Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 204282 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Teguh Basuki Heru Yuwono
"Tesis ini membahas tentang penerapan doktrin permulaan pelaksanaan terhadap
beberapa perkara makar untuk mengetahui bagaimana corak permulaan
pelaksanaannya sehingga sudah dianggap merupakan perbuatan makar, yang
selanjutnya atas kecenderungan tersebut peneliti juga akan melakukan penelitian
terhadap penegak hukum untuk mengetahui pemahaman penegak hukum atas
permulaan pelaksanaan sehingga diharapkan terdapat korelasi antara keduanya.
Penelitian ini beranjak dari tidak diaturnya secara jelas batas-batas suatu
permulaan pelaksanaan perbuatan makar sehingga rentan bertentangan dengan
asas legalitas, mengingat pasal-pasal makar juga tidak memberikan rumusan yang
jelas mengenai perbuatan-perbuatan yang bagaimana yang dilarang untuk
dilakukan. Dari penelitian yang sifatnya yuridis normatif yang dilengkapi dengan
wawancara, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach) dan pendekatan konsep (conseptual approach) serta dianalisa secara
deskriptif analisis, diperoleh kesimpulan bahwa dengan menggunakan pendekatan
doktrin-doktrin permulaan pelaksanaan, kecenderungan permulaan pelaksanaan
dalam penanganan perkara makar adalah bercorak subyektif, yakni memandang
bahwa sudah ada permulaan pelaksanaan melakukan makar ketika sudah ada niat
untuk itu yang telah diwujudkan dalam perbuatan. Dari hasil wawancara terhadap
penegak hukum ternyata diperoleh kesimpulan bahwa kecenderungan penegak
hukum dalam memahami permulaan pelaksanaan adalah memang bercorak
subyektif. Secara keseluruhan dapat dipahami bahwa kecenderungan permulaan
permulaan pelaksanaan dalam perkara makar adalah bercorak subyektif karena
sikap penegak hukum dalam memahami permulaan pelaksanaan dalam perbuatan
makar juga subyektif

This thesis discusses the application of fhe doctrine of commencement of the
implementation on several treason cases to identify what patterns of
commencement of the implementation considered as treason. Then, based on
those tendencies, a research regarding how good law enforcers understood the
commencement of the implementation was done. Therefore, it is expected that
there is a correlation between them. This research started from the fact that there
is no clear regulation about the lines of commencement of the implementation on
treason cases so that it is likely to be against the principle of legality because
treason articles do not clearly define the formula about what kinds of actions that
are prohibited to commit A conclusion obtained from a juridical normative
research supported with interviews using statue approach and conceptual approach
which then descriptively analyzed showed that by using the doctrine of
commencement of the implementation approach, the tendency of commencement
of the implementation in handling treason cases was subjective. It means that
there is a commencement of the implementation to commit treason when someone
has an intention to commit an offense and the person performs any act that
constitutes a substantial step toward the commission of that offense. The result of
the interviews on the law enforcer showed that the law enforcer had a tendency to
be subjective in understanding the commencement of the implementation. In a
whole, it is understandable that the tendency of the commencement of the
implementation in a treason case is subjective because the attitude of law enforcer
in understanding commencement of the implementation on a treason case is also
subjective.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T42730
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Binsar Daniel
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai bagaimana perkembangan makar yang terjadi sebelum dan ketika era disruptif berlangsung. Era disruptif berkaitan dengan abad ke- 21 (dua puluh satu) dimana pengaruh dan perkembangan teknologi menjadi aspek utama. Perkembangan makar ditinjau dari 2 (dua) aspek yaitu hubungan makar dan cybercrime serta hubungan makar dan beberapa tindak pidana di era disruptif. Makar pada dasarnya merupakan tindak pidana penyerangan secara fisik namun dengan berkembangnya teknologi maka berkaitan dengan cybercrime yang menjadi media dalam melakukan tindak pidana makar. Makar dan beberapa tindak pidana yang berkaitan dengan era disruptif menunjukkan bahwa terdapat hubungan berupa perbarengan tindak pidana dalam bentuk concursus idealis (eendaadse samenloop).

ABSTRACT
This undergraduate thesis discusses how makar transforms before and in disruptive era. Disruptive era relates to the 21st (twenty first) era where the technology is its priority aspect. The transformation can be seen from 2 (two) aspects, the relation between makar and cybercrime with the relation between makar and several criminal acts in disruptive era. The concept of makar is the physically attack act then related with technology as the media in committing that act. Then the relation between makar and several criminal acts in disruptive era shows that there is joinder of offenses in form of concursus idealis (eendaadse samenloop).
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mayadita Fathia Waluyo
"Doktrin Likelihood of Confusion sebagai doktrin yang terkandung dalam Article 16 (1) TRIPs Agreement telah menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa dalam menentukan suatu pelanggaran merek. Namun demikian, Doktrin Likelihood of Confusion saat ini belum dianut oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Meski begitu, beberapa Majelis Hakim dalam menyelesaikan sengketa merek di Indonesia telah berusaha memberikan pertimbangan terkait Likelihood of Confusion seperti Pada Putusan Nomor 30/Pdt.Sus-Merek/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst antara pemilik merek “FORMULA STRONG” melawan pemilik merek “PEPSODENT STRONG 12 JAM” serta pada Putusan Nomor 10/PDT.SUS.MEREK/2020/PN.NIAGAJKT.PST. antara merek “PUMA” melawan merek “PUMADA”. Untuk itu, penelitian ini akan menganalisis terkait penerapan Doktrin Likelihood of Confusion dalam penyelesaian sengketa merek di Indonesia, serta membandingkannya dengan pengaturan dan penerapannya di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Adapun penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis-normatif dengan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah Majelis Hakim dalam menerapkan Doktrin Likelihood of Confusion di Indonesia masih bersandar kembali dengan hanya menitikberatkan pada ada atau tidaknya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya antara kedua merek. Padahal, adanya kesamaan antara kedua merek tidak serta merta menimbulkan kebingungan bagi konsumen, yang berujung pada kerugian bagi pemilik merek. Kedua merek juga tetap dapat dibedakan satu sama lain, dan fungsi utama merek sebagai daya pembeda masih terpenuhi. Oleh karenanya, Indonesia diharapkan dapat memperhatikan syarat Likelihood of Confusion dalam penentuan pelanggaran merek dengan cara merumuskannya ke dalam Undang-Undang ataupun menyatukan pemahaman penegak hukum dalam memberikan pertimbangan hukum guna mewujudkan keadilan dalam perlindungan hak atas merek.

The doctrine of Likelihood of Confusion as a doctrine contained in Article 16 (1) of the TRIPs Agreement has become the basis for consideration by the Panel of Judges in several countries such as the United States and the European Union in determining a trademark infringement. However, the Likelihood of Confusion doctrine is currently not adopted by Indonesia in Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications. Even so, several Panel of Judges in resolving trademark disputes in Indonesia have tried to provide considerations related to Likelihood of Confusion such as in Decision Number 30/Pdt.Sus-Merek/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst between the owner of the trademark of "FORMULA STRONG" against owner of the trademark of "PEPSODENT STRONG 12 HOURS" as well as in Decision Number 10/PDT.SUS.MEREK/2020/PN.NIAGAJKT.PST. between the trademark “PUMA” against the trademark “PUMADA”. For this reason, this study will analyze the application of the Likelihood of Confusion Doctrine in the trademark disputes resolution in Indonesia, and compare it with the regulation and implementation in the United States and the European Union. This research was conducted using a juridical-normative method with data obtained through a literature study. The conclusion that can be drawn is that the Panel of Judges in implementing the Likelihood of Confusion Doctrine in Indonesia still relies on and by only focusing on whether or not there are similarities in substance or in its entirety between the two trademarks. In fact, the similarities between the two trademarks do not necessarily cause consumers confusion, which leads to the trademark owner’s loss. The two trademarks can also still be distinguished from one another, and the main function of the trademark to distinguish goods and/or services is still fulfilled. Therefore, Indonesia is expected to be able to pay attention to the terms of Likelihood of Confusion in determining trademark infringement by formulating it into the law or uniting the understanding of law enforcer in providing legal considerations in order to realize justice in the protection of trademark rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzi Jazuli
"ABSTRAK
Prolegnas diharapkan dapat menjadi pedoman dan pengendali penyusunan
peraturan perundang-undangan tingkat pusat yang mengikat lembaga yang
berwenang membentuk peraturan perundang-undangan, mendukung tugas utama
pemerintahan dan pembangunan, serta untuk memenuhi kebutuhan hukum di
dalam masyarakat.Tesis ini menganalisa dua permasalahan utama yang terbagi
dalam beberapa subbab. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
normatif/penelitian hukum kepustakaan. Sejalan dengan metode di atas,
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundangundangan
(statute approach) dengan maksud untuk meneliti, mendalami, dan
menelaah berbagai peraturan perundang-undangan khususnya yang berkaitan
dengan perencanaan dan pengawasan pelaksanaan program legislasi nasional.
Berdasarkan sifatnya, penelitian hukum ini merupakan penelitian deskriptif
karena penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan serta menguraikan
semua data yang diperoleh, terkait dengan perencanaan dan pengawasan
pelaksanaan program legislasi nasional. Sedangkan berdasarkan bentuknya,
penelitian hukum ini merupakan penelitian preskriptif. Setelah melakukan analisa,
dapat disimpulkan bahwa perencanaan dalam Prolegnas sangatlah esensial.
Dengan Prolegnas diharapkan pada masa yang akan datang dapat diwujudkan
tertib pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjadi salah satu
penyokong terwujudnya negara hukum Indonesia. Pengawasan yang cocok
dilakukan guna mengawasi pelaksanaan Program Legislasi Nasional adalah jenis
control of policy making. Adapun lembaga yang berwenang melakukan control of
policy making tersebut adalah Badan Legislasi DPR.

ABSTRACT
Prolegnas is expected to guide and control the preparation of laws and
regulations to support the main tasks of governance and development, as well as
to meet the needs of law in society. Focused on the previous explanation, this
thesis analyzes the two major issues that are divided into several sections. This
study uses normative research/a legal research literature. In line with the above
methods, the approach used in this study is the statute approach with a view to
examine, explore, and examine the various laws and regulations, especially with
regard to the planning and supervision of the implementation of national
legislation program. By its nature, the legal research is a descriptive research.
While based on its shape, this is a research study prescriptive law. After the
analysis, it can be concluded that in Prolegnas planning is essential. With the
Prolegnas expected in the future can be realized orderly formation of legislation
which became one of the advocates of the establishment of the state of Indonesian
law. Appropriate control is done in order to oversee the implementation of the
National Legislation Program is the kind of control of policy making."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38994
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Herawati
"Prinsip dasar restrukturisasi kredit memberi kesempatan agar debitur dapat bangkit kembali dalam berusaha sehingga di masa yang akan datang usahanya dapat kembali pulih. Konsep one obligor pada dasarnya menghendaki penerapan kualitas yang sama untuk penyediaan dana yang digunakan untuk membiayai satu debitur yang memperoleh beberapa fasilitas kredit. Spirit regulasi ini adalah agar bank dapat melakukan penilaian kualitas aktiva setepat mungkin, dan dengan demikian hal ini juga merupakan bentuk peningkatan kualitas manajemen risiko bank.
Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penerapan konsep one obligor dalam proses restrukturisasi kredit debitur Bank BTN serta bagaimanakah pelaksanaan penyelamatan kredit dalam proses restrukturisasi kredit melalui eksekusi barang jaminan milik debitur one obligor. Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan konsep one obligor dalam pelaksanaan restrukturisasi kredit bagi debitur bank BTN telah memenuhi ketentuan-ketentuan restrukturisasi kredit yang ditetapkan berdasar ketentuan internal Bank BTN maupun ketentuan eksternal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Dalam hal eksekusi barang jaminan milik debitur one obligor diberlakukan ketentuan cross collateral yaitu collateral atau agunan yang dijaminkan oleh debitur untuk suatu proyek meskipun kolektibilitasnya lancar namun dapat dieksekusi dan hasil eksekusinya dipergunakan untuk melunasi seluruh kewajiban debitur.

The basic principle of credit restructuring is in order to allow the debitor to get back in business so that in the future, it is can be recovered. The concept of one obligor essentially requires to the application of the same quality for the funds provision that is used to finance a debitor who obtained several credit facilities.The spirit of regulation is so that the bank can do evaluation to the asset quality as precisely as possible, and thus it is also as the improvement of the form of bank risk management quality.
The issue of this thesis is how the application of the concept of one obligor under the loan restructuring debitor of BTN and how the implementation of the loan rescue in the credit restructuring process through the execution of collateral owned by the one obligor debitor. The type of research that the author used in this research is the normative juridical that is analyzed qualitatively.
The results show that the application of the concept of one obligor in the implementation of the credit restructuring of BTN Bank has fulfilled the terms of the loan are set based on the restructuring of the internal regulations of BTN bank and the external provisions are stipulated by Bank Indonesia. In the terms of collateral execution owned by one obligor debitor are enacted to the provisions of cross collateral, the collateral that is pledged by the debitor to a project eventhough its collectibility is smooth but can be executed and the result of execution is used to repay all the obligations of debitor.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32778
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Angela
"Investasi asing merupakan sebuah sumber pemasukan bagi negara yang menyelenggarakan kegiatan investasi yang memberikan dampak bagi pihak-pihak yang terlibat, lingkungan dan dapat memberikan pengaruh jangka panjang bahkan setelah kegiatan investasi selesai dilakukan. Sehingga, selain menjamin adanya perlindungan bagi investor asing yang melangsungkan kegiatan investasi di Indonesia, perlu diimplementasikan juga bentuk kewajiban dan tanggung jawab yang mengikat investor asing di Indonesia yang dilakukan dengan cara penerapan prinsip Environment, Social and Governance dan responsible investment. Faktanya, Indonesia masih belum melihat urgensi dari penerapan prinsip Environment, Social and Governance dan responsible investment sebagai peraturan wajib dalam hukum investasi di Indonesia, hal ini terlihat dari cara pemerintah Indonesia menangani perkara investasi asing yang melibatkan Indonesia seperti Churchill Mining v. Indonesia. Perlu dilihat perkembangan prinsip ESG dan juga penerapannya dalam kasus-kasus investasi asing, eksistensinya dalam regulasi Indonesia, dan bagaimana prinsip ESG dan responsible investment dapat diterapkan dalam hukum investasi Indonesia. Skripsi ini menggunakan metodologi penelitian yang menganalisis perkara-perkara investasi asing yang berkaitan dengan prinsip ESG dan responsible investment dan pendekatan yang dilakukan oleh tribunal arbitrase investasi internasional dan menemukan bahwa strategi Indonesia dalam menghadapi pelanggaran prinsip ESG dan responsible investment masih belum memadai, baik dari segi perjanjian-perjanjian investasi asing oleh negara-negara yang terlibat dalam perkara investasi asing maupun regulasi Indonesia. Pemerintah seharusnya lebih tegas dalam menekankan prinsip ESG dan responsible investment sebagai sebuah kewajiban investor asing dan sebagai syarat bagi investor asing untuk melakukan kegiatan investasi di Indonesia dengan memasukkan prinsip ESG dan responsible investment ke dalam hukum investasi Indonesia serta menggunakan prinsip ESG dan responsible investment sebagai sebuah strategi ketika dihadapi dengan perkara investasi asing dimana investor asing melakukan pelanggaran terhadap prinsip ESG dan responsible investment dengan mengenakan sanksi berupa pencabutan izin prinsip apabila dilanggar.

Foreign investment is a source of income for host countries that created an impact on the parties involved, the environment and it might also have a long-term impact even after the investment activities have been concluded. Therefore, in addition to guaranteeing protection for foreign investors carrying out investment activities in Indonesia, it is also necessary to implement obligations and responsibilities that bind foreign investors in Indonesia by implementing the principles of Environment, Social and Governance and responsible investment as compulsory in Indonesia’s investment law, this is reflected in the way the Indonesia government handles foreign investment cases involving Indonesia such as Churchill Mining v. Indonesia. Therefore, it is necessary to look into the development of ESG principles and their application in foreign investment cases, their existence in Indonesian regulations, and how the ESG principles and responsible investment can be applied in Indonesia investment law. This thesis uses a research methodology that analyzes foreign investment cases related to ESG principles and responsible investment and the approach taken by international investment arbitration tribunals and finds that Indonesia’s strategy in dealing with violations of ESG principles and responsible investment is still inadequate, whether in the form of international investment agreements of Indonesian regulation. The government should be more assertive in emphasizing the principles of ESG and responsible investment as an obligation for foreign investors when carrying out investment activities in Indonesia by implementing ESG principles and and utilizing the principles of ESG and responsible investment as a strategy when faced with foreign investment cases where foreign investors violate ESG principles and responsible investment by imposing sanctions in the form of revocation of principle permits if they are violated."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Br Ginting, Dewi Maya
"

Dalam arti yang lebih kompleks sekaligus sederhana, abuse (abnormal use) of power dapat dimaknai sebagai sebuah akibat dari gagalnya pengendalian internal (internal control). Di dalam industri perbankan sendiri, prinsip kehati-hatian (prudential principle) merupakan patokan utama dalam pembentukan dan pemeliharaan hubungan antara Bank dengan masyarakat. Kendati direksi dan komisaris memikul tanggungjawab hukum dengan porsinya masing-masing, namun terdapat batasan-batasan tertentu mengenai kapan direksi dan komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas risiko dari keputusan atau tindakan pengawasan yang telah diambilnya. Dengan demikian direksi dan komisaris dapat lebih leluasa dalam mengambil keputusan bisnis maupun aksi-aksi korporasi dalam kegiatan usaha perbankan. Namun pada praktiknya, ketika dihadapkan pada kasus dugaan kejahatan perbankan, Majelis Hakim tidak selalu mempergunakan konsep Business Judgement Rule (BJR) sebagai  immunity doctrine bagi direksi untuk menangkis tuduhan White Collar Crime yang ditujukan atas keputusan atau tindakan pengawasan yang telah dilakukan oleh direksi dan komisaris. Hal ini menyebabkan kesenjakan antara das sein dengan das solen. Sehingga disini diperlukan sebuah penelitian dalam bentuk tesis, dengan identifikasi masalah yaitu; Pertama, Bagaimana penerapan Prudential Principle dalam pemberian kredit di Indonesia?. Kedua, Bagaimana penerapan prinsip Business Judgement Rule dalam memeriksa dan memutus kasus dugaan tindak pidana perbankan di Indonesia?  

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis.

Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa ketika keputusan atau tindakan pengawasan yang dilakukan oleh direksi dan komisaris tersebut telah didasari iktikad baik (good faith), pengambilan keputusan telah memperhatikan kepentingan perusahaan (fiduciary duty), berdasarkan pengetahuan/data yang memadai (informed basis), tidak dilakukan untuk berhambur-hambur (duty of care) dan tidak didasarkan pada kepentingan pribadi (loyalty), serta penuh dengan tanggungjawab, maka seharusnya Direksi berhak atas immunity doctrine.

 


In a more complex and at the same time simple, abnormal use of power can be interpreted as a result of the failure of internal control. Within the banking industry itself, the principle of prudence is the main benchmark in the formation and maintenance of relations between the Bank and the public. However, in practice, when faced with cases of suspected banking crime, the Panel of Judges does not always use the concept of the Business Judgment Rule as the immunity doctrine for the directors to fend off alleged criminal acts aimed at decisions or supervisory actions that have been carried out by the board of directors and commissioners. This causes a gap between them. So that we need a research in the form of a thesis, with problem identification; First, how is the application of the precautionary principle in lending in Indonesia? Second, how is the application of BJR principles in examining and deciding cases of suspected banking crime in Indonesia?

The research method used is a normative juridical research method, with descriptive analytical research specifications.

From the results of this study, it is concluded that when the decisions or supervisory actions taken by the directors and commissioners are based on good faith, have taken into account the interests of the company, are based on adequate knowledge / data, are not wasting and are not on personal interests, and are full of responsibility, then BJR can be applied.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sudarmadi
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum oleh pemerintah atas kerugian yang timbul akibat barang-barang yang berada dibawah pengawasannya, dimana pemerintah mempunyai kapasitas sebagai pemilik barang yang menimbulkan kerugian bagi orang lain. Ketentuan Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata mengharuskan seseorang bertanggung jawab atas
kerugian yang disebabkan karena barang-barang yang berada dibawah
pengawasannya (Vicarious Liability). Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang membahas penerapan Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata kepada organ pemerintah yang kedudukannya berbeda dengan subjek hukum lain, dengan perolehan data melalui data sekunder berupa studi dokumen atau bahan kepustakaan. Dalam pengolahan data, metode yang digunakan adalah deskriptif analitis.

ABSTRACT
The focus of this study discussed the issue of accountability an unlawful act by the government for the loss resulting from goods under his watch, where the government has the capability to as the owner of goods which have inflicted losses from others. The provision of article 1367 paragraph (1) of Indonesia Civil Code requires someone responsible for the loss caused because of goods that are under their control (Vicarious Liability). This research is legal research to discuss
the application of the provision of article 1367 paragraph (1) Indonesia Civil Code to government that his different to other legal subject, by the acquirement of data over the secondary data of the study documents or material literature. In data processing, the method is is applicable in descriptive analysis."
2015
S58512
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maharanie
"Undang-undang sebagai hukum tertulis dapat lebih menimbulkan kepastian hukum, mudah dikenali, serta mudah untuk membuat atau menggantinya jika sudah tidak diperlukan lagi atau tidak sesuai lagi. Kelemahannya, kadang suatu perundang-undangan bersifat kaku (rigid) dan ketinggalan zaman karena perubahan di masyarakat begitu cepat. Di samping itu karena undang-undangan sering kali dipandang sebagai sebuah produk hukum namun karena dibuat oleh lembaga politik yang maka seringkali bernuansa politis, dalam pembentukannya kadang terjadi political bargaining atau tawar-menawar yang bermuara pada kompromi yang dapat berupa consensus atau kesepakatan politis yang dituangkan dalam norma (pasal) yang kadang kurang mencerminkan kepentingan umum, melainkan hanya untuk kepentingan golongan bahkan kepentingan pribadi. Hal ini kadang kala tidak dapat dihindari dalam proses pembentukan suatu undang-undang. Untuk itu perlu dicermati bagaimanakah tata cara pembentukan suatu undangundang, agar lebih mencerminkan kepentingan warga Negara sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Untuk itu perlu dibuka peluang partisipasi publik yang sebesarbsearnya dalam proses pembentukan kebijakan publik. Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan sebuah kebijakan seharusnya dilakukan dari awal perencanaan, pembuatan sampai pada tahan evaluasi. Dalam perencanaan awal pembentukan kebijakan masyarakat perlu untuk dilibatkan agar aware terhadap isu yang akan diatur, dalam proses pembentukan agar bisa mengerti bagaimana arah kebijakan tersebut akan dibentuk, dan pada tahap evaluasi agar memberikan masukan terhadap implementasi sebuah kebijakan.

Law as an written regulation give more certainty in the aplication, friendly recognize, and easy to change if it is not compatible anymore. Law also have some weakness which it?s character is very rigid compare with the changing in the society. Law as legsilastive product sometimes seen as a political product which have it?s political atmosphere because in the law making proccess can be some dealing among the actor and that dealing formulate in the article in the act. It is unavoidable sometime in the law making proccess eventhoug that is not reflecting people?s intersest but only the law maker intersest. That is why, it is necessary to scrutinize the procedure of the law making process so law as a public policy more reflecting people?s interest.That is why it?s really important to open public participation in the policy makin widely open. Public participation in the public policy making should be put on the agenda from the begining from planning, policy decisioning, up to evaluation. In the planning proccess people will be awared of the issue that will be regulate, in the decicion making people will see how is the policy maker vision of the issue, and in the evaluation procces people can give their oponion about the policy implementation."
2009
S25461
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sualang, Keane Natalia Christy
"Penelitian ini membahas mengenai pembentukan produk hukum daerah di daerah otonomi baru di Provinsi Papua Tengah sebagai salah satu Provinsi baru di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat normatif dengan melakukan penelusuran atau pendekatan terhadap Peraturan Perundang-undangan, studi pustaka dan untuk menunjang hal tersebut dilakukannya wawancara terhadap narasumber terkait. Daerah Otonomi Baru mempunyai kondisi yang berbeda dengan Daerah Otonomi yang sudah lama berdiri. Salah satu kondisi tersebut adalah tidak adanya lembaga pembentukan Produk Hukum Daerah yang berwenang. Dalam penelitian ini menjelaskan mengenai pembentukan daerah otonomi baru dan pembentukan produk hukum daerah secara khusus peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Provinsi Papua Tengah sebagai salah satu Provinsi baru di Indonesia mengalami permasalahan dalam pembentukan produk hukum daerah secara khusus peraturan daerah provinsi, peraturan daerah khusus dan peraturan gubernur. Hal ini dikarenakan kewenangan yang diberikan daripada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2022 Tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah. Kekosongan hukum merupakan salah satu permasalahan dalam penelitian ini. Hasil daripada wawancara yang dilakukan untuk penelitian ini adalah Kondisi Provinsi Papua Tengah tidak bisa disamakan dengan Provinsi yang sudah lama terbentuk. Untuk pembentukan produk hukum daerah, Provinsi Papua tengah berwenang membentuk produk hukum daerah selain yang diperintahkan Undang-Undang dengan bentuk produk hukum daerah yang lain. Tetapi hal ini tidak sesuai dengan Ilmu dan Teori Peraturan Perundang- undangan.

This research discusses the formation of regional legal products in the new autonomous region in Central Papua Province as one of the new provinces in Indonesia. This research is normative legal research by conducting searches or approaches to Legislative Regulations, literature studies and to support this, interviews with relevant sources are conducted. The New Autonomous Region has different conditions from the long-established Autonomous Region. One of these conditions is the absence of an authorized regional legal product formation institution. This research explains the formation of new autonomous regions and the formation of regional legal products, specifically regional regulations and regional head regulations. Central Papua Province as one of the new provinces in Indonesia is experiencing problems in the formation of regional legal products, specifically provincial regional regulations, special regional regulations and governor regulations. This is due to the authority given by Law Number 2 of 2021 concerning the Second Amendment to Law Number 21 of 2001 concerning Special Autonomy for Papua Province and Law Number 15 of 2022 concerning the Establishment of Central Papua Province. Legal vacancy is one of the problems in this research. The results of interviews conducted for this research are that the conditions of Central Papua Province cannot be compared to provinces that have been established for a long time. For the formation of regional legal products, Papua Province has the authority to form regional legal products other than those ordered by law with other forms of regional legal products. But this is not in accordance with the Science and Theory of Legislation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>