Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 195136 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nyawung Tyas Sesotyo Febriyanti
"Penerbang pesawat tempur terpajan oleh bising yang sangat tinggi dan beresiko terjadinya Noise Induced Hearing Loss (NIHL) atau Tuli Akibat Bising. NIHL merupakan interaksi yang kompleks antara lingkungan dan faktor intrinsik pada penerbang sendiri. Saat ini belum banyak dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya NIHL pada penerbang pesawat militer. Tujuan dari penelitian case control ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi NIHL pada penerbang pesawat tempur. Penelitian ini melibatkan 60 penerbang yang menderita NIHL sebagai kasus dan 60 penerbang yang tidak menderita NIHL diikutsertakan dalam kontrol yang melakukan pemeriksaan fisik di Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (LAKESPRA) Saryanto tahun 2010-2014. Data yang diperoleh dari data rekam medis yaitu usia, masa kerja, tekanan darah, kadar kolesterol total dan kadar gula darah. Pada model akhir terlihat bahwa NIHL berkaitan dengan kadar gula darah dan kadar kolesterol. subyek dengan kadar gula darah lebih dari 200 mg/dl mempunyai resiko 4,23 kali lipat terjadinya NIHL [Odds Rasio (OR) = 4,23; 95% interval kepercayaan1,266-14,137; p=0,009] dan subyek dengan kadar kolesterol lebih dari 200 mg/dl mempunyai resiko 2,83 kali lipat terjadinya NIHL [(OR) =2,83; 95% interval kepercayaan 1,313-6.134; p=0,008]. Dari data tersebut disimpulkan bahwa kadar gula darah dan kadar koleseterol yang tinggi dapat meningkatkan resiko terjadinya NIHL.

Military aircraft pilots exposed to high intensity and had increased to be noise-Iinduced hearing loss (NIHL). NIHL is a complex condition infuenced by environmental and intrinsic factor. Currently there was a few research about the factors that affected NIHL. It is beneficiary to study several risk related NIHL. This study was a case-control. Case was a military pilot who diagnosed NIHL. A case was matched by one controlwho free from NIHL. Data was extracted from available medical records who performed medical check up during 2010 through 2014 at Saryanto Institute for Aviation and Aerospace Medicine (Lakespra) Jakarta. There were 120 medical record available for this study. 60 cases and 60 control were identified. The final model reveals that NIHL was related to glucose level and total cholesterol level. Those who had fasting glucose level 126 mg/dl or high had a increased to be NIHL 4,23times [Odds Ratio (ORa)= 4,23; 95% Convidence Interval (CI)1,266-14,137;p=0,009] and subject with total cholesterol level 200 mg/dl or high had increased to be NIHL 2,83 .times [(OR)=2,83; 95% CI 1,313-6.134; p=0,008]. Conclusion : increased glucose level and cholesterol level had a increased to be NIHL.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
S61267
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widiananta
"Latar Belakang: Penerbang militer berisiko mengalami hipoksia selama melaksanakan tugas terbang oleh karena penurunan tekanan parsial oksigen (O2) yang terjadi seiring pesawat mencapai ketinggian. Tubuh beradaptasi terhadap hipoksia dengan berbagai mekanisme seperti menjaga kestabilan kadar hypoxia inducible factor (HIF) dan merangsang pelepasan heat shock protein (HSP) untuk menjaga kondisi homeostasis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respons tubuh terhadap kondisi hipoksia hipobarik dikaitkan dengan kadar HIF-1α dan HSP 70 serum pada penerbang militer yang melaksanakan uji latih hipoksia di Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra) dr. Saryanto.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan pendekatan one group pretest-posttest design yang dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2023. Subjek penelitian adalah penerbang militer aktif yang terjadwal melaksanakan uji latih hipoksia, memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi serta bersedia menandatangani informed consent. Oksigenasi diberikan setelah pajanan hipoksia sebagai bagian dari prosedur latihan. Pengambilan darah diambil sebelum dan sesudah uji latih hipoksia selanjutnya diperiksa dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA).
Hasil: Sebanyak 31 orang penerbang militer diikutsertakan dalam penelitian ini dengan rincian 13 (41,9 %) penerbang pesawat angkut, 7 (22,6%) penerbang pesawat helikopter, 6 (19,4%) penerbang pesawat tempur dan 5 (16,1%) penerbang pesawat tanpa awak. Analisis dengan uji t berpasangan mengungkapkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0,910) antara kadar HSP 70 serum sebelum (5,59 (1,88- 20,17) ng/dl) dan sesudah (5,59 (1,88-20,17) ng/dl) uji latih hipoksia. Analisis dengan uji Wilcoxon mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna (p = 0,008) antara HIF-1α serum sebelum (534,03±261,48 pg/dl) dan sesudah (465,48±209,83 pg/dl) uji latih hipoksia.
Kesimpulan: Uji latih hipoksia tidak memengaruhi kadar HSP 70 serum pada penerbang militer. Terdapat penurunan kadar HIF-1α serum yang bermakna pada penerbang militer setelah melaksanakan uji latih hipoksia.

Background: Military pilots are at risk of experiencing hypoxia during flight duties due to the decrease in oxygen partial pressure that occurs as the aircraft reaches altitude. The body adapts to hypoxia through various mechanisms, such as stabilizing the levels of hypoxia inducible factor (HIF) and stimulating heat shock protein (HSP) release to maintain homeostasis. This study aims to determine physiological response to hypobaric hypoxia conditions in relation to serum HIF-1α and HSP 70 levels in military pilots who carry out hypoxia training tests at Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (Lakespra) dr. Saryanto.
Methods: This research is an experimental study with a one group pretest-posttest design conducted from May to July 2023. The research subjects were active military pilots who were scheduled to carry out hypoxia training tests, met the inclusion and exclusion criteria and were willing to sign informed consent. Oxygenation is administered after hypoxic exposure as part of the training procedure. Blood samples were taken before and after the hypoxia training test and then examined using the enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) method.
Result : A total of 31 military pilots were included in this study, consist of 13 (41.9%) transport aircraft pilots, 7 (22.6%) helicopter pilots, 6 (19.4%) fighter aircraft pilots and 5 (16.1%) unmanned aircraft pilot. Paired t test revealed that there was no significant difference (p = 0.910) between serum HSP 70 levels before (5.59 (1.88-20.17) ng/dl) and after (5.59 (1.88 -20.17) ng/dl) hypoxia training test. Data analysis using the Wilcoxon test revealed that there was a significant difference (p = 0.008) between serum HIF-1α before (534.03 ± 261.48 pg/dl) and after (465.48 ± 209.83 pg/dl) hypoxia training test.
Conclusion: Hypoxia training test did not affect serum HSP 70 levels in military pilots. There was a significant decline in serum HIF-1α levels in military pilots after performing hypoxia training test.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Azuarsjah
"Pada tangga! 27 Oktober 1945 di Maguwo Yogyakarta telah dilakukan pcrcoba an terbang dengan inenggunakan pesawaL Curen buatan Jepang tahun 193.3, yang diterbangkan oleh A. Adisuciplo dan pada tanggal 7 Nopember 1945 di Cibeureum Tasikmalaya juga diterbangkan pesawat Nisyikoren oleh A.Adisucipto. (Cedua percobaan terbang itu berhasil dilakukan dengan baik. Pesawat tersebut adalah rampasan pemnggalan Jepang yang serba rongsokan, berhasil diperbaiki lagi. Dengan telah berhasil diterbangkannya pesawat-pesa wat peninggalan Jepang, timbullah persoalan baru untuk segera ditangani ialah pendidikan calon-calon pcnerbang.
Dalam masa penjajahan Belanda, bidang penerbangan di Indonesia lianya dikuasai oleh tenaga-tenaga Bangsa Belanda saja. Sewaktu perang dunia ke 2 dengan rnakin mendesaknya ancaman serbuan fihak Jepang, maka Belanda mulai merasakan sekafi akan adanya kekurangan tenaga-tenaga penerbang terlatih, kemudian dibukalah kesempatan bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk dididik menjadi penerbang dan inipun terbatas sekali jumlahnya. Baru beberapa orang saja berhasil memperoteh brevet penerbang antara lain : A.Adisucipto, Sambujo Hurip, Husein Sastranegara , Mantiri, Abdurachman Saleh, Iswahyudi, Suharnoko Harbani, dan Sutarjo Sigit.
Semasa pendudukan Jepang tidak seorangpun bangsa Indonesia yang pernah mendapat didikan untuk nienjadi calon penerbang. Sekolah penerbang di Maguwo inilah dikemudian hari secara formil merupakan perinlisan menuju pembentukan AAU( Akademi Angkatan Udara ) dan API ( Akademi Penerbang Indonesia ). Sejak akbir bulan Desember 1945 di lapangan udara Maguwo Adisuciplo Yogyakarta telah dimulai perintisan peiididikan calon-calon penerbang. menjadi penerbang. Hal itu dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dan pengelolaan sumber daya manusia baik secara kualitatif maupun kuantitatif . Sampai saat ini telah banyak penerbang-penerbang yang dihasilkannya. Namun pada enam hiliun terakhlr ini , lepatnya pada tahun 1994 sainpai dengan tahun 1999 sasaran penerbang yang ingin dicapai sebanyak 55 orang penerbang tiap tahun tidak lerpenuhi karena outputnya kurang, yaitu hanya 51 orang penerbang atau hanya 92,72 % . Supaya sasaran penerbang terpenuhi maka jumlah sasaran sernula dari 55 orang penerbang diturunkan mcnjadi 35 orang, supaya outputnya mencapai 100 % , ini telah dimulai sasarannya pada tahun 1999, hasil penelitian tangga! 16 Nopember 1999 ( data Mabesau 1999 ) menunjukkan outputnya adalah 48 orang penerbang, dari AAU - 35 dan PSDP ( Prajurit Sukarela Dinas Pendek ) - 13 atau 137,14 % . Data terakhir ini menunjukkan terpenuhi sasaran penerbang sebanyak 35 orang liap tahun sehingga kebijaksanaan tersebut dapat diteruskan, dengan melalui pclalihan atau sekolah penerbang TNI AU dan menerima masukan dari AAU dan PSDP atau SMU ( Sekolah Mcnengah Urnurn ). Sedangkan pesawat yang digunakan adalah pcsawat latih dasar, latih lanjut, dan latih Iransisi, yaitu untuk lulusan AAU latih dasarnya menggunakan pesawat AS-202 Bravo ( praktek terbang ) dengan 11 exercises , jam terbang yang dipakai sebanyak 61.30 jam. Latih lanjut menggunakan pesawat T-34C-1 Charli dengan 17 exercises , jam terbangnya sebanyak 118.40 jam. Latih transisi menggunakan pesawat MK-53 HS Hawk dengan 12 exercises, jam terbangnya sebanyak 70 jam . Untuk lulusan SMU atau PSDP latih dasarnya menggunakan pesawat AS-202 Bravo dengan 13 exercises, jam terbangnya sebanyak 80,00 jam dan latih lanjut jumsan transport menggunakan pesawat T-34C-1 Charli dengan 14 exercises, jam terbangnya 100.00 jam. Latih lanjut jurusan helikopter menggunakan pesawat Bell 47 G Soloy dengan 33 exercises, jam terbangnya 100.00 jam.
Untuk mewujudkan sumber daya manusia atau penerbang dalam jumlah, kualitas, dan kecakapan yang diperlukan oleh suatu sistem pelatihan dan pendayagunaannya yang semestinya bagi kepentingan pelatihan atau organisasi yaitu melalui tipaya penyediaan, pendidikan / pelatihan, penggunaan, perawatan, dan pemisahan, sehingga tugas-tugas yang ada atau tersedia dalam suatu organisasi tersebut dapat dllaksanakan dengan baik. Adapun pembinaan atau pelatihan penerbang pada kenyataannya rnerupakan suatu proses perumusan untuk merencanakan dan menentukan kebutuhan tenaga penerbang yang lepal agar tercapai pendayagunaan yang maksimal, melalui kegiatan-kegiatan pelaksanaan fungsi-fiingsi pembinaan tenaga."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T202
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
New York: F. Watts, 1961
629.131 EAR (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Franks, Norman L.R.
London: William Kimber, 1980
940.54 FRA w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Fatimah
"Kebisingan merupakan salah satu polutan dan hasil samping pemanfaatan teknologi. Menurut Permenkes no. 718 tahun 1987, kebisingan diartikan sebagai bunyi yang tidak dikehendaki dan dapat mengganggu atau membahayakan kesehatan, yang bersumber dari industri dan transportasi/lalu lintas. Ketika tingkat kebisingan di suatu lokasi kerja sudah melampaui ambang batas yang dipersyaratkan berdasarkan SNI 2004, maka penanganan terhadap sumber maupun titik-titik penjalarannya perlu dilakukan.
Tujuan penelitian ini untuk diketahuinya adanya hubungan intensitas kebisingan di tempat kerja dengan NIHL pada karyawan di bagian produksi PT. SCTI. Populasi penelitian ini meliputi karyawan di PT. SCTI, dan sebagai sampel yaitu karyawan yang bekerja di bagian produksi PT. SCTI dengan masa kerja ≥ 3 tahun dan berumur < 40 tahun berjumlah 105 responden, sampel diambil secara Stratified Random Sampling (SRS). Rancangan desain studi yaitu cross sectional. Data diambil dengan 2 (dua) cara yaitu melakukan pengukuran dan wawancara dengan kuesioner. Analisa data pada penelitian ini menggunakan program analisis yang ada di FKM UI.
Hasil penelitian diperoleh, rata-rata intensitas kebisingan di lingkungan kerja adalah 96,0 dB (A) dengan intensitas terendah 78,2 dB (A) dan tertinggi 98,4 dB (A). Sedangkan rata-rata lama pajanan kebisingan per hari responden di Departemen Spinning dan Weaving adalah 10 menit sampai dengan 3,5 jam. Hasil audiogram menunjukkan, responden paling banyak tidak menderita NIHL yaitu 82 orang (781%) sedangkan yang menderita NIHL ada 23 orang (21,9%).
Berdasarkan analisis hubungan antara intensitas kebisingan di lingkungan kerja dengan NIHL didapatkan nilai p = 0,023, berarti pada alpha 5% terlihat ada hubungan yang signifikan antara intensitas kebisingan di lingkungan kerja dengan NIHL. Analisis multivariat menunjukkan, variabel yang berhubungan bermakna (signifikan) dan mempunyai pengaruh paling besar terhadap NIHL adalah variabel intensitas kebisingan, dengan Odds Ratio (OR) = 1,115. Variabel umur, jenis kelamin, memakai APT, dan merokok merupakan variabel konfonding.
Kesimpulan penelitian ini yaitu intensitas kebisingan merupakan faktor yang paling dominan dan mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap NIHL setelah dikontrol variabel umur, jenis kelamin, memakai APT, dan merokok. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu perusahaan untuk mengambil kebijakan terutama bidang kesehatan karyawan, khususnya untuk mengurangi dampak akibat dari bising di lingkungan kerja. Selain itu dapat memberikan informasi yang valid dan reliable pada Instansi program terkait, mengenai prevalensi dari NIHL pada sebagian besar karyawan pabrik tekstil.

Noise is one of pollutant and by product of technology benefit. According by decree of the health minister no. 718 in 1987, noise deciphrable as unwanted sound and can annoyed or endangered of health that source from industry and transportation. When noise levels at workplaces exceeding Threshold Limit Values (TLV) based on SNI 2004 then handling to source need to do.
Objectives of the research to find out there was relation of noise intensity at workplaces with NIHL on worker in PT. SCTI production departement. Population in the research is worker in PT. SCTI and as a sample that is worker in production departement has working life ≥ 3 year and be old < 40 tahun amount to 105 respondent, with Stratified Random Sampling (SRS) and a cross-sectional study. Data handling with two way that is measurement and direct interview using questionnaire. Data analysis in the research using analysis program at FKM UI.
Results: noise intensity average at workplaces is 96,0 dB (A), lowest intensity 78,2 dB (A) and highest 98,4 dB (A), with exposed to time weighted average is 10 minute-3,5 hour. The most respondent who is not suffer NIHL 82 person (78,1%) and suffer NIHL 23 person (21,9%). According to relationship analysis between noise intensity at workplaces with NIHL acquired p value = 0,023, mean that on 5% alpha there was significant relationship between noise intensity at workplaces with NIHL. Multivariate analysis indicating that noise intensity variable which is significant relationship and have biggest effects to NIHL (Odds Ratio (OR) = 1,115). Variable of age, sex, APT, and smoker as confounding variable.
Conclusion: noise intensity is the most dominant factor and have biggest effects to NIHL after controlable by variable of age, sex, APT, and smoker. The research result expectation can helping company to taking policy on worker health sector, particularly to reduce the effect in consequence of noise at workplaces. Beside that is can giving an information which is valid and reliable to relevant program instance about prevalence from NIHL on the most worker in textile factory.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T41315
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Suci Widyahening
"Pekerjaan sebagai pilot penerbangan sipil dipandang sebagai pekerjaan dengan tingkat stres yang sangat tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh stresor kerja dan faktor lainnya terhadap gangguan mental-emosional pilot penerbangan sipil. Penelitian dilakukan secara cross-sectional melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner khusus terhadap pilot-pilot sebuah penerbangan sipil yang sedang melakukan pemeriksaan kesehatan rutin bulan Mei - Juli 1999 di Jakarta. Lima aspek stresor kerja yang dinilai adalah kondisi kerja, aspek fisik lingkungan kerja, pengembangan karir, organisasi dan aspek hubungan interpersonal. Penilaian gangguan mental-emosional menggunakan kuesioner Symptom Checklist 90 (SCL 90). Analisis statistik menggunakan risiko relatif dengan regresi Cox dengan waktu tetap. Sebanyak 109 kuesioner dapat dianalisis dari 128 subyek yang diwawancara. Sebagian besar subjek berstatus menikah (73,4%) dan memiliki ijazah D3 (91,7%). Jumlah subyek yang berpangkat captain dan first officer hampir sama. Prevalensi gangguan mental-emosional 39,4%. Faktor-faktor yang dominan berkaitan dengan gangguan mental-emosional adalah stresor kerja dan ketegangan dalam rumah tangga. Responden dengan stresor kerja yang tinggi dibandingkan dengan yang rendah mempunyai risiko 4,6 kali mengalami gangguan mental-emosional dari pada responden dengan stresor kerja rendah [risiko relatif (RRa) = 4,64; 95% interval kepercayaan (CI) = 1,01-19,65]. Penatalaksanaan yang memadai diperlukan dalam menangani stresor kerja dan ketegangan rumah tangga yang mempengaruhi timbulnya gangguan mental-emosional. (Med J Indones 2007; 16:117-21)

Civilian airline pilots have one of the most stressful occupations. The aim of this study was to identify the effect of work stressors and other factors on mental-emotional disturbances among airline pilots. A cross-sectional study was done by interviewing selected pilots of an airline using appropriate questionnaires, during their routine medical examination from May to July 1999 in Jakarta. Five aspects of work stressor were assessed: working conditions, physical conditions of working environment, career development, organization and interpersonal relationship. Mental-emotional disturbances were determined by using the Symptom Checklist 90 (SCL 90) questionnaire. Data analysis was carried out using relative risk by Cox regression with constant time. From 128 subjects interviewed, 109 could be analyzed. Most of the subjects were married (73.4%) and college graduates (91.7%). The number of captains and first officers were almost equal. The prevalence of mental-emotional disturbances was 39.4%. Mental-emotional disturbances were significantly related to work stressors and moderately related to household tension (P = 0.184). Compared to pilots with low levels of work stressors, those with high or very high levels of work stressors had a risk of 4.6 times of mental-emotional disturbances [adjusted relative risk (RRa) = 4.64; 95% confidence interval (CI) = 1.01 ? 19.65]. Adequate guides to cope work stressors and household tension which related to mental-emotional disturbance is recommended. (Med J Indones 2007; 16:117-21)"
[Place of publication not identified]: [Publisher not identified], 2007
MJIN-16-2-AprJun2007-117
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Prijanto
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan merit system pada rekrutmen dan seleksi Bintara Polri kompetensi khusus penerbang di Polda Metro Jaya T.A. 2019 dan T.A. 2020 maupun faktor-faktor yang berpengaruh pada pelaksanaan rekrutmen dan seleksi Bintara Polri kompetensi khusus penerbang di Polda Metro Jaya T.A. 2019 dan T.A. 2020. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yakni post-positivism, sedangkan pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumen dan wawancara mendalam terhadap internal dan eksternal Polri dilanjutkan dengan analisis data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pelaksanaan rekrutmen dan seleksi Bintara Polri kompetensi khusus penerbang di Polda Metro Jaya T.A. 2019 dan T.A. 2020 sesuai dengan penerapan merit system pada proses seleksi yang mengutamakan adanya kualifikasi, sertifikat/lisensi dan tes uji kompetensi keahlian. Namun, terdapat temuan pada penelitian ini yakni belum terdapat Peraturan Kapolri yang mengatur penerapan merit system dalam proses rekrutmen dan seleksi Bintara kompetensi khusus penerbang yang berbeda dengan rekrutmen dan seleksi Bintara Polisi Tugas Umum (PTU) yang terselenggara di Polda Metro Jaya T.A. 2019 dan T.A. 2020. Faktor utama pelaksanaan rekrutmen dan seleksi Bintara Polri kompetensi khusus penerbang dapat berjalan optimal yakni adanya kebijakan dan aturan Panitia Pusat Mabes Polri apabila terdapat penyimpangan akan dilakukan proses hukum kepada peserta dan panitia seleksi daerah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku untuk mewujudkan pelaksanaan rekrutmen dan seleksi Bintara Polri kompetensi khusus penerbang sesuai dengan penerapan merit system

This study aims to analyze the application of the merit system in the recruitment and selection of National Police Officers with special competence for pilots at Polda Metro Jaya T.A. 2019 and T.A. 2020 as well as the factors that influence the implementation of the recruitment and selection of the Special Aviation Police Officer at Polda Metro Jaya T.A. 2020. The approach used in this research is post-positivism, data collection is done through document studies and in-depth interviews with internal and external Polri followed by data analysis. The results showed that in the implementation of the recruitment and selection of National Police Officers Special Competence for Pilots at Polda Metro Jaya T.A. 2019 and T.A. 2020 is in accordance with the application of a merit system in the selection process that prioritizes qualifications, certificates/licences and skill competency tests. However, there are findings in this study, namely that there is no National Police Chief regulation that regulates the application of a merit system in the recruitment and selection process for Special Competency Officers (Bakomsus) for Aviation, which is different from the recruitment and selection of General Duty Police Officers (PTU) held at Polda Metro Jaya T.A. 2019 and T.A. 2020. The main factor in the implementation of the recruitment and selection of the National Police Officers Special Competence for Pilots can run optimally, namely the policies and rules of the National Police Headquarters Central Committee if there are deviations, the legal process for the participants and the regional selection committee will be carried out in accordance with the legal procedures applicable to the implementation of the recruitment and selection of NCOs The National Police Special Competence for Pilots is in accordance with the application of the merit system."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Armyn Trimulia Atmadja Tunggawidjaja
"Latar belakang. Belum diketahui apakah ada hubungan antara usia penerbang, obesitas sentral, kebiasaan merokok, riwayat penyakit metabolik, dan jam terbang total dengan kejadian sindroma metabolik pada penerbang sipil pesawat sayap tetap.
Metode. Penelitian ini merupakan studi kasus kontrol, yang dilakukan pada bulan Desember 2022. Penerbang sipil laki-laki pesawat sayap tetap yang menjalani pemeriksaan kesehatan di Balai Kesehatan Penerbangan pada periode Juni – November 2022 diinklusi dalam studi. Variabel bebas yang diteliti adalah jam terbang, usia, status obesitas, merokok, dan riwayat DM tipe II keluarga.
Hasil. Terdapat dua ratus enam puluh dua penerbang sipil pesawat sayap tetap yang diinklusi dalam studi ini, dengan 131 (50%) penerbang dengan sindrom metabolik dan 131 (50%) lainnya tidak memiliki sindrom metabolik. Rerata usia pasien dalam penelitian adalah 38,70 ± 10,54 tahun, dengan 57,6% penerbang berusia ≤ 40 tahun. 59,2% subjek memiliki jam terbang ≥ 5000 jam, dengan median jam terbang keseluruhan subjek adalah sebesar 5600 (45¬27700) jam. Sebagian besar subjek (64,5%) memiliki indeks massa tubuh (IMT) yang termasuk dalam kategori obesitas. Hanya usia > 40 tahun dan IMT ≥ 25 kg/m2 yang ditemukan berhubungan dengan sindrom metabolik (p < 0,001), dengan rasio odds masing-masing sebesar 5,90 (IK 95%, 2,79–12,45) dan 6,24 (IK 95%, 3,25–12,00). Setelah menghilangkan faktor usia, jam terbang ≥ 5000 jam memiliki risiko 3,33 (IK 95%, 1,87–5,94) kali lebih tinggi untuk mengalami sindrom metabolik.
Simpulan. Usia ≥ 40 tahun dan status obesitas berhubungan dengan peningkatan risiko sindrom metabolik di kalangan penerbang sipil pesawat sayap tetap laki-laki.

Background. It is not yet known whether there is a relationship between pilot age, central obesity, smoking habits, history of metabolic disease, and total flight hours with the incidence of metabolic syndrome in civil fixed-wing aircraft pilots.
Methods. This research is a case control study, which was conducted in December 2022. Male civil pilots of fixed wing aircraft who underwent medical examinations at the Balai Kesehatan Penerbangan in the period June – November 2022 were included in the study. The independent variables studied were flight hours, age, obesity status, smoking, and family history of type II DM.
Results. Two hundred and sixty-two fixed-wing civil aviation pilots were included in this study, of which 131 (50%) pilots had the metabolic syndrome and 131 (50%) did not have the metabolic syndrome. The mean age of the patients in the study was 38.70 ± 10.54 years, with 57.6% of the pilots aged ≤ 40 years. 59.2% of the subjects had flight hours ≥ 5000 hours, with the median flight hours of all subjects being 5600 (45¬27700) hours. Most of the subjects (64.5%) had a body mass index (BMI) which was included in the obesity category. Only age > 40 years and BMI ≥ 25 kg/m2 were found to be associated with the metabolic syndrome (p < 0.001), with odds ratios of 5.90 (95% CI, 2.79–12.45) and 6, respectively. 24 (95% CI, 3.25–12.00). After removing the age factor, flying hours ≥ 5000 hours had a 3.33 (95% CI, 1.87–5.94) times higher risk of experiencing metabolic syndrome.
Conclusion. Age ≥ 40 years and obesity status are associated with an increased risk of metabolic syndrome among male civil fixed-wing aircraft pilots.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Janu Sucipta
"Kondisi hipoksia bagi penerbang merupakan ancaman bahaya yang selalu ada meskipun dengan pesawat kabin bertekanan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor risiko hipoksia pada penerbang militer Indonesia. Penelitian ini memakai desain potong lintang dengan consecutive sampling pada penerbang militer Indonesia yang melaksanakan indoktrinasi dan latihan aerofisiologi ILA selama bulan Juni 2017 di Lakespra Saryanto Jakarta. Sebanyak 120 subjek didapatkan selama penelitian ini. Hipoksia ditandai dengan Waktu Sadar Efektif WSE < 4 menit saat latihan di Ruang Udara Bertekanan Rendah RUBR dengan ketinggian 25000 kaki.
Hasil menunjukkan bahwa fatigue, kesamaptaan dan ketahanan kardiovaskular VO2max tidak menunjukan hubungan yang bermaknan dengan WSE p>0,05. Pada penelitian ini dapatkan total jam terbang dan kebiasaan merokok sebagai faktor dominan. Subjek yang memiliki total jam terbang ge; 1000 jam memiliki risiko WSE < 4 menit 2,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan total jam terbang < 1000 jam [ORa= 2,65; IK 95 = 1,21-5,78; p= 0,014]. Subjek yang merokok memiliki risiko WSE < 4 menit lebih rendah 63 dibandingkan dengan yang tidak merokok [ORa= 0,37; IK 95 = 0,14-0,95; p= 0,039]. Dapat disimpulkan bahwa Fatigue, kesamaptaan dan ketahanan kardiovaskular tidak berhubungan dengan hipoksia yang ditandai oleh waktu sadar efektif. Total jam terbang ge; 1000 jam meningkatkan risiko WSE < 4 menit, sedangkan merokok menurunkan risiko WSE < 4 menit.

Hypoxic condition for pilots are an ever present threat of dangers even with pressurized cabin aircraft. The purpose of this study to determine the risk factors of hypoxia in Indonesia military pilots. This study used cross sectional design with consecutive sampling on Indonesia military pilots who carried out indoctrination and aerophysiology exercise during the month of June 2017 at Lakespra Saryanto Jakarta. 120 subjects were obtained during the study. Hypoxia is characterized by Time of Useful Consciousness TUC 4 minutes during exercise in the hypobaric chamber at 25000 feet chamber altitude.
The results showed that fatigue,physicall fitness and cardiovascular endurance VO2max did not show a meaningful relationship with TUC p 0.05. In this study, total flying hours and smoking habits were found as dominant factor. Compared to 1000 hours of total flying hours, subjects with a total flying hours ge 1000 hours were 2.6 times higher risk to have TUC 4 minutes ORa 2,65 CI 95 1,21 5,78 p 0,014. Compared to non smokers, smoker subjects were 63 lower risk to have TUC 4 minutes ORa 0,37 CI 95 0,14 0,95 p 0,039. In conclusion Fatigue, physicall fitness and cardiovascular endurance are not associated with hypoxia characterized by time of useful consciousness. Total flight hours ge 1000 hours increase risk for TUC 4 minutes, while smoking decrease risk for TUC 4 minutes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>