Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 198801 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asha Arif Krisnadinarti
"Menurut teori imunitas mutlak, tindakan suatu negara berdaulat tidak dapat diuji oleh pengadilan asing, sehingga dalam melakukan kegiatan seperti perdagangan, negara biasanya berlindung di balik tameng kedaulatan. Meningkatnya peran negara dalam perdagangan internasional menyebabkan teori imunitas mutlak tidak dipertahankan lagi. Amerika Serikat dan Australia menerapkan teori imunitas negara terbatas. Hal ini terlihat dalam perkara Anglo-Iberia melawan Jamsostek di Amerika Serikat dan Garuda Indonesia melawan Australia Competition and Consumer Commission di Australia. Dalam perkara pertama, Jamsostek dikategorikan sebagai perwakilan negara yang tindakannya tidak bersifat komersial sehingga berhak atas imunitas. Sedangkan dalam perkara kedua, Garuda Indonesia dikategorikan sebagai perwakilan negara yang tindakannya bersifat komersial sehingga tidak berhak mendapatkan imunitas.

According to absolute sovereign immunity doctrine, sovereign acts cannot be adjudicated by foreign courts. Therefore, states can use their sovereignty to avoid lawsuits from trade disputes. However, the increasing participation of states in international trade led to restriction of sovereign immunity. USA and Australia apply restrictive sovereign immunity doctrine. This is concluded from Anglo- Iberia against Jamsostek case in USA and Garuda Indonesia against Australia Competition and Consumer Commission case in Australia. In the former, Jamsostek was categorized as a state representative whose actions were not of commercial nature and was entitled to immunity. Whereas, in the latter, Garuda Indonesia was categorized as a state representative whose action has commercial nature and thus was not entitled to immunity."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S59926
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chika Unique Putrinda
"Para pelaku usaha semakin banyak melakukan transaksi dagang yang sifatnya lintas batas negara atau dikenal dengan perdagangan internasional. Salah satu bentuk transaksi dagang yang dilakukan pembiayaan usaha dagang yang dituangkan dalam perjanjian utang-piutang. Perbedaan yuridiksi hukum tidak membatasi dilaksanakannya suatu perjanjian, yaitu perjanjian yang dilakukan diantara diantara Badan Hukum Indonesia dan Badan Hukum Asing. Adanya perbedaan yuridiksi tersebut menimbulkan permasalahan, yaitu hukum mana yang mengatur serta forum mana yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para pihak, dimana masing-masing negara memiliki aturan hukumnya sendiri. Hal ini juga berkaitan dengan kondisi bila salah satu pihak mengajukan upaya hukum penyelesaian sengketa melalui permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga. Permasalahan timbul karena terdapat dua kewenangan pengadilan niaga dari dua negara berbeda untuk mengadili perkara kepailitan, dimana Debitur merupakan Badan Hukum Asing yang memiliki yuridiksi hukum di luar negeri dan tidak memiliki kegiatan usaha yang dilakukan di suatu kantor pusat di Indonesia. Sementara di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak mengatur mengenai dengan jelas permasalahan kepailitan antara negara tersebut atau yang dikenal dengan kepailitan lintas batas negara. Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka dalam penelitian ini akan dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa berdasarkan asas kebebasan berkontrak para pihak dapat menentukan sendiri isi perjanjian, seperti memasukan ketentuan mengenai pilihan hukum (choice of law) dan pilihan forum (choice of forum). Hal ini menjadikan Pengadilan Niaga Indonesia memiliki kewenangan untuk mengadili dan memutus perkara kepailitan berdasarkan penunjukan hukum dan yuridiksi Indonesia yang dituangkan oleh para pihak di dalam klausula perjanjian.

Business actors increasingly carry out trade transactions that are cross-border in nature or known as international trade. One form of trade transactions conducted trade business financing as outlined in the debt-receivable agreement. Differences in legal jurisdiction do not limit the implementation of an agreement, that is, an agreement between the Indonesian Legal Entities and Foreign Legal Entities. The difference in jurisdiction raises problems, namely which laws govern and which forums are authorized to resolve disputes between parties, where each country has its own legal rules. This also relates to the condition if one party submits a legal remedy for dispute resolution by requesting a bankruptcy statement at the Commercial Court. The problem arises because there are two commercial court authorities from two different countries to adjudicate bankruptcy cases, where the Debtor is a Foreign Legal Entity that has legal jurisdiction abroad and does not have business activities conducted at a head office in Indonesia. While Law No. 37/2004 does not clearly regulate bankruptcy issues between these countries or known as cross-border bankruptcy. To answer these problems, this research will be conducted using the normative juridical research method. From this study it can be concluded that based on the principle of freedom of contracting the parties can determine their own contents of the agreement, such as entering provisions regarding choice of law and choice of forum. This makes the Indonesian Commercial Court have the authority to try and decide bankruptcy cases based on the appointment of Indonesian law and jurisdiction as outlined by the parties in the agreement clause."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54750
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Destin Benyamin
"Tulisan ini membahas mengenai kebijakan Sinergi BUMN ditinjau dari persepektif hukum persaingan usaha di Indonesia. Dalam mekanisme pengadaan barang dan jasa BUMN berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pengadaan Barang dan Jasa BUMN, disinyalir memiliki potensi penyalahgunaan dan pelanggaran ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Beberapa bentuk pelanggaran yang mungkin terjadi adalah adanya tying product, konglomeriasi, integrasi vertikal dan praktek diskriminasi. Namun diperlukan analisa lebih lanjut untuk melihat apakah Sinergi BUMN benar melanggar ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1999.
Penerapan kebijakan Persaingan Usaha kepada BUMN selain ditinjau dari ketentuan di Indonesia, dilakukan pula perbandingan terhadap Amerika Serikat dan China mengenai penerapan hukum persaingan (antitrust law) pada BUMN-nya, dan pada prakteknya dalam beberapa kasus BUMN dikecualikan dari hukum persaingan selama kegiatan BUMN tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah undang-undang. Adapun ketentuan Permen BUMN yang mengatur Sinergi BUMN merupakan pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 (a) UU Nomor 5 Tahun 1999. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah Yuridis Normatif meliputi UU Nomor 5 Tahun 1999, Permen BUMN Nomor PER-05/MBU/2008 serta peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan kebijakan Sinergi BUMN.

This thesis discusses the policy of State-owned Company's (SOEs) Synergy in terms of antitrust law perspectives in Indonesia. In the mechanism of procurement of goods and services of SOEs based on the provisions of Regulation of the Minister of SOE Number PER-05/MBU/2008 concerning General Guidelines for Procurement of Goods and Services of SOE, allegedly has potential abuse and violation of the provisions of Law Number 5 Year 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition . Some possible violations are tying products, conglomeration, vertical integration and discriminatory practices. However, further analysis is needed to determine whether SOE Synergy is true in violating the provisions of Law Number 5 Year 1999.
The implementation of Business Competition policy for SOEs other than in Indonesia, comparisons are made to the United States and China regarding the application of antitrust law to its SOEs, and in practice in some cases SOEs are exempt from competition law as long as the SOEs activities are carried out under the law. The provisions of the SOEs Regulation governing the SOEs Synergy constitute the exceptions as referred to in Article 50 (a) of Law Number 5 Year 1999. The methods used in the research are Juridical Normative covering Law Number 5 Year 1999, BUMN Regulation Number PER-05/MBU 2008 and other regulations related to the SOE Synergy policy.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winarti Sari Marina
"Tesis ini membahas mengenai aspek hukum perdata internasional dalam klausul pilihan hukum dan pilihan forum serta aspek hukum perdata Indonesia dalam klausul pemberian lisensi kepada pihak ketiga (studi terhadap Perjanjian Kerja Sama antara LIPI dengan Zhejiang University). Penelitian tesis ini menggunakan penelitian dengan metode penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan analitis dengan tujuan untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilahistilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan hukum, yang dilakukan dengan menelaah dan mengkaji asas-asas hukum perdata internasional dalam hukum perjanjian, serta ketentuan-ketentuan perundangundangan, terutama KUH Perdata dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. Dianalisisnya klausul pilihan hukum dan pilihan forum dengan aspek hukum perdata internasional karena adanya unsur hubungan internasional, dan unsur luar negeri yang merupakan ruang lingkup dalam hukum perdata inernasional.
Dengan melihat kenyataan pada praktik penyusunan perjanjian di LIPI bahwa klausula pilihan hukum ini seringkali "diabaikan" karena tidak tercantum dalam perjanjian, sedangkan bagi klausula pilihan forum seringkali dipilih forum non litigasi yang kurang memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Bagi klausula pilihan hukum walaupun sering dilakukan dengan pilihan hukum yang diam-diam, dan seringnya dipilih forum non litigasi menunjukkan minimnya perhatian para pihak terhadap kedua klausula tersebut. Selain masalah substansi, kedua klausula tersebut tidak dapat didiamkan begitu saja, harus ada perhatian lebih para pihak untuk lebih serius terhadap kedua klausula tersebut untuk dicantumkan secara tegas dalam perjanjian dan dipilihkan pilihan yang dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak.

This thesis discusses International Private Law in Clauses of Choice of Law and Choice of Forum, and Clauses of Licensing to The Third Party (Study in Agreement between Indonesian Institute of Sciences and Zhejing University). This thesis research uses methods normative juridical using analytical approach to analyze international private law practice in law of contract by examining and reviewing the provisions of legislation, particularly of Indonesia Civil Code and Law of Patent No. 14 Year of 2001. There is some reason for using international private law to analyze clauses of choice of law and choice of forum because there are international connection and foreign element in that agreements which are included in international private law.
In fact to the practice of agreements making in Indonesian Institute of Sciences (LIPI) that clause of choice of law often to "be ignored" by both parties because it is not lined in the agreements, and non litigation forum which are both parties often to choose are not giving legal certainty for both parties. It is showed that both parties are not giving much attention to that clauses. Besides of substansial problem, that two clauses can not be waived, there must be more attention form both parties to lined it in the agreements and to choose a dispute resolution forum which is giving legal certainty to both parties.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28597
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Magda Pia Rani
"Terlepas dari peran penting putusan arbitrase dan kesetaraannya dengan putusan pengadilan, penegakan dalam praktis dan pelaksanaan putusan ini menghadapi tantangan berat, khususnya dalam konteks keterlibatan negara berdaulat. Pihak negara sering mengajukan argumen yang menentang yurisdiksi arbitrase atau menegaskan hak untuk pengabaian, memerlukan panduan yang tepat yang berasal dari ketentuan undang-undang yang menghindari ambiguitas dan bias, memohon kekebalan kedaulatan mereka sebagai perisai terhadap penegakan dan pelaksanaan putusan arbitrase. Studi ini secara komprehensif menganalisis interaksi rumit antara sistem pengadilan nasional dan proses ISDS. Menggunakan pendekatan studi kasus yang mencakup yurisdiksi hukum umum seperti Australia, Hong Kong, dan Kanada, penelitian ini mengeksplorasi bagaimana pengadilan nasional dengan sistem hukum yang berbeda menyelaraskan kerangka hukum mereka dengan tujuan dan tujuan mendasar arbitrase ICSID. Temuan penting dari penyelidikan ini menekankan pentingnya keadilan bagi pihak-pihak yang terlibat, yang bergantung pada kejelasan dan integritas peraturan arbitrase itu sendiri.

Despite the vital role of arbitration awards and their equivalence to court judgments, the practical enforcement and execution of these awards encounter formidable challenges, particularly in the context of sovereign state involvement. State parties often raise arguments contesting the arbitration jurisdiction or asserting entitlement to waivers, necessitating precise guidance derived from statutory provisions that avoid ambiguity and bias, invoking their sovereign immunity as a shield against the enforcement and execution of arbitration awards. This study comprehensively analyses the intricate interplay between national court systems and ISDS processes. Employing a case study approach encompassing common law jurisdictions such as Australia, Hong Kong, and Canada, this research explores how national courts with distinct legal systems align their legal frameworks with the ICSID arbitration's fundamental objectives and purposes. A salient finding of this investigation emphasizes the essentiality of justice for the parties involved, which hinges on the clarity and integrity of the arbitration rules themselves."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Goode, Roy
London: Penguin Books, 2004
346.07 GOO c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ayuning Tirta Parameswari
"Lex arbitri adalah hukum yang berlaku untuk arbitrase, mencakup isu internal maupun eksternal yang terkait prosedural suatu proses arbitrase. Berdasarkan ketentuan New York Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (selanjutnya disebut New York Convention), kompetensi absolut untuk membatalkan suatu putusan arbitrase terletak pada pengadilan tempat kedudukan arbitrase (arbitral seat).
Akibatnya, pengadilan negara selain arbitral seat tidak dapat mengadili pembatalan putusan arbitrase. Sebagai negara anggota New York Convention, Indonesia tentunya terikat pada ketentuan ini. Di Indonesia juga terdapat ketentuan dalam Reglement of de Rechtsvordering (RV) dimana hakim wajib menyatakan dirinya tidak berwenang apabila suatu perkara di luar kewenangannya.
Skripsi ini bertujuan memberikan analisis mengenai penerapan lex arbitri terhadap kompetensi absolut dalam tiga perkara permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional, yaitu Putusan Nomor : 494 / PDT.ARB/2011/PN.JKT.PST, Putusan Nomor: 631K/Pdt.Sus/2012., dan Putusan Nomor : 271 /Pdt.G/ 2010/ PN.Jkt.Pst.

Lex arbitri is the law applicable to the arbitration, including internal issues as well as relevant external procedural an arbitration process. Based the provisions of the New York Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral awards 1958 (hereinafter referred to as the New York Convention), competence absolute to overturn an arbitration decision lies in court the seat of arbitration (arbitral seat).
As a result, in addition to state courts arbitral seat can not judge the cancellation of the arbitration decision. as the country members of the New York Convention, Indonesia would be bound by these terms. In Indonesia also there are provisions in the Reglement of de Rechtsvordering (RV) where the judge shall declare itself not competent when a case in beyond its authority.
This thesis aims to provide an analysis of lex implementation arbitri the absolute competence in three cases the petition cancellation of the international arbitration decision, namely Decision No. 494 / PDT.ARB / 2011 / PN.JKT.PST, Decision Number: 631K / Pdt.Sus / 2012, and Verdict Number: 271 /Pdt.G/ 2010 / PN.Jkt.Pst.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S63938
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Macintryre, Ewan
London: Blackstone Press, 1998
R 346.07 MAC c
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Stephenson, Graham
London: Blakstone Press, 1995
346.07 STE c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>