Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155867 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wahyuni Restu Putri
"Proses fluidized bed adalah suatu metode pengeringan, granulasi, dan penyalutan partikel kecil, dengan adanya aliran udara yang melewati partikel pada kecepatan yang cukup besar untuk mengatur gerakan partikel tersebut. Tujuan penelitian ini adalah membuat granul salut enterik natrium diklofenak dengan proses fluidized bed. Natrium diklofenak merupakan obat AINS yang dapat mengiritasi lambung sehingga dipilih sebagai model obat. Polimer penyalut yang digunakan yaitu Eudragit L 100-55 karena mampu menahan pelepasan obat di pH asam, dan melepaskan obat pada pH diatas 5,5.
Pembuatan granul dibuat dengan metode manual (GM) dan fluidized bed (GFBG), selanjutnya proses penyalutan granul (GMS) juga dilakukan dengan metode fluidized bed. Karakterisasi granul salut enterik yang dilakukan meliputi penampilan fisik, uji penyusutan dan rendemen, SEM, distribusi ukuran partikel, laju alir, sudut istirahat, bulk-tapped density, penetapan kadar, dan uji pelepasan obat secara in vitro.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa GFBG terdistribusi pada rentang ukuran 0,356-0,71 mm, sedangkan GM terdistribusi pada ukuran >1,18 mm. Rendemen yang dihasilkan dari proses granulasi yaitu 67,23±1,19%, sedangkan rendemen dari proses penyalutan yaitu 82,46%. Granul salut enterik natrium diklofenak memiliki sifat alir yang baik. Pelepasan obat GFBG, GM, dan GMS di medium asam sebesar 2,09±0,06%; 1,98±0,13%; dan 3,56±0,37%. Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa proses pembuatan dan penyalutan granul natrium diklofenak dengan proses fluidized bed belum optimal.

Fluidized bed process is a method of drying, granulation, and coating of small particles, with a stream of air passing through the particles at a rate great enough to set them in motion. The aim of this study was to formulate diclofenac sodium enteric-coated granules by fluidized bed process. Diclofenac sodium is an NSAID which can irritate the gastric, so chosen as a model drug. Coating polymer used is Eudragit L 100-55 because can retain drug release at acidic pH, and releases drug at pH above 5,5.
Formulation of granules were prepared by manual (GM) and fluidized bed (GFBG) methods, then coating process of granules (GMS) were also prepared by fluidized bed method. Characterization of enteric-coated granules includes physical appearance, shrinkage test and yield, SEM, particle size distribution, flow rate, angle of repose, bulk-tapped density, assay, and in vitro drug release test.
The results showed that GFBG distributed in size range 0,356-0,71 mm, while GM distributed on size > 1,18 mm. Yield of the granulation process was 67,23±1,19%, while yield of the coating process was 82,46%. Diclofenac sodium enteric-coated granules had good flow properties. Drug release of GFBG, GM, and GMS in acid medium were 2,09±0,06%; 1,98±0,13%; and 3,56±0,37%. Based on the study, it is concluded that the process of granulation and coating the granules of diclofenac sodium by fluidized bed process were not optimal.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
S60848
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purwinda Herin Marliasih
"ABSTRAK
HPMCP HP-55 dan Eudragit L 100-55 adalah polimer sensitif pH yang dapat menahan pelepasan obat pada pH asam dan melepaskan obat pada pH diatas 5,5 serta digunakan sebagai bahan penyalut dalam sediaan lepas tunda. Natrium diklofenak merupakan golongan antiinflamasi AINS yang memiliki efek samping mengiritasi mukosa lambung dipilih sebagai model obat. Mikrokapsul HPMCP HP-55 dibuat dengan metode penguapan pelarut sedangkan mikrokapsul Eudragit L 100-55 dengan metode semprot kering. SEM, PSA, sieve analizer, dan uji pelepasan obat secara in vitro digunakan untuk mengkarakterisasi mikrokapsul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mikrokapsul HPMCP HP-55 terdistribusi pada rentang 181-1180 μm dan mikrokapsul Eudragit L 100-55 pada rentang 0,4-20 μm. Uji pelepasan natrium diklofenak dari mikrokapsul HPMCP HP-55 dengan rasio 1:2 dan 1:3 menunjukkan pelepasan sebesar 7,31 dan 5,75% dalam medium HCl pH 1,2 serta 96,04% dan 93,27% dalam medium dapar fosfat pH 6,8. Sedangkan mikrokapsul Eudragit L 100-55 pada rasio 1:1 menunjukkan pelepasan sebesar 0,47% dalam medium HCl pH 1,2 dan 88,75% dalam medium dapar fosfat pH 6,8. Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa mikrokapsul HPMCP HP-55 rasio 1:2 dan 1:3 serta mikrokapsul Eudragit L 100-55 rasio 1:1, memenuhi persyaratan sebagai sediaan lepas tunda.

ABSTRACT
HPMCP HP-55 and Eudragit L 100-55 are pH sensitive polymers which can retain drug release at acidic pH, releases drug at pH above 5.5 and used as coating material in the delayed release dosage form. Diclofenac sodium is an antiinflammatory NSAID which has side effect irritating gastric mucosa, was chosen as model drug. HPMCP HP-55 microcapsules prepared by solvent evaporation method, while Eudragit L 100-55 microcapsules by spray-dry method. SEM, PSA, sieve analyzer, and drug release test in vitro is used to characterize microcapsules. The results showed that HPMCP HP-55 microcapsules distributed in range 181-1180 μm and microcapsules Eudragit L 100-55 in range 0.4 to 20 μm. The release test of diclofenac sodium microcapsules HPMCP HP-55 with ratio 1:2 and 1:3 showed the release 7.31 and 5.75% in medium HCl pH 1.2, 96.04% and 93.27% in the medium buffer phosphate pH 6.8. Meanwhile, Eudragit L 100-55 microcapsules at ratio of 1:1 showed the release of 0.47% in acid medium pH 1.2 and 88.75% at phosphat medium pH 6.8. From the results it is concluded that the HPMCP HP-55 microcapsules ratio 1:2 and 1:3 and Eudragit L 100-55 microcapsules ratio 1:1, qualify as delayed release dosage form."
Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2011
S1471
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yuliana
"Pragelatinisasi pati singkong fosfat (PPSF) adalah hasil modifikasi fisik dan kimia dari pati singkong. Pati singkong dimodifikasi menjadi pragelatinisasi pati singkong (PPS). PPS dapat mengalami retrogradasi yang akan menyebabkan terjadinya sineresis sehingga PPS perlu dimodifikasi secara kimia. Pada penelitian ini, PPS dimodifikasi kimia dengan pereaksi natrium tripolifosfat, dengan konsentrasi 5% (b/b) dan pH 9-10, selanjutnya dikeringkan dengan drum dryer. PPSF yang dihasilkan dikarakterisasi yang meliputi karakterisasi fisika, kimia dan fungsional. Derajat substitusi yang dimiliki PPSF sebesar 0,05% (%P). Gel PPSF yang diletakkan pada suhu ruang masih stabil serta tidak mengalami sineresis sampai hari ke-11.
Indeks mengembang PPSF selama 8 jam menunjukkan hasil terbesar pada medium aquadest yaitu 235,85% dan tekecil pada larutan HCl pH 1,2 yaitu 182,50%. Viskositas PPSF dengan konsentrasi 15% sebesar 2645 cps dan kekuatan gel PPSF dengan konsentrasi 30% sebesar 8,70 gF. Karakteristik film PPSF dengan konsentrasi 15% memiliki elongasi 31,67%, tensile strength 3,56x106 N/m2 dan modulus elastis 0,62x106 N/m2. Berdasarkan karakteristik yang dimiliki, PPSF mungkin dapat dimanfaatkan dalam formulasi tablet sebagai pengikat, matriks dalam sediaan sustained release, bahan penyalut baik salut film maupun salut gula, bahan pembentuk film untuk penutup luka, basis gel, bahan pengental dan bahan pensuspensi.

Pragelatinized cassava starch phosphate (PCSP) is a result of physical and chemical modification from cassava starch. Cassava starch was modified into Pragelatinized cassava starch (PCS). PCS may experience retrogradation that will cause syneresis therefore PCS was modified chemically. In this research, PCS was modified by reacting it with 5% sodium tripolyphosphate (w/w) at pH 9-10, then dried using drum dryer. PCSP produced was then characterized by means of physical, chemical and functional characterizations. Substitution degree of PCSP was 0,05% (%P). PCSP gel which was placed in room temperature was not syneresis until the 11th day.
Swelling index of PCSP during 8 hours showed the highest in aquadest was 235,85% and the lowest in HCl solution pH 1,2 was 182,50%. Viscocity of PPSF with concentration 15% was 2645 cps and gel strength of PPSF with concentration 30% was 8,70 gF. Characterizations of PCSP film with concentration 15% were 31,67% elongation, 3,56x106 N/m2 tensile strength and 0,62x106 N/m2elastic modulus. Based on PCSP characterizations, it may be applied in formulation of pharmaceutical dosage forms, such as tablet binder, matrix in sustained release tablet, tablet coating material either film coating or sugar coating, film forming for wound dressing, gel base, thickening agent and suspending agent.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S42399
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Puspa Rahmawati Wardani
"Tablet cepat hancur adalah tablet yang didesain agar mampu hancur di dalam mulut tanpa bantuan air dengan waktu yang singkat. Oleh sebab itu diperlukan suatu eksipien disintegran yang sesuai yang dapat memfasilitasi penghancuran tablet. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik eksipien koproses maltodekstrin DE 10-15 dan polivinil alkohol sebagai penghancur tablet dalam formula tablet cepat hancur yang dibuat dengan metode kempa langsung. Koproses MD – PVA dibuat 3 perbandingan yaitu 1:1, 2:1, 3:1 dan dikarakterisasi sifat fisik, kimia, dan fungsionalnya.
Berdasarkan karakteristik tersebut dipilih perbandingan 1:1 yang memiliki kriteria terbaik sebagai penghancur karena memperlihatkan indeks mengembang 156,32% dalam 2 jam. Evaluasi terhadap 6 formula tablet cepat hancur menunjukan bahwa formula 4 yang mengandung eksipien koproses MD - PVA 1:1 sebanyak 20% memiliki kriteria yang baik sebagai tablet cepat hancur dengan kekerasan 4,40 Kp, keregasan 0,891%, waktu hancur 2,26 menit, dan waktu pembasahan 2,32 menit.
Uji kesukaan pada 30 orang panelis menunjukan 63,33% suka terhadap rasa tablet cepat hancur ekstrak rosela, dan 76,67% panelis menyatakan tidak terdapat residu dalam mulut ketika tablet tersebut telah hancur sempurna. Uji waktu hancur rata-rata tablet cepat hancur ekstrak rosela di rongga mulut panelis adalah sebesar 2,89 menit. Dengan demikian koproses MD-PVA mampu digunakan sebagai eksipien penghancur dalam tablet cepat hancur.

A fast disintegrating tablet is tablet which designed to be disintegrated in the mouth within seconds, without using water. Thus, it needs appropriate disintegrating excipients to facilitate disintegration of the tablet. This research was intended to study the characteristics of coprocessed excipient of maltodextrin DE 10-15 and polyvinylalcohol as tablet disintegrator in fast disintegrating tablet’s formula which was produced using direct compression method. The physical, chemical, and functional properties of MD-PVA coprocessed with ratio of 1:1, 2:1, and 3:1 were characterized.
Based on those characteristics, the MDPVA 1:1 was chosen as the best disintegrator excipient since it showed swelling index of 156.32% in 2 hours. The evaluation on six formula of FDT showed that formula F4 which contains 20% coprocessed excipient MD-PVA 1:1 was the best FDT with 4.40 Kp of hardness, 0.891% of friability, 2.26 minutes of disintegrating time, and 2.32 minutes of wetting time.
Hedonic test was performed on 30 respondens and showed that 63.33% of respondens like FDT of roselaextract and 76.67% people stated that there were no residual inside the mouth after the tablet disintegrated completely. In vivo disintegrating time of roselaextract FDT was 2.89 minutes. Hence MD-PVA coprocessed suitable to be used as dissolving excipient for fast-disintegrating tablet.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S52949
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Geusan Nariswari Erdianty Puteri
"Tablet cepat hancur merupakan tablet yang ditempatkan di dalam mulut untuk dapat segera melarut dalam saliva tanpa memerlukan air. Penelitian ini bertujuan memformulasi dan mengevaluasi tablet cepat hancur yang dibuat dengan maltodekstrin DE 10-15 sebagai eksipien yang mengandung ekstrak kelopak bunga Rosella sebagai model obat.
Maltodekstrin merupakan pati termodifikasi yang dibuat dengan menghidrolisis pati menggunakkan enzim enzim α-amilase 0,1% v/v yang diinkubasi pada suhu 95oC selama 45 menit. Maltodekstrin DE 10- 15 yang dihasilkan dikarakterisasi dan diformulasikan menjadi tablet cepat hancur dengan metode kempa langsung. Tablet cepat hancur yang dihasilkan dievaluasi dan diuji kesukaan terhadap penampilan, rasa, dan waktu hancur pada 30 panelis.
Hasil karakterisasi maltodekstrin DE 10-15 diperoleh serbuk putih, memiliki kelarutan dalam aquadest sebesar 34,92 mg/ml dibandingkan pati yang memiliki kelarutan 0,48 mg/ml. Evaluasi tablet cepat hancur menunjukkan bahwa formula 5 (maltodekstrin 35%), memiliki kriteria yang paling baik sebagai tablet cepat hancur. Formula 5 memiliki kekerasan 2,44 kp, keregasan 0,78%, waktu hancur in vitro 149,86 detik, dan waktu pembasahan 197,63 detik.
Hasil uji kesukaan menunjukkan 70% suka dengan penampilan tablet cepat hancur, 83,3% responden menyatakan rasa tablet cepat hancur manis, dan rata-rata waktu hancur tablet cepat hancur di rongga mulut selama 164,0 detik. Oleh karena itu, maltodekstrin DE 10-15 dapat digunakan sebagai eksipien penghancur pada tablet cepat hancur.

Fast disintegrating tablet (FDT) is a solid dosage form which is placed in mouth for rapidly dissolves on saliva without water. The aim of this study was to formulate and evaluate FDT using maltodextrin DE 10-15 as an excipient, containing Roselle calyx extract as a drug model.
Maltodextrin is a modified starch through enzymatic hydrolysis using α-amylase 0.1% v/v, incubated at 95oC for 45 minutes. Maltodextrin DE 10-15 was characterized and formulated into FDT using direct compression method. FDT’s were evaluated and tested for hedonic responses to appearance, taste, and disintegration time in oral cavity of 30 responders.
Maltodextrin DE 10-15 characterization results were white powder, has 34.92 mg/ml solubility in aquadest compared to starch which has 0.48 mg/ml solubility. The FDT’s evaluation showed that formula 5 which has 35% of maltodextrin DE 10-15 had the best characteristic as FDT. Formula 5 has 2,44 kp of hardness, 0.78% of friability, 149,86 seconds of in vitro disintegration time and 197.63 seconds of wetting time.
The hedonic test results showed that 70 % and 83.3% responders like the appearance and taste, respectively. FDT’s disintegration time in responders oral cavity was 164.00 seconds. Therefore, maltodextrin DE 10-15 could be used as disintegrant excipient in FDT.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S52511
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghaathy Najuda
"Fibrosis merupakan penyakit yang belum banyak diketahui namun perkembangan penyakit ini cukup mengkhawatirkan. Pengobatan untuk fibrosis kolon akan lebih efektif jika obat dilepaskan langsung ke tempat peradangan. Tetrandrine memiliki efek antifibrosis. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan tetrandrine ke dalam beads kalsium-alginat tersalut Eudragit L100-55 atau L100 sebagai sediaan kolon tertarget. Tetrandrine diformulasikan ke dalam natrium alginat karena memiliki daya mengembang yang baik pada pH kolon dan dapat membentuk sambung silang dengan CaCl2. Pembuatan beads dilakukan dengan metode gelasi ionik. Formula dengan rasio natrium alginat dan CaCl2 2:3 (formula 2) menghasilkan efisiensi penjerapan yang paling optimal sebesar 82,460 ± 2,728%. Setelah penyalutan, formula dengan Eudragit L100 10% (formula c) merupakan formula terbaik karena dapat menahan pelepasan tetrandrine dalam HCl 0,1 N pH 1,2 (2 jam) dan dapar fosfat pH 7,4 (3 jam) dan menghasilkan pelepasan kumulatif dalam dapar fosfat pH 6,8 (3 jam) yang paling optimal, berturut-turut 0,561 ± 0,126%, 8,712 ± 0,119%, dan 28,469 ± 0,214%. Pada uji pentargetan obat, rata-rata jarak tempuh beads tersalut Eudragit L100 10% (formula c) 66,667 ± 1,528 cm dan beads kontrol 62 ± 2,646 cm, dihitung terhadap antrum.

Fibrosis is rare disease but the development is quite alarming. Treatment for colonic fibrosis will be more effective if the drug is released directly to the area of inflamation. Tetrandrine has antifibrotic effect. This aim of research was to formulate tetrandrine into Ca-alginate beads coated Eudragit L100-55 or Eudragit L100 as colon targeted dosage form. Tetrandrine was formulated into Na-alginate because it has good swelling ability at colonic pH and can crosslink to CaCl2. Beads was prepared by ionic gelation method. Ratio between Na-alginate and CaCl2 2:3 (formula 2) showed the most optimal in efficiency of entrapment about 82.460 ± 2.728%. After coating process, formula with Eudragit L100 10% (formula c) was the best formula because it could resist the release of tetrandrine in HCl 0.1 N pH 1.2 (2 hours), phosphate buffer pH 7.4 (3 hours), and showed the most optimal in the release of cumulative in phosphate buffer pH 6.8 (3 hours), respectively 0.561 ± 0.126%, 8.712 ± 0.119%, and 28.469 ± 0.214%. On targeting test, the mean distance that beads propagated was 66.667 ± 1.528 cm for beads coated Eudragit L100 10% (formula c) and 62 ± 2.646 cm for control, calculated from antrum.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S65192
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elsa Widowati
"Telah dilakukan formulasi, uji aktivitas antibakteri, dan uji stabilitas niosom gel yang mengandung minyak atsiri daun sirih (Piper betle L.) sebagai obat anti jerawat. Pembuatan niosom bertujuan untuk meningkatkan penetrasi secara transfolikular dan meningkatkan stabilitas sediaan. Ekstraksi minyak atsiri daun sirih dilakukan dengan metode destilasi cara kukus dan identifikasi komponen senyawa minyak atsiri digunakan GC-MS. Formulasi niosom dibuat dalam dua macam perbandingan jumlah kolesterol dan surfaktan, yaitu 1:1 (F1) dan 1:2 (F2) (b/b). Suspensi niosom dievaluasi yang meliputi uji efisiensi jerap secara Spektrofotometri UV-Vis, uji ukuran partikel menggunakan Particle Size Analyzer, dan uji morfologi vesikel menggunakan Transmission Electron Microscope. Niosom yang telah diuji, dibuat menjadi sediaan gel menggunakan 0,5% Carbomer 940 sebagai gelling agent. Niosom gel dievaluasi yang meliputi uji organoleptis, pH, viskositas, uji aktivitas antibakteri terhadap Propionibacterium acnes, dan uji stabilitas selama 12 minggu pada 3 suhu penyimpanan yang berbeda, yaitu suhu kamar (28±2ºC), suhu rendah (4±2ºC), dan suhu tinggi (40±2ºC). Hasil pengujian menunjukkan, sediaan niosom gel F2 memiliki stabilitas yang lebih baik dibandingkan F1, sedangkan aktivitas antibakteri niosom gel F1 dan F2 tidak berbeda signifikan.

Formulation, antibacterial activity test, and stability test of niosome gels containing essential oil of betel leaf (Piper betle L.) as an anti-acne treatment, has been established. The preparation of niosome aims to increase the transfollicular penetration and also increase the stability of gel. Betel leaf essential oil extraction was done by steam distillation method and essential oil compounds identification used GC-MS. The niosome formulations made in two kinds of cholesterol and surfactant amount ratio, ie 1:1 (F1) and 1:2 (F2) (w/w). The niosomes were evaluated which include the entrapment efficiency test by Spectrophotometry UV-Vis, the particle size test by Particle Size Analyzer, and the vesicle morphology test by Transmission Electron Microscope. The niosomes that had been evaluated, made into gel with 0.5% Carbomer 940 as gelling agent. Niosome gels were evaluated which include organoleptic, pH, viscosity, antibacterial activity against Propionibacterium acnes, and stability for 12 weeks in 3 different storage temperatures, ie room temperature (28±2°C), low temperature (4±2°C), and high temperature (40±2°C). The test results showed that the F2 gel niosome has better stability than F1.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
S58122
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Utami Wibawani
"Transfersom merupakan golongan liposom atau vesikel yang dapat mengalami perubahan bentuk, elastis, dan fleksibel. Hidrokortison Asetat merupakan zat aktif dengan khasiat sebagai antiinflamasi yang paling rendah dibanding glukokortikoid lainnya. Tujuan penelitian ada untuk mengetahui perbandingan Fosfatidilkolin dan Brij O10 untuk menghasilkan transfersom Hidrokortison Asetat yang baik dan mengetahui profil penetrasi transfersom gel Hidrokortison Asetat dibandingkan dengan sediaan gel Hidrokortison Asetat biasa. Perbandingan Fosfatidilkolin dan Brij O10 formula 1 memiliki karateristik yang lebih baik dibandingkan formula 2 dengan ukuran rata-rata 187,04 nm, indeks deformabilitas 2,21 dan efisiensi penjerapan 97,64%. Perbandingan Fosfatidilkolin dan Brij O10 formula 2 memiliki ukuran rata rata 207,87 nm, indeks deformabilitas 0,78 dan efisiensi penjerapan 97,51%. Jumlah kumulatif Hidrokortison Asetat yang terpenetrasi dari gel kontrol adalah 1900,06 ± 408,52 μg/cm2 dengan persentase jumlah kumulatif sebesar 33,50 ± 7,19 % dan fluks 116,11 ± 5,72 μg/cm2 jam -1. Hasil tersebut lebih besar dibandingkan dengan penetrasi gel transfersom Hidrokortison Asetat yang memiliki jumlah kumulatif yang terpenetrasi sebesar 321,42 ± 41,58 μg/cm2 dengan persentase jumlah kumulatif sebesar 5,65 ± 0,75 % dan fluks 9,1882 ± 5,39 μg/cm2 jam -1.

Transfersome is a kind of vesicle carrier which is deformable, elastic, and flexible. Hydrocortisone Acetate is one of glucocorticoid antiinflammatory drug that has lower antiinflammation potency than other glucocorticoid antiinflammatory drug. The purpose of the research is to find an optimum combination of phosphatydilcholine and brij O10 to make transfersome with good chracteristics and to compare the penetration profile between hydrocortisone acetate transfersomal gel and conventional hydrocortisone acetate gel. The combination shown by formula 1 has better characteristics thank formula 2 with average particle size 187,04 nm, deformability index 2,21 and entrapment efficacy 97,64%. The combination of Phosphatydilcholine and Brij O10 shown in formula 2 gives average particle size 207,87 nm, deformability index 0,78 and entrapment efficacy 97,51%. Total cumulative amount that penetrated from Hidrocortisone Acetate gel is 1900,06 ± 408,52 μg/cm2 which is equivalent to 33,50 ± 7,19 % and its flux is 116,11 ± 5,72 μg/cm2 hour -1. Those results give better results than Hidrocortisone Acetate Transfersomal gel which gives total cumulative amount 321,42 ± 41,58 μg/cm2 with percentage of cumulative amount that penetrated 5,65 ± 0,75 % and flux 9,1882 ± 5,39 μg/cm2 hour -1.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
S57409
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitepu, Nathasya
"Tablet cepat hancur (TCH) merupakan tablet yang didesain untuk hancur di rongga mulut dan segera melarut dengan adanya saliva sehingga tidak memerlukan bantuan air. Oleh karena itu dibutuhkan suatu eksipien penghancur yang sesuai. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasi tablet cepat hancur famotidin dengan menggunakan eksipien hasil koproses maltodekstrin suksinat (MDS) dan polivinil pirolidon (PVP) sebagai eksipien, serta mengevaluasi tablet cepat hancur yang dihasilkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Koproses MDS-PVP merupakan eksipien hasil modifikasi fisika secara koproses antara maltodekstrin suksinat (MDS) dan polivinil pirolidon (PVP) dalam berbagai perbandingan. Hasil modifikasi dikarakterisasi dan diformulasikan menjadi tablet cepat hancur dengan metode granulasi kering, kemudian dievaluasi. Ko-MDSPVP (3:1) menunjukkan karakteristik yang terbaik sebagai eksipien penghancur ditinjau dari kelarutan yang tinggi dalam aquadest sebesar 94,40 + 0,75% dan daya mengembang sebesar 18,99 + 0,33%. Evaluasi tablet cepat hancur menunjukkan bahwa formula A yang mengandung 25% ko-MDS-PVP 3:1 memiliki kriteria yang terbaik sebagai tablet cepat hancur dengan nilai kekerasan 3,61+ 0,46 Kp, keregasan 0,76 + 0,02%, waktu hancur in vitro 2,66 + 0,38 menit, dan waktu pembasahannya 3,03 + 0,29 menit. Berdasarkan hasil diatas, dapat disimpulkan bahwa ko-MDS-PVP dapat digunakan sebagai eksipien penghancur pada tablet cepat hancur.

Fast disintegrating tablet (FDT) is tablet which is designed to rapidly dissolve and disintegrate in presence saliva, thus it needs no water. Therefore, disintegrant is needed to folmulate this dosage form.. the aim of this research were to formulate FDT of famotidine using coprocess maltodextrin succinate (MDS) and polyvinyl pyrrolidone (PVP) as disintegrant, and evaluate the FDT in accordance to pharmacopoeia. Coprocess MDS-PVP is physical-modified excipient from MDS and PVP in several ratio. The Co-MDS-PVP are characterized, formulated into FDT by dry-granulation method and evaluated. Co-MDS-PVP (3:1) showed the best characteristic as disintegrant due to its higher solubility in aquadest (94,40 + 0,75%) and swelling index (18,99 + 0,33%). The evaluation of FDT showed that formula A which contain 25% Co-MDS-PVP 3:1 was the best formula due to its hardness of 3,16 + 0,46 Kp, friability 0,76 + 0,02%, in vitro disintegration time 2,66 + 0,38 minutes, and wetting time 3,03 + 0,29 minutes. Based on results above, it can be concluded that Co-MDS-PVP can be used as disintegrant in FDT."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S52512
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diar Siti Hazar Sukandi
"Niasinamida merupakan vitamin yang larut di dalam air dikenal sebagai vitamin B3 dan telah digunakan untuk mengobati beberapa jenis permasalahan pada kulit. Penelitian ini bertujuan untuk membuat formulasi emulgel yang menggunakan silikon untuk membandingkan daya penetrasi secara in vitro antara emulgel dengan silikon dan tanpa penambahan silikon serta uji stabilitas fisik sediaan. Semua formulasi di uji daya penetrasinya secara in vitro dengan sel difusi Franz menggunakan membran abdomen tikus betina galur Sprague dawley. Jumlah kumulatif niasinamida yang terpenetrasi dari emulgel yang tidak mengandung silikon (F1) adalah 2028,8 ± 64,3 µg/cm2 sedangkan emulgel yang mengandung silikon secara berturut turut (F2-dimetikon dan F3-siklometikon) adalah 4662,4 ± 11,4 µg/cm2 dan 2679,45 ± 9,3 µg/cm2. Nilai fluks berturut-turut F1, F2, dan F3 adalah 253,6 ± 8,0 µg/cm2jam, 582,7 ± 1,4 µg/cm2jam, dan 334,93 ± 1,2 µg/cm2jam. Serta nilai % kumulatif terpenetrasi berturut-turut sebesar 8,89 ± 0,28 %, 17,95 ± 0,04 %, dan 11,83 ± 0,04 %. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa adanya silikon terbukti dapat meningkatkan penetrasi emulgel niasinamida dan ketiga formulasi menunjukan kestabilitan fisik yang baik.

Niacinamide is a water-soluble vitamin, also known as vitamin B3 and has been used to treat several types of dermatological pathologies. The purpose of this research are to make emulgel formulations using silicones to compare the penetration ability as in vitro test between emulgel with or without silicon, and the physical stability test. Penetration ability of all formulations were examined by Franz diffusion cell as in vitro test using Sprague Dawley rat abdomen skin for diffusion membrane. Total cumulative penetration of niacinamide from emulgel without silicone formulation (F1) is 2028,8 ± 64,3 µg/cm2 and emulgel with silicone formulation (F2-dimethicone and F3-cyclomethicone) are 4662,4 ± 11,4 µg/cm2 and 2679,45 ± 9,3 µg/cm2. Fluks of niacinamide respectively (F1, F2, and F3) are 253,6 ± 8,0 µg/cm2hour, 582,7 ± 1,4 µg/cm2hour, and 334,93 ± 1,2 µg/cm2hour. The presentage of penetrated niacinamide are 8,89 ± 0,28 %, 17,95 ± 0,04 %, and 11,83 ± 0,04 %, respectively. Based on those result, it can be concluded that silicone compound can increase the penetration ability of niacinamide emulgels and all formulations showed good physical ;Niacinamide is a water-soluble vitamin, also known as vitamin B3 and has been used to treat several types of dermatological pathologies. The purpose of this research are to make emulgel formulations using silicones to compare the penetration ability as in vitro test between emulgel with or without silicon, and the physical stability test. Penetration ability of all formulations were examined by Franz diffusion cell as in vitro test using Sprague Dawley rat abdomen skin for diffusion membrane. Total cumulative penetration of niacinamide from emulgel without silicone formulation (F1) is 2028,8 ± 64,3 µg/cm2 and emulgel with silicone formulation (F2-dimethicone and F3-cyclomethicone) are 4662,4 ± 11,4 µg/cm2 and 2679,45 ± 9,3 µg/cm2. Fluks of niacinamide respectively (F1, F2, and F3) are 253,6 ± 8,0 µg/cm2hour, 582,7 ± 1,4 µg/cm2hour, and 334,93 ± 1,2 µg/cm2hour. The presentage of penetrated niacinamide are 8,89 ± 0,28 %, 17,95 ± 0,04 %, and 11,83 ± 0,04 %, respectively. Based on those result, it can be concluded that silicone compound can increase the penetration ability of niacinamide emulgels and all formulations showed good physical.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2015
S60786
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>