Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 98935 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Moh Amar Khoerul Umam
"Penelitian ini membahas dua pokok permasalahan: Pertama, bagaimana proses pemilihan dan pengangkatan menteri oleh presiden setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, bagaimana pelibatan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pengangkatan menteri menurut tinjauan Hukum Tata Negara. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Pembahasan dimulai dari kekuasaan presiden sebelum dan setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945, khususnya kewenangan dalam memilih dan mengangkat menteri, serta kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pengaturan proses pemilihan menteri dalam Undang-Undang Dasar 1945 baik sebelum maupun setelah amandemen tidak banyak berubah, dan secara substansi tidak ada yang berubah sama sekali. Meski demikian, setelah amandemen, terdapat undang-undang yang secara khusus mengatur tentang kementerian negara, yaitu Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Di dalam undang-undang tersebut, proses pemilihan dan pengangkatan menteri tidak diatur sama sekali. Hal yang diatur secara khusus dalam Undang-undang Kementerian Negara adalah persyaratan untuk menjadi seroang menteri. Kewenangan memilih menteri merupakan kewenangan yang melekat pada presiden, inherent power. Sedangkan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam proses pemilihan menteri tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan maka disebut diskresi atau hak prerogatif presiden.

This study addresses two main issues: First, how the process of selection and appointment of ministers by the president after the amendment of the Constitution of 1945. Secondly, how the inclusion of the Corruption Eradication Commission in the appointment of ministers according to a review of Constitutional Law. The method used is juridical-normative. The discussion starts with the president's powers before and after the amendment of the Constitution of 1945, in particular the authority to select and appoint ministers, as well as the position of the Corruption Eradication Commission in the state system of Indonesia. The arrangement of ministerial election process in the Constitution of 1945 both before and after the amendment has not changed much, and substantially no change at all. However, after the amendment, there is a law that specifically regulates the state ministries, namely Law No. 39 of 2008 concerning the Ministry of State. In the law, the process of selection and appointment of ministers is not regulated at all. It is specifically regulated in the Law of the Ministry of State is the requirement to be a minister. The authority of choosing a minister is attached to the president's authority, inherent power. While involving the Corruption Eradication Commission in the electoral process the minister is not set in legislation, the so-called discretionary or prerogative of the president.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60233
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Ilham Irmantyo
"Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Perubahan Kedua atas UU KPK), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) dan Pemerintah mendapatkan kritik keras dari masyarakat. Publik berpikir, bahwa apa yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah ini bertujuan untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai institusi pemberantas korupsi. Disebut demikian, lantaran UU ini dianggap memuat aturan-aturan yang dapat melemahkan KPK. Hal yang paling dipermasalahkan oleh publik adalah pembentukan Dewan Pengawas KPK sebagai badan pengawas internal KPK yang memiliki wewenang pemberian izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Skripsi ini membahas, apakah wewenang seperti itu merupakan hal yang normal dan lazim diberikan dengan membandingkan wewenang badan pengawas pada lembaga negara lain di Indonesia serta badan pengawas lembaga anti korupsi di negara-negara lain. Metode penelitian yang digunakan untuk skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif dan studi komparatif. Dari riset yang dilakukan, penulis melihat, bahwa dengan mendirikan Dewan Pengawas KPK, pembentuk undang-undang bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dari KPK. Namun, walaupun pendiriannya memang diperlukan, penulis menilai, bahwa wewenang Dewan Pengawas KPK dalam hal memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan merupakan hal yang tidak lazim dan aneh karena pada praktik ketatanegaraan, baik di Indonesia maupun di negara lain, tidak ditemukan sistem atau pengaturan yang demikian.

By the entry into force of the Law Number 19 of 2019 on the Second Amendment to Law Number 30 of 2002 on the Corruption Eradication Commission, the Indonesia's House of Representatives (DPR) and Government were harshly criticized by the public. The public thought that what the DPR and the Government did aimed to weaken the Corruption Eradication Commission (KPK) as the state's institution eradicating corruption. This is because the new law was presumed to contains rules that could weaken the power of KPK. The most problematic thing according to the public is the establishment of the Supervisory Board of the KPK as the commission's internal supervisory body having the authority to grant the approval on the action of wiretapping, searching and confiscation. The thesis discusses whether such authority is normal and a common thing adopted in other countries by learning the authority of the supervisory body in other Indonesia's state institutions as well as the supervisory body of the anti-corruption institutions in other countries. The research method used for the thesis is normative juridical research as well as comparative study. From the research, the author see that by establishing the KPK's Supervisory Board, the legislators aim to increase the accountability of the KPK. However, although its establishment is indeed necessary, the author has an opinion that the above mentioned Supervisory Board authority is unusual and peculiar, as the practice has not been found, both in Indonesia's and other countries' constitutional system.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Juang Nirboyo
"Tesis ini membahas pengalihan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 melalui perbandingan dengan lembaga sejenis KPK di negara lain, yaitu CPIB Singapura dan ICAC Hongkong dengan mengambil best practices dari pengelolaan SDM KPK negara lain tersebut. Permasalahan yang diangkat adalah a) kondisi kepegawaian Penyidik KPK sebelum dan sesudah Undang-Undang tersebut, dan b) pengalihan status Penyidik KPK menjadi Pegawai Negeri Sipil yang mampu merepresentasikan independensi dan profesionalitas kerja serta menunjang penegakan hukum pemberantasan korupsi. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan bahan utama data sekunder melalui penelusuran literatur. Adapun pendekatan analisis dengan kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa: a) kondisi kepegawaian sebelum Undang-Undang tersebut Penyidik KPK terdiri atas Pegawai Tetap dan Pegawai Negeri yang Dipekerjakan sedangkan setelah Undang-Undang tersebut terdiri atas Pegawai Negeri Sipil dan Anggota Polri; b) Transplantasi model penyidik pada CPIB Singapura dan ICAC Hongkong dapat dimasukkan dalam rumusan Jabatan Fungsional Penyidik Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang sedang dalam proses penyusunan dan pembahasan oleh KPK dengan instansi terkait. Bersamaan dengan pembentukan Jabatan Fungsional Penyidik Tipikor, dalam rangka mewujudkan independensi Penyidik KPK, maka kemandirian KPK dapat diimplementasikan melalui komposisi Penyidik KPK antara Penyidik yang bersumber dari Pegawai Tetap yang telah beralih menjadi Pegawai Negeri Sipil dan Anggota Polri dengan perbandingan sebesar 80% : 20%.

This thesis discusses the transfer of employee status to the Corruption Eradication Commission (KPK) after the enactment of Law Number 19 of 2019 through comparisons with institutions similar to KPK in other countries, namely CPIB Singapore and ICAC Hong Kong by taking best practices from the HR management of the KPK in other countries. The issues raised are a) the staffing conditions of KPK investigators before and after the law, and b) the status transfer of KPK investigators to civil servants who are able to represent work independency and professionalism and support law enforcement to eradicate corruption. The research method used is normative juridical, with the main material being secondary data through literature searches. The analysis approach is qualitative. The results of the study show that: a) the conditions of employment before the Act KPK investigators consisted of Permanent Employees and Employed Civil Servants while after the Act consisted of Civil Servants and Members of the Police; b) Transplantation of the investigator model at the Singapore CPIB and Hong Kong ICAC can be included in the formulation of the Functional Position of Corruption Crime Investigator (Tipikor) which is in the process of being drafted and discussed by the KPK with relevant institutions. Along with the establishment of the Functional Position of Corruption Investigator, in order to realize the independency of KPK Investigators, the independency of the KPK can be implemented through the composition of KPK Investigators between Investigators originating from Permanent Employees who have turned into Civil Servants and Police Officer with a ratio of 80%: 20%."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurjannah
"Penyadapan dalam aspek penegakan hukum menjadi hal krusial karena berkaitan pembatasan hak asasi manusia terutama kebebasan pribadi (privacy right). Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif besifat preskriptif, mengenai pengaturan kewenangan penyadapan KPK yang disesuaikan dengan menggunakan the international principles of the application of human rights in communication surveillance. Fokus peneltian ini adalah mengkaji bagaimana Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-XVII/2019 mengakomodir prinsip-prinsip perlindungan terhadap hak asasi manusia serta perbandingannya dengan lembaga anti kprupsi di berbagai negara seperi Malaysia, Hongkong dan Australia. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yangdibahas dalam penelitian ini adalah: (1) apakah pengaturan kewenangan penyadapan oleh KPK dalam Perubahan Kedua UU KPK sudah sesuai dengan konsep hak asasi manusia dalam hal perlindungan hak atas privasi terhadap subjek sadap KPK; dan (2) bagaimana dengan konsep konsep ideal regulasi kewenangan penyadapan KPK berdasarkan perspektif hak asasi manusia. Pengumupulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dengan studi pustaka dan pengumpulan data primer dilakukan dengan permintaan wawancara dengan pihak terkait sedangkan data sekunder dari laporan, jurnal, buku dan peraturan perundang-undangan. Penelitian ini berkesimpulan bahwa dalam Perubahan Kedua UU KPK udah lebih maju dibandingkan dengan regulasi sebelumnya, dengan indikasi dari aspek legalitas karena sudah diatur dalam undang-undang dengan menambahkan ketentuan-ketetntuan baru mengenai penyadapan. Akan tetapi, hak privasi dalam penegakan hukum dapat dilakukan pembatasannya melalui peraturan setingkat undang-undang, sedangkan muatan materi dalam UU Nomor 19 tahun 2019 masih belum memadai sehingga tetap berpotensi terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Pengaturan penyadapan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 juga belum memenuhi prinsip-prinsip internasional mengenai perlindungan hak asasi manusia. Hal ini berarti Indonesia perlu memperbaiki undang-undangnya dengan menambahkan beberapa pasal atau membuat undang-undang khusus mengenai penyadapan agar dapat sepenuhnya mematuhi prinsip-prinsip internasional tentang hak asasi manusia dalam tindakan pengawasan elektronik.

Interception in the aspect of law enforcement is crucial because it is related to the limitation of human rights, especially personal freedom (privacy right). This research is a prescriptive normative juridical research, regarding the regulation of the KPK's wiretapping authority in regard to the international principles of the application of human rights in communication surveillance. The focus of this research is to examine how Law Number 19 of 2019 after the Constitutional Court Decision (MK) No. 70/PUU-XVII/2019 accommodates the principles of protection of human rights and its comparison with anti-corruption institutions in various countries such as Malaysia, Hong Kong and Australia. Due to this, the problems discussed in this research are: (1) whether the regulation of the KPK's wiretapping authority in the Second Amendment to the KPK Law is in accordance with the concept of human rights in terms of protecting the right to privacy of the KPK's tapping subjects; and (2) what is the ideal concept of the KPK's regulation of wiretapping authority based on a human rights perspective?. Data collection used in this research is secondary data obtained by literature study and primary data collection is carried out by requesting interviews with relevant parties while secondary data from reports, journals, books and laws and regulations. This research concludes that the Second Amendment to the KPK Law is already more advanced than the previous regulation in term of interception, with an indication of the legality aspect because it has been regulated in law by adding new provisions. However, the right to privacy in law enforcement can be limited through regulations, at the level of law, while the material content in Law Number 19 of 2019 is still inadequate so that there is still the potential for human rights violations. The authority of interception regulated in Law No. 19/2019 also does not meet the international principles regarding the protection of human rights. It means that Indonesia needs to improve its law by adding several articles or creating a special law on wiretapping in order to fully comply with international principles on human rights in electronic surveillance."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rhendra Kusuma
"ABSTRAK
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai salah satu lembaga penegak hukum baru merupakan angin segar dalam sistem hukum di Indonesia untuk memberantasan tindak pidana korupsi. Kewenangan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada proses pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 meliputi tindakan sejak fase penyelidikan hingga penuntutan. Namun pada faktanya, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga melakukan proses eksekusi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang seharusnya dimiliki oleh Kejaksaan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004. Akan tetapi pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang melaksanakan putusan merupakan Jaksa yang diberhentikan sementara dari Kejaksaan Republik Indonesia untuk melaksanakan tugas di Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Fakta ini menyebabkan perdebatan di beberapa pihak terkait siapa yang berwenang dan bagaimana kepastian hukumnya. Asas legalitas serta kewenangan yang melekat pada lembaga membuat tindakan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

ABSTRACT
Corruption Eradication Commission as a new law enforcement agencies is a fresh air in Indonesia to eradicate corruption. Based on Law No. 20 of 2002, Anti Corruption Commission authorities to eradicate corruption in Indonesia is from the investigation phase to prosecution. In fact, the Anti Corruption Commission also doing the execution of legally binding verdict. That authorithies should be prosecutor`s based on Law No. 16 of 2004. However, the employees of the Anti Corruption Commission who implemented the verdict were Prosecutors who were temporarily dismissed from the Prosecutor`s Office of the Republic of Indonesia for carrying out their duties in the Anti Corruption Commission. This fact led to a debate on several parties regarding who is authorized and how legal certainty is. The principle of legality and authority inherent in the institution makes the action of the Corruption Eradication Commission an act that opposes the laws and regulations"
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haliem Suharso
"Penerapan kebijakan penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah diterapkan sejak tahun 2012, yang kemudian dilanjutkan pada KPK periode 2015-2019 yang dipimpin oleh Agus Rahardjo. Penanganan TPPU pada periode tersebut terlihat meningkat dari KPK periode sebelumnya, dengan jumlah penanganan perkara sebanyak 21 perkara TPPU. Namun perkara TPPU yang hanya sebanyak 21 perkara tersebut menjadi kritikan dari para ahli dan masyarakat sipil yang menyebutkan bahwa KPK tidak maksimal menangani TPPU dengan hanya melaksanakan 4 persen dari 542 perkara korupsi yang ditangani pada 2016- 2019, oleh sebab itu penulis mencoba untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan penanganan TPPU pada KPK serta mengetahui apa sajakah faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan, melalui pendekatan Normalization Process Theory atau NPT (May&Finch, 2009), yang menekankan pada analisis mengenai pemahaman penentu kebijakan tentang sebuah kebijakan (coherence), siapa yang melaksanakan kebijakan dan bagaimana keterlibatan mereka (cognitive participation) bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan (collective action) dan juga bagaimana kebijakan dipahami setelahny (reflexive monitoring). Penelitian ini juga ditujukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan penanganan TPPU, dengan pendekatan 7C Protocol (Cloete et al, 2018). Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan paradigma post-positivism, pengumpulan data melalui wawancara dan studi kepustakaan dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kebijakan penanganan TPPU pada KPK telah berjalan optimal, hal tersebut terlihat pada dimensi coherence, terlihat penentu kebijakan sudah memahami tentang hal pembeda mengenai penanganan TPPU dari kebijakan Pimpinan KPK sebelumnya, dan juga memahami tentang manfaat dari pelaksanaan TPPU bagi KPK, yaitu untuk memaksimalkan pemulihan aset. Pada dimensi cognitive participation, menunjukkan bahwa petugas pelaksana terutama Penyidik memang dengan kesadarannya memutuskan terlibat dalam kebijakan dan mereka juga menyadari tentang pentingnya penanganan TPPU bagi kegiatan Penyidikan mereka. Selain itu pada dimensi collective action, juga menunjukkan bahwa para pelaksana telah terjalin kepercayaan dalam melaksanakan tugas yang ditunjang pula dengan adanya usaha pembagian pekerjaan yang tepat. Pelaksanaan kebijakan masih ada catatan dalam hal kurang adanya forum yang dilembagakan untuk memantau dan menilai kelanjutan proses dan dampak penanganan TPPU tersebut. Hal tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, commitment lembaga terhadap penanganan TPPU, communication penyampaian tentang urgensi pelaksanaan TPPU dan juga kurang jelasnya content kebijakan tentang TPPU, sehingga penelitian ini menyarankan perbaikan dalam hal komunikasi, komitmen lembaga dan kejelasan kriteria untuk penanganan TPPU oleh KPK.

The implementation of the policy for handling the Crime of Money Laundering (ML) at the Corruption Eradication Commission (KPK) has been implemented since 2012, which was then continued at the 2015-2019 KPK period led by Agus Rahardjo. The handling of money laundering offenses during this period seemed to have increased from the previous period's Corruption Eradication Commission, with a total of 21 cases of money laundering offenses. However, there are only 21 ML cases that have been criticized by experts and civil society who say that the KPK is not optimal in handling money laundering offenses by only carrying out 4 percent of the 542 corruption cases handled in 2016-2019, therefore the author tries to find out how the implementation Policies for handling money laundering offenses at the KPK and knowing what factors influence policy implementation, through the Normalization Process Theory approach (May & Finch, 2009), which emphasizes the analysis of policy makers' understanding of a policy (coherence), who implements the policy and how they are involved (cognitive participation) how the policy is implemented (collective action) and also how the policy is understood afterwards (reflexive monitoring). This research is also intended to determine the factors that influence the implementation of policies for handling money laundering offenses, using the 7C Protocol approach (Cloete et al, 2018). This study uses a qualitative research approach and a post-positivism paradigm, collecting data through interviews and literature studies, it can be concluded that the implementation of policies for handling money laundering offenses at the KPK has been running optimally, this can be seen in the coherence dimension, it appears that policy makers have understood the differentiating things regarding the handling of money laundering offenses. from the previous KPK leadership policies, and also understand the benefits of implementing money laundering offences for the KPK, namely to maximize asset recovery. In the cognitive participation dimension, it shows that implementing officers, especially investigators, have consciously decided to be involved in policies and they are also aware of the importance of handling money laundering offenses for their investigative activities. In addition to the collective action dimension, it also shows that the implementers have established trust in carrying out their duties which is also supported by the proper division of work. There is still a note in the implementation of the policy in terms of the lack of an institutionalized forum to monitor and assess the continuation of the process and the impact of the handling of money laundering offences. This happens because it is influenced by several factors, namely, the commitment of the institution to the handling of money laundering offenses, communication delivery about the urgency of the implementation of money laundering offenses and also the lack of clarity on policy content regarding money laundering, so this research suggests improvements in terms of communication, institutional commitment and clarity of criteria for handling money laundering offenses by the KPK."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Misbahul Munir
"Hingga sekarang masih ditemukan banyak masalah mengenai pembentukan undang-undang, dimana salah satunya ialah korupsi legislasi yakni proses pembentukan undang-undang yang tidak sesuai dengan prosedur yang secara normatif telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Permasalahan pokok yang dibahas dalam tesis ini mengenai pembentukan undang-undang selama “lame duck session” di Indonesia, khususnya terkait Undang-undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan pendekatan konseptual dan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konfigurasi politik hukum dalam perubahan kedua undang-undang ini selama “lame duck session” bersifat represif/otoriter. Hal ini salah satunya karena unsur partisipasi dan akuntabilitas publik dalam perubahan kedua UU ini tidak dipenuhi, sehingga kedua UU ini dilakukan hanya berdasarkan preferensi politik sekelompok pihak saja. Selain itu, bila dilihat dari aspek prosedur pembentukan UU, perubahan terhadap kedua UU ini telah melanggar asas-asas pembentukan UU, khususnya asas formil sebagaimana dimaksud pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Untuk itu, guna mencegah maraknya korupsi legislasi selama “lame duck session” di Indonesia yang memang relatif lama, dibutuhkan perubahan pengaturan terhadap jarak dari masa pemilihan hingga pelantikan anggota legislatif dan eksekutif serta pembatasan kewenangan mereka, sehinga kebijakan yang bersifat strategis tanpa urgensi yang jelas selama “lame duck session” tidak muncul dan memicu kontroversi di masyarakat.

At present there are still many problems regarding the formation of laws, one of which is legislative corruption, where the process of forming laws is not in accordance with the procedures of Law Number 12 of 2011 concerning the Formation of Legislation, it was determined that the last amendment was made by Law Number 13 of 2022 concerning the Second Amendment to Law Number 12 of 2011 concerning the Formation of Legislation and its products are considered to be made only for certain purposes so that they produce bad products and violate people's rights. The problem discussed in this thesis is how the formation of laws during the "lame duck session" in Indonesia, especially related to Law Number 42 of 2014 concerning Amendments to Law Number 17 of 2014 concerning the People's Consultative Assembly, the People's Representative Council, the Regional Representatives, and the Regional People's Representative Council (MD3 Law) and Law Number 19 of 2019 concerning the Second Amendment to Law Number 30 of 2002 concerning the Corruption Eradication Commission (KPK Law). The research method used is juridical-normative with a conceptual approach, based on how the formation of laws is seen from both a legislative and political aspect, especially during the "lame duck" era. The results of the study show that the configuration of legal politics in the amendments to the KPK Law and the MD3 Law in the “lame duck session” is a repressive/authoritarian legal political configuration, this is because participatory elements that involve the community are not fulfilled so that the formation of laws is only based on the political interests of a group of people, apart from Therefore, if you look at the formation of laws, the Corruption Eradication Commission Law and the MD3 Law have carried out the principles of forming laws and the process of forming laws. This reinforces the configuration of authoritarian legal politics in the amendments to the KPK Law and the MD3 Law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Dzadit Taqwa
"ABSTRAK
Tulisan ini membahas justifikasi kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam menggunakan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Tujuannya adalah untuk mencari pendirian yang benar atas perdebatan ketatanegaraan mengenai hubungan kelembagaan antara negara. Setelah mendapatkan jawaban tersebut, temuan dari Skripsi ini dapat menjadi referensi dari jawaban atas casu quo pada khususnya dan jawaban atas perdebatan hubungan Dewan Perwakilan Rakyat dengan lembaga negara lainnya secara umum. Secara spesifik, pertanyaan besar yang dijawab dalam penelitian ini adalah: apakah Dewan Perwakilan Rakyat dapat menggunakan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi? Melalui tinjauan normatif dengan teori-teori ketatanegaraan yang terkait, Penulis berkesimpulan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat dapat menggunakan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi.

ABSTRACT
This paper tries to prove the justification of the authority of the House of Representatives, using right of inquiry upon Corruption Eradication Commission. The aim of this trial is to find out the right stance of the constitutional discourse regarding the state institutions relation. After having found it, Author hopes that it could be a reference of answering the casu quo discourses and other constitutional discourse regarding the relation between the House of Representatives and other state institutions generally. Specifically, the question that Author must answer is is it valid that the House of Representatives uses right of inquiry upon Corruption Eradication Commission Through normative approach with related constitution theories, Author gets a conclusion that the answer of the former question is that it is valid that the House of Representatives uses right of inquiry upon Corruption Eradication Commission."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Banjarsari
"Skripsi ini membahas kewenangan hakim dalam penetapan justice collaborator yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Justice collaborator adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan kesaksian di dalam proses peradilan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Penetapan justice collaborator terhadap Abdul Khoir, Kosasih Abbas serta rekomendasi LPSK terkait penetapan justice collaborator kepada Hendra Saputra dibahas sebagai bahan analisis dalam skripsi ini.
Hasil dari analisis diperoleh bahwa status justice collaborator yang dimiliki oleh para pelaku tersebut tidak menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan keringanan pidana. Padahal para terdakwa telah membantu penegak hukum untuk membongkar tindak pidana serta pelaku lainnya. Oleh karena itu seharusnya mereka dapat diberikan sebuah penghargaan seperti keringanan hukuman atau perlakuan khusus lainnya. Padahal SEMA No. 04 Tahun 2011 telah menjelaskan jika hakim menemukan seseorang yang dikategorikan sebagai justice collaborator wajib dipertimbangkan untuk memberikan keringanan hukuman. Oleh sebab itu perlunya suatu pengaturan yang lebih terperinci untuk mengatur penerapan dari mekanisme justice collaborator.

This study focuses on a judge authority in determining justice collaborator status which has been established by Corruption Eradication Commission. Justice collaborator is a witness and also the offenders of crime who willing to help law enforcement officers revealing a crime or the occurrence of crime in order to restore the stolen asset or the result of crime to the country by providing information to law enforcement officials and testifying in judicial process. Normative juridical method is used to analyze the data. The determination of justice collaborator status to Abdul Khoir, Kosasih Abbas and recommendations from Witness and Victim Protection Agency to Hendra Saputra will be analysis cases in this thesis.
The analysis showed that the justice collaborator status possessed by these offenders are not considered by the judge when offering or giving a commutation. Eventhough, the defendants helped law enforcement to dismantle criminal offenses. Therefore, they should be given an award like commutation or other preferential treatment. Whereas, Circular Letter from Supreme Court Number 04 2011 explained if the judge found a person who is classified as a justice collaborator shall be considered to provide the commutation. Hence, we need more detailed regulation to regulate the mechanism of justice collaborator.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S65771
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Rizkisyah Karoen
"Skripsi ini akan membahas mengenai arti, baik secara konsep maupun tujuan dari pidana uang pengganti yang akan dianalisis dengan menggunakan teori pemidanaan yang ada dalam hukum pidana Indonesia. Pengembalian kerugian negara melalui penjatuhan pidana uang pengganti diatur dalam Pasal 18, dengan berbagai permasalahan yang mengakibatkan terpidana untuk lebih memilih pidana penjara subsider daripada memenuhi tuntutan pidana uang pengganti. Hal ini mengakibatkan lambatnya pertumbuhan Indonesia sebagai negara berkembang, karena keuangan negara yang diharapkan dapat kembali melalui penjatuhan pidana uang pengganti tidak dapat terwujud.
Penelitian dengan judul Permasalahan Pidana Uang Pengganti Terkait Teori Pemidanaan, Berdasarkan Undang ? Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang diarahkan pada hukum positif untuk kemudian dikaitkan dengan teori pemidanaan. Penelitian ini menjelaskan mengenai konsep dan tujuan dari pidana uang pengganti beserta pidana penjara subsider yang melekat kepadanya, dan dipaparkan permasalahan yang terkait dengan pencapaian tujuan pemidanaan dari pidana uang pengganti.

This study will discuss about the meaning, both in concept and purpose of the Compensatorial-Money Punishment which will be analyzed by using the theory of crime and punishment as they lived under the Indonesian criminal law. The effort of returning the state losses through the compensatorial-money punishment is provided with the Article 18, with those variety of problems that leads the convict in prefer for the subsidiary-imprisonment than meet the obligation of the compensatorial-money punisment. This has resulted a slow growth of Indonesia as a developing country, where the evaporated state finances that once were expected to be return through the imposition of the compensatorial-money punishment can't possibly be realized.
This study which titled The Proposition of The Compensatorial-Money Punishment in Relation With The Theory of Crime and Punishment, based upon Statutory No. 31 of 1999 about The Eradication of Corruption is done by using a normative juridical research that aimed at the positive law for later be associated with the theory of crime and punishment. This study describes both about the concept and purpose of the compensatorial-money punishment and the subsidiary-imprisoment that attached to it, and described the problems that associated with the achivement of the objectives of the compensatorial-money punishment."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S57808
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>