Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 127098 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Ghozi
"Skripsi ini membahas pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pencucian uang. Korporasi Tidak dikenal sebagai subjek hukum pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Namun Korporasi diakui sebagai subyek hukum pidana melalui undang-undang di luar KUHP. Salah satu undang-undang yang mengakui korporasi sebagai subyek hukum adalah Undang-Undang No. 08 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk dapat mengetahui penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam praktik, belum pernah ada putusan pengadilan yang menjadikan korporasi sebagai subyek hukum dalam tindak pidana pencucian uang. Walaupun hampir semua kegiatan pencucian uang melibatkan korporasi. Sebagai contoh dalam kasus PT. Ilhung Muliasarana, jika melihat uraian dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum maka sebenarnya PT. Ilhung Muliasarana dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sebagai korporasi dalam kasus tindak pidana pencucian uang. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana bentuk keterlibatan korporasi dalam tindak pidana pencucian uang dan bagaimana penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana pencucian uang.

This study discusses corporate criminal liability in money laundering. Corporation is known not as the subject of criminal law in the Code of Penal (Penal Code), but Corporation is recognized as a subject of criminal law through legislation outside the Criminal Code. One law that recognizes corporations as subjects of law is Act No. 08 of 2010 on the Prevention and Combating of Money Laundering. The aim of this study was to ascertain the application of corporate criminal liability in Money Laundering. In practice, there has never been a court decision that makes corporations legal subjects in money laundering although almost all money laundering activities involve the corporation. In the case of PT. Ilhung Muliasarana, the description of the charges made by the public prosecutor, PT. Ilhung Muliasarana should actually be accountable for the crime as a corporation in the case of money laundering. This situation raises many questions, such as how to shape the corporation's involvement in money laundering cases and how corporate criminal liability is applied in money laundering."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60472
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Yuli Nurcahyono
"Masalah direktur nominee menjadi fenomenal karena dalam aturan hukum Indonesia belum mengakomodasi keberadaannya tetapi prakteknya digunakan. Rumusan masalah adalah bagaimana pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana, bagaimana pertanggungjawaban pidana direktur nominee dalam tindak pidana pencucian uang, bagaimana analisa terhadap putusan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh korporasi serta direktur nominee. Jenis penelitian dalam penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal. Pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana, suatu korporasi dapat bertanggung jawab melaui pengurusnya maupun korporasinya berdasarkan teori coorporate organ. Disebutkan dalam Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung No 13 Tahun 2016 bahwa pertanggungjawaban dari korporasi sendiri didasarkan dari pada undang-undang yang mengaturnya. seorang direktur nominee walaupun namanya dipinjam tetap saja seorang direktur nominee tersebut melanggar Pasal 4 Undang-Undang No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam hukum pidana direktur nominee adalah orang yang turut serta melkukan kejahatan sesuai dengan Pasal 55 Ayat 1 KUHP. Putusan Nomor :211/Pid/2012/Pt.Dki Dan Putusan Nomor : 76 Pk/Pid.Sus/201 terhadap tindak pidana pencucian uang tersebut, pelaku menggunakan korporasi untuk melakukan tindak pidana pencucian uang. Pertanggungjawaban pidananya semua diwakili oleh pengurus korporasi baik direktur biasa maupun direktur nominee tanpa adanya sanksi bagi korporasinya. Saran yaitu penegak hukum kesulitan memeriksa pelaku money laundering yang melibatkan korporasi, penegak hukum sebaiknya juga ikut memeriksa anggaran dasar perusahaan untuk membuka segala macam hal-hal yang tersembunyi di perusahaan tersebut.
Pertanggungjawaban Direktur Nominee Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Direksi dalam sebuah perusahaan dapat diibaratkan sebagai pemimpin perusahaan. Direksi dapat dijadikan sebagai ldquo korban rdquo apabila direksi tidak mengetahui sejauh mana pertanggung jawaban dari seorang direksi. Terlebih lagi, jika posisi direksi dalam perusahaan tersebut hanyalah sebagai ldquo direktur nominee rdquo . Direksi PT jelas bertanggung jawab penuh, tentunya akan membawa dampak munculnya implikasi hukum terhadap pertanggungjawaban Direksi ketika suatu korporasi melakukan tindak pidana baik pelanggaran maupun kejahatan. Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah 1 Bagaimana pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana, 2 Bagaimana pertanggungjawaban pidana direktur nominee dalam tindak pidana pencucian uang, Bagaimana analisa terhadap putusan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh korporasi serta direktur nominee, metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif. Korporasi privat dapat berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum. Korporasi yang berbadan hukum diwakili oleh pengurusnya dan tanggung jawab pemegang sahamnya sebatas modal yang dimiliknya. Untuk yang tidak berbadan hukum tanggung jawabnya tidak terbatas, serta sistem pertanggungjawabanya adalah secara tanggung renteng. Untuk pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana, suatu korporasi dapat bertanggung jawab melaui pengurusnya maupun korporasinya yang dapat berupa denda atau pembubaran korporasi tersebut. Dalam kedudukannya di Perseroan Terbatas tugas dan fungsi direktur nominee tidak disebutkan di dalam Undang Undang No 40 Tahun 2007. Dalam tindak pidana korporasi khususnya tindak pidana pencucian uang, seorang direktur nominee walaupun namanya dipinjam tetap saja seorang direktur nominee tersebut melanggar Pasal 4 Undang Undang No. 8 Tahun 2010. Ada tiga contoh putusan yang melibatkan korporasi, direktur nominee yaitu 1 Putusan Nomor 211 PID 2012 PT.DKI 2 Putusan Nomor 76 PK Pid.Sus 201. Saran penulis Direktur dalam pengurusan perusahaan sebaiknya lebih mementingkan kepentingan perusahaan di atas kepentingan lainnya. Dalam kasus direktur pinjam nama direktur nominee sebaiknya menggunakan perjanjian tertulis kepada orang yang meminjam nama tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T49724
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Azzahra Hakim
"Skripsi ini menganalisis bagaimana implementasi konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus korporasi diakomodir dalam beberapa peraturan perundang-undangan Indonesia terkait, khususnya yang mengatur mengenai tindak pidana pembalakan liar. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut (yang dalam hal ini adalah UU Kehutanan dan UU P3H), masih kerap ditemukan kejanggalan atas konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus korporasi, yang mana hal tersebut dapat membawa pengaruh terhadap praktik dan penerapannya terutama di muka pengadilan, bahkan masih ada peraturan yang tidak dapat membedakan antara konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus korporasi, padahal landasan dari kedua konsep tersebut adalah suatu hal yang benar-benar berbeda. Melalui analisis kritis terhadap putusan pengadilan, skripsi ini menyoroti bagaimana implementasi konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus korporasi dalam hal korporasi dan pengurusnya sama-sama dipidana atas suatu kasus yang terjadi di dalam satu lingkup korporasi.
Dari analisis putusan pengadilan tersebut, skripsi ini mendapati bahwa penerapan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus korporasi oleh aparat hukum yang tidak hati-hati mengakibatkan timbulnya tendensi double punishment atau bahkan ne bis in idem. Lebih jauh lagi, terkait hal tersebut skripsi ini juga membahas mengenai konstruksi penyertaan antara korporasi dan pengurus korporasi dalam melakukan suatu tindak pidana korporasi. Hasil yang di dapatkan melalui analisis tersebut membuat ketentuan yang mengatur mengenai pemidanaan pengurus korporasi menjadi hal yang sangat diperlukan dalam peraturan perundang- undangan Indonesia. Terakhir, skripsi ini turut mengkritik penerapan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap entitas non-badan hukum, yang merupakan suatu hal yang patut dipertanyakan mengingat entitas non-badan hukum bukanlah suatu subjek hukum.

This thesis analyses the implementation of corporate criminal liability and directors criminal liability concept that accommodated in certain Indonesian laws, specifically those that regulate illegal logging. There are some irregularities found in those provisions (i.e. the Forestry Law and P3H Law) regarding corporate criminal liability and directors criminal liability concept. These irregularities can affect the concept application and court decision. Theres even a provision that fail to distinguish between corporate criminal liability and directors criminal liability, even though its clear that the basis of these two concepts is something that is completely different.
Through the analysis of court decisions, this thesis highlights how the corporate criminal liability and directors criminal liability concept are implemented in a case where the corporation and the director are both convicted for the same offense. From the analysis, this thesis found that uncareful implementation of those two concepts resulting in an emergence of double punishment, or even ne bis in idem. Still regarding those matters, this thesis also discusses the construction of complicity between corporation and its director in committing a corporate crime. This analysis makes the provisions for the punishment of corporate executives a very necessary thing in the Indonesian legislation. Lastly, this writing also criticizes the application of corporate criminal liability concept to non-legal entities, which is something that should be questioned considering that non-legal entities are not a legal subject."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifka Safira
"Tindak pidana pencucian uang merupakan salah satu tindak pidana yang cukup serius di Indonesia karena memiiki dampak terhadap kestabilan ekonomi dan keuangan negara. Selain itu tindak pidana pencucian uang ini juga memiliki modus kejahatan yang beraneka ragam, salah satunya adalah dengan menggunakan sarana KUPVA Bukan Bank (money changer). Penggunaan money changer sebagai alat dalam melakukan pencucian uang tidak terlepas dari alasan bahwa money changer merupakan penyedia jasa keuangan yang dalam hal pengawasan dan pengaturannya dapat dikatakan tidak terlalu ketat bila dibandingkan dengan penyedia jasa keuangan lainnya. Untuk itu diperlukan langkah-langkah yang kongkrit terutama dari pihak-pihak terkait untuk mencegah penyalahgunaan money changer sebagai alat pencucian uang. Selain pencegahan, masalah penegakan hukum juga merupakan hal yang perlu dipertegas karena selama ini, jika terbukti terlibat dalam tindak pidana pencucian uang, maka pihak yang dimintai pertanggungjawaban pidana hanyalah para pengurusnya saja, sedangkan korporasinya tidak pernah dijadikan sebagai tersangka. Penelitian ini menggunakan metode Yuridis Normatif dengan menggunakan pendekatan kasus dan konseptual. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam melakukan pencegahan pemanfaatan money changer sebagai sarana pencucian uang, maka diperlukan langkah pengoptimalan dalam hal pelaksanaan kewajiban pelaporan, pelaksanaan CDD (Customer Due Diligence) dan EDD (Enhanced Due Diligence) serta pengawasan terhadap money changer itu sendiri. Selanjutnya, terkait dengan pertanggungjawaban pidana korporasi money changer dalam tppu, maka hal yang perlu diperhatikan adalah sejauhmana keterlibatan dari money changer tersebut serta yang perlu juga diperhatikan adalah pemenuhan persyaratan yang diatur dalam UU PPTPPU untuk dapat menjerat suatu korporasi. Dalam Pasal 10 UU PPTPPU mengatur ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam hal menjerat suatu korporasi, sehingga apabila dalam kasus tindak pidana pencucian uang yang melibatkan money changer ada salah satu dari syarat tersebut yang tidak terpenuhi, maka korporasi money changer tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, melainkan hanya kepada pengurusnya saja.

Money laundering is a serious crime in Indonesia because it has an impact on the stability of the economy and the country finances. In addition, criminal sanctions for money laundering also have a variety of modes of crime, one of which is using the KUPVA facility, not a bank (money changer). The use of money changers as a tool in conducting money laundering is inseparable from the reason that money changers are providers of financial services that are a little loose in terms of supervision and regulation when compared to other financial service providers. For this reason, concrete steps are needed, especially from related parties to prevent misuse of money changers as a means of money laundering. In addition to prevention, the issue of law enforcement is also a matter that needs to be emphasized because so far, if proven to be involved in criminal acts of money laundering, only those administered for criminal responsibility, while the money changer corporation has never been made a suspect. This study uses the Normative Juridical method using a case and conceptual approach. The results of this study conclude that in preventing the use of money changers as a means of money laundering, optimization measures are needed in terms of reporting obligations, the implementation of CDD and EDD and supervision of the money changer itself. And related to the corporate criminal liability money changer in TPPU, the thing that needs to be considered is the extent of the involvement of the money changer and how to fulfill the requirements stipulated in the PPTPPU Law to be able to ensnare a corporation. In Article 10 of the PPTPPU Law, there are four conditions that must be met in the case of ensnaring a corporation, so that in cases of money laundering involving a money changer, one of these conditions is not met, the money changer corporation cannot be held liable for criminal liability, but only the administrators."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53560
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daru Iqbal Mursid
"Korporasi didefinisikan sebagi kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisi baik merupakan badan hukum maupn bukan badan hukum. Salah satu bentuk korporasi yang berbentuk badan hukum adalah partai politik. Dalam negara demokrasi, partai politik memiliki peran yag sangat penting untuk menunjang kahidupan berbangsa dan bernegara. Namun, dalam perkembangannya di Indonesia, terdapat beberapa partai politik yang diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Meskipun secara normatif sistem hukum pidana Indonesia telah mengakui partai politik sebagai subjek hukum tindak pidana, namun sampai saat ini belum ada satupun partai politik yang dikenakan pertanggungjawaban pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Maka dalam penelitian ini akan dibahas tentang konsep pertanggungjawaban pidana terhadap partai politik yang terlibat tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, konsep pemidanaan yang dapat dijatuhkan kepada parta politik yang terlibat tindak pidana korupsi dan pencucian uang, dan faktor-faktor yang menghambat dikenakannya pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan terhadap partai politik yang terlibat tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penilitian yuridis-normatif, dengan menggunakan pendekatan masalah peraturan perundang-undangan, perbandingan hukum, dan konseptual.

A corporation is defined as a collection of person and / or assets organized either as a legal entity and not a legal entity. One of corporation that defined as legal entity is a political party. In a democratic country, political parties have a very important role to support the life of the nation and the state. However, in Indonesia, there are several political parties allegedly involved in corruption and money laundering. Although Indonesian criminal justice system has acknowledged political parties as the subject of criminal law, yet to date no single political party has been subject to criminal responsibility, particularly in corruption and money laundering. In this research will be discussed about the concept of criminal liability for political parties that involved in corruption and money laundering crimes, the concept of punishment that can be imposed on political parties that involved in corruption and money laundering, and the inhibits factors for imposition of criminal liability of political parties that involved in corruption and money laundering. The research method used in this research is the method of juridical-normative method, and using statue approach, comparative approach, and conceptual approach.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54727
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reihan Putri
"Skripsi ini membahas mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana narkotika. Korporasi tidak dikenal sebagai subjek hukum pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), namun korporasi telah diakui sebagai subjek hukum pidana dalam beberapa unang-undang di luar KUHP. Salah satu undang-undang yang mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana adalah UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk dapat mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Tindak Pidana khususnya dalam tindak pidana Narkotika. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif untuk disajikan secara deskriptif analitis. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana dalam tindak pidana narkotika dan dapat dibebani pertanggungjawaban pidana dengan menggunakan doktrin-doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi.

The focus of this thesis is about corporate criminal liability in narcotics crime. Corporation is not known as the subject of criminal law in the Code of Penal (Penal Code), however Corporation has been recognized as a subject of criminal law through legislation outside the Indonesian Penal Code. One of the law that recognizes corporation as the subject of criminal law is Act No. 35 of 2009. The aim of this research is to know how a corporation could be responsible in criminal law especially in narcotics crime. This research use literature research method in the form of normative juridical with qualitative approach in order to provide analytical descriptive data. The conclusion of this thesis is that a corporation could be liable for committing narcotics crime according to the doctrines of corporate criminal liability.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S60492
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Junior B. Gregorius
"Menurut ketentuan ICUHP, ancaman pidana seorang pelaku pembantu d~kurangi sepertiga dari pidana pokok bagi pelaku utama. Sebaliknya dalam UUTPPU, pelaku pembantu diancam dengan pidana yang sama dengan pelaku utama. Ada tiga hal yang menjadi permasalahan dalam Tesis ini, pertama: apakah ratio legis pembentuk UUTPPU menentukan sanksi pidana yang sama bagi pelaku pembantu dan pelaku utama, sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (2) UUTPPU; kedua: bagaimanakah penerapan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam UUTPPU dibandingkan dengan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam Money Laundering Act di negara-negara lain? ketiga: bagaimanakah penerapan konsep-konsep teoritis yuridis kesalahan dan pertanggungjawaban pidana dari pelaku pembantu eks Pasal 56 dan 57 KUHP dalam UUTPPU pads kasus-kasus pencucian uang?;
Penelitian yang menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif-analitis ini menghasilkan beberapa kesimpulan.
Pertama; bahwa badan legislatif menganggap UUTPPU adalah undang-undang pidana khusus yang mcngatur dan menentukan pidana secara khusus, dimana perbuatan pelaku pembantu dianggap sama akibatnyanya dengan perbuatan pelaku utama, yaitu dapat membahayakan perekonomian negara dan masyarakat, sehingga secara yuridis sanksi pidananya ditentukan same. Selain itu, Indonesia harus mengikuti model hukum pidana pencucian uang yang diberikan oleh FATF, dimana FATF berpedoman pada konvensi-konvensi internasional yang tidak mengenal pengurangan pidana terhadap pembantuan;
Kedua; Baik dalam UUTPPU maupun dalam Money Laundering Act di negara-negara lain, pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu same dengan pertanggungjawaban pidana pelaku utama, kecuali penerapan ancaman pidananya yang jauh lebih tinggi di Indonesia.
Ketiga; tanggungjawab pembantuan (penyertaan) yang dalam KUHP termasuk sebagai dasar perluasan pertanggungjawaban pidana (strafausdehnungsgrund), dalam UUTPPU, tanggungjawab pembantuan termasuk dasar perluasan tindak pidana (tatbestandaushdehnungsgrund); selain itu, penerapan kesalahan pelaku pembantu dalam UUTPPU berpedoman pada teori ilmu hukum Pasal 56 KUHP, sedangkan penerapan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam UUTPPU berpedoman dan berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUTPPU.
Berdasarkan analisis terhadap beberapa putusan kasus pencucian uang, Penulis menyarankan supaya kemampuan teoritis dan praktis para penegak hukum terutama jaksa dan hakirn perlu ditingkatkan, sehingga dengan kemampuan yang memadai, dalam membuat dakwaan dan putusan dapat menjamin kepastian hukum.

Based on Indonesian Criminal Code, the criminal sanction against the accomplice should be reduced one-third from total criminal sanction against the principal. In the other hand, it is stated in Indonesian Money Laundering Act that the criminal sanction for accomplice is equal with the principal. There are three research questions appointed: firstly; in what legal reasoning was Legislator determine the same criminal sanction both for principal and accomplice so as stipulated in Article 3 (2) of Indonesian Money Laundering Act?;
Secondly: how is the implementation of accomplice's criminal responsibility according to Indonesian Money Laundering Act in comparison with the accomplice's criminal responsibility in other countries Money Laundering Act? thirdly: how is the implementation in Indonesian Money laundering Act relating to the legal theoretical concepts of accomplice's offence and criminal responsibility based on Article 56 and 57 of Indonesian Criminal Code?.
This research which is using qualitative descriptive interpretive method, has had the following conclusion:
Firstly, according to the Legislator, Indonesian Money Laundering Act is including one of special criminal code model, which is regulated and applied the special terms and conditions, considered therefore that the accomplice's offence has the same danger and impacts as the principal against Indonesian economic stability, so that it is legal to determine the same criminal sanction for both principal and accomplice. Beside that, Indonesia should also follow money laundering regulation guideline' prepared by Financial Action Task Force (FATF), which in this case, FATF orientated on various international conventions stipulated no differences on criminal sanction between principal and accomplice. Secondly, both in Indonesian Money Laundering Act and other countries Money Laundering Act, the implementation of accomplice's criminal responsibility is just the same, except the criminal sanction applied in Indonesia seems to be higher than other countries.
Thirdly; the accomplice's responsibility which in Indonesian Criminal Code is subject to 'an extensive basis of criminal responsibility' (Strafausdehnungsgrund); and in Indonesian Money Laundering Act, become 'an extensive basis of criminal act' (Tatbestandausdehnungsgrund). Also, the implementation of accomplice's offence in Indonesian Money Laundering Act should be referred to Article 56 of Indonesian Criminal Code, and concerning to accomplice's criminal responsibility should be based on Article 3 (2) of Indonesia Money Laundering Act.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T24299
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tamariska Dian Ratnaningtyas
"ABSTRAK
Dalam kerangka penegakan hukum tindak pidana pencucian uang, dikenal adanya pelaku pasif sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tesis ini membahas bentuk pertanggungjawaban pelaku pasif tindak pidana pencucian uang melalui studi pustaka dan analisa 4 (empat) putusan pengadilan atas nama Rinal Kornial, Andhika Gumilang, Hendra Kusumajaya, dan Ni Kadek Dewi Sridani. Metode Penelitian dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa pengaturan khusus mengenai kesalahan dan bentuk pertanggungjawaban pelaku pasif pencucian uang diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Terhadap pelaku pasif pencucian uang dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana apabila terbukti unsur kesalahan yang ada pada diri pelaku pasif yaitu unsur mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan yang diterima atau dikuasainya merupakan hasil tindak pidana asal pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Terkait dengan proses penegakan hukum terhadap pelaku pasif pencucian uang, maka proses tersebut merupakan respon dari masyarakat melalui aparat penegak hukum untuk mendeteksi, menyelidiki, menyidik, menuntut dan menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku pasif pencucian uang sebagaimana dinyatakan dalam putusan pengadilan yang menjadi dasar analisa dalam penelitian ini yaitu putusan pengadilan atas nama Rinal Kornial, Andhika Gumilang, Hendra Kusumajaya Dkk, dan Ni Kadek Dewi Sridani

ABSTRACT
Regarding the law enforcement process of money-laundering case, there is a passage about the passive offender as regulated in Article 5 Paragraph (2) of the Law Number 8 in year of 2010 on Prevention and Eradication of Money Laundering. Hereby, this thesis focuses on analyzing about the passive offender liability in money laundering cases based on literature case study of four final court verdict of Rinal Kornial, Andhika Gumilang, Hendra Kusumajaya?s group, and Ni Kadek Dewi Sridani?s case. As for the research method, this thesis is using normative law approach in analyzing these four money-laundering cases. This thesis elaborates about the possibility for the passive offender to be charged in money-laundering crime, based on the presumption that they may know or should have known that their wealth asset, either only accepting the asset or managing the asset, is coming from money-laundering process as regulated in Article 2 Paragraph 1 of the Law Number 8 in year of 2010 on Prevention and Eradication of Money Laundering. The law enforcement process in regard to the passive offender needs the law enforcement agencies (police, attorney, judge, etc.) to detect, investigate, prosecute and rule the final verdict as imposing the criminal sanction towards the passive offender. Then, this concept of law enforcement process becomes this thesis analytical core concept to review the four money-laundering cases of Rinal Kornial, Andhika Gumilang, Hendra Kusumajaya?s group, and Ni Kadek Dewi Sridani"
2016
T47091
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leo Jimmi Agustinus
"Membahas penagnanan perkara tindak pidana pencucian uang khususnya dalam hal perlu tudaknya pembuktian tindak pidana asal dalam penanganan tindak pidana pidana pencucian uang dan kaitan antara dua tindak pidana tersebut. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersipat deskriptis analisis, dimana data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, Penelitian ini berkesimpulan bahwa adanya hubungan berkelanjtan yang terpisah dan berdiri sendii sendiri antara tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang, adanya kesamaan bentuk antara tindak pidana pencucian uang dngan tindak pidana penadahan, dan dalam penanganan tindak pidana pencucian uang tidak diperlukan untuk pembuktian terlebih dahlu tindak pidana asalnya. Penelitian ini juga menyarankan agar setiap komponen dalam sistem peradlan pidana untuk mempunyai kesamaan sikap mengenai kesimpulan penelitian ini menyarankan bagi penegak hukum untuk memberikan ruang seluasnya bagi terdakwa tindak pidana pencucian uang untuk menggunakan haknya sesuai UUPPTIPPU.

This thesis details on administering cases on money laundering criminal act specifically on whether or not os required origin criminal act burden of proof in money laundering criminal act and connection between both criminal act. This study shall be a normative legal study and analysis descriptive in nature, whereby the collected data will be analyzed qualitatively. This study concluded that there exists a separate and independent sustainable relationship between origin criminal act and money laundering criminal act, a similarity of form between money laundering criminal act and fencing criminal act, and in administering money laundry criminal act it is not required to first proof its origin criminal act. Further, this study suggests for each component in the criminal justice system to have a unity of attitude to the conclusion of this study for the formation of an integrated criminal justice system. This study also encourages legal practitioners to provide the broadest space to money laundering criminal defendant to utilize his/her right under UUPPTPPU."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28944
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Refki Saputra
"Kriminalisasi aktivitas pencucian uang, pada dasarnya merupakan respon atas sulitnya mengungkap kejahatan terorganisir. Hal ini dilakukan karena pelaku menggunakan teknik-teknik pencucian uang untuk menyembunyikan harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut. Melalui pendekatan anti-pencucian uang, proses penegakan hukum diarahkan tidak hanya sekedar menemukan pelaku kejahatan, melainkan juga mencari harta kekayaan hasil kejahatan. Rezim anti-pencucian uang kemudian dianggap sebagai strategi baru dalam memberantas kejahatan dengan merampas hasil kejahatannya. Tatkala para pelaku kejahatan dihalangi untuk menikmati hasil kejahatannya, maka diharapkan motivasi untuk melakukan kejahatan juga menjadi sirna. Regulasi anti-pencucian uang di Indonesia, sejauh ini sudah cukup memberikan panduan kepada institusi yang terlibat dalam implementasi rezim anti-pencucian uang sebagai bagian dari upaya memberantas kejahatan (tindak pidana asal). Hal ini misalnya tampak dari ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan upaya penelusuran hasil kejahatan. Misalnya terkait dengan ketentuan pelaporan dan analisis transaksi keuangan, upaya mengamankan aset hasil kejahatan dalam ketentuan terkait dengan penundaan, penghentian transaksi, pemblokiran, penyitaan, hingga upaya perampasan hasil kejahatan. Agar dapat memaksimalkan pemberantasan kejahatan, maka perlu adanya kesamaan persepsi diantara penegak hukum, bahwa kriminalisasi aktivitas pencucian uang merupakan pintu masuk dalam mengungkap kejahatan. Proses pembuktian harus dilakukan secara efisien dengan menggunakan mekanisme pembuktian terbalik. Selain itu juga, proses peradilan tindak pidana pencucian uang harus selalu diarahkan untuk menemukan hasil kejahatan untuk kemudian dirampas atau dikembalikan kepada yang berhak.

The criminalization of money laundering activities, essentially a response to the difficulty of uncovering organized crime. This is done because the perpetrators use techniques of money laundering to conceal wealth obtained from the crime. Through the anti-money laundering approach, law enforcement process directed not only to find the perpetrators, but also to seek the proceeds of crime. Anti-money laundering regime is then considered as a new strategy to fight against crime by seizing the proceeds of crime. When the perpetrators are prevented from enjoying the proceeds of crime, it is expected that the motivation to commit crimes also be annihilated. Anti-money laundering regulation in Indonesia, so far is sufficient to provide guidance to the institutions involved in the implementation of anti-money laundering regime as part of efforts to combat crime (predicate offenses). It can be seen from the provisions relating to the search effort of criminal proceeds. For instance associated with the provision of financial transaction reporting and analysis, to secure the assets of criminal proceeds in the provisions relating to delays, termination of the transaction, blocking, seizure, up to confiscation of proceeds of crime. In order to maximize efforts to fight crime, we need a shared understanding among law enforcement agencies, that the criminalization of money laundering activity is an entry point to uncovering crime. Trial process must be done efficiently by using the reversal of burden of proof. In addition, the judicial process of money laundering should always be directed to locate the proceeds of crime, to be seized or returned to those entitled."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43825
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>