Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 192312 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aldhira Pramantari
"Praktik scientific whaling atau penangkapan ikan paus dengan tujuan penelitian ilmiah yang dilakukan Jepang di wilayah Antartika melalui Program JARPA II telah banyak menimbulkan kritik di dunia Internasional. Hal ini berakhir pada tahun 2014 dengan keluarnya Putusan Mahkamah Internasional dalam kasus Whaling in the Antarctic antara Australia v. Jepang dengan intervensi dari Selandia Baru yang menyatakan bahwa praktik JARPA II tidak sesuai dengan ketentuan hukum internasional. Pada skripsi ini akan diteliti mengenai kesesuaian praktik penangkapan ikan paus di laut bebas oleh suatu negara dengan peraturan internasional terkait mengenai whaling serta efektifitas putusan tersebut terhadap upaya konservasi dan manajemen stok ikan paus di masa depan.

Japan scientific whaling program in the Antarctic or known as JARPA II has evoke many critics over its practices. It resulted in the International Court of Justice Whaling in the Antarctic Judgement between Australia v. Japan: New Zealand intervening at 2014 that stated the program is not in accordance with the international law regarding whaling and that the program must be stopped immediately. This thesis will examine the conformity of whaling practice in the high seas by a country with the international regulations regarding whaling and the judgment effectiveness on the conservation and management of whales stock in the future.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60403
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Erina N.
Depok: Universitas Indonesia, 2003
S26163
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rengganis Suseno
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memahami efektivitas International Whaling Commission sebagai sebuah rezim lingkungan internasional dalam menghadapi isu perburuan paus di Jepang yang masih belum terselesaikan hingga saat ini. Dalam penelitian ini akan dianalisa berbagai faktor-faktor yang menyebabkan International Whaling Commission masih gagal dalam menurunkan angka perburuan paus di Jepang periode tahun 2010 hingga 2014. Jepang dilihat sebagai negara pro-whaling yang paling kontroversial. Lewat program scientific whaling-nya, Jepang berusaha mengeksploitasi paus dengan dalih ilmiah. Melalui konsep efektivitas rezim lingkungan internasional Oran Young, terdapat beberapa faktor yang menghambat International Whaling Commission untuk menghentikan tindakan eksploitatif Jepang. Faktor-faktor tersebut meliputi lemahnya struktur organisasi International Whaling Commission, lemahnya sistem pengawasan dan implementasi International Whaling Commission lewat Scientific Committee, lemahnya hubungan antara International Whaling Commission dengan praktek beserta implementasi di Pemerintahan Jepang dan tidak ada peran aktor non-negara di Jepang dan perbedaan pandangan mengenai isu perburuan paus.

ABSTRACT
This study aims to understand the effectiveness of International Whaling Commission as an International Environmental Regime when facing the whaling issue in Japan that remain unsolved until now. This study will try to analyzed various factors that causes International Whaling Commission still fail to reduce whaling in Japan, in period of 2010 to 2014. Japan is seen as the most controversial pro-whaling country. Through the scientific whaling program, Japan trying to exploit whales with scientific excuse .Through the concept of the effectiveness of international environment regime by Oran Young, there are several factors that hinder International Whaling Commission to stop Japan?s exploitative act. That factors include the weakness of International Whaling Commission structure of organization, the weakness of surveillance and the implementation of International Whaling Commission through Scientific Committee, the weakness of the relationship between International Whaling Commission through the practice and implementation to Government of Japan and there is no Non-Governmental Organzation (NGO) role inside the Government of Japan, and last there is a differences view on whaling issues.
"
[, 2016]
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yvonne Ivon
"Skripsi ini membahas mengenai konsep hak access to justice sebagai hak asasi yang sangat penting bagi penyandang disabilitas. Hak asasi penyandang disabilitas diatur secara spesifik dalam Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). Selain mengatur mengenai hak asasi penyandang disabilitas, CRPD juga mengatur mengenai ruang lingkup penyandang disabilitas. Pasal 13 konvensi ini mengatur mengenai hak access to justice bagi penyandang disabilitas. Pelaksanaan efektif dari hak ini bagi penyandang disabilitas bergantung pula pada pelaksanaan efektif dari hak asasi terkait access to justice, yaitu hak aksesibilitas, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, dan hak untuk berpartisipasi dalam bidang politik. Meskipun hak ini sangatlah penting bagi para penyandang disabilitas, sampai saat ini Jepang, Malaysia, dan Indonesia belum memiliki pengaturan yang ditujukan khusus bagi penyandang disabilitas mengenai access to justice.

The focus of this thesis is access to justice concept as a very important right for persons with disabilities. Persons with disabilities? rights are specifically written in Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). This convention also regulates the scope of persons with disabilities. Article 13 of this convention is ensuring access to justice rights for persons with disabilities. Effective access to justice for persons with disabilities also depend on effective implementation of related rights, such as accessibilities, education rights, rights to work and rights to participate in politics. Although this right is very important for persons with disabilities, Japan, Malaysia and Indonesia haven?t regulate this right specifically for them."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S60535
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Alda Mayo Panajam
"Crimes against humanity is one of the international crime which can be categorized as a jus cogens and evidently one of the most serious type of international crime. The concept of crimes against humanity first stemmed and codified in the post-World War 2 period, specifically from the Statutes of the International Military Tribunals of Nuremberg and Tokyo. The formulations set forth in the Tribunals? Statutes includes a set of chapeau or contextual elements which acts as a philosophical basis for the fulfilment crimes against humanity requirements. Further developments in crimes against humanity gave birth to a myriad of formulations, whether seen from the aspect of general definition and the contextual elements, like the ones formulated in the Statutes of ICTY, ICTR and ICC. This thesis will be focused on the contextual elements of crimes against humanity as stipulated in the ICTY Statute, and will be thoroughly related to the case Prosecutors v. Milan Martic to further boost the practical understanding for the matter of crimes against humanity.

Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan salah satu kejahatan internasional yang masuk ke dalam kategori jus cogens dan juga salah satu dari jenis kejahatan internasional paling serius. Konsep kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali muncul dan dikodifikasikan pasca-Perang Dunia ke-2 melalui Statuta Pengadilan Nuremberg dan Tokyo. Formulasi awal dari kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut selalu memiliki elemen-elemen chapeau atau kontekstual yang merupakan basis filosofis dari pemenuhan syarat kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam perkembangan lanjutan kejahatan terhadap kemanusiaan muncul berbagai variasi-variasi formulasi baik dari aspek definisi umum maupun elemen-elemen kontekstual, seperti pada ICTY, ICTR dan juga ICC. Tulisan ini akan berfokus pada elemen-elemen kontekstual seperti yang ada di dalam Statuta ICTY dan akan dikaitkan dengan kasus Prosecutors v. Milan Martic agar mempermudah pemahaman aplikatif dari konsep elemen-elemen kontekstual kejahatan terhadap kemanusiaan."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S42997
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hally, M. Bernard Dette
Australia: Elsevier, 2009
610.730 69 HAL g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tara Nadianti Kasih
"Perkawinan paksa sebagai suatu bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan belum diatur dalam Statuta Roma. Dalam praktiknya, Mahkamah Pidana Internasional telah memutus perkawinan paksa sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan berupa other inhumane acts dan menerapkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Statuta Roma untuk menuntut perkawinan paksa sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan. Berdasarkan hasil yurisprudensi di berbagai pengadilan internasional yang telah menangani terkait perkawinan paksa, penuntutan atas tindakan perkawinan paksa telah dilakukan dengan menerapkan ketentuan terkait tindakan-tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berbeda. Beberapa hasil putusan beranggapan bahwa perkawinan paksa lebih tepat untuk dituntut sebagai perbudakan seksual. Namun, dalam perkembangan terkini terkait penuntutan perkawinan paksa dalam kasus Prosecutor v. Dominic Ongwen, Mahkamah Pidana Internasional menyatakan bahwa perkawinan paksa dapat dituntut secara tersendiri di bawah Pasal 7(1)(k) terkait other inhumane acts. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat perlindungan hukum yang terdapat dalam Statuta Roma untuk menghukum tindakan perkawinan paksa dan meneliti terkait alasan hukum yang mendasari penentuan elements of crime dari perkawinan paksa sebagai suatu bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan, lalu bagaimana kasus Prosecutor v. Dominic Ongwen dapat menuntut perkawinan paksa secara tersendiri sebagai other inhumane acts. Hasil penelitian ini menemukan bahwa tindakan perkawinan paksa dan perbudakan seksual seringkali bersinggungan. Sebagaimana telah dinyatakan oleh majelis hakim dalam kasus Prosecutor v. Dominic Ongwen, perkawinan paksa pada umumnya terjadi dalam situasi yang juga mencakup perbudakan seksual. Namun, ketika pemaksaan status perkawinan mengakibatkan penderitaan yang melebihi dan berbeda dari perbudakan seksual, maka perkawinan paksa patut untuk dituntut secara tersendiri agar dapat mencakup keseluruhan tindakan, dampak yang diakibatkan, serta kepentingan yang dilindungi dari tindakan kejahatan yang dilakukan.

Forced marriage as a crime against humanity has not been regulated in the Rome Statute. In practice, the Court has prosecuted forced marriage as the crime against humanity of an other inhumane act and adopted the existing provisions to prosecute forced marriage as a crime against humanity. The jurisprudence from various international courts dealing with forced marriage has adopted different provisions regarding the crime against humanity to prosecute forced marriage. Some considers that forced marriage is more adequately prosecuted as sexual slavery, but recent developments regarding forced marriage in the case of the Prosecutor v. Dominic Ongwen shows that the Court views forced marriage as a crime that needs to be charged separately under Article 7(1)(k) of the Rome Statute as an other inhumane act. Therefore, this study aims to determine the legal protections under the Rome Statute to protect victims from forced marriage and examine the judicial reasonings in determining the elements of crime of forced marriage as a crime against humanity, particularly in prosecuting forced marriage as a separate crime against humanity in the case of the Prosecutor v. Dominic Ongwen. The results of this study found that the act of forced marriage and sexual slavery often intersect and are not mutually exclusive. As stated by the Trial Chamber in the case of Prosecutor v. Dominic Ongwen, forced marriages generally occur in situations in which women are sexually enslaved. However, when the imposition of marital status results in suffering that goes beyond sexual slavery, forced marriage should be prosecuted separately to warrant full responsibility of the perpetrator and to adequately represent the conduct, ensuing harm, and protected interests from the crime committed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annissa Gabianti Anggriana
"Hak asuh atas anak lahir dari putusnya perkawinan orang tuanya. Pihak yang tidak mendapat hak asuh mempunyai hak kunjung, yang terkadang disalahgunakan untuk membawa anak tersebut pergi dari habitual residence si anak. Perbuatan tersebut dikenal sebagai penculikan anak internasional, yang diatur dalam The Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction 1980, sehingga anak tersebut dapat dikembalikan kepada habitual residence-nya. Berdasarkan kasus yang dibahas dalam skripsi ini, proses pengembalian anak yang melibatkan negara non-anggota The Hague Convention 1980 merupakan proses yang panjang dan berbelit-belit.

Right of custody arises from the dissolution of a marriage. Parent, who does not acquire the right of custody, has right of access, which can be used unlawfully to take the child out of his/her habitual residence. That action known as the international child abduction, which also regulated by The Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction 1980, so the child can be returned to his/her habitual residence. Based on the analyzed cases, the return process of a child, to non-contracting states of The Hague Convention 1980, are often long and complicated."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S59186
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Spate, Oskar Hermann Kristian
London : Oxford University Press, 1965
919.4 SPA a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Miranda Kosasih
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai konsep pertanggungjawaban pidana
dalam hukum pidana internasional dan secara spesifik membahas
konsep pertanggungjawaban individual yang diatur dalam Statuta Roma.
Konsep pertanggungjawaban individual mulai dikenal dalam hukum
internasional moderen pada masa Perang Dunia II tepatnya dalam
Peradilan Nuremberg, dengan menghukum individu atas kejahatan
internasional. Konsep ini selanjutnya diterapkan di berbagai peradilan
pidana internasional. dan mengalami perkembangan dengan munculnya
konsep pertanggungjawaban pimpinan dalam Peradilan Tokyo dan
konsep Joint Criminal Enterprise dalam International Court for Former
Yugoslavia (ICTY). Konsep pertanggungjawaban individual mengalami
perubahan ketika diterapkan dalam International Criminal Court (ICC)
yang terlihat didalam putusan Prosecutor v. Thomas Lubanga Dyilo.
Dalam putusan tersebut, majelis hakim menyatakan bahwa Thomas
Lubanga Dyilo bersalah atas kejahatan perang dalam perekrutan tentara
anak dan bertanggung jawab secara individu atas dasar turut melakukan
(co-perpetration).

ABSTRACT
This thesis analyzes the concept of criminal responsibility under
international criminal law, specifically discusses the individual criminal responsibility under Rome Statute. Individual criminal responsibility was first applied during the Second World War, which was in the Nuremberg Trials. The concept punishes individual for International crimes. The concept of individual criminal responsibility was then applied in various international criminal tribunals, and has developed with the introduction of the concept of superior responsibility in International Military Tribunal for The Far East and the concept of joint criminal enterprise in International Criminal Tribunal for Former
Yugoslavia. The concept of criminal responsibility has evolved in the
International Criminal Court, as it can be seen in Prosecutor v. Thomas
Lubanga Dyilo Case. The trial chamber punished Thomas Lubanga
Dyilo for the warcrime of recruiting child soldier under co-perpetration."
2013
S46333
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>