Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113749 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lila Pratiwi
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2011
T42721
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Santi Indrawati
"[ABSTRAK
Latar belakang : Pekerja yang bekerja di lingkungan panas mempunyai resiko tinggi mengalami gangguan ginjal akibat dehidrasi kronis. Gangguan ginjal dapat dicegah jika kelainan dapat dideteksi dan diterapi sejak awal dimana resiko kesakitan dan kematian juga akan berkurang. Pemeriksaan yang biasa dilakukan dalam praktek sehari-hari pada saat ini adalah dengan kreatinin. Namun pemeriksaan kreatinin baru menunjukkan kelainan pada penurunan LFG lanjut. Cystatin C dikatakan bisa mendeteksi gangguan ginjal lebih awal sebelum kadar kreatinin meningkat sehingga dapat segera dilakukan tindakan pencegahan untuk menghindari kerusakan ginjal lebih lanjut. Metode penelitian:` Penelitian dilakukan dengan desain Cross sectional. Dilakukan pada 94 pekerja laki-laki yang dipilih secara random sampling. Data dikumpulkan dengan wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium. Kadar cystatin c serum diukur dengan metode Immunonephelometri, kreatinin diukur dengan metode enzymatik, kemudian dihitung estimasi Laju Filtrasi Glomerulus berdasar Cystatin C dan kreatinin dengan metode CKD EPI. Hasil penelitian dilakukan analisa univariate dan bivariate. Hasil: Didapatkan prevalensi Gangguan Fungsi Ginjal dari Pemeriksaan Cystatin C pada Pekerja terpapar panas dengan Laju Filtrasi Glomerulus normal sebesar 17 %. Terdapat hubungan yang bermakna antara usia dan gangguan ginjal (p=0,000) dengan OR 13,22. Terdapat hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan gangguan ginjal (p = 0,043) dengan OR 6,67. Kesimpulan: LFG dengan Cystatin C dapat mendeteksi lebih dini gangguan ginjal sebelum kreatininnya meningkat dengan prevalensi 17% sehingga dengan upaya promotif dan preventif yang dilakukan diharapkan dapat mencegah gangguan ginjal lebih lanjut.;

ABSTRACT
Background: Workers who work in hot environments have a high risk of having renal disorders due to chronic dehydration. Renal disorders can be prevented if the abnormality can be detected and treated early in the beginning where the risk of morbidity and mortality is lower, as well. The common test conducted in daily practice today is the creatinine clearance test. However, creatinine clearance test shows abnormalities only in an advance reduced GFR. Cystatin C is known to be able detecting renal disorders in early stage before the creatinine level increases so that precautions can be taken to prevent a more advance renal damage. Study Method: This study used a cross sectional design. It was conducted to 94 workers whom selected with random sampling. Data was collected by interview, physical examination, and laboratory tests. Serum level of Cystatin C was measured by the method of immunonephelometry. Creatinine was measured by enzymatic method and subsequently, Glomerular Filtration Rate was estimated based on cystatin and creatinine using CKD EPI method. Univariate and bivariate analysis was performed to the results. Result: The study suggest that there is prevalence of renal disorders based on Cystatin C test in heat-exposed workers with normal glomerular filtration rate by 17%. There is a significant association between age and renal disorder (p = 0,000) with OR 13.22. There is a significant relation between period of employment with renal disorder (p = 0,001) with OR 6.57. Conclusion: Cystatin-based GFR is able to detect renal disorder at early stage before the creatinine level increases with prevalence of 17% so that further renal damage is expected to be able prevented with promotion and prevention attempts.
;Background: Workers who work in hot environments have a high risk of having renal disorders due to chronic dehydration. Renal disorders can be prevented if the abnormality can be detected and treated early in the beginning where the risk of morbidity and mortality is lower, as well. The common test conducted in daily practice today is the creatinine clearance test. However, creatinine clearance test shows abnormalities only in an advance reduced GFR. Cystatin C is known to be able detecting renal disorders in early stage before the creatinine level increases so that precautions can be taken to prevent a more advance renal damage. Study Method: This study used a cross sectional design. It was conducted to 94 workers whom selected with random sampling. Data was collected by interview, physical examination, and laboratory tests. Serum level of Cystatin C was measured by the method of immunonephelometry. Creatinine was measured by enzymatic method and subsequently, Glomerular Filtration Rate was estimated based on cystatin and creatinine using CKD EPI method. Univariate and bivariate analysis was performed to the results. Result: The study suggest that there is prevalence of renal disorders based on Cystatin C test in heat-exposed workers with normal glomerular filtration rate by 17%. There is a significant association between age and renal disorder (p = 0,000) with OR 13.22. There is a significant relation between period of employment with renal disorder (p = 0,001) with OR 6.57. Conclusion: Cystatin-based GFR is able to detect renal disorder at early stage before the creatinine level increases with prevalence of 17% so that further renal damage is expected to be able prevented with promotion and prevention attempts.
, Background: Workers who work in hot environments have a high risk of having renal disorders due to chronic dehydration. Renal disorders can be prevented if the abnormality can be detected and treated early in the beginning where the risk of morbidity and mortality is lower, as well. The common test conducted in daily practice today is the creatinine clearance test. However, creatinine clearance test shows abnormalities only in an advance reduced GFR. Cystatin C is known to be able detecting renal disorders in early stage before the creatinine level increases so that precautions can be taken to prevent a more advance renal damage. Study Method: This study used a cross sectional design. It was conducted to 94 workers whom selected with random sampling. Data was collected by interview, physical examination, and laboratory tests. Serum level of Cystatin C was measured by the method of immunonephelometry. Creatinine was measured by enzymatic method and subsequently, Glomerular Filtration Rate was estimated based on cystatin and creatinine using CKD EPI method. Univariate and bivariate analysis was performed to the results. Result: The study suggest that there is prevalence of renal disorders based on Cystatin C test in heat-exposed workers with normal glomerular filtration rate by 17%. There is a significant association between age and renal disorder (p = 0,000) with OR 13.22. There is a significant relation between period of employment with renal disorder (p = 0,001) with OR 6.57. Conclusion: Cystatin-based GFR is able to detect renal disorder at early stage before the creatinine level increases with prevalence of 17% so that further renal damage is expected to be able prevented with promotion and prevention attempts.
]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58717
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ina Susianti Timan
"Hepatitis C merupakan penyakit infeksi yang dapat ditemukan di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Sekitar 90-95% dari seluruh hepatitis pasca transfusi disebabkan oleh infeksi virus hepatitis C, sedangkan sebagian besar diantaranya cenderung asimptomatik. sehingga kadang-kadang tidak terdeteksi. Sekitar separuh dari penderita tersebut dalam perjalanan penyakitnya akan menjadi hepatitis kronis, dan 20% di antaranya berlanjut menjadi sirosis bahkan karsinoma hepatoseluler. Timbulnya hepatitis C pada transfusi tentunya akan memperburuk kondisi penderita.
Di Indonesia, penggunaan darah dan komponennya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Komplikasi utama dari transfusi adalah timbulnya hepatitis pasca transfusi. Pada penderita hemofilia/talasemia seringkali harus berulang kali menerima transfusi darah dan faktor pembekuan, sehingga mempunyai resiko tinggi untuk menderita hepatitis pasca transfusi. Begitu pula para penderita lain yang suatu waktu harus menerima transfusi darah, juga mempunyai resiko yang cukup besar untuk mendapat hepatitis pasca transfusi.
Selain melalui transfusi darah, dilaporkan juga adanya berbagai Cara penularan secara parenteral yang juga sering mengakibatkan seseorang terinfeksi virus hepatitis C, antara lain melalui hemodialisa, transplantasi organ, melalui jarum suntik pada pengguna obat bius, dan lain-lain. Penularan hepatitis C pada penderita hemodialisa tentunya akan mempersulit penanganan penderita tersebut.
Akhir-akhir ini telah banyak dikembangkan tes serologic untuk mendeteksi adanya antibodi HCV yang merupakan petanda infeksi virus hepatitis C. Diharapkan dengan dilakukan penelitian ini penularan virus hepatitis C baik melalui transfusi darah dan komponennya, ataupun secara tidak langsung melalui proses hemodialisa dapat dikurangi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Yayok Witarto
"Tujuan : Mengetahui korelasi antara kadar vitamin C plasma dengan kadar MDA plasma berdasarkan gradasi merokok
Tempat : PT. NATIONAL GOBEL - Cimanggis - Jawa Barat.
Metodologi : Studi korelasi, pada 108 orang laki-laki berusia 20 - 55 tahun, perokok dan bukan perokok, yang terpilih secara simple random sampling. Data yang dikumpulkan meliputi data umnm, kebiasaan mcrokok, konsumsi suplemen vitamin C, asupan makanan serta kadar vitamin C plasma dan MDA plasma.
Hasil : Kebiasaan merokok terdapat pada 45.4% subyek penelitian. Berdasarkan Indeks Brinkman, 37,1% termasuk perokok ringan, 8,3% perokok sedang dan tidak didapatkan perokok berat. Nilai median kadar vitamin C plasma 0.51( ,04 - 1.36 ) mg/dl dan nilai median kadar MDA plasma 0,63 ( 0,22 - 4,74 ) nmol/ml. Didapatkan hubungan bermakna antara asupan energi, protein, serat, merokok dan konsumsi suplemen vitamin C dengan kadar vitamin C plasma serta hubungan bermakna antara konsumsi suplemen vitamin C dengan kadar MDA plasma. Didapatkan korelasi negatif antara kadar vitamin C plasma dengan kadar MDA plasma pada bukan perokok, perokok ringan dan perokok sedang namun korelasi tersebut tidak bermakna ( r-0,014; p=0,916; r--0,170; p=0,295; 1=a-0,317; Korelasi negatif, kuat dan bermakna antara kadar vitamin C plasma dengan kadar MDA plasma didapatkan pada perokok yang mengkonsumsi suplemen vitamin C (r=-0,943; p = 0,005 ).
Kesimpulan : Didapatkan korelasi negatif antara kadar vitamin C plasma dengan kadar MDA plasma berdasarkan gradasi merokok, namun korelasi tersebut tidak bermakna. Walaupun tidak bermakna, ada kecenderungan korelasi semakin menguat sesuai peningkatan gradasi merokok. Korelasi negatif, kuat dan bermakna antara kadar vitamin C plasma dengan kadar MDA plasma didapatkan pada perokok yang mengkonsumsi suplemen vitamin C.

Objective: To identify the correlation between plasma level of vitamin C and plasma level of MDA based on smoking gradation.
Place : PT. National Gabel - Cimanggis - Bogor.
Methods : The simple random sampling was used for correlation study of 108 subjects, smokers and non smokers, age between 20 - 55 years. Data collections including: general data, smoking habit, consumption of vitamin C supplement, food intake and plasma level of vitamin C and MDA.
Result : The smokers found a total of 45.4% of the subjects. Using Brinkman's index, the gradation of light smokers were 37.1%, moderate smokers were 82% and there was no heavy smoker. Median value of vitamin C level in plasma was 0.51(0.04 - 1.36) mg/dl and for MDA level in plasma was 0.63 (0.22 -- 4,74) nmol/ml. Significant relationship was found between energy intake, protein, fiber, smoking habit and consumption of vitamin C supplement with plasma level of vitamin C. Significant relationship was found between consumption of vitamin C supplement with plasma level of MDA. Negative correlation was found between plasma level of vitamin C with plasma level of MDA of non smokers, light smokers and moderate smokers but not significant ( r -0.014, p=0.15; r=-0.170, p:'J.295; r=-0.317,p=0406). Smokers who consumed vitamin C supplement was found a negative, strong and significant correlation between plasma level of vitamin C and plasma level of' MDA( r = - 0.943, p = 0.005 ).
Conclusion : Negative correlation was found between plasma level of vitamin C and plasma level of MDA based on smoking gradation, but not significant. Although not significant, there was a tendency of stronger correlation if smoking gradation increase. Smokers who consumed vitamin C supplement was found a negative, strong and significant correlation between plasma level of vitamin C and plasma level of MDA.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T 11353
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
I Nyoman Sudirga
"Hepatitis C merupakan penyebab penyakit hati kronik yang penting di seluruh dunia termasuk lndonesia. Diperkirakan terdapat 300 juta pembawa virus hepatitis C di seluruh dunia. Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia didapatkan prevalensi anti Hepatitis C Virus (anti HCV) berkisar antara 2,1-2,5%.s Penelitian di Jakarta pada tahun 1990 memperlihatkan prevalensi anti HCV pada hepatitis kronik non B sebesar 80,4%. Hepatitis C merupakan jenis hepatitis dengan gejala k1inis yang ringan tapi dengan tingkat kronisitas dan progresifitas yang tinggi ke arah sirosis. Sekitar 70-80% hepatitis C akut akan menjadi kronik dan 20% akan berkembang menjadi sirosis bati.

Hepatitis C is an important cause of chronic liver disease around the world, including Indonesia. It is estimated that there are 300 million carriers of the hepatitis C virus worldwide. In a study conducted in Indonesia, the prevalence of anti-Hepatitis C Virus (anti-HCV) ranged from 2.1-2.5%.s A study in Jakarta in 1990 showed an anti-HCV prevalence in chronic non-B hepatitis of 80.4%. Hepatitis C is a type of hepatitis with mild k1inis symptoms but with a high degree of chronicity and progression to arabic cirrhosis. About 70-80%. Acute hepatitis C will become chronic and 20% will develop into batic cirrhosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Femmy Nurul Akbar
"Latar Belakang. Salah satu terapi standar hepatitis C kronik adalah terapi kombinasi interferon alfa (IFN) dan ribavirin (RIB). Namun terapi kombinasi tersebut dapat menimbulkan efek samping anemia. Anemia menyebabkan dosis ribavirin harus diturunkan atau dihentikan sementara yang mengakibatkan penurunan keberhasilan terapi hepatitis C kronik. Oleh karena itu perlu diketahui prevalensi dan faktor risiko anemia pada pasien yang menjalani terapi kombinasi agar anemia dapat diantipasi dan diawasi lebih cermat pada pasien dengan faktor risiko tersebut. Penelitian semacam ini belum pernah dipublikasi di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui prevalensi dan faktor risiko terjadinya anemia pada pasien hepatitis C kronik yang menjalani terapi interferon alfa dan ribavirin serta mengetahui frekuensi pasien anemia yang mengalami penurunan dan penghentian ribavirin.
Metodologi. Pasien hepatitis C kronik yang mendapat pengobatan berupa terapi kombinasi interferon alfa-ribavirin oleh staf divisi Hepatologi FKUIIRSCM diikutsertakan dalam penelitian. Data yang dikumpulkan meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah tepi pada minggu ke 8 terapi kombinasi. Penelitian menggunakan desain cross sectional dengan variabel yang diteliti adalah umur, jenis kelamin, genotip, dosis ribavirin dan, kadar hemoglobin awal terapi.
Hasil. Enam puluh satu subyek penelitian terdiri dari pria 47 (77%), wanita 14 (23%) dan usia rerata 38,9 tahun, 23 (71,9 %) subyek mempunyai genotip 1 dan 4, dan 44 (72,1 %) subyek mendapat dosis ribavirin 1000 mg. Prevalensi anemia sebesar 52,5 % (32 subyek). Dari analisis multivariat hanya kadar hemoglobin awal terapi yang rendah yang berhubungan bermakna dengan anemia.. Jumlah pasien anemia yang mengalami penurunan dosis ribavirin adalah 8 dari 32 pasien anemia.
Kesimpulan. Prevalensi anemia pada terapi kombinasi 52,5 %. Kadar hemoglobin awal terapi < 14 gldl merupakan faktor risiko terjadinya anemia sehingga pengawasan lebih ketat dan intervensi terhadap anemia dapat dilakukan pada pasien dengan faktor risiko tersebut. Meskipun umur ? 50 tahun, dan wanita belum terbukti sebagai faktor risiko anemia namun harus tetap menjadi perhatian. Delapan subyek (25 %) Ban 32 pasien anemia memerlukan penurunan dosis ribavirin dan tidak ada yang mengalami penghentian ribavirin.

Background. Interferon alfa and ribavirin combination therapy is one of effective standard therapy for chronic hepatitis C. However, anemia is a common side effect of this therapy. Therefore, patients have to reduce or discontinue ribavirin therapy and this can reduce the effectivity of the therapy. Hence, it is important to know the prevalence of anemia and to determine the factors associated with anemia.
Objective. To determine the prevalence of anemia and some risk factors associated with anemia caused by combination therapy in chronic hepatitis C, also to know frequencies of anemia patients who received dose reduction or discontinuation ribavirin therapy.
Method. Sixty one patient of chronic hepatitis C received combination therapy from staff of Hepatology Division FKUIfRSCM were included in the study. Data were obtained by anamnesis, physical examination, and measured complete blood count on 8`h week of therapy. This study was conducted by using cross sectional design.
Result. Subjects were 47 males (77%), females 14 (23%) with mean age 38.9 years. Twenty three subjects had genotype 1 and 4 (71.9%) and 44 subject (72.1) received 1000 mg ribavirin. Prevalence of anemia was found to be 52.5 % (32 subjects). It was concluded that risk factors of anemia are: age > 50 years, females, low pretreatment hemoglobin concentration (<14 gldl) were risk factors of anemia. On multivariate analysis only pretreatment hemoglobin concentration < 14 g/dl was determined to be the risk factor of anemia There were 8 subjects from 32 anemia patients had ribavirin reduction, and no patient had discontinuation treatment on Bch week of therapy.
Conclusion. Prevalence anemia was 52,5 % and pretreatment hemoglobin concentration <14 gldl were found to be the risk factors of anemia. Although age > 50 years and female were not yet found to be risk factors of anemia, we should be careful of these risk factors. Therefore patient with these risk factors should be carefully monitored and intervention to prevent anemia should be considered. Eight subjects from 32 anemia patients had ribavirin reduction, and no patient had discontinuation treatment on 8`h week of therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58523
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Evie Rosa Widyawanti
"ABSTRAK
Latar Belakang:
Penyakit hepatitis C kronik merupakan masalah kesehatan global yang dapat menyebabkan morbiditas serta mortalitas yang tinggi pada kondisi sirosis dan karsinoma hepatoseluler. Adanya terapi sofosbuvir-daclatasvir yang bersifat pangenotipik diharapkan dapat mengatasi penyakit ini. Namun, didapatkan hasil pencapaian SVR 12 yang bervariasi dan lebih rendah pada genotipe 3 dibandingkan genotipe 1. Di Indonesia sendiri belum ada data mengenai pencapaian SVR 12 pada kedua genotipe ini yang menggunakan terapi sofosbuvir-daclatasvir.
Tujuan:
Mengetahui pencapaian SVR 12 pasien hepatitis C Kronik genotipe 3 dibandingkan genotipe 1 yang mendapatkan terapi sofosbuvir-daclatasvir.
Metode:
Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan menggunakan data sekunder yang melibatkan 209 pasien hepatitis C kronik genotipe 3 dan 1. Dilakukan analisis dengan membagi pasien menjadi dua kelompok yaitu genotipe 3 dan 1 serta dibandingkan dengan pencapaian keberhasilan SVR 12 menggunakan uji chi-square. Faktor sirosis hepatis dan usia yang dianggap dapat memengaruhi keberhasilan SVR 12 dianalisis dengan menggunakan uji chi-square kemudian dilanjutkan dengan analisis regresi logistik.
Hasil:
Sampel berjumlah 209 pasien yang terdiri dari 45 pasien genotipe 3 dan 164 pasien genotipe 1. Pencapaian keberhasilan SVR 12 pada genotipe 3 dan 1 yaitu 84,4% dan 98,8%. Kelompok pasien genotipe 3 memiliki keberhasilan SVR 12 lebih rendah dibandingkan kelompok pasien genotipe 1 dengan adjusted OR=0,065 (IK95% 0,013-0,330) dan ARR 14,4%. Sirosis hepatis dan usia tidak memengaruhi keberhasilan SVR 12 (p=1,00 dan p=0,72). Sejumlah 5 dari 9 pasien yang mengalami kegagalan memiki koinfeksi dengan HIV.
Simpulan:
Pasien hepatitis C kronik genotipe 3 yang menggunakan terapi sofosbuvir-daclatasvir memiliki keberhasilan SVR 12 lebih rendah dibandingkan genotipe 1.

ABSTRACT
Background. Chronic hepatitis C is a global health problem with high morbidity and mortality in the condition of cirrhosis and hepatocellular carcinoma. sofosbuvir-daclatasvir is pangenotypic therapy that expected to overcome this disease. However, the achievement of SVR 12 was varied and lower in genotype 3 compared to genotype 1. In Indonesia, there is no data about achievement SVR 12 in both genotypes using sofosbuvir-daclatasvir.
Objectives. To know SVR 12 achievement between genotype 3 and 1 chronic hepatitis C patients that using sofosbuvir-daclatasvir therapy.
Methods. This study is a retrospective cohort using secondary data of 209 hepatitis C chronic genotype 3 and 1. Samples were divided into two groups according to its genotype and compared with achievement of SVR 12 then analyzed using chi-square test. Hepatic cirrhosis and age factors that are considered to affect the achievement SVR 12 were analyzed using chi-square test and logistic regression test.
Results. 209 patients participated in this study consisting of 45 genotype 3 and 164 genotype 1. Achievement of SVR 12 succeed in genotypes 3 and 1 were 84,4% and 98,8%. Genotype 3 patients had lower SVR 12 achievement compared to genotype 1 patients with adjusted OR=0,065 (95% CI 0,013-0,330) and ARR 14,4. Hepatic cirrhosis and ages did not affect SVR 12 (p= 1.00 and 0,72, respectively). Five from nine patients who failed have co-infection with HIV.
Conclusions. Chronic hepatitis C patients using sofosbuvir-daclatasvir theraphy had lower SVR 12 achievement in genotype 3 than genotype 1.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58604
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Kelompok usia risiko tinggi infeksi malaria di Kulonprogo adalah 2-14 thn. Anemia merupakan kondisi umum yang terjadi akibat infeksi kronis malaria. Anemia akan makin berat bila penderita menderita kekurangan gizi dan protein. Pnelitian ini bertujuan untuk mengungkap hubungan antara asupan makanan anak terutama protein, vitamin C, zat besi terhadap kejadian anemia pada usia 7-15 tahun di daerah endemik malaria. Penelitian menggunakan rancangan cross sectional - retrospectif pada sampel terpilih. Subyek penelitian sebanyak 61 anak (kelas 4-6 sekolah dasar) berasal dari 6 dusun. Anak sehat tidak memiliki riwayat penyakit menahun selain malaria atau penyakit kongenital. Anak mengisi daftar asupan makanan selam 7 hari, setelah itu diukur berat dan tinggi badan, darah diperiksa kada Hbnya dengan metoda Sahli. Asupan makanan dianalisis dengan Food processor I, umtuk mengetahui persen asupan makanan perhari. Analisis hubungan asupan protein, vitain C, zat besi terhadap kedar hemoglobin digunakan uji korelasi perason. Hasil penelitian menujukkan rerata asupan protein, zat besi dan vitamin C berturut-turut adalah sebesar 25,064 - 10,055 gram (38,9% RDA(recommended daily alowance), 6,253 - 2,635 mg (56,33% RDA), dan 68,5% RDA. Rerata kadar hemoglobin sebesar 10,3 - 1,2 gram/dl. Hasil analisis statistik menunjukkan terdapat hubungsn linear antara asupan vitamin C dengan aupan zat besi (r-0,765) rendah berhubungan dengan kejadian anemia."
610 MUM 10:2(2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Chandra Kirana
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengelolaan privasi (privacy management) mengenai sexting (melalui aplikasi chat/obrolan) dalam hubungan percintaan pada individu berusia dewasa muda. Dalam menjelaskan pemahaman mengenai pengelolaan privasi, studi menggunakan sejumlah konsep dalam Teori Communication Privacy Management dari Sandro Petronio (2002). Penelitian menggunakan paradigma konstruksionisme dan pendekatan kualitatif. Untuk mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode wawancara mendalam terhadap 13 informan yang tinggal di wilayah perkotaan (urban setting). Selain itu, peneliti melakukan observasi terhadap bentuk sexting yang dipertukarkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu memiliki pengaturan privasi (privacy management) yang kompleks dan ketat. Selain itu, perilaku sexting dilakukan oleh individu terhadap pasangan, ketika semua pihak dalam hubungan bersepakat dan merasa nyaman terhadap satu sama lain. Terdapat penetapan batas privasi yang spesifik ketika melakukan sexting dengan pasangan. Dalam mengelola batas privasi ini terdapat seperangkat aturan dan guardianship (memastikan agar aturan sungguh-sungguh dilaksanakan). Penelitian ini menemukan sejumlah fungsi sexting, yaitu untuk memelihara hubungan (connection maintenance), untuk memenuhi kebutuhan seksual dan fantasi seksual, untuk mengembangkan rasa percaya (trust), dan untuk menjaga keintiman di khususnya saat kedua pihak tidak dapat bertemu dalam kurun waktu yang relatif lama. Di sisi lain terdapat aspek risiko dari sexting seperti adanya potensi yang dapat mengganggu hubungan tersebut (berupa risiko dalam hal-hal berikut yaitu reputasi yang buruk, informasi yang tersebar secara viral, mendapatkan sanksi dari keluarga atau lingkungan sosial, porn-revenge, terputusnya hubungan, dan lain-lain).

This study aims to explain privacy management about sexting (via chat applications) in romantic relationships among young adults in Jakarta area. In explaining the understanding of privacy management, the study uses a number of concepts in the Communication Privacy Management Theory from Sandro Petronio (2002). This research uses a constructivist paradigm and a qualitative approach. To collect data, researcher used in-depth interviews with 13 informants who live in urban areas (Jakarta, Depok, Bekasi, and Bogor). In addition, the researcher observed the forms of sexting that were exchanged. The results of this research show that individuals have complex privacy management. In addition, sexting behavior is carried out by individuals towards partners, when all parties in the relationship agree and feel comfortable with each other. There are specific privacy limits when sexting with a partner. In managing this privacy boundary there is a set of rules and guardianship (ensuring that the rules are actually implemented). This study found a number of functions of sexting, namely to maintain a relationship (connection maintenance), to fulfill sexual needs and sexual fantasies, to develop trust, and to maintain intimacy, especially when the two parties cannot meet for a relatively long period of time. On the other hand, there are risk aspects of sexting, such as the potential to disrupt the relationship (namely bad reputation, information spreading virally, getting sanctions from family or social environment, porn-revenge, disconnection, and others). "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>