Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 96047 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gemala Firyanka
"Ude Kurabe merupakan karya Nagai Kafu yang berlatarkan kehidupan geisha di Jepang. Karya ini ditunjukkan dengan maksud untuk menunjukkan kepada pembaca di seluruh dunia mengenai sisi kehidupan sosok seniwati terkenal yang berasal dari Jepang, yaitu geisha. Tidak hanya menunjukkan latar kehidupan geisha¸ novel ini juga memaparkan konsep kecantikan dari geisha. Dalam karya ini, akan menjelaskan konsep kecantikan geisha dalam novel Ude Kurabe karya Nagai Kafu.

Ude Kurabe is a novel written by Nagai Kafu set in geisha's life in Japan. This novel is published in purpose to explain to readers around the world the life aspect of Japanese famous artist named geisha. This novel explains not only the background life of geisha, but also describes the concept of beauty of geisha. This thesis will explain the concept of beauty of geisha in Nagai Kafu?s Ude Kurabe.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
S59307
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Seidensticker, Edward
California: Stanford University Press, 1965
895.634 SEI k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Kaninda Rizki Indriani
"Geisha, sebagai salah satu pelaku seni yang menjadi ikon kebudayaan Jepang merupakan seseorang yang memiliki kemampuan dan keterampilan dalam bidang keseninan, terutama kesenian tradisional Jepang yang bekerja untuk menghibur orang lain berdasarkan kesenian yang mereka kuasai. Geisha mulai muncul sejak zaman Edo, saat di mana kondisi politik di Jepang sedang damai. Sebagai seorang geisha, femininitas merupakan hal yang harus dimiliki. Menurut Angela McRobbie, femininitas merupakan sebuah bagian dari ideologi dominan yang berperan untuk mendefinisikan kehidupan wanita. Femininitas ini dapat dilihat dari penampilan, cara berbicara, dan cara bertindak seorang geisha. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana femininitas geisha direpresentasikan dalam autobiografi yang berjudul Geisha, a Life karya Iwasaki Mineko dan Rande Brown. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengumpulkan potongan kalimat hingga paragraf dalam autobigrafi yang dianggap berkaitan dengan penelitian. Potongan kalimat akan diambil dari autobiografi Geisha, a Life karya Iwasaki Mineko dan Rande Brown. Teori dan konsep yang akan digunakan adalah teori representasi dari Stuart Hall serta konsep femininitas berdasarkan pengertian dari Angela McRobbie. Menurut Hall, representasi merupakan produksi makna dari suatu konsep yang ada dalam pemikiran melalui bahasa. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa femininitas geisha direpresentasikan oleh Iwasaki Mineko melalui cara berpakaian yaitu dengan memakai pakaian tradisional Jepang, kimono, cara berbicara yaitu dengan menggunakan dialek Gion serta cara bertindaknya yaitu dengan memperhatikan cara berjalan, pembawaan, dan ekspresi yang diperlihatkan.

Geisha, as an artist who has become an icon of Japanese culture, is someone who has skills in arts, especially traditional Japanese arts who worked as an entertainer. Geisha began to appear since the Edo Period when the political conditions in Japan was stable. As a geisha, femininity is something that the must have. According to Angela McRobbie, femininity was part of a dominant ideology that plays a role in defining women’s lives. This femininity in geisha could be seen from the appearance, tehir way of speaking, and their behaviour. This research aims to show how geisha’s femininity was being represented in Geisha, a Life by Iwasaki Mineko and Rande Brown. This research used qualitative methods by collecting sentences to pharagraphs that are considered related to the research. These sentences and paragraphs will be taken from Geisha, a Life. The theories and concept that will be used are the representation theory bu Stuart Hall and the concept of femininity by Angela McRobbie. According to Hall, representation is the production of meaning from a concept through language. The result of this research indicates that geisha’s femininity was represented by Iwasaki Mineko through the way she dresses with using kimono, the way she talks with using Gion’s dialect, and the way she acts with how she walks, how she brings herself, and how she express herself."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Delianto Pratomo
"Skripsi ini membahas konsep moe dan karakter Ayanami Rei dalam anime yang berjudul Neon Genesis Evangelion. Konsep moe adalah hasrat terhadap suatu tokoh fantasi serta kemungkinan-kemungkinan virtual yang ada di dalamnya, sedangkan konsep moe yang ada dalam karakter Ayanami Rei terwujud dengan adanya respon moe dari konsumen, yaitu perasaan iba, ingin melindungi dan memiliki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ayanami Rei merupakan katalisator yang mengubah konsep moe pada era 1990an dan memperluas moe database yang ada.

This thesis describes moe concept and the character of Ayanami Rei in an anime entitled Neon Genesis Evangelion. Moe concept is a desire towards fantasy characters and the virtual possibilities within, while the moe concept within Ayanami Rei?s character is manifested through consumer?s moe response which is the feeling of sympathy, the desire to protect and to have her. The research findings showed that Ayanami Rei is the catalyst which changed the moe concept during the Nineties and expands the existing moe database.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
S59474
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leany Nani Harsa
"ABSTRAK
Disertasi ini memuat penjelasan mengenai identitas budaya Nisei, generasi kedua imigran Jepang di Amerika. Dalam menjelaskan permasalahan identitas etnik ini, saya menyoroti bagaimana kejepangan atau pun keamerikaan digambarkan sebagai alternatif konstruki identitas Nisei. Selain itu juga mengungkapkan bagaimana Nisei mengkonstruksi identitas hibrid mereka sehubungan dengan peristiwa kamp relokasi, penempatan yang memegang peranan utama dalam kehidupan mereka. Ketika mengulas permasalahan identitas budaya ini saya menggunakan istilah yang digunakan Sollors yaitu descent yang mengacu kepada unsur-unsur keturunan dan consent yang mengacu kepada unsur-unsur lain. Dalam menganalisis saya menggunakan teori ilmu budaya yang berhubungan dengan permasalahan identitas etnik yaitu teori Stuart Hall dan Homi Bhabha.
Penelitian dilakukan terhadap dua buah otobiografi hasil karya Nisei yaitu Nisei Daughter (1953) yang ditulis oleh Monica Sone dan Farewell To Manzanar (1973) yang ditulis oleh Jeanne Wakatsuki Houston. Melalui representasi tokoh utama Nisei diungkapkan bahwa identitas budaya bukanlah suatu konstruksi yang mapan. Identitas ini dibangun sesuai dengan kondisi dan situasi yang dihadapi tokoh utamanya sehingga sejalan dengan pendapat Hall yang mengatakan bahwa identitas budaya bersifat cair sehingga menyesuaikan dengan kondisi dan situasi yang dihadapi. Sebelum masuk kamp, Nisei menunjukkan keinginan kuat untuk menjadi orang Amerika seperti yang tampak jelas melalui orientasi budaya mereka yaitu kebudayaan Amerika. Namun diposisikan sebagai ?Yang lain? dan sebagai musuh Amerika ketika Perang Dunia kedua, mereka meredefinisi konsep diri mereka Asian Exclusive Act (1911), Alien Land Bill (1913), Executive Order 9066, serta kondisi yang memprihatinkan di dalam kamp menjadi pemicu titik balik orientasi budaya mereka. Setelah keluar dari kamp mereka menegosiasikan identitas budaya mereka menjadi identitas budaya hibrid yaitu sebagai hyphenated American atau orang Amerika yang memiliki karakter oriental. Dengan demikian maka terlihat bahwa identitas budaya Nisei selalu berada dalam proses dan bukanlah merupakan identitas yang esensial.
Melalui sejumlah unsur pembangun cerita seperti ironi, tokoh yang ambigu dan kesenjangan antara tokoh utama dan pengarang tersirat, kedua otobiografi memperlihatkan bagaimana sikap paradoks pemerintah dan perilaku diskriminatif masyarakat Amerika mempengaruhi orientasi budaya Nisei. Kehidupan kamp yang menunjukkan bagaimana Nisei ditempatkan oleh pemerintah Amerika menjadi acuan Nisei untuk memposisikan diri dalam masyarakat multikultur. Dengan demikian maka otobiografi ini mampu mengungkapkan permasalahan kesukubangsaan yang merupakan pengetahuan penting bagi masyarakat yang beragam sehingga ruang interaksi antarsuku bangsa dan antarkebudayaan di dalam masyarakat multicultural dimungkinkan terbentuk.

ABSTRACT
This dissertation examines the continual transformation of cultural identity as shown in the works of Nisei writers, second generation of Japanese immigrant in America. The literary works contributed are two autobiographies, Nisei Daughter (1953) written by Monica Sane and Farewell To Manzanar (1973) by Jeanne Wakatsuki Houston. In explaining the complexities of ethnicities as it functions in American society, I use Sailors' terms of the concept of ethnicity, ?descent? and ?consent?. Descent relations are those defined by ?heredity? while consent relations are those of `law or marriage'. In analyzing ethnicity in America, I spotlight on how Japaneseness or Americanness displays as alternative Nisei's identity construction. Besides, I explain on how Nisei construct their hybrid identity in conjunction with their World War II relocation experience. My analysis of Sone's and Houston's is built around the theories used in cultural studies namely Stuart Hall's and Home Bhabha's.
My interpretation of representations of both major characters reveals that ?positioning? plays an important role in constructing their cultural identity. Identity, as a production, is never complete, and always in process. Hall explains that cultural identity is a matter of becoming as well as of ?being?. Cultural identities come from somewhere; have histories so that they undergo constant transformation. Both autobiographies reveal that before the camp experience, their main characters assert their American identity as a loyal American born citizen. Through vivid description, the cultural orientation of Nisei is American culture. However, positioned as the `Other' and as an enemy during the World War II, they redefine their self-concept. They claim that Asian Exclusive Act (1911), Alien Land Bill (1913), Executive Order 9066 (1941), and the poor condition of the camps are triggers of their turning point of their cultural orientation. Being positioned as an alien, they realize that the American law is a paradox. Nisei is American by descent relation while at the same time they are considered as Japanese due to their `blood'. As a reconciliation, when they depart camps, they negotiate their hybrid identity so that they fell no longer pure American but hyphenated American or American with oriental characters. As a conclusion I prove I that the cultural identity of Nisei is not a shared culture. It is not essential and stable but it is considered as fluidity.
Through the use of literary devices such as irony, ambiguous characters as well as a distance between implied author and the main character, the autobiographies reveal the concept of ethnicity plays a paradoxical role in American society. Along with American society's racial discrimination, the harsh treatment has an impact on Nisei? cultural orientation. The World War II relocation experience is a reference for the Nisei on how the American government positions them in multicultural society. By all means, both autobiographies are successfully able to reveal the ethnicity's problem. This condition stimulates the society to open a space for ethnic interaction in multicultural society.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
D496
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aubrey Dian Agustine
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tokoh Seiko Takeda dalam melawan ketidakadilan gender di Jepang dalam film Girl. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif untuk menganalisis Tokoh Seiko Takeda dalam melawan ketidakadilan gender yang dia alami di wilayah rumah tangga dan publik. Perjuangan Seiko Takeda dalam kehidupan rumah tangga dapat dilihat dari pilihan dirinya untuk melanjutkan kehidupannya sebagai istri dan wanita karier dan memilih untuk belum memiliki anak. Selain itu perjuangan Seiko di wilayah publik dapat dilihat dari perjuangannya sebagai pekerja perempuan Jepang melawan streotipe gender dan usahanya dalam membantu pekerja perempuan lainnya menghadapi stereotipe tersebut.

ABSTRACT
Focus of this study is Seiko Takeda?s Seiko Takeda's struggle to fight gender inequality in Japan in Girl, the movie. This study use qualitative descriptive research to analyze Seiko Takeda's struggle to fight gender inequality that happened to her in domestic and public area. Result of this study shows that Seiko Takeda's struggle in domestic area is her decision to keep being a housewife and working women without childern. And also her struggle in public area is the way she faces society's stereotype over Japanese women and how she helps her coworker how to deal with that stereotype."
2015
S59662
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theodore Mario Billyarta
"Dewasa ini, channel YouTube milik Muse dianggap sebagai salah satu platform utama untuk menonton anime di banyak negara Asia, termasuk Indonesia. Menggunakan konsep Extralinguistic Culture-bound Reference (ECR) dan tujuh strategi penerjemahan yang diusulkan Pedersen (2005), penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi ideologi penerjemahan dominan dari takarir berbahasa Inggris dan Indonesia dari anime Hige wo Soru. Soshite Joshikousei wo Hirou. yang ditayangkan di channel Muse Asia dan Muse Indonesia dan menganalisis pemilihan ideologi terjemahan tersebut. 13 episode dari Hige wo Soru. Soshite Joshikousei wo Hirou. dianalisis oleh dua peneliti dengan keahlian berbahasa Jepang, Inggris, dan Indonesia, Kedua peneliti telah berdiskusi dan mencapai kesepakatan pada 91% data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lima dari tujuh strategi yang diusulkan Pedersen ditemukan dalam takarir kedua bahasa. Selain itu, kedua bahasa juga memiliki ideologi dominan yang sama: Pengasingan. Meskipun begitu, kedua bahasa menunjukkan perbedaan yang fundamental dalam mengolah ECR. Terakhir, penelitian ini juga menarik kesimpulan bahwa tingkat keakraban para penonton dengan kultur Jepang, ketersediaan waktu dan tempat, serta pedoman penerjemahan yang berlandaskan pada faktor-faktor lain di luar bidang penerjemahan menjadi tiga hal yang memengaruhi pemilihan strategi penerjemahan.

Today, Muse YouTube channels are deemed to be the most prominent platforms for watching anime for people in many Asian countries, including Indonesia. Making use of the concept of Extralinguistic Culture-bound Reference (ECR) and seven translation strategies proposed by Pedersen (2005), this research sought to identify the dominant translation ideologies of the English and Indonesian subtitles of the anime series Hige wo Soru. Soshite Joshikousei wo Hirou. on Muse Asia and Muse Indonesia and analyze the choices of translation strategies found in the subtitles of both languages. The Indonesian and English subtitles of thirteen episodes of Hige wo Soru. Soshite Joshikousei wo Hirou. were analyzed by two judges with expertise in Japanese, English and Indonesian. The judges agreed on 91% of the data and discussed the rest to reach an agreement. The results indicated that five among seven translation strategies offered by Pedersen were found in the subtitles, and both the Indonesian and English subtitles share the same dominant ideology: Foreignization. In spite of the same dominant ideology, the two languages exhibited fundamental differences when it comes to rendering the ECRs. In addition, the research also drew an interpretive conclusion that the audiences’ familiarity with Japanese culture, time and space’s availability, and the guideline based on other factors outside of the field of translation were three reasonable components that had a part in the subtitling team’s choices of strategies.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Gita Murti
"ABSTRAK
Shinsengumi merupakan pasukan yang bertugas melindungi Shogun dan melenyapkan semua yang membuat kerusuhan pada masa-masa Restorasi Meiji. Kisah mengenai Shinsengumi telah banyak diangkat menjadi produk-produk budaya populer seperti: novel, film, komik, animasi, game, drama audio dan lain-lain. Adaptasi kisah Shinsengumi mengalami banyak proses romantisasi, komersialisasi dan erotisasi. Di tengah-tengah maraknya produk budaya populer Jepang yang mengangkat tokoh-tokoh laki-laki yang lebih lembut dan feminin sehingga turut merubah nilai-nilai maskulinitas yang ada di Jepang saat ini, Drama Audio Shinsengumi Mokuhiroku Wasurenagusa memunculkan tokoh-tokoh yang mengangkat kembali maskulinitas hegemonik yang sempat menjadi standar maskulinitas di Jepang.

ABSTRACT
Shinsengumi was the last shogun corps made to protect Shogun and destroy all rebels in Meiji Restoration Period. The story of Shinsengumi has been adapted into many product of popular culture such as: novels, movies, comics, animation, games, audio drama and others. Their story has been romanticized, commercialized and erotisized. In the midst of the Japanese pop-culture products which keep highlighting gentle and feminine male characters boom that changed the current Japanese masculinity value, Audio Drama series Shinsengumi Mokuhiroku Wasurenagusa develops characters which bring back the hegemonic masculinity that once became standard of masculinity in Japan."
2015
S59454
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Lazuardi Imani
"Kebudayaan Jepang dipengaruhi oleh posisinya sebagai persimpangan jalur perdagangan. Pada abad ke-16 dan 17, bangsa Portugis bersama dengan bangsa Eropa yang lain berdagang dengan bangsa Jepang. Bangsa Portugis, yang saat itu bersama dengan bangsa Spanyol disebut nanban oleh bangsa Jepang, membawa pengaruh kuliner dari negara dan daerah jajahan mereka sendiri ke dalam masakan Jepang. Tempura, kasutera, dan konpeitou merupakan contoh hasil dari akulturasi tersebut. Sekarang, masakan Jepang yang dipengaruhi oleh masakan Portugis disebut nanban ryouri.

The culture of Japan is influenced by its strategic position on global trade routes. In the 16th and 17th centuries, the Portuguese and other European nations traded with the Japanese. The Portuguese, who along with the Spanish at the time were called nanban by the Japanese, brought culinary influences from their own country and colonies into Japanese cuisine. Tempura, kasutera, and konpeitou are examples of the result of this acculturation. Nowadays, Portuguese-influenced Japanese cuisine is known as nanban ryouri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Joas Joel
"Tradisi ohaguro adalah tradisi seseorang menghitamkan gigi. Tradisi ini juga ditemukan di banyak negara Asia Tenggara, dan Jepang termasuk salah satu negara yang menjalankan tradisi ini sejak zaman Kofun(250-538). Pada akhir zaman Heian(794-1185), tradisi ohaguro mengalami perubahan fungsi yaitu dari fungsi praktis sebagai pengganti pasta gigi menjadi fungsi simbolik sebagai penanda bahwa seseorang telah menjadi dewasa dan memiliki tanggung jawab selayaknya orang dewasa. Memasuki zaman Edo (1603-1868), seiring dengan berkembangannya patriarki dalam ideologi Konfusianisme, tradisi ohaguro hanya dilakukan di kalangan perempuan bangsawan dengan tujuan semata-mata untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan laki-laki. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa tradisi ohaguro sebagai pratik patriarki pada perempuan bangsawan Zaman Edo, dengan menggunakan teori patriarki Sylvia Walby(1990) dan metode penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi ohaguro merupakan salah satu praktek patriarki dalam ideologi Konfusianisme, yang mengukuhkan kepentingan laki-laki dan memosisikan laki-laki sebagai pihak yang mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi perempuan. Meminjam istilah Walby, hal ini disebut dengan patriarchal culture, yang menunjukkan bagaimana relasi patriarki dalam agama, sebagai salah satu lembaga budaya.

Ohaguro tradition is a tradition where people blackened their teeth. This tradition is also found in a lot of nations in South East Asia, and Japan is one of the nation which used this tradition since Kofun period(250-538). At the end of Heian period(794-1185), the ohaguro tradition undergo changes from a functional meaning that replaces toothpaste to symbolic meaning where it’s serves as a prove that people reached adulthood and have the same responsibilities as an adult. Entering the Edo period (1603-1868), with the growth of patriachy within Confucianism ideology, ohaguro tradition only used by female aristocrats with the sheer purpose of fulfilling interest and needs of the male. This research aim to analyze the ohaguro tradition as a practice of patriarchy within female aristocrats at Edo period, by using the patriarchy theory by Sylvia Walby(1990) and using descriptive analytics method. The result of the research shows that the ohaguro tradition is a form of patriarchy practice from Confucianism ideology, that strengthen male interest and positioning the male as a party that dominate, oppress, and exploit woman. Borrowing Walby’s term, this tradition can be defined as patriarchal culture, that shows the relation of patriarchy within religion, as a cultural constitution.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>