Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 132101 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fabiola Rossy Septya Christina
"ABSTRAK
Skripsi ini merupakan analisis bentuk-bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5 Tahun 1999) dalam kasus-kasus terkait konsesi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta perspektif tentang konsesi menurut hukum persaingan usaha di Indonesia saat ini. Analisis dilakukan dengan menguraikan pandangan-pandangan berbagai pihak dalam kasus-kasus terkait konsesi BUMN dan makna pengecualian Pasal 50 huruf a dan Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan metode pengolahan dan analisis data yang menggunakan pendekatan kualitaif. Hasil dari penelitian menemukan bahwa: bentuk-bentuk pelanggaran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 meliputi oligopoli, tying agreement, monopoli, penguasaan pasar, persekongkolan, penyalahgunaan posisi dominan, dan jabatan rangkap; dan pengecualian menurut Pasal 50 huruf a dan Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999 hanyalah pengecualian terhadap kedudukan monopoli, bukan terhadap perbuatan dan/ atau perjanjian lain yang dilarang menurut UU No. 5 Tahun 1999.

ABSTRACT
This Thesis is a comprehensive analysis of the kinds of violation of Law Number 5 of 1999 on Prohibitions of Monopoly Practice and Unfair Business Competition (?Law Number 5 of 1999?) in the cases related to concession for State Owned Company which have been decided by Business Competition Supervisory Commission (Komisi Pengawas Persaingan Usaha/ KPPU); and the perspective on concession according to Competition Law in Indonesia nowadays. The Writer elaborates the perspectives on the presumptions of violation of Law Number 5 of 1999 according to the parties in the cases related to concession for State Owned Company and the meaning of exemptions in accordance with Article 50 point a and Article 51 in Law Number 5 of 1999. This research is juridical normative with qualitative method and analysis. The results show that the kinds of violation to Law Number 5 of 1999 are oligopoly, tying agreement, monopoly, market controlling, conspiracy, abuse of dominant position, and double office; and the exemptions in accordance with Article 50 a and Article 51 in Law Number 5 of 1999 apply only to the monopoly position, not to other agreements and/ or activities prohibited by Competition Law.
"
2015
S59051
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.M. Firdaus
"Adanya potensi yang sangat besar mendorong para pelaku usaha di bidang pasar retail hypemarket bersaing untuk mencari keuntungan dengan menguasai pasar seluasluasnya dan mendapatkan pelanggan sebanyak-banyaknya melalui berbagai cara. Mengingat para pelaku usaha di bidang retail hypemarket ini bersaing secara langsung di wilayah-wilayah tersebut, maka dalam prakteknya terdapat permasalahan-permasalahan yang timbul, salah satunya adalah laporan pada tanggal 20 Oktober 2004 yang masuk ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), adapun laporan tersebut berisi mengenai adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dilakukan oleh PT. Carrefour Indonesia (Carrefour)."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16596
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Heince Tombak
"Industri ritel atau yang disebut juga bisnis eceran merupakan bisnis yang tidak lesu ditengah-tengah krisis yang sedang melanda bangsa ini. Padahal di sisi lain, terlihat macetnya kinerja sebagian besar industri-industri yang sebelum krisis menjadi penggerak perekonomian negara, Hal ini diakibatkan karena industri ritel bersentuhan langsung dengan kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari dimana proses perputaran barang dan uang di dalamnya sangat cepat.
Laju pertumbuhan industri ritel pada saat ini sangat pesat. Hal ini dapat dilihat dari tumbuhnya pusat-pusat Perbelanjaan Modern baru baik oleh investor asing maupun lokal. Begitu juga ekspansi yang dilakukan oleh pengusaha lama didalam memperluas jaringan usaha mereka dengan menambah gerai-gerai baru. Laju pertumbuhan yang pesat bahkan pasar modern bukan tidak memiliki dampak negartif, hal ini terlihat dari: keterdesakan pasar tradisional dan usaha kecil dan juga persaingan yang tidak sehat sesama peritel modern.
Untuk itu penulis mencoba menganalisis didalam tesis ini seluruh kebijakan yang telah dikeluarkan Pemerintah di Industri ritel yang bertujuan untuk:
1) Memberikan gambaran tentang industri ritel di DKI Jakarta mengenai jumlah perusahaan berdasarkan skala usaha, sebaran geografis usaha,
2) Mengevaluasi kebijakan industri ritel di DKI Jakarta dengan peraturan yang di keluarkan oleh BKPM, Depperindag, Pemda DKI Jakarta,
3) Memberikan gambaran peta persaingan industri ritel di DKI Jakarta,
4) Memberikan sumbangan untuk penyempurnaan kebijakan persaingan industri ritel di Indonesia.
Dalam menganalisis permasalahan yang ada penulis menggunakan metode analisis:
1) Analisis deskriptif dengan menggunakan dasar-dasar hukum kompetisi dihubungkan dengan teori organisasi industri khususnya dalam bidang kebijakan persaingan,
2) Melakukan Depth Interview terhadap institusi pemerintah yaitu Depperindag, Pamda DKI Jakarta, Pelaku usaha ritel yang diwakili Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia) dan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) mengenai permasalahan yang ada di industri ritel dan solusi yang diberikan.
Dan hasil analisis yang dilakukan, di peroleh hasil sebagai berikut:
1. Kebijakan Entry barrier (melarang peritel asing memasuki industri ritel Indonesia) yang di tetapkan pemerintah terakhir melalui Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 51 tahun 1995, terbukti tidak efektif menggusur keberadaan peritel asing di Indonesia Hal tersebut terlihat dari keberadaan peritel asing setelah kebijakan entry barrier dikeluarkan pemerintah. Tidak efektifnya kebijakan tersebut diakibatkan tidak komprehensifnya aturan yang ada, sehingga peritel asing memanfaatkan jalur kerjasama yaitu system waralaba dalam mempertahankan eksisitensi usahanya dan hal tersebut juga dimanfaatkan peritel asing baru yang ingin masuk ke Indonesia.
2. Konsep aturan mengenai lokasi yang sangat tidak jelas seperti aturan yang tertuang di dalam SK Gubernur DKI Jakarta No 50 tahun 1999, merupakan akar permasalahan terbesar dalam menimbulkan kekacauan di industri ritel dan berdampak pada terjepitnya keberadaan pasar tradisional atas keberadaan pasar modern Hal tersebut terlihat dari pertumbuhan pasar modern yang pesat yang ditunjukkan dari jumlah pesat perbelanjaan modern dari tahun 1993 sampai tahun 2000, masing-masing kenaikan 100 % pada daerah Jakarta Pusat, 223% pada daerah Jakarta Utara, 100% pada daerah Jakarta Barat, 183 % pada daerah Jakarta Selatan dan 125 % pada daerah Jakarta Timur. Pada peritel modern sangat terlihat laju pertumbuhan yang pesat dimana ditunjukkan dari peningkatan jumlah gerai tiga peritel pagan atas yaitu Matahari, Hero dan Ramayana dari tahun 1997-2000 masih mendominasi yaitu 28 gerai, 31 gerai dan 46 gerai. Hal itu juga diperkuat dari total penjualan mereka tahun 2001 masing-masing sebesar Rp 3,532 trilyun, Rp 1,4 trilyun dan Rp 1,622 trilyun. Pada pasar tradisional terjadi penurunan dari tahun 1993 sampai tahun 2000, yaitu sebesar 11,6 % pada daerah Jakarta Pusat, 4 % pada daerah Jakarta Utara, 3,5 % pada daerah Jakarta Barat, 6,6 % pada daerah Jakarta Selatan dan 13,2 % pada daerah Jakarta Timur,
3. Tidak jelasnya pengembangan kedepan dari system perkulakan dan juga didukung oleh kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya yang tidak tepat, menyebabkan pengusaha yang terjun dalam system perkulakan tidak mengindahkan aturan bagi perkulakan yang di tetapkan seperti pada SK Gubernur NO. 50 tahun 1999. Sistem penjualan langsung ke konsumen dan juga dalam bentuk satuan, merupakan desakan atas kehadiran peritel asing seperti Carrefour yang berlokasi di jantung kota. Begitu juga diversifikasi usaha dengan menekuni usaha minimarket, merupakan strategi menjaga eksistensi usahanya dan peritel lainnya yang sudah terlebih dahulu ada. Hal itu juga disebabkan akibat tidak adanya aturan yang mengatur hal tesebut yang di tetapkan oleh pemerintah.
4. Baik pengusaha maupun Pemerintah DKl Jakarta melihat panjangnya proses dalam memperoleh ijin usaha pasar modern sangat tidak efisien. Panjangnya "birokrasi" tersebut, akan berpotensi inembuat pendatang baru (new entry) untuk berpikir panjang untuk masuk, karena biaya awal (Sunk cost) yang dikeluarkan sangat mahal dan ditambah dengan proses waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh ijin sangat lama. Bagi pemain lama (Incumbent), akan berpikir ulang untuk ekspansi dengan membuka gerai baru.
5. Aturan jam buka dan tutup yang ditetapkan pemerintah bagi pasar modern tidak masalah bila adanya aturan yang komprehensif dalam industri ritel. Adanya perkulakan yang membuka lebih awal dari waktu yang ditetapkan, diakibatkan oleh aturan yang ada khususnya dalam lokasi memicu persaingan yang tidak sehat seperti hal tersebut. Pengurangan jam buka bagi pasar modern akan sangat berdampak besar baik bagi peritel sendiri dan juga akan mcnyehabkan terjadinya rasionalisasi karyawan yang sangat besar. Begitu juga dengan penurun penerimaan pemerintah dari sektor pajak dan juga hilangnya pendapatan pedagang kecil di sekitar pasar modern."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T12103
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Wibowo
"Kehadiran pedagang kakilima sebagai bagian dari sektor informal tampaknya masih tetap harus diperhitungkan dalam konteks permasalahan tenaga kerja. Masalahnya dapat menjadi positif apabila kehadiran mereka dipandang sebagai wadah limpahan tenaga kerja dan menjadi negatif apabila kehadirannya dipandang sebagai sesuatu yang dapat menimbulkan kemacetan lalulintas, gangguan kesehatan, gangguan ketentraman dan ketertiban dan sebagainya, sehingga pemerintah daerah sering membuat beraneka kebijakan yang berbeda. Di satu pihak pemerintah daerah sering melakukan kebijakan akomodasi dan promosi, di pihak lain mengeluarkan kebijakan yang membatasi kegiatan pedagang kakilima.
Tesis ini berusaha mengkaji beberapa isu penting berkaitan dengan kebijakan pembinaan pedagang kakilima di Kota Jakarta. Fokus utama penelitian ini adalah tentang elemen-elemen kebijakan, sosialisasi dan kemungkinan penyimpangannya dalam penanganan pedagang kakilima. Untuk melihat proses perumusan dan implementasi kebijakan-kebijakan tersebut. dipergunakan metode yang didasarkan pada kerangka berpikir dari Bromley. Metode ini pada dasarnya untuk mengukur dan melihat kebijakan dari sisi policy level, organizational level dan operational level.
Pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan mengkombinasikan antara metode kualitatif dan kuantitatif Untuk mengetahui kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah, peneliti menggunakan metode kualitatif melalui studi kepustakaan dan wawancara mendalam, sedangkan untuk mengetahui pola-pola interaksi yang ada pada pedagang kakilima digunakan metode kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner kepada 416 responden pedagang kakilima di wilayah Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan dan Pasar Senen Kotamadya Jakarta Pusat.
Teknik analisis data kuantitatif menggunakan Chi Square dengan uji signifikansi 95 %, sedangkan pengujian pola-pola interaksi (data kualitatif) adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan, sikap pedagang kakilima dan pandangan pemerintah dengan efektifitas pelaksanaan kebijakan pembinaan pedagang kakilima. Hasil pengujian statistik dengan menggunakan alat bantu SPSS Release 6,0 menunjukkan ternyata memang terdapat hubungan antara variabel-variabel tersebut dan melalui pengujian signifikansi dapat dikatakan hubungan tersebut berlaku juga di tingkat populasi.
Sebenarnya cukup banyak kebijakan yang dibuat oleh pemerintah namun dalam penelitian ini yang dianggap penting adalah kebijakan mengenai permodalan, kemitraan usaha, manajemen usaha, retribusi dan perizinan.
Pada policy level kebijakan pemerintah di bidang usaha kaki lima adalah pasal 27 ayat 2 dan pasal 33 UUD 1945 yang diimplementasikan dengan ketetapan MPR No. 4 tahun 1978 tentang GBHN di tingkat organisasi (Organizational Level) kebijakan yang dikeluarkan melalui Undang-undang dan peraturan pemerintah, sedangkan pada operasional level Pemerintah DKI Jakarta lebih banyak mengeluarkan kebijkan yang sifatnya teknis dan belum mengeluarkan kebijakan secara khusus yang mengatur pembinaan dan pengembangan pedagang kakilima.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara variabel pendidikan dengan variabel efektivitas pelaksanaan kebijakan pembinaan sektor informal / PK 5 berupa kesediaan beralih profesi dengan nilai Chi Square sebesar 13,781 yang berarti Ho ditolak dan pada tingkat populasi hubungan variabel ini juga berlaku, pada hubungan antara variabel pendidikan dengan variabel pengetahuan terhadap Perda DKI Jakarta Nomor 5 tahun 1978 dan Perda Nomor 11 Tahun 1988 diperoleh nilai sebesar 10,541 yang berarti Ho ditolak (terdapat hubungan yang signifikan). Di samping itu juga terlihat adanya hubungan antara variabel sikap responden dengan variabel kesediaan beralih profesi dengan nilai Chi Square sebesar 44,130 yang berarti Ho ditolak dan pada tingkat populasi hubungan ini juga berlaku, sedangkan antara variabel sikap responden dengan variabel pengetahuan terhadap Perda DKI Jakarta No. 5 Tahun 1978 dan Perda Nomor 11 Tahun 1988 diperoleh Chi Square sebesar 6,957 yang berarti Ho diterima (tidak terdapat hubungan yang signifikan)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T8046
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Nur Ramadhani
"Dalam perkembangannya dewasa ini, Ritel telah menjadi salah satu bidang usaha yang diminati oleh investor, baik lokal maupun asing. Persaingan ketat antara peritel lokal dan peritel asing, termasuk waralaba lokal dan asing, memaksa peritel lokal dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) untuk membenahi diri agar dapat bersaing dan sejajar dalam usaha pasar ritel. Kondisi ini tentunya merupakan hal yang positif bagi masyarakat luas sebagai konsumen yang diuntungkan dari persaingan tersebut dan sekaligus memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional secara makro serta mendukung usaha Pemerintah terkait dengan penciptaan lapangan dan penyerapan tenaga kerja. Pemerintah sebagai Regulator dan penentu kebijakan memiliki peran yang sangat penting demi terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat dan perlindungan terhadap UMKM. Oleh karena itu ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum, iklim persaingan usaha yang sehat dalam rangka menarik modal investor, baik dalam maupun luar negeri, serta perlindungan bagi pelaku usaha nasional.

In its recent development, Retail has become one of the most sought after line of business by local and foreign investors. Fierce competition between local and foreign retailer, including local and foreign franchise, has forced local retailer as well as Micro, Small and Medium Enterprise (UMKM) to make business improvement and reform in order to compete and align themselves in the Retail market competition. This condition is certainly a positive thing for the public as consumers who profited by such competition and sufficiently contributes for the national economy as well as element of support for the Government in its effort to create job opportunities and fight against unemployment. The Government is one of the crucial key player in this equation as the State Regulatory and policy-maker, to ensure healthy business competition and the protection of UMKM in Retail market. Therefore, the prevailing laws and regulations must provide certainty of law, promote healthy business competition atmosphere in order to attract both local and foreign investors, as well as the protection of national businesses."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45510
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Kusumadevi
"Kegiatan waralaba diawali dengan dibuatnya perjanjian waralaba secara tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. Pembuatan perjanjian waralaba ini menerapkan asas kebebasan berkontrak yang berarti para pihak dapat menentukan isi perjanjian tetapi tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan, hal ini merupakan implemantasi dari syarat sebab yang halal yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian. Sebagai pelaku usaha yang tujuannya untuk mencari keuntungan, para pihak dalam perjanjian waralaba juga harus tunduk pada hukum persaingan usaha. Namun, sistem waralaba ini dikecualikan untuk tunduk terhadap UU No. 5 Tahun 1999 ini, hal ini dicantumkan dalam Pasal 50 huruf b. Kemudian dalam praktiknya, terdapat klausul-klausul dalam perjanjian waralaba yang berpotensi mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, maka dibuat Pedoman Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999 mengenai pembatasan terhadap pengecualian Pasal 50 huruf b, tetapi pedoman ini tidak dapat mengikat secara umum karena dibuat bukan berdasarkan perintah perundang-undangan yang lebih tinggi. Menurut pedoman ini klausulklausul dalam perjanjian waralaba yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat tidak dikecualikan untuk tunduk pada UU No. 5 Tahun 1999. Untuk menghindari adanya persaingan usaha yang tidak sehat, perjanjian waralaba tetap harus berpedoman pada UU No. 5 Tahun 1999. Pendekatan dalam skripsi ini dilakukan dengan menggunakan analisis berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, serta membandingkannya dengan peraturan waralaba yang berlaku di Inggris. Inggris tidak memiliki peraturan yang secara spesifik mengatur mengenai waralaba, hanya terdapat kode etik yang dibuat oleh organisasi nirlaba yang bergerak di bidang waralaba. Setelah melakukan perbandingan, kemudian dilakukan analisis suatu perjanjian waralaba antara PT SAT dan HM untuk menilai klausul-klausul yang terdapat di dalamnya apakah sesuai dengan prinsip persaingan usaha atau tidak. Berdasarkan analisis perjanjian waralaba PT SAT dan HM tidak melanggar prinsip persaingan usaha.

Franchise business activities are started from the making of a written franchise agreement that is signed by both or more of the parties. The writing of this agreement puts forth the principle known as freedom of contract, which means the parties are free to determine the body of the contract as long as it does not contradict with the law, general order, and moral decency. This principle is an implementation towards the good cause as one of the condition for the licit agreement. As an entrepreneur who aims for profit, the parties involved should binds themselves to competition law. But, franchise itself is an exception for Law No. 5 Year 1999, as ruled in article 50 letter (b). And also in practice, there are clauses that could potentially cause an unfair practice in the franchise agreement, so therefore an Implementing Guidelines for Article 50 letter (b) Law No. 5 Year 1999 regarding boundaries for the exception ruled out in article 50 letter (b). But this implementing guideline can?t bind in general because it is made not from command of the higher law. According to this guidelines, the clause in a franchise agreement that may cause an unfair practice is not an exception to bind to Law No. 5 Year 1999. To avoid an unfair practice, the franchise agreement must be in accordance to Law No. 5 Year 1999. This thesis is approached by analyzing governing law, and by comparing it with the British franchise regulation. The British did not have any regulation that is specifically governs franchising, but there are only code of ethics that is created by a non-profit organization that moves in the franchising field. After the comparison, an analysis to a franchise agreement between PT. SAT and HM is done to assess the clauses that is in the body of the agreement, whether or not it is in accordance to competition law principle or not. According to the analysis, the franchise agreement between PT. SAT and HM did not violate the competition law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42339
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Carolinasari
"Fenomena globalisasi yang terjadi saat ini mengakibatkan berkembang pesatnya perdagangan dunia, salah satunya yaitu waralaba (franchise). Indonesia sendiri mempunyai potensi yang baik untuk pengembangan bisnis waralaba. Pesatnya arus masuk waralaba asing ke Indonesia disebabkan oleh pasar Indonesia yang sangat kondusif bagi perkembangan usaha waralaba asing. Namun ternyata berkembangnya waralaba asing di Indonesia memberikan dampak negatif yaitu dapat memperlebar kesenjangan ekonomi antara usaha besar, usaha menengah dan usaha kecil. Dalam rangka mendorong peningkatan waralaba ke arah membangun kemitraan dengan pengusaha kecil dan menengah dalam bentuk penerima waralaba atau pemasok bahan baku termasuk peningkatan penggunaan produksi dalam negeri, maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dengan diikuti munculnya Permendag no. 53/2012 Tentang Penyelenggaraan Waralaba. Dalam pelaksanaannya Permendag no. 53/2012 banyak menemui kendala, salah satu pasal yang dianggap melahirkan kontroversi yaitu adanya ketentuan penggunaan bahan baku 80% harus berasal dari produk dalam negeri yang dirasa sangat merugikan para waralaba asing. Akan tetapi di dalam merumuskan ketentuan penggunaan bahan baku tersebut, Pemerintah (sebagai negara peratifikasi Perjanjian WTO) tidak melanggar Prinsip Perdagangan WTO yaitu Special and Differential to Developing Nations dan mengacu pada tujuan pembentukan Keputusan Komisi No. 57/2009 tentang Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 Terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba dan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah agar dapat menjamin kesempatan berusaha bagi seluruh pelaku usaha, mewujudkan iklim usaha yang kondusif sebagaimana dijamin dalam UU Persaingan Usaha Indonesia.

Globalization phenomenon is occurred today make the rapid development of world trading, one of them is franchise. Indonesia have good potency in order to develop the franchise business. The fast growth of foreign franchise in Indonesia because Indonesia market is very conducive for the development of foreign franchise business. But in the fact the development of foreign franchise in Indonesia give negative effect namely can make the wide of economics gap between big business, middle and small business. In order to support the increasing of franchise to the direction of building the partnership with small and medium business in form of the receiver of franchise or the supplier of material included the increasing of local production usage, so the government release the Regulation of Government Number 42/2007 about the franchise by followed about the releasing Permendag Number 53/2012 about the implementation of franchise. In its implementation Permendag number 53/2012 there are so many problem founded, one of some article that be estimated make the controversy namely there is the regulation of material usage about 80% must come from local product that be felt make lost absolutely for the foreign franchise. Meanwhile in making the formula of such local content usage regulation, government (as the country of WTO agreement ratification) do not abuse WTO trading principle namely special and differential to Developing Nations and refer to the purpose of establishment Commission decree Number 57/2009 about the exception of application of Laws Number 5/2009 for the micro, middle and small business in order that can insurance the opportunity of business for all the doer of business, to realize the climate of business which is conducive as be guaranteed in the laws if Indonesia business competitiveness."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T33047
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2001
S23597
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Novia Anggita
"Permendag RI No. 7 Tahun 2013 pada dasarnya mengatur mengenai pembatasan jumlah gerai waralaba untuk jenis usaha jasa makanan dan minuman. Tujuannya adalah untuk pemerataan ekonomi dengan mengembangkan usaha kecil dan menengah melalui pengembangan kemitraan dalam waralaba dengan pola penyertaan modal. Pada prakteknya, mayoritas pemberi waralaba merek asing terkenal hanya akan mempercayakan pemasaran merek dagangnya kepada satu penerima waralaba di Indonesia. Hal ini dinilai oleh pemerintah sebagai pemicu terjadinya kesenjangan sosial, ditakutkan pemilik waralaba ini akan semakin merajai dan menjajah perekonomian negara dengan memonopoli sistem perdagangan dalam negeri. Maka untuk mengantisipasi hal tersebut, dikeluarkanlah Permendag RI No. 7 Tahun 2013. Namun yang menjadi permasalahan adalah bagaimanakah implementasi dari regulasi ini dalam kegiatan bisnis waralaba secara nyata? Dapatkah regulasi ini menjadi suatu solusi yang komperhensif untuk mengembangkan usaha kecil dan mengengah sehingga terwujud pemerataan ekonomi? Bagaimana mengenai perlindungan hukum terhadap pemilik waralaba? Mengingat kegiatan perkembangan waralaba di Indonesia yang semakin pesat, dan semakin banyaknya waralaba merek asing yang masuk ke Indonesia, maka Pemerintah Indonesia selaku regulator perlu memberikan perhatian khusus terutama dari segi hukum yang mengatur waralaba di Indonesia. Penelitian ini akan memberikan tinjauan hukum atas usaha waralaba merek asing terkenal di Indonesia, terkait dengan keberlakuan Permendag RI No. 7 Tahun 2013. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan yang bersifat normatif yuridis. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis yang bersifat kualitatif.

This regulation, basically set on limiting the number of franchise outlets in foods and beverages franchise. The purpose is for economic equality by developing small and medium enterprises through the development of partnerships in franchise with the pattern of equity participation. In practice, most of famous foreign trademark franchisor will only entrust the marketing of its trademark to one franchisee in Indonesia. This is seen by the government as a trigger of social inequality, franchisor will increasingly dominate and colonize the country's economy to monopolize trade in the domestic system. In order to anticipate this situation, the government issued the Indonesian Trade Minister Regulation Number : 07/MDAG/ PER/2/2013. However, the problem is about the implementation of these regulation in the franchising activities in real. Can this regulation be a comperhensive solution to develop small and medium enterprisess in order to realizing economic equality? How about the legal protection of the franchisor? Since franchises in Indonesia are growing rapidly, and the increasing number of foreign trademark franchises in Indonesia, the Indonesian government as regulator needs to give special attention, especially in terms of the law governing franchise in Indonesia. This study will provide an overview of business law for famous foreign trademark franchise in Indonesia, associated with Indonesian Trade Minister Regulation Number : 07/M-DAG/PER/2/2013. This type of research is normative juridical literature. Data analysis methods used in this research is descriptive qualitative analysis. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S47115
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Anugra Pratama
"Skripsi ini membahas mengenai seluk beluk waralaba yang ditinjau dari praktik waralaba yang berlaku Internasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Skripsi ini juga membahas mengenai deskripsi dan praktik hubungan kemitraan yang terjadi diantara Pemegang Waralaba dan Pemberi Waralaba; sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tenang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Kemudian, skripsi ini juga menganalis mengenai tinjauan atas keberadaan Waralaba dan Hubungan kemitraan antara Pemegang Waralaba dan Pemberi Waralaba dalam memberdayakan usaha kecil di Indonesia.

This thesis examine about ins and outs about franchise that is reviewed from the practice of international franchise practice prevails and Goverment Regulation Number 42 Year 2007 concerning Franchise. Also, this thesis examine about description and partnership relations occured between Franchisee and Franchisor; as stipulated by Act Number 20 Year 2008 concerning Micro, Small and Medium Enterprise and Goverment Regulation Number 17 Year 2013 concerning Implementation of Act Number 20 Year 200 concerning Micro, Small and Medium Enterprise. Then, this thesis also, analyze a review about franchise institution and partnership relations between franchisee and franchisor existence in order to empowering small enterprise in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46818
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>