh kepada turunnya kualitas air tanah dangkal tersebut. DA Ci Deres memiliki berbagai macam jenis Penggunaan tanah dan juga jenis tanah dan batuan. Pesebaran konsentrasi TDS tertinggi terdapat di tengah DA Ci Deres dibandingkan bagian Barat Laut dan juga Tenggara DA Ci Deres. Lalu parameter konduktivitas, nitrat, sulfat dan juga fosfat memiliki nilai konsentrasi tertinggi pada wilayah Barat Laut DA Ci Deres dan parameter pH, kekeruhan dan juga klorida memiliki tingkat nilai konsentrasi tinggi yang berada di wilayah Tenggara DA Ci Deres. Salah satu faktor tercemarnya air tanah tersebut di akbitkan oleh faktor fisik yang terdapat di wilayah DA Ci Deres tersebut. Untuk mengetahui akan lebih jelas maka dilakukanlah uji statistik untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara kondisi fisik di Wilayah DA Ci Deres tersebut dan seberapa kuat akan tingkat korelasi tersebut. Hasil Dari uji statistik tersebut menyatakan bahwa jenis batuan dan penggunaan tanah memiliki korelasi yang positif terhadap nilai kualitas air di DA Ci Deres. Hal tersebut dapat terlihat dari besarnya nilai F hitung dibandingkan dengan nilai F tabel pada seluruh DA Ci Deres.

Given the importance of the role of water, it is very necessary to have a water source that can provide good water in terms of quantity and quality. In Indonesia, dug wells are clean water facilities that are widely used by the community, both in urban and rural areas because dug wells are relatively easy and inexpensive to make. However, dug wells have a very high risk of pollution. Shallow ground water if it has been polluted will be difficult to recover. The physical condition of the environment can affect the quality of the shallow groundwater. DA Ci Deres has various types of land use and also types of land and rocks. The highest distribution of TDS concentrations was in the middle of DA Ci Deres compared to the north and also south of DA Ci Deres. Then the parameters of conductivity, nitrate, sulfate and phosphate also have the highest concentration values ​​in the North region of DA Ci Deres and pH parameters, turbidity and chloride have high concentration values ​​in the South DA DA Deres. One of the factors that contaminated the groundwater was caused by physical factors found in the DA Ci Deres region. To find out more clearly, a statistical test was conducted to find out whether there was a correlation between the physical conditions in the DA Ci Deres Region and how strong the correlation level would be. The results of these statistical tests state that the geology and landuse has a positive correlation with the groundwater quality at DA Ci Deres. This can be seen from the value of F is bigger than F table in DA Ci Deres."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karuwai, George
"Sampai saat ini hampir tidak satupun wilayah di Indonesia yang tidak mengenal konflik, baik dari konflik yang sifatnya Un Manifest (belum muncul ke permukaan) maupun konflik yang Manifest (sudah menjadi konflik terbuka). Di daerah Sentani dapat terlihat bahwa implikasi teoritis dan praktis dari saling pengaruh antara hukum negara (nasional) dan hukum adat (lokal) mengakibatkan konflik tanah adat antara sesama komunitas adat Sentani, antara warga dan pendatang, antara warga dan pemerintah, antara pemerintah setempat dengan pemerintah yang lebih besar (tinggi). Konflik yang terjadi di daerah Sentani merupakan konflik laten maupun konflik kekerasan yang kapan dan dimanapun dapat muncul kembali. Penelitian ini difokuskan kepada jenis-jenis konflik, akar penyebab pemicu konflik, sumber-sumber penyebab konflik, bentuk dampak dari konflik serta langkah yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Di dalam penulisan ini metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, sebagai prosedur yang tertulis atau lisan dari orang-orang serta perilaku yang dapat diamati dan diarahkan pada latar dari individu serta organisasi secara holistik (utuh).
Penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif yakni menggambarkan tanah adat dan potensi konflik yang terjadi antara masyarakat adat Sentani, masyarakat adat Sentani dan pendatang maupun masyarakat dan pemerintah serta pemerintah dan pemerintah di daerah Sentani dengan desain penelitiannya adalah studi kasus.
Dengan adanya konflik atau sengketa tanah adat memungkinkan pandangan-pandangan yang selama ini dianggap baik, diperdebatkan kembali sehingga muncul pandangan baru. Hal yang tebih penting lagi yaitu untuk menguji gagasan dan nilai kinerja kelompok institusi-institusi yang ada dalam masyarakat adat Sentani sehingga penanganan konflik atau sengketa yang dilaksanakan selama ini secara sadar dan pemecahannya dapat diterima oleh semua pihak, dapat memberikan sumbangan yang berupa pola-pola atau pegangan-pegangan baru dalam penyelesaian konflik atau sengketa di daerah Sentani.
Akibat adanya konflik-konflik tanah adat tersebut memunculkan dampak konflik negatif dan konflik positif di daerah Sentani yang menjadi ancaman bagi keberlanjutan kehidupan komunitas lokal itu sendiri antara lain : retaknya hubungan sosial, terhambatnya fungsi sosial masyarakat, dan rapuhnya nilai-nilai sosial kemasyarakatan pada masyarakat Sentani, adanya inovasi (pembaharuan) dan perkembangan-perkembangan dari kebudayaan lokal (adopsi) serta pranata sosial di dalam komunitas adat Sentani itu sendiri maupun pemerintah Kabupaten Jayapura.
Karena itu disimpulkan bahwa akar penyebab konflik tidak berdiri sendiri dan merupakan satu kesatuan yang saling terkait sehingga diperlukan pola penyelesaian yang harus dilakukan sesegera mungkin dan secara cepat, menyuluruh serta terpadu (komprehensif) di dalam komunitas adat Sentani (struktur dan sistem adat) maupun di pihak pemerintah (mengimplikasikan kepentingan-kepentingan adat setempat) dengan memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait tersebut.
(VI Bab, xxiv, 303 Halaman, 3 Tabel, 1 Peta, 4 Bagan, 3 Foto, Bibliografi : 58 Buku, 4 Peraturan Pemerintah, 2 Tesis, 2 Skripsi, 7 Makalah, 3 Jurnal, 2 Lampiran)"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13902
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrissa Iswandari
"ABSTRAK
Menghadapi gejala yang menunjukkan semakin menurunnya dominasi harga minyak bumi di pasaran dunia, maka Indonesia yang selama ini merupakan negara yang menggantungkan sumber devisanya dari ekspor minyak dan gas bumi, mulai menggiatkan pembangunan di sektor pertanian, sub-sektor perkebunan terutama sejak PELITA III yang lalu. Salah satu usaha untuk merealisasikan harapan meraih devisa dari sumber non migas adalah dengan mengadakan kegiatan pengembangan perkebunan dengan mempergunakan pola Perusahaan Inti Rakyat dengan lokasi terutama pada daerah-daerah transmigrasi di luar pulau. Jawa, Madura dan Bali. Ketentuan yang menjadi dasar hukum untuk pengembangan proyek Perkebunan Inti Rakyat tersebut adalah Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomer 1 Tahun 1986 tanggal 3 Maret 1986 tentang Pengembangan Perkebunan Dengan Pola Perusahaan Inti. Rakyat Yang Dikaitkan Dengan Program Transmigras1. Dalam pelaksanaan Perkebunan Inti Rakyat, yang menjadi unsur penting adalah pembangunan Kebun Inti dan Kebun Plasma: Kebun Inti merupakan kebun milik Perusahaan Perkebunan Besar baik milik Swasta maupun Pemerintah. Kedudukan Perusahaan Perkebunan tersebut adalah sebagai pelaksana dan Pengelola proyek Perkebunan Inti Rakyat. sedangkan kebun plasma merupakan areal yang akan menjadl milik masing-masing petani peserta yang eligible. Pengembangan budi daya dalam proyek tersebut, pada umumnya merupakan tanaman-tanaman keras ; seperti : karet dan kelapa sawit. Peranan PTP yang menjadi Perusahaan Inti meliputi kegiatan pembinaan terhadap calon petani peserta hingga pengolahan dan pemasaran hasilnya. Pelaksanaan proyek Perkebunan Inti Rakyat mengharapkan terciptanya suatu kerjasama yang saling menguntungkan, utuh dan berkesinambungan serta terasa adanya usaha " alih teknologl " ( transfer of technology ) dari Perusahaan Perkebunan kepada pekebun-pekebun tradisional. Sebagaimana yang biasa terjadi dalam suatu pembangunan, maka proyek pengembangan Perkebunan Inti Rakyat Khusus juga menghadapi masalah-masalah. Salah satu masalah yang terjadi di lokasi Perkebunan Inti Rakyat Khusus I Ketahun, kabupaten Bengkulu Utara adalah dalam hal penyediaan tanah untuk pengembangan proyek karena pada prinsipnya proyek Perkebunan Inti Rakyat tldak mengenal acara pembebasan tanah atau tidak menyediakan pembayaran ganti rugi kepada pemilik atau penguasa yang tanahnya terkena proyek."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus Mahur
"ABSTRAK
Semua orang di muka bumi ini menyadari akan makna dan peranan tanah dalam kehidupannya. Bagi petani di pedesaan tanah mempunyai beberapa nilai dari yang paling abstrak sampai yang paling konkrit. Nilai tanah itu bagi petani dapat bersifat ekonomis dan kesejahteraan, sosial dan yuridis, serta religius.
Saat ini, di Indonesia banyak permasalahan yang timbul berkaitan dengan tanah umumnya dan pengelolan tanah khususnya. Permasalahan tanah ini di Indonesia merupakan salah satu isu nasional yang krusial dan kompleks. Ada empat hal penting mengenai tanah yang perlu ditangani segera, terutama di luar pulau Jawa yaitu (1) sistem klasifikasi tanah yang belum menjamin penggunaan tanah secara optimal, baik dari segi ekonomi maupun dari segi lingkungan, (2) begitu banyaknya instansi yang terlibat dan berkepentingan dengan Perencanaan Tata Guna Tanah sementara itu data mengenai penggunaan tanah cenderung tersentralisasi dan tidak tersedia di propinsi yang berwenang membuat keputusan tentang penggunaan tanah; (3) kendala yang dihadapi petani kecil dan migran dalam mendapatkan tanah pertanian baru yang cocok dan (4) kesulitan proyek-proyek pembangunan dalam mengidentifikasikan dan mendapat tanah usaha dalam skala yang dibutuhkan, selain karena klaim dari masyarakat setempat, juga karena adanya kewajiban untuk memberikan kompensasi.
Pada dasarnya, permasalahan tanah itu timbul karena interaksi, interelasi dan adaptasi manusia atas tanah semakin kuat dan intensif. Karena itu dalam mengkaji permasalahan tanah dan pengelolaannya tidak terlepas dari manusia itu sendiri, sebagai unsur utama dalam lingkungan hidup. Ada dua hal yang esensial yang mempunyai hubungan dengan pengelolaan tanah oleh para petani yaitu sistem budaya para petani tersebut dan kebijaksanaan pemerintah mengenai pengelolaan tanah. Pada kajian ini kebudayaan dan kebijaksanaan pemerintah yang disoroti hanyalah mengenai insentif dan disinsentif. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 tahun 1982, bahwa insentif dan disinsentif dapat digunakan untuk meningkatkan pemeliharaan lingkungan hidup, mencegah dan menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Permasalahan pokok tulisan ini adalah bagaimana para petani di kecamatan Satar Mese mengelola tanahnya guna memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, mencapai tujuan-tujuannya dan mendapat ketentraman hidupnya, dalam kondisi lingkungan hidup yang senantiasa berubah. Dari permasalahan tersebut muncul dua pertanyaan yakni : (1) faktor-faktor apa yang mempunyai hubungan dengan sistem, pola dan cara pengelolaan tanah oleh para petani di kecamatan Satar Mese, dan (2) bagaimana hubungan antara insentif dan disinsentif budaya dan kebijaksanaan pemerintah dengan sistem, pola dan cara pengelolaan tanah oleh para petani di kecamatan ini.
Tujuan umum kajian ini ialah mengetahui bagaimana para petani di kecamatan Satar Mese mengantisipasi perubahanperubahan yang terjadi pada lingkungannya, yang tercermin pada sistem, pola dan cara pengelolaan tanah yang dipakai dan dikembangkannya. Secara khusus tujuan kajian ini ialah : (1) untuk mengetahui dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan pengelolaan tanah oleh para petani; dan (2) untuk memaparkan bagaimana hubungan antara insentif dan disinsentif budaya dan kebijaksanaan pemerintah dengan pengelolaan tanah oleh para petani di kecamatan ini.
Adapun hipotesis kerja yang menjadi sasaran telaahan ini adalah : (1) insentif dan disinsentif mempunyai hubungan yang erat dengan pengelolaan tanah; (2) insentif budaya mempunyai hubungan erat dengan pengelolaan tanah; (3) disinsentif budaya mempunyai hubungan erat dengan pengelolaan tanah; (4) insentif kebijaksanaan pemerintah mempunyai hubungan erat dengan pengelolaan tanah; dan (5) disinsentif kebijaksanaan pemerintah mempunyai hubungan yang erat dengan pengelolaan tanah.
Data untuk kajian ini terdiri atas data sekunder dan data primer. Data sekunder didapat melalui studi dokumentasi dan studi literatur. Data primer diperoleh dari 100 responden dari kelima desa sampel. Pengumpulannya lewat wawancara berstruktur dan wawancara mendalam. Sesuai dengan rancangan yang digunakan yaitu Survei Deskriptif Kualitatif, maka data diolah dan dianalisis dengan tabel sederhana, tabel silang dan uji statistik berupa Koefisien Kontingensi (KR) dan Kai Kuadrat.
Hasil studi ini memperlihatkan bahwa para petani di kecamatan Satar Mesa mempunyai kearifan dan kebijakan ekologis yang khusus mengenai pengelolaan tanah. Hal ini selain tampak pada asas dan dasar hukum mengenai sistem, pola dan cara pengelolaan tanah, juga terbukti pada tingkat keeratan dan signifikansi hubungan insentif dan disinsentif dengan pengelolaan, penguasaan, penggunaan dan pengerjaan tanah.
Asas dan dasar hukum pengelolaan tanah oleh para petani di kecamatan ini bertumpu pada dan merupakan pengejawantahan dari pandangan dan cita-cita hidupnya yaitu Prinsip Sosial Kolektivitas, Prinsip Keselarasan dan Keseimbangan, dan Prinsip Musyawarah Mufakat. Ketiga prinsip hidup yang demikian itu berimplikasi selain pada cara, pola dan wawasan berpikirnya dalam berinteraksi, berinterelasi dan beradaptasi dengan lingkungan hidupnya, juga terutama pada sikap, perilaku, aktivitas dan tindakannya sehari-hari pada tanah. Penguasaan tanah dalam bentuk Lingko dan tobok, yang umumnya belum mempunyai surat bukti hak yang kuat; penggunaan tanah berupa ladang, sawah, pekarangan dan hutan; dan pengerjaan tanah dengan pola usaha tani dan teknologi pertanian yang relatif sederhana dan cenderung mentradisi, memancarkan sikap dan perilaku, kemampuan dan upaya para petani dalam menyesuaikan diri dengan kondisi tanah yang dikuasainya.
Pada keeratan dan signifikansi hubungan insentif dan disinsentif dengan pengelolaan tanah, kearifan dan kebijakan ekologis para petani itu ditunjukkan oleh besarnya nilai Koefisien Kontingensi hubungan insentif dan disinsentif dengan pengelolaan, penguasaan, penggunaan dan pengerjaan tanah, yang semuanya termasuk dalam katagori sedang yaitu 0,58, 0,46, 0,40 dan 0,37; ini berarti hubungan antara kedua peubah itu masing-masing relatif erat dan kuat. Signifikansi hubungan tersebut berada pada taraf 1 % dan 5 %. Oleh karena itu ketentuan Pasal 8 Undangundang Nomor 4 tahun 1982 merupakan ketentuan yang tepat dan bijak, sehingga perlu dipertahankan dan diperluas ruang lingkup berlakunya.
Namun bila ditelaah secara mendalam, tampak bahwa keeratan dan signifikansi hubungan insentif dan disinsentif budaya lebih kuat daripada keeratan dan signifikansi hubungan insentif dan disinsentif kebijaksanaan pemerintah dengan pengelolaan, penggunaan dan pengerjaan tanah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa insentif dan disinsentif budaya tetap merupakan faktor penting dan menjadi acuan serta pedoman utama para petani di kecamatan ini dalam menguasai, menggunakan dan mengerjakan tanahnya. Karena itu dalam memasukkan inovasi baru yang berhubungan dengan pengelolaan tanah di kecamatan Satar Mese perlu memperhatikan dan mepertimbangkan kearifan dan kebijakan ekologis yang dimiliki dan dikembangkannya, agar inovasi itu tidak menjadi mubazir dan menimbulkan gejolak sosial. Untuk itu pandangan dan pendapat Julian Steward dan John Bennet, Glinka dan Boelars, Murphey dan Kleden cukup aktual dan masih relevan untuk diperhatikan dalam seluruh kebijaksanaan mengenai tanah umumnya dan pengelolaan tanah khususnya di Indonesia.

ABSTRACT
All people in this world realize the meaning and the role of land in their life. For the peasants in the village, land has some values, ranging from the concrete value to the abstract one. The value of a strip of land, can be economical, prosperous, sociological, juridical, and religious.
However, nowadays, many problems in accordance with the land in general and its management in particular arise in Indonesia. The land problem itself has been one of the crucial and complex national issues. There are four important points on such problem requiring immediate solutions, especially for outside Java. They are (1) the system of land classification which have not ensured land use optimally, viewed from both economical and environmental aspects; (2) the involvement of too many instances, having vested interest in the land use planning, while land use data tend to be centralized and in available in the provinces which have the authority to make decisions on the land use; (3) the smallholders and migrants have constraints in getting new favorable agriculture land; and (4) the development projects have difficulties in identifying and acquiring cultivable land in the required scale. It is caused not only by local land claims but also by government policy pertaining to the obligation to pay land compensation.
In principle, the land problem is caused by the presence of interaction, interrelation and adaptation among people which is getting more intense and intensive. Therefore, to analyze land problem and its management issue can not be separated from the people themselves as the main component of the environment. There are two essential things having much to do with the land management employed by the peasants, i.e. the cultural system of the peasants themselves and the government policy on the land management. This analysis will focus its concern on the incentive and the disincentive of the culture and the government policy. It is based on article 8 of the Act No.4 of 1982, stipulating that incentive and disincentive can be used to improve the maintenance of environment, to prevent, and to abate environmental damage and pollution.
The main issue of this writing is the investigation of how the peasants in sub district of Satar Mese deal with their land in order to fulfill their needs, to achieve their goals, and to obtain their life tranquility in this ever-changing environment. From such problem might arise two questions as follows. (1) What are the factors having relation to the system, the pattern, and the method of land management employed by the peasants in sub district of Satar Mese? (2) How is the relations of the incentive and the disincentive? of culture and government policy to the system, the pattern, and the method of land management employed by the peasants in this sub district?
The general aim of this study is to know how the peasants in this sub district anticipate the changes occurring in the environment and being manifested in the system, the pattern and the method of land management they use and develop. The specific aims are : (1) to know and to identify the factors having relation to the land management employed by the peasants; and (2) to describe how the relation is of incentive and disincentive from a culture and a government policy to the land management employed by the peasants in this sub district.
The hypothesis are : (1) incentive and disincentive as viewed from both culture and government policy, have a close relation to the land management employed by the peasants, (2) a culture incentive has a close relation to the land management employed by the peasants; (3) a culture disincentive has a close relation to the land management employed by the peasants; (4) an incentive of the government policy has a close relation to the land management employed by the peasants; (5) a disincentive of the government policy has a close relation to the land management employed by the peasants.
The data used in this writing consist of secondary and primary ones. The secondary data were obtained from documents and library research. The primary ones were obtained from a hundred respondents from five villages as the samples. Such data were collected through a well-designed structural and deep interviews. Since the research design used here was qualitative descriptive survey, then the primary data processing and analyzing used simple and cross tabulations, and simple statistical test of Contingency. Coefficient and Chi Square (X2).
The result of this study shows that the peasants in Satar Mese sub district have a unique ecological wisdom and intelligence in dealing with the land management. Such characteristic is not only apparent in the principle and the legal basis of the system, the pattern, and the method of the land management employed by the peasants, but also clearly seen in the tightness and the level of significance of the relationship of incentive and disincentive and the management, occupation, use and cultivation of the land employed by the peasants.
In this sub district such principle and legal basis of the land management were realized and based on the peasants way and concepts of life such as Social-Collectivity, Balance and Harmony, and Togetherness Principles. Such principles imply not only in their way of thinking, thought pattern, and insight into interacting, interrelating and adapting toward their environment, but also their attitudes, behaviors, and daily activities upon the land. The latter implications are clearly seen in the systems of land occupation as "Lingko" and "Tobok" which have no certificates; the patterns of land use which are only for dry and wet-rice field, yard and forest; and the method of land cultivation with simple farming system, pattern, and technology which tend to be a tradition. All these practices reflect their attitudes, behaviors, abilities and efforts in adapting themselves to the conditions of land they occupy.
The afore-mentioned unique ecological wisdom and intelligence of the peasants are indicated by Contingency Coefficient and Chi Square numbers on the tightness and the level of significance of the relations of incentive and disincentive to the land management. The Contingency
Coefficient numbers of relations of incentive and disincentive to the management, occupation, use, and cultivation of the land are all in medium categories, i.e. 0,58, 0.48, 0.40, and 0,37; meaning that relations between those two variables are close and strong. For that reason, article 8 of the Act No_4 of 1982 is effective and acceptable, and it needs to be maintained and more widely applied.
Nevertheless, if we analyze more thoroughly, it will be apparent that the tightness and the level of significance of incentive and disincentive relations of the culture is closer than that of the government policy. Based on that statement, the incentive and disincentive of the culture remain important factors, and become the main reference and guiding factors for the peasants in occupying, using and cultivating their land in this sub district. So, in introducing and adopting a new innovation in the land management for the peasants, we must pay attention on and consider the characteristic of the ecological wisdom and intelligence they have and develop, unless such innovation become useless, fruitless, and lead to a social movement. In relation to this analysis, the opinions and the views of Julian Steward, John Bennet, Glinka and Boelars, Kleden, and Murphey are still actual, relevant, and should be taken into account in making decisions and policies on the land and its management in Indonesia.
List of Literature :86 (from 1955 to 1991).
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Eliyasari
"ABSTRAK
Konflik kehutanan umumnya dikarenakan adanya ketimpangan penguasaan atas tanah dan sumber daya alam, tumpang tindih, administrasi penggunaan tanah yang kurang baik, dan penegakan hukum yang lemah.
Konflik penggunaan tanah dapat mengganggu tujuan pembangunan nasional. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk dan kemiskinan menyebabkan meningkatnya kebutuhan tanah yang menjadi faktor penyebab timbulnya konflik penggunaan tanah.
Hasil penelitian menunjukkan pengelolaan HTI Register 45 yang buruk sebagai aspek yang paling berpengaruh terhadap adanya potensi konflik. Buruknya pengelolaan akan mendorong masyarakat untuk menggunakan tanah-tanah perkebunan yang tidak digarap untuk kepentingan pribadinya. Ditinjau dari aspek sosial, HTI yang berpotensi konflik tinggi adalah masyarakat dengan kepadatan penduduk yang tinggi, tingkat kemiskinan yang tinggi dan penguasaan lahan pertanian yang sempit. Ditinjau dari aspek fisik, Kawasan yang berpotensi konflik adalah kawasan yang memiliki tanah yang belum digarap, memiliki aksesibilitas yang baik dan memiliki harga tanah yang tinggi.

ABSTRACT
Forestry conflict are generally due to the inequality of control over land and natural resources, overlapping, chaotic administration of land use, and weak law enforcement.
Land use conflicts in the plantation sector can interfere with development goals national. On the other hand, population growth and poverty lead to increased land requirements that become factors causing land use conflicts.
The results showed HTI management register 45 bad as the most influential aspects against any potential conflict. Poor management will encourage people to use the estate lands are not cultivated for personal use. Judging from the social aspect, HTI high conflict potential is communities with a high population density, high levels of poverty and narrow agricultural land tenure. Judging from the physical aspect, which potentially conflict area is the area that has not been tilled land, has good accessibility and has a high land prices.
"
2015
T44939
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Mirza
"Tanah atau sumber daya agraria lainnya dalam masyarakat agraris disamping sebagai faktor produksi, juga memiliki fungsi sosial dan politik. Oleh karenanya. setiap kelompok masyarakat mempunyal mekanisme masing-masing dalam mengatur hubungan antar manusia berkaitan dengan tanah. Implikasi dari masalah hubungan tersebut adalah adanya aturan kepemilikan atas tanah oleh masyarakat. Oleh karena itu pula hukum positif atau perundang-undangan formal mengatur hubungan antar manusia dalam hal pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah untuk menghindari terjadinya konflik dalam masyarakat.
Atas dasar pemikiran diatas, penulis mencoba mempelajari masalah konflik yang berkaitan dengan kepemilikan lahan/tanah dalam tesis yang berjudul: Konflik Kepemilikan atas Lahan Perkebunan Antara Masyarakat dengan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit di Kecamatan Kikim Kabupaten Lahat Sumatera Selatan.
Secara umum munculnya masalah kepemilikan tanah di daerah Kikim Kabupaten Lahat Sumatera Selatan berawal dari perbedaan persepsi dalam menafsirkan hak kepemilikan atas tanah oleh pemerintah dan pengusaha perkebunan kelapa sawit dengan masyarakat setempat. Hal ini sangat dimungkinkan karena pada satu pihak persepsi hak kepemilikan atas tanah atau lahan didasarkan atas persepsi dari ketentuan pokok agraria sementara pada pihak yang lain, masyarakat melihat masalah hak kepemilikan atas tanah atau lahan menggunakan acuan hukum adat yang secara turun temurun ada dan telah menjadi tata nilai dalam kehidupan masyarakat. Kompleksitas persoalan diatas ditambah lagi dengan tidak berfungsinya lembaga adat sebagai institusi masyarakat yang legitimet dan muncul dari tata nilai masyarakat setempat. Ketidak berfungsian lembaga adat yang ada justru disebabkan karena pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1979 yang berkaitan dengan pembentukan kelembagaan pemerintah desa.
Dari hasil pengamatan lapangan menunjukkan, upaya-upaya penyelesaian konflik yang dilakukan oleh birokrasi setempat justru tidak menyentuh substansi persoalan yang sebenarnya. Persoalan ganti rugi seringkali teridentiftkasi sebagai penyebab munculnya konflik, sehingga upaya penyelesaian yang dilakukan hanya sebatas pemberian ganti rugi atas lahan masyarakat yang terpakai. Sementara substansi persoalan adalah pada persepsi kepemilikan tanah yang berbeda antara masyarakat dan pemerintah maupun perusahaan perkebunan, disamping persoalan hilangnya sumber penghidupan masyarakat Kikim yang disebabkan karena tidak tersubtitusi sumber penghidupan masyarakat dengan pilihan-pilihan lain yang semestinya diberikan oleh pihak perusahaan perkebunan.
Dari hasil analisa mendalam terhadap fenomena-fenomena sosial yang muncul serta persoalan yang dihadapi masyarakat Kikim berkaitan dengan konflik kepemilikan atas lahan perkebunan, maka penulis mencoba menawarkan beberapa rekomendasi penelitian sebagai upaya menjembatani persoalan yang berkembang secara taktis dan strategis dan berorientasi jangka panjang. Beberapa rekomendasi guna penyelesaian konflik tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menciptakan Model hubungan antar elemen masyarakat yang terlibat secara langsung dalam proses pembangunan pada umumnya dan khususnya masalah konflik lahan/tanah.
2. Penguatan Kelembagaan Lokal di tingkat masyarakat, dengan menempatkan Lembaga adat sebagai buffer bagi kepentingan pembangunan masyarakat lokal dengan mengembalikan fungsi dan peran lembaga adat dalam tata nilai kehidupan bermasyarakat.
Beberapa persoalan dan model penyelesaian yang penulis tampilkan tentunya masih perlu pengujian pada tataran implementasinya. Namun demikian, penelitian ini paling tidak mencoba membedah secara mendalam dan subtantif terhadap persoalan-persoalan yang melatar belakangi terjadi konflik, sehingga upaya-upaya penyelesaian yang ditempuh dapat efektif dan tepat sasaran."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4244
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>