Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145431 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Salsabil Herdiati
"ABSTRAK
Hiratsuka Raichō adalah seorang pelopor gerakan feminisme perempuan Jepang yang terkenal dengan manifesto politik ?Genshi, Josei wa Taiyō de Atta?. Manifesto politik tersebut dicetuskan dalam jurnal majalah Seitō yang diterbitkan oleh organisasi literatur khusus perempuan Seitōsha dan dilatarbelakangi oleh kebijakan pemerintah Meiji yang diterapkan pada saat itu. Raichō menganggap kebijakan itu menyubordinasi posisi perempuan dalam masyarakat. Kebijakan yang mengatur tentang keluarga dan melemahkan posisi perempuan pada masa itu tertera dalam Meiji Minpō dan dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan yang berlaku pada masa Tokugawa, yaitu sistem Ie. Tersebarnya manifesto ?Genshi, Josei wa Taiyō de Atta? ternyata menjadi pemicu bagi perempuan Jepang lain untuk berani mengutarakan pemikirannya melalui karya tulis hingga bergabung dengan berbagai organisasi feminis.

ABSTRACT
Hiratsuka Raichō was a Japan Feminist Movement pioneer, famous by political manifesto ?Genshi, Josei wa Taiyō de Atta?, written in Seito Magazine which published by women-only literature organization Seitōsha. The trigger of her politic manifesto was Meiji government?s policy which forced women subordination in the society. The said policy in Meiji Minpō regulating family matters and debilitating women position at that time influenced by kinship system prevailing in the Tokugawa period, called Ie. It turns out the spreading of ?Genshi, Josei wa Taiyō de Atta? manifesto became a trigger for other Japanese women to voice out their minds through literature and join various feminist organizations."
2015
S61121
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Sendra
"Sejak zaman Meiji (1868-1912) sampai Perang Dunia II, pertanian merupakan pekerjaan seumur hidup bagi 5,5 juta keluarga atau 13,7 juta orang penduduk Jepang, Sejak tahun 1870 80 % dari penduduk Jepang bermatapencaharian sebagai petani, tetapi dengan pertumbuhan penduduk angka tersebut menurun, meskipun jumlah petaninya secara absolut tetap sama. (Tadashi Fukutake, 1989:1).
Menurut Emiko Dhnuki Tierney (1992:34) menyebutkan bahwa pertanian khususnya pertanian sawah diusahakan di Jepang sebagai pertanian utama, di samping itu juga ada pertanian lainnya seperti: gandum (multi), jawawut (kibi), wijen (goma), yang ditanam di daerah yang kurang subur dan tidak memerlukan perhatian yang banyak dibandingkan dengan tanaman padi. Di Jepang istilah pertanian sawah disebut suiden, di samping itu juga ada istilah lainnya seperti hatake yang artinya ladang, yaitu jenis pertanian yang diusahakan di daerah yang memiliki topografi yang tinggi seperti di daerah pegunungan karena air sulit diperloleh. Tanaman padi yang menghasilkan beras sebagai makanan pokok merupakan pertanian utama, sekitar 55 persen dari total lahan yang bisa diolah dan ditanami yaitu kira-kira 5,2 juta ha (Takekazu Ogura, 1967:8), berupa pertanian sawah dengan jaringan irigasi yang luas, yang bisa ditemukan di setiap wilayah di Jepang, terutama di bagian Utara Jepang yaitu wilayah Hokaido (R. P. Dore, 1959:8).
Salah satu ciri utama dari sistem pertanian Jepang adalah pertanian sawah dalam sekala kecil sebagai usaha pertanian yang dominan dan sifat ini berlanjut sampai zaman Meiji. (Takekazu Ogura, 1970:147). Pertanian Jepang sebelum Perang Dunia II berakar dalam suatu sistem yang ditandai oleh unit-unit pertanian yang kebanyakan sangat sempit dan digarap dengan tangan, kemungkinan untuk memperluas lahan garapan yang terbatas secara geografis sangat kecil. Tadashi Fukutake (1989:1-3) menjelaskan bahwa sebagai petani zaman kuno, rakyat Jepang selalu memanfaatkan setiap jengkal tanahnya yang dapat dikerjakan, dan pada umumnya le yang memiliki lahan-lahan pertanian yang luas menggunakan anggota-anggota le untuk mengolah lahan pertanian tersebut.
Keterbatasan lahan garapan ini akan dapat mengancam kehidupan le dalam susunannya yang lama, apabila terjadi pergantian dari generasi tua kepada generasi yang baru. Permasalahan ini akan muncul apabila kepala le harus digantikan oleh penggantinya dan anak-anaknya menuntut hak atas kekayaan yang dimiliki oleh le tersebut. Oleh karena itu harus ada norma-norma khusus yang mengatur pergantian tersebut. Norma ini berupa aturan-aturan mengenai pewarisan yang mengatur pengalihan dan penguasaan terhadap kekayaan yang dimiliki oleh le. (Eric R Walt 1995:129).
Dalam kehidupan sehari-hari petani Jepang, pengaturan mengenai pola-pola pewarisan harta warisan le diatur dalam pranata sosial le. Pranata ini mencakup aturan-aturan yang berkenaan dengan kedudukan dan penggolongan dalam struktur sosial le, yang mengatur peran, serta berbagai hubungan dan peranan dalam tindakan dan kegiatan yang dilakukan (Parsudi Suparlan, 1981/1982:84-85)."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T9035
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tokyo: Toyo Bunko, 1969
915.203 1 JAP
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Cherry Rondang Cattleya Ndoen
"Tidak puas dengan konstelasi dan perjanjian internasional yang diterima pasca Perang dunia I, membuat Jepang berbalik arah menyerang pihak sekutu. Jepang pun dapat menguasai wilayah Asia pasifik, termasuk Indonesia, lalu menguras sumber daya alam dan sumber daya manunsia Indonesia. Salah satu kebijakan untuk menguras sumber daya manusia adalah dengan membangun kamp hiburan, tempat untuk memenuhi kebutuhan biologi para tentara. Kamp Hiburan diisi dengan para perempuan yang disebut jugun ianfu. Sejak kalah dalam pertempuran Laut Midway, membuat Jepang berada di posisi defensif. Hal tersebut menyebabkan Jepang harus menarik pasukannya di kawasan Asia Tenggara secara perlahan. Dan hal tersebut berpengaruh terhadap nasib para jugun ianfu.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dampak Jepang dalam Perang Dunia II terhadap Jugun Ianfu Pasca Terbebas dari Kamp Telawang. Dengan menggunakan metode pengumpulan data kualitatif dengan studi pustaka dan wawancara, didapatkan bahwa kekalahan yang dialami Jepang dalam perang dunia II tidak hanya memberikan dampak internal bagi Jepang. Disatu sisi kekalahan Jepang membawa kebebasan bagi para jugun ianfu tapi disisi lain mendantangkan dampak baru, seperti dampak fisik, psikis, kehidupan sosial, dan kesulitan ekonomi, yang masih dirasakan hingga saat ini.

Being unsatisfied with the World War II constellation and International treaty post-World War II has made Japan turned their way and attacked the Allies. Japan was able to take control of Asia Pacific region, including Indonesia, and drain the natural resources and human resources in Indonesia. One of Japan's policies is to build a comfort camp, a place to served Japan's army biological needs. Comfort camp was filled with Indonesian women called jugun ianfu or comfort women. Ever since defeated in the battle of Midway Sea, Japan has changed into the defensive position. This caused Japan to gradually have to withdraw their troops in Southeast Asia, which affected the comfort women?s fate.
This research aims to explain the impacts of Japan's loss in World War II to the comfort women, after being freed from Telawang Camp. By using qualitative method such as literature(gw ga yakin istilahnya) and interviews, researcher found that Japan's loss in World War II were not only affect Japan's internal (gw rada ragu dengan translatean gw yg ini. internal apa ini mksdnya?). On one side, Japan's loss has brought freedom to Indonesia?s comfort women, but on the other side, it brought new effects, such as the negative impact of physical, psychological, social, and economy."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rasmaya Rasyidina Ardhani
"Penelitian ini mengkaji representasi budaya Jepang yang terdapat pada desain karakterkarakter yang berasal dari negara virtual Inazuma dalam gim daring Genshin Impact. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Batasan penelitian difokuskan pada karakter Raiden Shogun dan Yae Miko. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi desain karakter yang merepresentasikan budaya Jepang serta menganalisis budaya Jepang yang diangkat dalam desain tersebut. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi karakter dalam gim, tangkapan layar (screenshot), dan gambar ilustrasi resmi yang dirilis oleh miHoYo (official artwork). Teori yang digunakan adalah teori representasi oleh Stuart Hall (1977) dengan pendekatan reflektif. Hasil penelitian menemukan adanya representasi budaya Jepang dalam desain karakter yang dianalisis. Dalam desain Raiden Shogun, budaya Jepang direpresentasikan dalam bentuk peran shogun, warna ungu, lambang mitsudomoe, kanzashi, kimono furisode, sode, obi, obijime, obiage, obidome, kaus kaki tabi, dan juga sandal zori. Sementara itu, desain Yae Miko merepresentasikan budaya Jepang melalui perannya sebagai miko atau gadis kuil, yang terlihat dari pakaian miko-nya yang terdiri atas hakue putih, hibakama merah, pita rambut takenaga berwarna putih dan merah, obi dan obijime, hiasan kepala guuji atau kepala pendeta, dan sandal zori, serta elemen dekoratif yang berkaitan dengan kuil shinto seperti omikuji, gerbang torii, dan bunga sakura. Penelitian ini juga menemukan bahwa desain karakter dalam gim ini dibuat untuk merepresentasikan peran yang dimainkannya. Dengan demikian, peran yang dimainkan oleh suatu karakter akan mempengaruhi cara mereka didesain.

This research examines the representation of Japanese culture found in the character designs originating from the virtual nation of Inazuma in the online game Genshin Impact. This research was conducted using qualitative method with descriptive approach. The research is focused on the characters Raiden Shogun and Yae Miko. This research was performed to identify character designs that represent the Japanese culture and analyze the culture brought up in the design. Data collection was done through in-game character observation, screenshots, and official illustration images released by miHoYo. The theory used in this research is Stuart Hall's (1977) representation theory with reflective approach. The research found that there are representations of Japanese culture in the analyzed characters' designs. In Raiden Shogun's design, Japanese culture is represented in the form of the shogun role, the color purple, the mitsudomoe emblem, kanzashi, furisode kimono, sode, obi, obijime, obiage, obidome, tabi socks, and zori sandals. Meanwhile, Yae Miko's design represents Japanese culture through her role as a miko or shrine maiden, which can be seen from her miko outfit consisting of a white hakue, red hibakama, white and red takenaga hair ribbon, obi and obijime, guuji or head priest's headdress, and zori sandals, as well as decorative elements associated with shinto shrines such as omikuji, torii gate, and cherry blossoms. The research also found that the design of characters in this game is made to represent the role they play. As such, the role a character plays will influence the way they are designed."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anda Rahayu Retno Wulan
"Dalam membicarakan kehidupan masyarakat Jepang, berarti kita juga berbicara mengenai kebudayaan Jepang itu sendiri, yang mempunyai hubungan erat dengan kehidupan sosial dan interaksi yang terjadi di antara anggota masyarakat itu. Hal ini sangat menarik bagi penulis untuk membahas kebudayaan masyarakat Jepang.
Salah sate kebudayaan Jepang yang menarik bagi penulis untuk diteliti adalah pembungkusan sebuah pemberian. Orang Jepang sangat memperhatikan pembungkusan sebuah pemberian yang diberikan kepada orang lain. Selain itu, karena pembungkusan pemberian juga berperan dalam kegiatan saling memberi pemberian di Jepang sehingga baik sifat pembungkus, cara membungkus, benda pemberian, kepada siapa pemberian diberikan, dan kapan pemberian diberikan pun juga mendapat perhatian yang penting. Keseluruhan hal tersebut telah menyatu dalam kehidupan orang Jepang dalam berinteraksi sosial dengan orang lain. Bagi kita yang kurang mengerti atau memahami perilaku orang Jepang yang salah satunya adalah melalui pembungkusan pemberian ini akan mengalami kebingungan.
Berdasarkan alasan tersebut, maka penulis ingin mengungkapkan makna yang terkandung di balik cara pembungkusan di Jepang. Semoga penelitian tesis ini dapat menambah pengetahuan mengenai masyarakat Jepang kepada para pembaca."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17949
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reischauer, Edwin O.
Boston: Houghton Mifflin , 1978
915.2 REI j (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
London: Routledge, 1997
915.23 JAP
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Djakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1977
306.052 UNI p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1976
306.052 UNI p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>