Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 109022 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khairina Taris
"[ABSTRAK
Hubungan anak terhadap orang tuanya tidak dapat berakhir karena putusan pengadilan. Salah satu akibat dari perceraian adalah hak asuh anak atau hadhanah. Pokok permasalahan dalam penulisan ini ialah bagaimana akibat hukum dari perceraian terhadap hak pengasuhan anak menurut Hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, serta bagaimana jika setelah putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 0338/Pdt.G/2013/PAJS tersebut, para pihak tidak melaksanakan kewajibannya dalam pemeliharaan anaknya. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder. Dalam hal terjadi perselisihan pada pelaksanaan hadhanah, utamakan penyelesaian secara kekeluargaan, jika melibatkan Pengadilan maka baiknya melibatkan pengawasan oleh Komnas Perlindungan Anak serta senantiasa mendahulukan kepentingan anak.

ABSTRACT
The relation of a child against their parents cannot be expired because judicial decisions. One of divorce?s impact is children custody rights or hadhanah.The main issues in this writing is about the legal consequences of divorce law to the child custody rights according to Islamic Law, Marriage Law and Islamic Law Compilation, and how is the consequences if after judicial decisions of South Jakarta Islamic Court no. 0338/Pdt.G/2013/PAJS take effect, the parties did not carry out their obligations in maintenance of their children. Methods used in this writing is normative law research which done by literature research from primary or secondary material. In the event of disputes during the implementation of hadhanah the parties are strongly suggested to resolve it in a familial manner, but if the dispute involving the Court, better be supervised by Child Protection Commission and always put the interests of children in the first place.
;ABSTRAK
Hubungan anak terhadap orang tuanya tidak dapat berakhir karena putusan pengadilan. Salah satu akibat dari perceraian adalah hak asuh anak atau hadhanah. Pokok permasalahan dalam penulisan ini ialah bagaimana akibat hukum dari perceraian terhadap hak pengasuhan anak menurut Hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, serta bagaimana jika setelah putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 0338/Pdt.G/2013/PAJS tersebut, para pihak tidak melaksanakan kewajibannya dalam pemeliharaan anaknya. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder. Dalam hal terjadi perselisihan pada pelaksanaan hadhanah, utamakan penyelesaian secara kekeluargaan, jika melibatkan Pengadilan maka baiknya melibatkan pengawasan oleh Komnas Perlindungan Anak serta senantiasa mendahulukan kepentingan anak.

ABSTRACT
The relation of a child against their parents cannot be expired because judicial decisions. One of divorce?s impact is children custody rights or hadhanah.The main issues in this writing is about the legal consequences of divorce law to the child custody rights according to Islamic Law, Marriage Law and Islamic Law Compilation, and how is the consequences if after judicial decisions of South Jakarta Islamic Court no. 0338/Pdt.G/2013/PAJS take effect, the parties did not carry out their obligations in maintenance of their children. Methods used in this writing is normative law research which done by literature research from primary or secondary material. In the event of disputes during the implementation of hadhanah the parties are strongly suggested to resolve it in a familial manner, but if the dispute involving the Court, better be supervised by Child Protection Commission and always put the interests of children in the first place.
, ABSTRAK
Hubungan anak terhadap orang tuanya tidak dapat berakhir karena putusan pengadilan. Salah satu akibat dari perceraian adalah hak asuh anak atau hadhanah. Pokok permasalahan dalam penulisan ini ialah bagaimana akibat hukum dari perceraian terhadap hak pengasuhan anak menurut Hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, serta bagaimana jika setelah putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 0338/Pdt.G/2013/PAJS tersebut, para pihak tidak melaksanakan kewajibannya dalam pemeliharaan anaknya. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder. Dalam hal terjadi perselisihan pada pelaksanaan hadhanah, utamakan penyelesaian secara kekeluargaan, jika melibatkan Pengadilan maka baiknya melibatkan pengawasan oleh Komnas Perlindungan Anak serta senantiasa mendahulukan kepentingan anak.

ABSTRACT
The relation of a child against their parents cannot be expired because judicial decisions. One of divorce’s impact is children custody rights or hadhanah.The main issues in this writing is about the legal consequences of divorce law to the child custody rights according to Islamic Law, Marriage Law and Islamic Law Compilation, and how is the consequences if after judicial decisions of South Jakarta Islamic Court no. 0338/Pdt.G/2013/PAJS take effect, the parties did not carry out their obligations in maintenance of their children. Methods used in this writing is normative law research which done by literature research from primary or secondary material. In the event of disputes during the implementation of hadhanah the parties are strongly suggested to resolve it in a familial manner, but if the dispute involving the Court, better be supervised by Child Protection Commission and always put the interests of children in the first place.
]"
2015
S58998
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoannita Mariani
"ABSTRAK
Dalam menjalin hidup bersama melalui pembentukan sebuah keluarga, setiap suami isteri menghendaki agar perkawinan yang dibangun berjalan dengan harmonis untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan kekal. Namun dalam menjalankan kehidupan rumah tangga, suami isteri seringkali dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan yang timbul sehingga dapat menyebabkan sebuah perkawinan gagal dan berakhir pada pemutusan hubungan suami isteri melalui perceraian. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur mengenai pemutusan ikatan perkawinan karena perceraian sedangkan pada Hukum Kanonik dalam agama Katolik tidak mengatur mengenai pemutusan ikatan perkawinan karena perceraian, oleh karena perkawinan agama Katolik memiliki sifat hakiki unitas atau monogami dan indissolubilitas atau tak terceraikan. Namun terdapat pengecualian dalam agama Katolik yang mengatur mengenai putusnya perkawinan melalui prosedur kebatalan perkawinan anulasi , Putusnya perkawinan karena perceraian di Pengadilan Negeri tidak dapat dipersamakan alasanalasannya dalam kebatalan perkawinan anulasi di Pengadilan Gereja Tribunal kecuali apabila terdapat keterkaitan dengan alasan-alasan karena unsur halangan perkawinan atau cacat kesepakatan perkawinan atau cacat tata formanica, seperti pada kedua kasus putusnya perkawinan karena perceraian di Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan Pengadilan Negeri Samarinda yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap secara hukum positif, akan tetapi secara hukum kanonik perkawinan tersebut tidak dapat diputuskan melalui kebatalan perkawinan anulasi.

ABSTRACT
In the case of two people starting a family, both husband and wife hopes that their marriage will run smoothly in order to achieve the goal of a happy marriage and long lasting union. However, in marriage life sometimes both husband and wife are faced with difficulties which cause the marriage to end in divorce. Law Number 1 of the Year 1974 on marriage governs the end of marriage due to divorce. The Catholic canon law however does not govern this because a marriage within the Catholic religion considered in having an intrinsic quality of a sacred union unitas , monogamy and indissolubility. Nevertheless, there is an exception in Catholic religion that rules the end of a marriage by what you called an annulment. The end of a marriage due to divorce in district court has different grounds compared to an annulment in church jurisdiction Tribunal unless in a case where there is an interconnection with the grounds caused by interruption within the marriage or defect in the marriage agreement or defect in rules of Formanica. Such condition took place on two divorce cases at District court of East Jakarta and District court of Samarinda which both received permanent legal entity and has positive standing in the eyes of law but when it was taken to Canon Catholic Law the marriage failed to be annulled. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devia Buniarto
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai status waris dari suami non Islam yang
menikah dengan almarhumah istrinya secara Islam dan perkawinannya
didaftarkan di KUA. Pada saat istri meninggal terjadi sengketa perebutan warisan
antara suami dan saudara-saudara kandung sang istri. Suami merasa berhak atas
harta bersama mereka selama perkawinan sedangkan saudara-saudara sang istri
menganggap perkawinan mereka tidak sah sehingga si suami tidak berhak sama
sekali atas harta sang istri, yang berujung kepada pembatalan perkawinan dari
suami dan istri tersebut dikarenakan adanya peralihan agama yang dilakukan
suami dan istri tersebut karena pada dasarnya mereka tidak beragama Islam.
Meskipun menurut Pasal 72 HOCL peralihan agama tidak menyebabkan
batalnya/gugurnya perkawinan dan Pasal 28 UU Perkawinan menyatakan
pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap harta bersama. Sehingga
timbul pertanyaan bagaimana status kewarisan suami dari kasus diatas dan
bagaimanakah pembagian harta bersama terkait dengan perkawinan diatas.
Penulis menggunakan metode penelitian normatif dengan mempelajari Putusan
Mahkamah Agung dan mencari referensi dari bahan hukum lainnya. Dari hasil
penelitian, penulis dapat menyimpulkan bahwa perkawinan yang tidak memenuhi
syarat materiil dapat dibatalkan meskipun salah satu pasangannya sudah
meninggal untuk kepentingan waris. Peralihan Agama dalam perkawinan yang
disertai dengan itikad tidak baik dapat menjadi alasan pembatalan perkawinan
tersebut dan harta bersama tidak dapat dibagikan sama rata apabila salah satu
pihak mempunyai itikad tidak baik atau pihak yang satu suami/istri lebih kaya dari
pihak yang lainnya suami/istrinya.

ABSTRACT
This thesis describes the inheritance status of non-Muslim husband whom
married to his late wife in Islam which marriage registered at KUA (Office of
religious affairs). When wife passed away, dispute arose between the husband and
wife’s legacy siblings. Husband was entitled to the matrimonial property during
the marriage while the wife's siblings consider their marriage is not valid so the
husband is not entitled at all to the property of his wife, which led to the marriage
annulment of husband and wife due to the conversion of religion whom husband
did when they were married because basically they are not Muslims. Although
according to Article 72 HOCl conversion does not lead to the marriage annulment
and Article 28 of UU 1/1974 matrimonial property is not retroactive by the
marriage annulment. Thus the question arises how the husband inheritance status
of the above case and how the division of matrimonial property from the above
marriage. The author uses the method of normative research to study the Supreme
Court and seek references from other legal materials. From the research, authors
conclude that marriage is not eligible material can be annulled even though one
partner had died for the sake of inheritance. Conversion of Religion in marital
transition is accompanied by bad faith can be a reason for the marriage annulment
and matrimonial property shall not be distributed equally, if one of other party has
a bad faith of the others or husband / wife is richer than the other party / sp"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38906
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Taufik
"Putusnya hubungan perkawinan karena penceraian membawa akibat hukum yang salah satunya masalah harta bersama. Selama perkawinan suami istri berjalan dengan harmonis, mereka tidak mempermasalahkan harta bersama. Tetapi prakteknya sering terjadi salah satu pihak ingin memperoleh bagian yang lebih besar atau mungkin salah satu pihak hanya mengambil keuntungan saja dari perkawinan itu, bahkan ingin menguasai sendiri atas harta bersama setelah terjadi perceraian. Dari uraian tersebut, timbul masalah bagaimana pembagian harta bersama akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. apa akibat hukum dari pembagian harta bersama yang tidak sesuai dengan Undang-undang. Apakah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 41/T/79.G sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
Penulisan Tesis ini menggunakan metode kepustakaan yang bersifat yuridis normatif. Jenis data yang digunakan data sekunder. Meetode penelitian adalah metode kwalitatif sehingga menghasilkan data yang evaluatif sekunder. Mengenai harta bersama diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bebrsama. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Apabila perkawinan putus karena penceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Pembagian harta bersama yang tidak sesuai dengan Undang-undang maka akan merugikan salah satu pihak yaitu suami atau isteri dan juga kepentingan pihak ketiga. Dalam hal suami atau isteri yang merasa dirugikan dengan pembagian harta setelah penceraian tersebut dapat mengajukan gugatan atau banding ke Pengadilan Tinggi. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 4l/T/7 9.G kurang memperhatikan apakah tanah yang terletak di Jalan Dewi Sertika Nomor 186 Jakarta Timur telah diperjualbelikan atau belum. Karena dengan melihat bukti Akta Jual Beli yang dibuat dihadapat Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang dan jual beli tersebut dilakukan sebelum terjadi perceraian, maka jual beli tersebut sah menurut Undang-Undang. Jadi harta tersebt merupakan harta bersama walaupun dijual kepada anaknya sendiri.

The end of a marriage relationship which is due to the couple?s decision to divorce could bring about several legal consequences, one of which is concerning the partition of the collective assets they earned during the marriage period. Despite the fact that as long as the couple make a harmonic life in their marriage life, they tend not to show concern on the partition of the assets, in reality many cases show that after a divorce, one of the couple usually intends to get more parts, or in some extreme ones, the whole part of the assets they should part between them. Such cases have inspired the creation of the law regulating the partition of collective assets in a broken marriage due to divorce, named Law No.l Year 1974. This thesis intends to identify the legal consequence of a collective property partition which is not in accordance with the Law, and whether the East Jakarta State Court?s Decision No.41/T/79.G has been in accordance with the applicable law in Indonesia. This thesis applies the juridical normative library study, while the data used is the secondary one.
The research method applied in this research is the qualitative one, which leads to an evaluative-analytical data. The matters concerning collective assets partition is regulated in the Article 35 to 37 of the Law No.l Year 1974 which states that the assets earned during the marriage period are considered as collective assets. Concerning this, either the husband or wife is allowed only to act after there is agreement between them. An unfair partition would cause harm on the interest of either the husband, wife, or the third party. In case such a circumstance happens, the harmed party has right to sue or even to make an appeal to the High Court. The decision of the East Jakarta State Court No. 41/T/79.G is considered as not sufficiently well informed whether the status of the land situated in Jalan Dewi Sartika No.l86 East Jakarta has been traded or yet. Considering that the sale-purchase certificate was made before the presence of a Notary (Land Certificate Maker Official), thus the transaction is considered as valid according to the law. Therefore, the asset is considered as a collective asset even though in case it is sold to the couple?s own child.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T37060
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fidela Faustina
"Perkawinan merupakan peristiwa yang sangat umum terjadi dalam masyarakat. Perkawinan dapat menimbulkan akibat-akibat hukum yang banyak dan luas lingkupnya. Perkawinan dapat menimbulkan akibat hukum kepada pihak yang menikah maupun pihak lain diluar pernikahan tersebut. Oleh karena itu, kepastian hukum terkait ada atau tidaknya perkawinan menjadi sangat penting. Kepastian hukum ini dapat terbentuk jika setiap perkawinan dicatatkan pada lembaga catatan
sipil. Akan tetapi, banyak orang yang tidak mengetahui pentingnya pencatatan perkawinan sehingga mereka tidak mencatatkan perkawinannya. Hal ini didorong karena pencatatan perkawinan bukan merupakan salah satu syarat sah perkawinan. Akan tetapi, perkawinan yang tidak dicatatkan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan permasalahan jika perkawinan tersebut akan diceraikan. Perceraian
harus dilakukan dari segi agama atau kepercayaan dan dari segi negara. Pengadilan dapat melakukan penceraian terhadap perkawinan yang tidak dicatatkan dari segi negara. Hal ini menyebabkan pencatatan perkawinan tidak dianggap penting dalam masyarakat. Permasalahan tersebut dapat dicegah oleh pemerintah memberikan pemahaman mendalam kepada masyarakat terkait pentingnya pencatatan perkawinan.
Marriage is an event that happen very often in society. Marriage can cause so many legal consequences in wide scope. Marriage can cause legal consequences to both party that execute marriage and also to other people in society. Therefore, legal certainty about the presence or absence of marriage become very important. Legal certainty about marriage can come up if every marriage that already execute get
registered at The Civil Registry Office. However, there are so many people that do not know how important registration of marriage, so they do not register their marriage. This situation can happen because registration of marriage is not one of the legal requirements to become a valid marriage. However, marriage that not registered can cause legal uncertainty and problem if that marriage wants to be divorced. Divorce must be done from religion or faith side and state side. Court can
execute divorce marriage that not registered from state side. This situation can make people think that registration of marriage is unnecessary. All of this problem can be prevented with government give a deep comprehension to public about how important registration of marriage."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 adalah
untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Namun, tujuan itu
tidak selamanya sesuai dengan yang diharapkan, sehingga
terbuka kemungkinan terjadinya perceraian. Dalam skripsi ini
yang menjadi pokok permasalahan adalah apakah yang menjadi
motivasi terjadinya perkara perceraian yang diajukan ke
Pengadilan Agama Cibinong pada tahun 2004, upaya-upaya apakah
yang dapat ditempuh oleh pihak suami isteri maupun Pengadilan
Agama sebelum putusnya hubungan perkawinan, akibat-akibat
apakah yang dapat ditimbulkan dengan adanya perceraian
berkaitan dengan hubungan suami isteri, anak-anak yang lahir
dalam perkawinan, juga bagaimana terhadap pengaturan tentang
harta yang diperoleh selama perkawinan dimana isteri
mempunyai hak yang sama dengan suami, ditinjau dari UU No. 1
Tahun 1974. Sedangkan metode penelitian yang digunakan dalam
penyusunan skripsi ini adalah menggunakan penelitian
deskriptif. Ada berbagai macam motivasi yang menimbulkan
terjadinya perkara perceraian yang diajukan ke Pengadilan
Agama Cibinong (penulis menyebutkan ada tujuh motivasi).
Upaya-upaya yang dapat ditempuh oleh suami isteri maupun
Pengadilan Agama sebelum putusnya hubungan perkawinan menurut
UU No. 1 Tahun 1974 dengan cara mempersulit terjadinya
perceraian. Pasal 39 UU No. 1 tahun 1974 menentukan
perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah pengadilan sudah berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak dengan meminta bantuan kepada
Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP-
4). Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan yang
diatur secara limitatif dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975,
dan tata cara perceraian diatur dalam peraturan perundangan
tersendiri. Dengan adanya perceraian terdapat akibat-akibat
yang dapat ditimbulkan berkaitan dengan hubungan suami
isteri, anak-anak yang lahir dalam perkawinan dan juga
berkaitan dengan harta yang diperoleh selama perkawinan
dimana isteri mempunyai hak yang sama dengan suami."
[, Universitas Indonesia], 2005
S21169
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudita Trisnanda
"Ketidakjelasan muncul terkait keabsahan perjanjian kawin pasangan suami istri pemeluk agama Katolik yang perceraiannya tidak didaftarkan pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Dapat dikatakan, bahwa pasangan suami istri yang tidak mendaftarkan perceraiannya pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil masih terikat perkawinan yang sah, walaupun telah mendapatkan putusan pengadilan. Permasalahan menjadi semakin kompleks, manakala pasangan suami istri tersebut ingin melakukan perkawinan kembali dengan pasangannya terdahulu. Penelitian menggunakan bahan hukum primer berupa perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan menurut hukum negara dan agama Katolik serta mengenai perjanjian kawin. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku dan wawancara dengan romo dan hakim. Bahan-bahan hukum tersebut kemudian dianalis secara kualitatif. Perjanjian kawin pasangan suami istri pemeluk agama Katolik pada perceraian yang tidak didaftarkan dalam hal terjadi perkawinan kembali tetap sah, kecuali pasangan suami istri tersebut telah membatalkan terlebih dahulu. Notaris selaku pembuat perjanjian kawin juga hendaknya memberikan penyuluhan hukum terkait pentingnya pendaftaran perceraian, dimana dalam perkawinan tersebut diikuti dengan perjanjian kawin.

Unclear status prenuptial agreement arise in catholic marriage if the divorce is not registered in civil registrar. In Indonesia, divorce will be legalized if the couple register their divorce in the civil registrar after the judge grant their request on court proceeding. However, complex situation arise whenever the couple want to do remarriage since catholic does not allow divorce. Furthermore, the notary as the one who create the prenuptial agreement should give clear understanding on legal consequences after creating prenuptial agreement in relation to catholic and Indonesian marriage.A critical question posed in this scene is, does the remarriage process legal under Indonesian law? Does the prenuptial agreement still valid? To answer those questions The research will based on primer sources of law which are indonesia marriage law and catholic marriage law; and secondary sources of law which are books & interview with Churchmans and judges. In addition to that. The research method will based on qualitative approach."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52025
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabilah Shafa
"Perceraian dari perkawinan di luar negeri dan perkawinan campuran internasional dapat dikatakan sebagai perceraian dengan unsur asing. Dalam perkara perceraian dengan unsur asing ini jika ditinjau dari segi HPI memiliki persoalan pokok yang menyangkut pada penentuan hukum yang berlaku serta kewenangan mengadili dari sebuah forum. Dalam prakteknya, ketika perkara perceraian yang melibatkan unsur asing diajukan di hadapan pengadilan Indonesia, maka hukum yang digunakan dalam perkara-perkara perceraian tersebut selama ini adalah lex fori, yakni hukum Indonesia. Sementara itu, dengan adanya perbedaan hukum yang mengatur perceraian serta forum tempat mengadili perceraian yang mungkin berbeda dengan hukum dan forum perkawinan menyebabkan permasalahan perceraian dengan unsur asing menjadi kompleks, Penelitian ini akan membahas serta menganalisis mengenai pertimbangan hakim terhadap forum yang berwenang dan lex fori sebagai hukum yang berlaku dalam perkara-perkara perceraian di Indonesia yakni Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 0304/Pdt.G/2014/PA.JP, Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor Register Perkara 1978/Pdt.G/2017/PA.Tng.Nomor, dan Putusan Pengadilan Negeri Singaraja Nomor 449/Pdt.G/2015/PN.Sg. Penelitian ini akan mengaitkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dengan teori-teori HPI.

Divorce from marriage abroad and international mixed marriage in Indonesia can be considered as divorce with foreign elements. In the case of divorce with foreign elements, if viewed from the Private International Law (PIL) point of view, has the main problem concerning the determination of the applicable law and the competent to adjudicate from a forum. In practice, when cases such as divorce with foreign elements are presented before an Indonesian court, then the law used in divorce cases so far is lex fori, specifically Indonesian law. In fact, due to the differences of the laws governing divorce as well as forums where the divorce proceedings may be different from the law and marriage forums, the problem of divorce with foreign elements becomes complex. This research will discuss and analyze the judges' consideration of the authorized forum and lex fori as the applicable law in the case of Central Jakarta Religious Court Decision Number 0304 / Pdt.G / 2014 / PA.JP, Tangerang Religious Court Decision Case Registration Number 1978 / Pdt.G / 2017 / PA.Tng, and Singaraja District Court Decision Number 449 / Pdt.G / 2015 / PN.Sg. This research will correlate these considerations with PIL theories."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didik Aprihadi
"Status perkawinan menjadi permasalahan sebelum pasangan suami istri
mengajukan isbat nikah dan mengajukan gugatan perceraian. Selanjutnya, permasalahan dalam pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor: 3082/Pdt.G/2016/PAJT dan Nomor: 1751/Pdt.G/2017/PAJT. Oleh karena itu, penulis meneliti isbat nikah dan gugatan perceraian yang didahului isbat nikah di Pengadilan Agama. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis-normatif yaitu dengan mengkaji konsep hukum Islam, ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam terkait isbat nikah dan perceraian. Hasil dari penelitian ini adalah status perkawinan pada isbat
nikah ditentukan dari terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan, isbat nikah pada putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor: 3082/Pdt.G/2016/PAJT tidak dikabulkan dan putusan telah sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan dan KHI. Selanjutnya, isbat nikah pada putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor: 1751/Pdt.G/2017/PAJT dikabulkan dan gugatan cerai dikabulkan telah sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian, saran kepada masyarakat untuk memperhatikan rukun dan syarat perkawinan dalam permohonan isbat nikah dan gugatan cerai ke Pengadilan Agama.
Marital status becomes a problem before husband and wife
file a marriage isbat and file a divorce suit. Furthermore, the problems in the judge's consideration in the East Jakarta Religious Court Decision Number: 3082/Pdt.G/2016/PAJT and Number: 1751/Pdt.G/2017/PAJT. Therefore, the author examines the isbat of marriage and divorce claims that are preceded by the isbat of marriage in the Religious Courts. The research was conducted using a juridical-normative method, namely by examining the concept of Islamic law, the provisions of the Marriage Law and the Compilation of Islamic Law related to the isbat of marriage and divorce. The results of this study are the marital status of the isbat Marriage is determined from the fulfillment of the pillars and conditions of marriage, the marriage isbat in the decision of the East Jakarta Religious Court Number: 3082/Pdt.G/2016/PAJT was not granted and the decision was in accordance with the Marriage Law and KHI. Furthermore, the isbat marriage in the decision of the East Jakarta Religious Court Number: 1751/Pdt.G/2017/PAJT was granted and the divorce suit was granted in accordance with the Marriage Law and the Compilation of Islamic Law. Thus, suggestions to the public to pay attention to the pillars and conditions of marriage in the application for marriage isbat and divorce claims to the Religious Courts.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Setiadi
"Akibat murtad terhadap hubungan perkawinan adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami-isteri tersebut. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara tegas mengenai putusnya perkavlinan akibat murtad. Untuk mengatasi hal ini, hakim di pengadilan agama dalam mengadili perkara putusnya perkawinan akibat murtad ini biasanya menggunakan Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Alasan yang digunakan adalah perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Sedangkan menurut Pasal 116 huruf h Kompilasi Hukum Islam KHI, hanya murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga yang dapat memutuskan hubungan perkawinan. Jadi menurut kedua peraturan di atas, murtadnya salah satu pihak dalam perkawinan tidak serta merta memutuskan perkawinan. Hal ini yang menimbulkan ketidaksesuaian dengan hukum Islam. Untuk mengatasi ketidaksesuaian tersebut, dapat menggunakan Pasal 4 KHI dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam. Dengan demikian, walaupun tidak menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga, murtadnya pihak suami atau isteri dapat dijadikan dasar oleh hakim di Pengadilan Agama untuk memutuskan suatu perkawinan. Pengadilan Agama dalam memutuskan suatu perkara didasarkan pada peraturan yang berlaku di Indonesia. Bila merujuk peraturan yang ada (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI), putusnya perkawinan akibat murtad belum diatur sesuai dengan hukum Islam. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi hakim di pengadilan agama dalam memutuskan perkara putusnya perkawinan akibat murtad. Selain peraturan yang masih kurang memadai, administrasi di pengadilan agama juga kurang menunjang dalam menangani masalah perkara putusnya perkawinan akibat murtad ini agar sesuai dengan hukum Islam."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S21207
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>