Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 115945 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nova Sri Hartati
"Peningkatan stres oksidatif selama penuaan, dianggap sebagai kontributor utama pada proses neuro-degenerasi dan kehilangan neuron, dan merupakan faktor utama dalam patologi penyakit Alzheimer dan penurunan kognitif terkait usia. Vitamin E merupakan antioksidan potensial yang menjadi fokus utama penelitian gangguan fungsi kognitif dan penyakit Alzheimer.
Penelitian potong lintang pada populasi lansia sehat di Kelurahan Cikoko ini dilakukan pada bulan Desember 2014 untuk menilai hubungan antara kadar vitamin E serum dengan fungsi kognitif. Selain itu juga menilai asupan vitamin C dan E dengan metode FFQ. Penilaian fungsi kognitif dengan instrumen MoCA-Ina. Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kadar vitamin E menggunakan metode HPLC. Data dianalisis dengan uji Mann-Whitney dan Chi-square. Sebagian besar subyek (75,9%) adalah perempuan dengan usia rata-rata 65 tahun. Sementara, kadar rata-rata vitamin E adekuat, yaitu 21,6 μmol/L.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara kadar vitamin E serum dengan fungsi kognitif yang dinilai dengan skor MoCA-Ina. Meskipun berat badan normal hingga obes I menunjukkan hubungan signifikan dengan skor kognitif (r = 0,17 p = 0,026), tetapi tidak ada hubungan signifikan antara asupan vitamin C dengan fungsi kognitif (r = 0,19 p = 0,15) atau antara asupan vitamin E dengan fungsi kognitif (r = 0,04, p = 0.72) pada penelitian ini. Kesimpulan, tidak terdapat hubungan antara kadar vitamin E serum dengan fungsi kognitif.

Oxidative stress increases during ageing, is considered as a major contributor to neuro-degeneration and neuronal loss, and is a primary factor in the pathology of both Alzheimer’s disease and age-related cognitive decline. Vitamin E has been the main focus of investigation in studies of cognitive impairment and alzheimer’s disease during aging as a potent antioxidant.
A cross-sectional study of an elderly population in Cikoko Regency in December 2014 was conducted to evaluate the association between serum vitamin E levels and cognitive function in elderly. Correlation between intakes of vitamin C and E as well as Body Mass Index to the MoCA-Ina scores were also investigated. Fifty four elderly were included in the study and interviewed for their vitamins intake using a Food Frequency Questionnaires (FFQ). Cognitive function was examined by Montreal Cognitive Assessment Indonesian version (MoCA-Ina). Levels of vitamin E serum were assessed by high performance liquid chromatography. Data were analyzed by using the Mann-Whitney and Chi-square test. The majority of the subjects were female (75.9%) with median age 65 years old. While, the median levels of vitamin E was 21.55 μmol/L.
The result of this study showed that there was no association between vitamin E level and MoCA-Ina scores. Although normal weight to obese I was significantly associated with cognitive scores (r = 0,17 p = 0.026), no significant correlation between vitamin C intake and cognitive function scores (r = 0.19 p = 0.15) or between vitamin E intake and MoCA-Ina scores were found in this study (r = 0.04, p = 0.72). In conclusion, there is no association between vitamin E serum and cognitive function.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58681
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasibuan, Zuainah Saswati
"Serat asbes yang terinhalasi masuk ke dalam alveolus menyebabkan terjadinya peningkatan produksi reactive oxigen spesies (ROS) yang dapat memicu terjadinya reaksi inflamasi. Interleukin 6 merupakan penanda reaksi inflamasi akibat pajanan serat asbes. Vitamin C dan E merupakan antioksidan yang bekerja sebagai scavenger ROS. Vitamin C juga dapat menghambat aktivitas faktor transkripsi NFқB. Vitamin E selain dapat menghambat aktivitas faktor transkripsi JAK/STAT3 dan NFқB, juga dapat menghambat aktivitas COX2 dan LOX5.
Penelitian potong lintang di sekretariat serikat buruh pabrik asbes X Kabupaten Karawang bulan Oktober 2014 dilakukan untuk menilai korelasi asupan vitamin C, E dengan kadar interleukin 6 pada pekerja pabrik asbes. Lima puluh dua pekerja pabrik asbes berhasil menyelesaikan protokol penelitian. Hasilnya menunjukkan tidak terdapat korelasi bermakna (p >0,05) antara asupan vitamin C dengan kadar IL-6 dan antara asupan vitamin E dengan kadar IL-6. Terdapat korelasi positif antara kadar vitamin C dengan kadar IL-6 (r = 0,31) dengan p <0,05, namun tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin E dengan kadar IL-6.

Asbestos fibers that are inhaled into the alveoli cause increased production of reactive oxygen species (ROS) which may trigger inflammation reaction. Interleukin 6 (IL-6) is a marker of inflammation reaction caused by asbestos fibers exposure. Vitamin C and vitamin E are antioxidants acting as ROS scavengers. Vitamin C can also inhibit the activity of transcription factor NFқB. Vitamin E can inhibit the activities of transcription factors JAK/STAT3 and NFқB as well as the activities of COX2 and LOX5.
A cross-sectional sudy at a labor union secretariat in Karawang Regency in October 2014 was conducted to evaluate the correlations between intakes and levels of vitamin C and vitamin E and level of IL-6 in asbestos factory workers. Fifty two asbestos factory workers finished the study. The result showed no significant correlation between vitamin C intake and IL-6 level or between vitamin E intake and IL-6 level. There was a moderate positive correlation between vitamin C level and IL-6 level (r = 0.31, p <0.05), but there was no correlation between vitamin E level and IL-6 level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Audrey Haryanto
"Prevalensi penyakit kardiovaskuler (PKV) meningkat seiring dengan proses penuaan. Aterosklerosis yang menyebabkan terjadinya inflamasi dan diikuti peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Vitamin D merupakan vitamin yang memiliki efek antiinflamasi dan dapat menurunkan kadar hsCRP. Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain potong lintang yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar vitamin D dengan kadar hsCRP pada usia lanjut (usila). Penelitian dilakukan di Pusat Santunan Keluarga (Pusaka) 12 di Tomang dan Pusaka 39 di Senen pada pertengahan bulan Desember 2012 sampai bulan Januari 2013. Pengambilan subyek dilakukan dengan cara cluster random sampling, dan didapatkan 71 orang subyek yang memenuhi kriteria penelitian. Data dikumpulkan melalui wawancara meliputi data usia, asupan vitamin D dengan metode Food Frequency Questionnaire (FFQ) semikuantitatif serta total skor pajanan sinar matahari mingguan. Pengukuran antropometri untuk menilai status gizi dan pemeriksaan laboratorium yang meliputi kadar vitamin D dan hsCRP. Didapatkan median usia 69 (60-85) tahun dan 80,3% subyek adalah perempuan. Malnutrisi terdapat pada 71,8 % subyek. Asupan vitamin D menunjukkan 98,6% subyek memiliki asupan vitamin D kurang dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) Indonesia. Sebanyak 97,2% subyek memiliki skor pajanan sinar matahari rendah. Nilai rerata kadar vitamin D 38,02±12,94 nmol/L dan 78% subyek tergolong defisiensi vitamin D. Nilai median kadar hsCRP 1,5 (0,1-49,6) mg/L, dan 67,6% subyek tergolong risiko PKV sedang dan tinggi. Didapatkan korelasi positif tidak bermakna antara kadar vitamin D serum dengan kadar hsCRP pada usila (r=0,168, p=0,162).

The prevalence of cardiovascular disease (CVD) increases in the elderly. Atherosclerosis is a major cause of CVD which stimulate inflammation and followed by increase production of C-reactive protein (CRP). Vitamin D is a vitamin which has anti-inflammatory effects and may reduce level of hsCRP. The aim of this cross sectional study was to find the correlation between serum vitamin D level and hsCRP in elderly. Data collection was conducted during December 2012 to January 2013 on 2 selected Pusaka, Pusaka 12 (Tomang) and Pusaka 39 (Senen). Subjects were obtained using cluster random sampling method. A total of 71 elderly subjects had met the study criteria. Data were collected through interviews including age, vitamin D intake and weekly score of sunlight exposure. Anthropometry measurements to assess the nutritional status and laboratory examination i.e blood levels of vitamin D and hsCRP. Majority of the subjects were female (80,3%), median age was 69 (60-85) years. Malnutrition was occured in 71.8% of the subjects. Intake of vitamin D showed 98.6% of the subjects were less than recommended dietary allowances (RDA). Majority of the subjects had low score of sunlight exposure (97,2%). Mean of vitamin D levels 38,02±12,94 nmol/L, while 78% the of subjects were categorized as vitamin D deficiency. Median of hsCRP levels 1,5 (0,1-49,6) mg/L, while 67,6% subjects were at moderate and high risk of CVD. No significant correlation was found between serum vitamin D levels and hsCRP levels (r=0,168, p=0,162).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusi Deviana Nawawi
"Usia lanjut berisiko tinggi mengalami defisiensi vitamin D, sedangkan vitamin D memiliki efek protektif terhadap massa otot. Penurunan massa otot dan fungsinya disebut dengan sarkopenia. Prevalensi sarkopenia sangat tinggi pada usia lanjut yang tinggal di panti wreda, kondisi ini disebabkan gaya hidup sedentari pada penghuni panti wreda. Deteksi dini sarkopenia dapat dilakukan dengan mengukur fungsi otot, salah satunya adalah mengukur performa fisik dengan tes short physical performance battery (SPPB). Penelitian potong lintang ini bertujuan untuk melihat korelasi antara kadar vitamin D serum dengan performa fisik pada usia lanjut di lima panti wreda yang terdaftar di Kota Tangerang Selatan. Pengambilan subjek dilakukan dengan cara proportional random sampling, didapatkan 100 usila yang memenuhi kriteria penelitian. Pemeriksaan kadar vitamin D menggunakan kadar kalsidiol serum dengan metode chemiluminescence immunoassay (CLIA). Pemeriksaan massa otot menggunakan bioelectric impedance analysis Tanita SC-330. Analisis korelasi menggunakan uji nonparametrik. Didapatkan nilai tengah usia subjek adalah 74,89 tahun dan 72% subjek adalah perempuan. Terdapat  85% subjek memiliki asupan vitamin D yang kurang dan  94% subjek memiliki skor pajanan sinar matahari yang rendah, serta seluruh subjek masih memiliki massa otot yang normal. Nilai tengah kadar vitamin D serum  adalah 15,50(4-32) ng/mL, dengan 72% subjek mengalami defisiensi vitamin D. Nilai tengah performa fisik adalah 9(3-12) dan sebanyak 47% subjek mengalami performa fisik yang buruk. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin D serum dengan performa fisik pada usia lanjut di panti wreda (r=0,130; p=0,196).

Elderly individuals have a risk of vitamin D deficiency, whereas vitamin D has a protective effect on muscle mass. Decrease in muscle mass and function is called sarcopenia. The prevalence of sarcopenia is very high in the elderly who live in nursing homes, this condition is due to the sedentary lifestyle. Early detection of sarcopenia can be done by measuring physical performance with short physical performance battery (SPPB) test. This cross-sectional study aimed to explore the correlation between vitamin D serum levels with physical performance among elderly individuals in five nursing homes registered in South Tangerang. A hundred subjects who fulfilled study criteria gathered using proportional random sampling method. Examination of vitamin D levels using calcidiol serum with the chemiluminescence immunoassay (CLIA) method. Muscle mass was measured using bioelectric impedance analysis Tanita type SC-330. Nonparametric correlation was used for correlation analysis. Median age of subjects was 74.89 years old and 72% were female. Eighty-five percent of subjects had low vitamin D intake, 94% of subjects had low sun exposure score, and all subjects had normal muscle mass. Mean level of vitamin D serum was 15.50 (4-32) ng/mL, with 72% of subjects had vitamin D deficiency. Mean score of physical performance was 9(3-12) and 47% of subjects had low physical performance. This study showed that there was no correlation found between vitamin D serum levels with physical performance among elderly individuals in nursing homes (r=0.130; p=0.196)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58914
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Sarah Mutiara
"Proses penuaan mengakibatkan perubahan fisiologis yang terkait dengan masalah kesehatan pada orang usia lanjut (usila). Penyakit degeneratif merupakan faktor risiko terjadinya gangguan kognitif pada orang usila. Terbentuknya akumulasi amyloid β (Aβ) merupakan hal utama terjadinya gangguan kognitif. Mineral seng memiliki peran penting sebagai antioksidan dan proses akumulasi Aβ. Penelitian ini dilakukan dengan desain potong lintang pada 58 orang usila di Kelurahan Kartini yang dilaksanakan pada bulan Januari 2019 untuk mengetahui korelasi kadar seng rambut dengan fungsi kognitif pada populasi usila. Pemeriksaan kadar seng rambut dengan inductively coupled plasma spectrometer (ICPS) dan fungsi kognitif dinilai dengan instrumen abbreviated mental test (AMT). Data dianalisis dengan menggunakan uji korelasi. Rerata usia subjek 65,4 ± 4,4 tahun. Nilai median asupan seng sebesar 5,65 (3,2-13,3) mg/hari. Rerata kadar seng rambut sebesar 123,23 ± 69,71 µg/gram rambut. Sebagian besar memiliki fungsi kognitif normal (91,4%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi asupan seng dengan kadar seng rambut (p=0,349 ; r= -0,125) serta tidak ditemukan adanya korelasi kadar seng rambut dengan fungsi kognitif pada populasi usila (p=0,871 ; r= -0,022). Kesimpulan penelitian ini adalah tidak terdapat korelasi antara kadar seng rambut dengan fungsi kognitif pada populasi usila.

Aging process cause physiological changes related to health problems in elderly. Degenerative diseases are the risk factor for cognitive impairment in elderly. Amyloid β (Aβ) accumulation is the major cause of cognitive impairment. Zinc has an important role in antioxidant and Aβ accumulation process. A cross sectional study of 58 elderly subjects was done at Kartini Regency in January 2019 to evaluate the correlation between hair zinc level and cognitive function in elderly population. Hair zinc level was measured by inductively coupled plasma spectrometer (ICPS) and cognitive function assessed by abbreviated mental test (AMT). Data analysis was done by correlation test. The mean age was 65.4 ± 4.4 years. The median value of zinc intake was 5.65 (3.2 - 13.3) mg/day. The mean hair zinc level was 123.23 ± 69.71 µg/gram hairs. Almost all subjects had normal cognitive function (91.4%). The results of this study indicate that there was no correlation between zinc intake and hair zinc level (p=0.349 ; r= -0.125) and there was no correlation between hair zinc level and cognitive function in elderly population (p=0.871 ; r= -0.022). In conclusion, there was no correlation hair zinc level and cognitive function in elderly population. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vera
"Prevalensi defisiensi vitamin D pada wanita 50 tahun ke atas di Indonesia cukup tinggi namun pemeriksaan kadar vitamin D serum sangat mahal. Oleh karena itu, diperlukan alat penyaring defisiensi vitamin D yang cukup ekonomis dan sederhana untuk dikerjakan di layanan kesehatan primer. Penelitian ini menemukan hubungan yang bermakna secara statistik antara diabetes mellitus, skor proteksi matahari, kelemahan otot ekstremitas bawah dengan defisiensi vitamin D. Berdasarkan ketiga determinan tersebut, dapat dibuat sistem skoring yang dapat digunakan untuk menyaring kelompok wanita 50 tahun ke atas yang mempunyai probabilitas besar menderita defisiensi vitamin D.

Prevalence of vitamin D deficiency in Indonesian women aged above 50 years is quite high, but serum vitamin D laboratory examination is very expensive. Therefore, simple and economic screening tool of vitamin D deficiency is required in the primary care setting. This research found a statistically significant correlation between diabetes mellitus, sun protection score, and weakness of lower extremity, with vitamin D deficiency. Based on these three determinants, a scoring system can be created to identify women aged above 50 years with high probability of having vitamin D deficiency.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harefa, Tetty Ernawati
"Tujuan: Mengetahui kadar vitamin E plasma, malondialdehida plasma dan kebiasaan merokok pekerja laki-laki. Hasilnya diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu dasar memperbaiki pola hidup untuk menurunkan risiko aterosklerosis pada perokok dan bukan perokok.
Tempat: PT. Nasional Gobel - Bogor Jawa Barat.
Metodologi: Penelitian dengan desain cross sectional pada 115 pekerja laki-laki, yang merokok dan tidak merokok, berusia 20-55 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan, dan terpilih secara simple random sampling, menggunakan tabel bilangan acak. Data yang dikumpulkan meliputi : umur, pendidikan, penghasilan, IMT, persentase lemak tubuh, asupan lemak, asupan serat, asupan vitamin E, kadar vitamin E plasma dan MDA plasma.
Hasil: Median kadar vitamin E plasma subyek yang tidak merokok [24,76 (I8,89-50,61) μmol/L] lebih tinggi dari subyek yang merokok [23,80 (12,25-38,14) μunol/L]. Median kadar MDA plasma subyek yang tidak merokok [0,61 (0,22-4,75) nmol/mL] lebih rendah dari subyek yang merokok [0,68 (0,32-3,01) nmol/mL]. Tidak didapat hubungan yang bermakna (p > 0,05) antara asupan vitamin E, kadar vitamin E plasma, kadar MDA plasma dengan kebiasaan merokok. Terdapat korelasi positif yang bermakna (p < 0,05) antara IMT (r = 0,28), persentase massa lemak tubuh (r = 0,25) dengan kadar vitamin E plasma. Didapatkan korelasi negatif yang sangat lemah (r = -0,11) antara kadar vitamin E dengan MDA plasma pada subyek penelitian yang tidak merokok dan pada subyek yang merokok hampir tidak didapat korelasi (r = -0,07) dan tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Didapatkan korelasi yang bermakna antara kadar vitamin E plasma dengan kadar MDA plasma pada pekerja laki-laki yang tidak merokok dan yang merokok.

Objective: To study plasma vitamin E concentration, MDA concentration and smoking habit male workers. The results are expected to be used as one of the basis to enhance life pattern, and to decrease the risk of atherosclerosis.
Place: PT. National Gabel Bogor, West Java.
Method: A cross sectional study was carried out among 115 male smoking workers and non smoking workers, age 20-55 years old, who fulfilled the inclusion and exclusion criteria selected by simple random sampling using random table. Data collection consist of age, education, income, body mass index, fat mass percentage, fat intake, vitamin E intake, plasma vitamin E and MDA concentrations.
Results: Median of plasma vitamin E concentration among non smokers was higher [24,76(18,89-50,61) μmol/L] than smokers [23,80(12,25-38,14) μmol/L]. While median of plasma MDA concentration among non smokers [0,61(0,22-4,75) μmol/L] was lower than smokers [0,68(0,32-3,01) μmol/mL]. There were no significant relationship (p>0,05) between vitamin E intake, plasma vitamin E concentration, plasma MDA concentration and smoking. There were significant (p<0,05) positive correlation between body mass index (r=0,28), fat mass percentage (r=0,25) and plasma vitamin E concentration. Weak negative correlation was found between plasma vitamin E and MDA concentration.
Conclusions: There was weak negative correlation but not significant between plasma vitamin E and MDA concentration in smoking workers.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13614
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairunnisak
"Penyakit paru obstruksi kronis PPOK merupakan penyebab kematian ketiga di dunia dengan prevalensi 5,6 di Indonesia. Penderita PPOK berisiko mengalami eksaserbasi yang dicetuskan oleh inflamasi dan/atau stres oksidatif. Stres oksidatif akan mempengaruhi status antioksidan di dalam tubuh termasuk vitamin E. Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi antara kadar vitamin E serum dan kekerapan eksaserbasi pada penderita PPOK. Penelitian potong lintang ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan pada bulan April-Agustus 2016, melibatkan 47 penderita PPOK. Asupan vitamin E dinilai dengan food frequency questionnaire FFQ semikuantitatif, kekerapan eksaserbasi didapatkan dari wawancara dan/atau rekam medis, kadar vitamin E serum ditentukan mengunakan high performance liquid chromatography HPLC . Rerata asupan vitamin E subjek adalah 5,8 2,9 mg/hari, di bawah Angka Kecukupan Gizi. Nilai median kadar vitamin E serum 10,8 3,0 ? 14,8 ?mol/L, dan kekerapan eksaserbasi 2 0 ? 9 kali/tahun. Tidak didapatkan korelasi bermakna antara kadar vitamin E serum dan kekerapan eksaserbasi.

Chronic obstructive pulmonary disease COPD is the third leading cause of death in the world with a prevalence of 5.6 in Indonesia. COPD patients were at risk of exacerbations which may be triggered by inflammation and or oxidative stress. Oxidative stress will affect the antioxidant status, including vitamin E. The aim of this study was to investigate a correlation between serum vitamin E concentration and exacerbation frequency of COPD. This cross sectional study was conducted at Persahabatan General Hospital from April to August 2016, involving 47 COPD patients. Vitamin E intake was assessed using semi quantitative food frequency questionnaire FFQ , exacerbation frequency was obtained by interview and or medical records, serum vitamin E concentration was determined using high performance liquid chromatography HPLC . Subjects rsquo mean vitamin E intake was 5.8 2.9 mg day, which did not meet Recommended Dietary Allowance. Median serum vitamin E concentration was 10.8 3.0 14.8 mol L, and exacerbation frequency was 2 0 9 times year. There was no significant correlation between serum vitamin E concentration and exacerbation frequency. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58639
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gracia Jovita Kartiko
"Latar Belakang: Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan penyakit metabolik kronik progresif dengan sebagian besar populasi berada pada usia produktif. Di Indonesia, capaian kendali glikemik yang optimal hanya didapatkan pada 20-30% pasien. Hal ini meningkatkan risiko komplikasi muskuloskeletal seperti sarkopenia yang sudah mulai terjadi sejak usia 20 tahun. Vitamin D merupakan salah satu suplementasi nutrisi yang direkomendasikan dalam tata laksana sarkopenia.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara vitamin D dengan sarkopenia pada populasi DM tipe 2 usia dewasa nongeriatri.
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan populasi DM tipe 2 berusia 18-59 tahun yang berobat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Indonesia pada bulan Januari 2021 sampai dengan April 2022. Dilakukan pengukuran massa otot dengan bioimpedance analysis (BIA), kekuatan genggam tangan, kecepatan berjalan, antropometri, serta kadar HbA1c dan vitamin D serum. Titik potong vitamin D ditentukan berdasarkan kurva receiver-operating characteristic (ROC).
Hasil: Dari 99 subjek, 38,4% mengalami sarkopenia, yang terdiri dari 94,7% possible sarcopenia dan 5,3% true sarcopenia. Kadar vitamin D di bawah 32 ng/mL didapatkan pada 78,9% kelompok sarkopenia. Berdasarkan analisis multivariat, prevalensi sarkopenia pada populasi DM tipe 2 dengan defisiensi vitamin D didapatkan 1,94 kali lebih tinggi (p=0,043) dibandingkan dengan populasi DM tipe 2 tanpa defisiensi vitamin D, setelah dilakukan penyesuaian dengan usia, jenis kelamin, HbA1c, dan obesitas.
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar vitamin D dengan sarkopenia pada populasi DM tipe 2 usia dewasa nongeriatri, setelah penyesuaian dengan faktor usia, jenis kelamin, HbA1c, dan obesitas.

Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a chronic progressive metabolic disease with most of the population being at productive age. In Indonesia, optimal glycemic control is only achieved in 20-30% of patients which increases the risk of musculoskeletal complications such as sarcopenia. Sarcopenia has been known to develop since the age of 20. Vitamin D is one of the recommended nutritional supplementations in the management of sarcopenia.
Aim: We aimed to determine the association between serum vitamin D and sarcopenia in nongeriatric adults with T2DM.
Methods: This cross-sectional study involved 18-59 years old T2DM outpatients in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia between January 2021 and April 2022. We performed muscle mass measurement using bioimpedance analysis (BIA), handgrip strength, gait speed, anthropometrics, as well as serum vitamin D and HbA1c levels. The cut-off Vitamin D level was determined using receiver-operating characteristic (ROC) curve.
Results: A total of 99 subjects were analyzed of which 38.4% had sarcopenia. The proportion of possible sarcopenia was 94.7% and true sarcopenia 5.3%. Vitamin D level below 32 ng/mL was found in 78.9% of the sarcopenia group. Based on multivariate analysis, the prevalence of sarcopenia in the T2DM population with vitamin D deficiency was found to be 1.94 times higher (p=0.043) compared to the T2DM population without vitamin D deficiency, after adjusting for age, sex, HbA1c, and obesity.
Conclusion: There is a significant relationship between vitamin D levels and sarcopenia in nongeriatric adults with T2DM, after adjusting for age, sex, HbA1c, and obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Tania Budianti
"ABSTRAK
Fungsi kognitif pada lansia mengalami penurunan seiring bertambahnya usia. Dukungan keluarga yang optimal menjadi salah satu cara yang dapat diberikan keluarga kepada lansia untuk mempertahankan fungsi kognitif lansia tetap berfungsi dengan baik dan meminimalisir kejadian gangguan fungsi kognitif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan fungsi kognitif pada lanjut usia di RW 05 Kelurahan Jatipadang. Jenis penelitian ini berupa deskriptif korelasional dengan desain penelitian cross sectional. Penelitian ini melibatkan 107 lansia yang dipilih dengan cara teknik simple random sampling. Dukungan keluarga diukur dengan kuisioner yang dibuat oleh peneliti sesuai dengan penelusuran literatur. Sedangkan, fungsi kognitif lansia diukur dengan menggunakan instrumen Mini Mental State Examination (MMSE). Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara dukungan keluarga dengan fungsi kognitif lansia, p value sebesar 0,001 (p value ≤ 0,05). Penelitian ini merekomendasikan kepada praktisi dan kader kesehatan untuk menyarankan kepada keluarga di wilayah binaannya untuk tetap memberikan dukungan yang positif kepada lansia.

ABSTRACT
Cognitive function of older adult is decreasing by age. Optimal family support is one of the family effort to defend elder?s cognitive function and minimize the disruption. This research aimed to identify the correlation between family support and older adult cognitive function in RW 05, Jatipadang. The design study of was cross sectional design. This research involved 107 older adults and families, who was selected by simple random sampling technique. The family support measured by questionnaire made by researcher based on literature, while the cognitive function measured by basic instrument Mini Mental State Examination (MMSE). The result shows that there is correlation between family support and older adult cognitive function (p value = 0,001, α ≤ 0,05). Health practicioners are recommended to encourage the family, especially to give positive support to older adult."
2016
S62961
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>