Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8065 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Birokrasi merupakan tata kerja pemerintahan yang bersifat hierarki, agar tujuan negara bisa tercapai secara efektif dan efisien. Sebagai upaya perwujudan yang efektif dan efisien, mengatur hal dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Namun puda banyak sistem birokrasi di Indonesia masih belum mendapat kepercayaan. Birokrasi yang seharusnya dapat melayani publik dengan baik demi tercapainya tujuan bersama, menjadi suatu hal yang belum terlaksana secara maksimal. Hal ini diperkuat oleh hasil survey yang dilakukan oleh Political and Earnomic Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2010. Survei tersehut menyimpulkan bahwa, Indonesia menduduki peringkat ke-2 sebagai negara yang memiliki sistem birokrasi terburuk di Asia (Nedirika, Tempo.co akses 18 September 2013). Tidak jarang orang berpendapat bahwa sistem birokrasi Indonesia dianggap terlalu rumit dan bertele-tele. Oleh karena itu, tindakan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) sangat rawan terjadi dalam birokrasi. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat, menyederhanakan bahkan memanipulasi proses birokrasi di Indonesia. Sebuah studi pernah dilakukan oleh lvan lllich dan Billy Sander (dalam Said, 2009: 36) di Amerika, mengenai pandangan mahasisau llmu Politik yang memberikan penilaian terhadap birokrasi. Berdasarkan studi tersehut birokrasi dengan mahasiswa mengidentikkan diperoleh bahwa sebagian besar praktik korupsi. Padahal, pemerintah Indonesia sendiri sebenarnya telah menyediakan payung hukum untuk meminimalisir praktik KKN. TAP MPR RI 1999 dan UU No. 28 Tahun 1999. Semua peraturan tersebut melindungi birokrasi sebagai tombak terdepan dalam pelayanan masyarakat. Namun kenyataan dilapangan belum dapat terealisasikan dengan baik. Apabila ini dibiarkan, maka akan berdampak buruk bagi pelaksana birokrasi di Indonesia dan bagi masyarakat sendiri. Praktik KKN ini secara tidak langsung akan memberikan labeling atau kesan yang buruk terhadap birokrasi di Indonesia. Tidak semua pelaksana birokrasi melakukan praktik KKN. Inilah yang akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dampak yang lebih buruk, praktik KKN dalam birokrasi dapat merubah sistem birokrasi itu sendiri menjadi lebih buruk. Sehingga masyarakat yang mengikuti proses birokrasi sesuai prosedur merasa dirugikan. Pada teori yang dipaparkan Thoha (1991), perilaku birokrasi pada hakikatnya merupakan hasil interaksi antara individu-individu dengan organisasinya. Sehingga, individu disini merupakan aspek penting dalam efektifnya sistem birokrasi. Mengingat buruknya pencitraan masyarakat terhadap birokasi layanan publik, seorang pelayan publik seharusnya memilki motivasi pengelolahan kesan yang ditanamkan pada masyarakat agar dapat mengubah persepsi tersebut. Sebagaimana Teori Brigham (1991) motivasi mengelola kesan menggambarkan bagaimana motivasi yang dimiliki sesoprang untuk menciptakan kesan tertentu dalam fikiran orang lain sesuai dengan apa yang diharapkan. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Leon Festinger (1973), individu dapat mengalami disonansi kognitif. Hal ini terlihat ketika seseorang memiliki dua kognisi (ide-ide dan pikiran) secara stimulann dam saling berkontradiksi. Ketika hal ini terjadi, maka individu tersebut akan mengalami ketegangan psikologis yang akan mendorong seseorang mengurangi desonansi tersebut. Karya tulis ini bersifat memaparkan kondisi birokrasi di Indonesia. Selain itu, karya tulis ini memberikan solusi alternatif dengan adanya salam wajib yang harus diucapkan oleh pelayan birokrasi memperhitungkan pemahaman psikologis pada birokrat dan pencitraan lebih baik dari masyarakat. Adapun sumber data yang kami peroleh deras dari media massa seperti media massa cetak, media online, sumber dari makalah dan jurnal, serta buku penunjang kajian pustaka yang mempertimbangan solusi alternatif kami wajib Saya Anti Korupsi yang diucapkan pada setiap salam dapat menjadi salah satu cara sederhana yang dapat mengurangi praktik KKN dalam sistem birokrasi Indonesia. Salam ini diucapkan khususnya pada saat melayani publik secara langsung. Seperti, "selamat pagi. Saya Rudi, Polisi anti korupsi. Ada yang bisa saya bantu?""
JPAN 4:4 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Ulumy
"

Pengelolaan manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) berbasis digital menjadi salah satu bentuk penyesuaian organisasi birokrasi terhadap kemajuan teknologi dan tuntutan reformasi birokrasi. BKKBN membuat sistem penilaian kinerja pegawai berbasis aplikasi yang disebut SIVIKA (Sistem Informasi Visum Kinerja) bagi ASN yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Adanya inovasi menuntut perubahan perilaku bagi adopternya yaitu PNS BKKBN.oleh karena itu, BKKBN sebagai organisasi harus mampu, bukan hanya menyebarluaskan namun menyebarserapkan (difusi) inovasi tersebut. Metode penelitian kualitatif digunakan dalam penelitian ini dengan wawancara dan studi dokumentasi. Proses difusi inovasi pada organisasi birokrasi memerlukan kebijakan khusus (enforcement) agar para adopternya mengadopsi inovasi tersebut. Kebijakan khusus dalam penelitian ini adalah Peraturan Kepala BKKBN yang menjelaskan mekanisme pengisian Aplikasi SIVIKA dan mekanisme penghitungan besaran tunjangan kinerja, serta sanksi yang diberikan jika tidak mengisi Aplikasi SIVIKA. Mekanisme sanksi dan insentif berkaitan dengan besarnya remunerasi/tunjangan kinerja yang diterima memaksa adopternya untuk mengadopsi inovasi. Saluran komunikasi dan sosialisasi dalam proses difusi inovasi organisasi tidak hanya menggunakan jalur formal, namun juga memanfaatkan sarana-sarana informal yang dimiliki organisasi. Bentuk compliance dapat berupa aturan formal mengenai ketentuan pengisian Aplikasi SIVIKA, namun dapat pula berbentuk informal berupa kesepakatan tidak tertulis sebagai hasil dari negosiasi antara individu sebagai adopter dengan unit kerja sebagai pengelola aplikasi.


Digital management of civil servants is one form of bureaucracy adaptations to technology advances and bureaucratic reforms. BKKBN creates an application performance assessment system called SIVIKA (Sistem Informasi Visum Kinerja/Performance Journal Informations System). The innovation makes behavior change of adopters, those are all civil servants in BKKBN because they have to report all daily activities by application SIVIKA. Therefore, BKKBN as an organization, not only dissemination but also diffusion of innovation. This is a qualitative research, so the primary datas come from interview and documents study. Diffusion innovation in organization needs enforcement policy to push the adopters. The enforcement policy from internal regulation which have contents about how to operate the application, remunerations percentage, and sanction/penalties if civil servants not use the application for reporting daily activities. Those rewards&punishment system enforce the adopters. Communications channel in this diffusion process, not only using formal, but also informal. Formal communications by informations letter, socialization of regulations, and training. Regulations can be seen as formal compliance, whereas negotiations as informal compliance. 

"
2019
T53185
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Muhammad Ade Armansyah
"Latar Belakang: Sistem remunerasi bagi pegawai RSUD Tebet telah ditetapkan sejak tahun 2022 di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tebet, mengacu pada Peraturan Gubernur DKI Nomor 51 Tahun 2021. Kebijakan remunerasi ini diantaranya bertujuan agar terjadi peningkatan kualitas kinerja bagi pegawai. Penerapan kebijakan remunerasi ini  belum memberikan dampak yang signifikan dari capaian kinerja pegawainya, khususnya pegawai yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Banyak PNS tampak kurang peduli dan ada juga yang menyatakan kurang transparan sistem dan perhitungan remunerasi di RSUD Tebet.
Metode: Penelitian ini adalah studi kasus menggunakan desain kualitatif yang mengangkat tema tentang pelaksanaan kebijakan sistem remunerasi di RSUD Tebet. Telaah dokumen kebijakan dan wawancara mendalam dilakukan termasuk melibatkan sembilan (9) informan kunci. Lokasi penelitian terletak di lingkungan DKI Jakarta dengan status kelas C.
Hasil: Transmisi komunikasi dan kejelasan sistem remunerasi di RSUD Tebet sudah dilaksanakan tetapi belum optimal, sehingga menghambat pemahaman tentang perhitungan formula remunerasi khususnya bagi PNS. Dalam pelaksanaan sistem remunerasi, keterbatasan sumber daya pengelola data, baik secara kuantitas dan kualitas dirasakan sudah cukup walau masih membutuhkan peningkatan substansi melalui pelatihan dan/atau sosialisasi perhitungan yang lebih komprehensif. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sistem remunerasi yang dijalankan di RSUD Tebet saat ini mengkondisikan PNS berada di zona nyaman karena insentif belum memasukkan variable kinerja dan kompleksitas pekerjaan dalam formula remunerasi. Kendati demikian, pegawai PNS siap memberikan dukungan untuk peningkatan pendapatan  RSUD yang juga akan menjadi dasar besarnya remunerasi. Dalam mendukung implementasi sistem remunerasi di RSUD Tebet, ketersediaan SOP serta regulasi yang berkaitan dengan kebijakan masih harus di integrasikan untuk menghindari bureaucratic fragmentation.
Kesimpulan: Komunikasi adalah hal terpenting dalam implementasi kebijakan remunerasi di RSUD Tebet, sehingga proses perhitungan remunerasi dapat dijelaskan secara transparan kepada para PNS. Kedepan, dibutuhkan perbaikan terhadap sistem pemberian insentif kepada seluruh pegawai dengan menerapkan insentif berbasis kinerja agar tercapai rasa keadilan dan kelayakan remunerasi bagi pegawai dan dapat memacu motivasi dan kinerja pegawai menjadi lebih baik.

Background: In 2022, RSUD Tebet, a class C Regional General Hospitals in DKI Jakarta, implemented a remuneration system for its workforce following the guidelines set in DKI Governor Regulation Nomor 51 of 2021. Contrary to the aim of this policy, the adoption of this remuneration system did not yield substantial enhancement in employee performance quality, particularly among civil servants. Some civil servants appeared disinterested, highlighting a lack of transparency in the remuneration process at RSUD Tebet. Employing a qualitative approach, this study examines how the 2022 implementation of this remuneration system policy at RSUD Tebet using the policy implementation theory by Edward III (1980).
Methods: Researchers analyzed the implementation of the remuneration system policy by reviewing documents and conducting in-depth interviews with nine informants from RSUD Tebet, all within the framework of Edward III (1980)’s policy implementation theory.
Results: The outcomes of this qualitative study underscored that communication transmission and clarity surrounding the remuneration system at RSUD Tebet fell short of optimazation, thus hindering transparency. While the data management resources for the remuneration system's implementation were adequate in quantity, there was a noticeable need for improvements in training and/or the dissemination of more comprehensive calculation methodologies. Furthermore, it was revealed that the remuneration system in place at RSUD Tebet tended to maintain civil servants within their comfort zones, as the incentives failed to assess performance variables and the intricacy of job roles in the remuneration formula. Nevertheless, civil servants were inclined to support revenue generation, as it is directly correlated with the extent of remuneration obtained. The study also highlighted the necessity of integrating operational standards and regulations related to the policy, with the objective of preventing bureaucratic fragmentation and reinforcing the implementation of the remuneration system at RSUD Tebet.
Conclusion: Effective communication emerged as a central theme to ensure the successful implementation of the remuneration policy at RSUD Tebet. Transparent articulation of remuneration calculations is pivotal to engage civil servants. Moving forward, it is imperative to improve the incentive distribution system for all employees, incorporating performance-based mechanisms to cultivate a sense of equity and appropriateness in remuneration. Such reforms can ignite employee motivation and subsequently drive enhanced performance levels.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avie Sekar Lantri Lestari
"ABSTRAK
Skripsi ini memfokuskan penelitian pada persoalan hukum pemenuhan hak
Pensiunan untuk melakukan upaya pengalihan hak atas rumah negara oleh Instansi
pemilik barang. Persoalan pemenuhan hak pengalihan rumah negara tersebut salah
satunya ditunjukkan dalam kasus rumah negara ?Komplek Pajak Kemanggisan?
pada Putusan PTUN No. 173/G/2008/PTUN.JKT. Persoalan tersebut disebabkan
oleh ketidakpatuhan Instansi pemilik barang dalam melaksanakan kewajiban
menetapkan status rumah negara yang bersangkutan yang sebelumnya telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Ketidakpatuhan Instansi pemilik barang
tersebut kemudian menimbulkan kerugian yang besar bagi penghuni rumah negara
yang berimbas pada masalah keabsahan status mereka sebagai penghuni yang sah.
Dalam penelitian ini, ditemukan adanya upaya pihak pemilik barang yang
menghalang-halangi pemenuhan hak dari penghuni yang berstatus sebagai
pensiunan. Penulis meneliti pendapat hukum Majelis Hakim dalam putusan tersebut
terkait adanya masalah pemenuhan hak pensiunan pegawai negeri dalam
melakukan upaya pengalihan hak atas rumah negara.

ABSTRACT
This thesis examines regarding legal issue of fulfilling the right of retired civil
servants to make an endeavour on transfer of right over official recidence bt the
Government Institution as the owner. This issue was actually shown in one of state
administration case regarding the transfer of right over official residence located in
?Komplek Pajak Kemanggisan? and had been decided in verdict No.
173/G/2008/PTUN.JKT. The issue was generally caused by disobedience act of
Government Institution on performing an obligation to establish the status of the
official residence which had already been regulated in the the prevailing regulation.
Later, the Disobedience of the Government Institution caused a huge loss for the
residents dnd has led on the issue of the validity of their status as a legitimate
residents. In this research, writer found the existence of precluding action from the
Government in fulfilling the right of the retiree as the residents. Writer examines
the legal opinion of the Tribunal Judge in the verdict regarding the issue on the
transfer of right over official residence."
2016
S64363
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erlina Pangestiaji
"Jaminan Sosial bagi Aparatur Sipil Negara memiliki kekhususan karakterik karena merupakan penghargaan atas pengabdian. Hasil riset ini membuktikan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XVII/2019 telah mempertegas amanat pengelolaan program jaminan sosial bagi ASN agar tetap dilaksanakan oleh secara khusus oleh PT TASPEN (Persero) sebagai BUMN. Selain Putusan Mahkamah Konstitusi, riset ini juga menggunakan literatur-literarur hukum dan peraturan perundang-undangan sebagai bahan penelitian. Riset ini menggunakan metode berbasis penelitian doktrinal. Analisis penelitian juga didukung oleh data yang didapatkan dari hasil wawancara dengan narasumber yang berkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan amanat pengalihan Jaminan Sosial ASN dalam Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pengelolaan jaminan sosial bagi ASN pasca putusan Mahkamah Konstitusi adalah dikelola secara khusus oleh TASPEN sebagai badan pengelola jaminan sosial berbentuk BUMN. Putusan Mahkamah Konstitusi juga menegaskan bahwa pengelolaan tersebut tidak disatukan dengan pengelolaan jaminan sosial sektor swasta yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan. Majelis Hakim juga menegaskan bahwa pengalihan jaminan sosial dari TASPEN ke BPJS Ketenagakerjaan berpotensi merugikan hak konstitusional para Pegawai negeri karena adanya potensi penurunan manfaat, menimbulkan ketidakpastian hukum, dan menyebabkan hilangnya unsur penghargaan bagi para pegawai negeri. Penelitian ini juga menemukan bahwa dalam sistem pengelolaan Jaminan Sosial bagi ASN pada TASPEN, terdapat persinggungan antara keuangan negara dengan keuangan perseroan sebagai badan hukum privat. Hasil Penelitian ini memberi saran perlunya penegasan keterpisahan jaminan sosial bagi ASN dari jaminan sosial sektor swasta dalam setiap pengaturan jaminan sosial ASN sebagaimana amanat konstitusi. Selanjutnya, untuk mengoptimalkan pengelolaan iuran jaminan sosial, badan pengelola juga perlu diberikan keleluasaan dalam ranah hukum privat mengingat bentuknya adalah BUMN Persero.

Social security for civil servants has a special characteristic because it is a reward for their service to the country. The results of this research prove that Constitutional Court Decision Number 72/PUU-XVII/2019 has emphasized the mandate for the management of social security programs for ASN to continue to be implemented specifically by “PT TASPEN (Persero)” as state-owned-enterprise (SOE). Apart from the Constitutional Court Decision, this research also uses legal literature and statutory regulations as research material. This research uses a doctrinal research-based method. The research analysis is also supported by data obtained from interviews with sources related to the Constitutional Court's decision which canceled the mandate for the transfer of Civil Servant Social Security in the Law on Social Security Administering Bodies. From the research results, it was found that the management of social security for Civil Servants after the Constitutional Court decision was managed specifically by TASPEN as a social security management body in the form of a SOE. The Constitutional Court's decision also emphasized that this management is not integrated with the management of private sector social security which is managed by BPJS Ketenagakerjaan. The Panel of Judges also emphasized that the transfer of social security from TASPEN to BPJS Ketenagakerjaan has the potential to harm the constitutional rights of civil servants because of the potential for decreasing benefits, creating legal uncertainty, and causing a loss of the element of appreciation for civil servants. This research also found that in the Social Security management system for civil servants at TASPEN, there is an intersection between state finances and company finances as private legal entities. The results of this research suggest the need to emphasize the separateness of social security for civil servants from private sector social security in every civil servants social security arrangement as mandated by the constitution. Furthermore, to optimize the management of social security contributions, the management body also needs to be given flexibility in the realm of private law considering that its form is SOE."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruby Friendly
"Pada prinsipnya Pelarangan PNS untuk berserikat dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok Kepegawaian esensinya telah menghilangkan hak asasi PNS, dan HAM yang dijamin dalam dalam UUD 1945, DUHAM, ICCPR, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi ICCPR, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik.
Penulisan dilakukan dengan metode penelitian kualitatif, yaitu mendiskripsikan fenomena pengurangan HAM PNS di bidang politik melalui pencarian/penelusuran data primer dengan cara melakukan penelitian lapangan bertemu dengan narasumber/inforrnan melalui wawancara dan memberikan kuesioner yang dimulai dari bulan April hingga pertengahan Juni 2007. Latar belakang responden yang diteliti memiliki berbagai macam latar belakang, seperti latar belakang profesi, yaitu pegawai negeri sipil dari anggota partai politik yang juga sebagai anggota DPR, sedangkan latar belakang responden mulai dari tamatan Sekolah Menengah Umum (SMU), Sarjana (SI), Magister (S2), Doktor (S3), dan guru besar (Profesor), dan juga latar belakang di PNS mulai dari staf, eselon IV, eselon III, eselon, R, dan eselon I.
Disamping data primer, penulis juga menelusuri data sekunder berupa studi dokumentasi kepustakaan berupa landasan konsep dan teoritikal, kepustakaan buku-buku tentang HAM, peraturan perundang-undangan, data tersebut ditambah dengan penelusuran melalui media massa, baik cetak maupun elektronik (kliping Koran/majalah/tabloid, penelusuran internet.
Pelarangan hak berserikat, yaitu masuk menjadi anggota/pengurus partai politik, bagi PNS berarti telah menghapuskan HAM PNS yang telah jelas dijamin dalam UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB, Kovenan Hak Sipil dan Politik (telah diratifikasi Indonesia ke dalam UU), dan UU Tentang Partai Politik. Oleh karena itu, Hak berserikat bagi PNS harus segera dipulihkan, karena hak berserikat dijamin dan dilindungi dalam UUD 1945, dalam berbagai produk perundang-undangan mengenai HAM (lokal dan intemasional), dari dalam UU Partai Politik. Selain itu juga, perlu dibentuk peraturan yang dapat memberikan batasan yang jelas dan tegas yang mengatur bagi PNS yang masuk menjadi anggota/pengurus partai politik.

In principle, the prohibition for civil servant to become member/administrator of political parties has eliminated the Civil Servant rights, and human rights that has guarantee in Indonesian Constitution UUD 1945, Universal Declaration of Human Rights, Law Number 12 Year 2005 on Ratification ICCPR, Law Number 39 Year 1999 on Human Rights, and Law Number 31 Year 2002 on Political Parties.
Writing Methods by implementing qualitative research, which is describing the phenomenon of reducing the Civil Servants political rights through searching/exploring primary data by doing field research to see some informers by interviewing and giving questioners, which executed from April to mid of June 2007. The respondent backgrounds are from various professions such as Civil Servants who works at Department of Law and Human Rights, Department of Domestic Affairs, and National Employment Agency, also member of political parties and Parliament, while the education of respondents are High School graduates, Bachelors degree, Masters degree, Doctoral degree, and Professors. The position of respondents who work as civil servants are staff, echelon IV, echelon III, echelon II and echelon I.
In addition to primary data, the author also searches secondary data by documentation studies such as conceptual and theoretical basis, Iiterature on human rights studies, laws, also added by searching mass media, printed and electronic (paper clipping/magazine/weekly papers, internet exploring).
The prohibition to civil servants to join becoming member/administrator of political parties, means the prohibition has deleted the civil servants right which is guaranteed in Indonesian Constitution UUD 1945, Law Number 39 Year 1999 on Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, Covenant of civil and political rights (has been ratified to Law), and Law on Political Parties. That's why, the right to join organization to civil servants should be regained, because such right is guaranteed and protected in UUD 1945, in various of law products concerning human rights (national and international), and law on Political Parties. Besides, regulations should be made to form clear and strict boundaries for ruling the civil servants who become member/administrator of political parties.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20699
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roberia
"Tuntutan kesempurnaan Pegawai Negeri selaku aparatur negara yang memegan peranan penting dalam kelancaran penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan nasional sangatlah tinggi. Sementara itu, sistim penghargaan sebagai balasan atas jasa yang telah dicurahkan dengan sepenuh jiwa dan raga oleh Pegawai Negeri kepada negara diselenggarakan dengan tidak berdasarkan pada kinerja (merit system) dan sangat terkesan serta populer dengan plesetan PGPS (?pintar goblok penghasilan sama?). Oleh karena itu, Pemerintah telah mencanangkan perlunya dilakukan program reformasi birokrasi yang diantaranya termasuk penerapan kebijakan perbaikan sistim remunerasi bagi Pegawai Negeri. Kebijakan perbaikan sistim remunerasi bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat mulai diberlakukan bagi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Keuangan pada 1 Juli 2007 dan secara terbatas dan bertahap dilanjutkan penerapannya pada beberapa kementerian/lembaga. Penerapan perbaikan sistim remunerasi yang terbatas dan bertahap itu tentu telah menimbulkan diskriminasi karena tidak adanya keadilan dalam penerapan kebijakan perbaikan sistim remunerasi bagiPegawai Negeri secara keseluruhan. Di samping persoalan keadilan dalam penerapan kebijakan perbaikan sistim remunerasi itu, juga terdapat berbagai kelemahan yuridis dalam pelaksanaan penerapan kebijakan tersebut. Penelitian ini berangkat dari permasalahan pokok yaitu bagaimana ketaatan asas hukum dalam penerapan kebijakan perbaikan sistim remunerasi bagi Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia dalam konteks sebagai negara yang memproklamirkan dirinya Negara Hukum. Jawaban atas permasalahan penelitian ini dilakukan secara yuridis-normatif, dengan menelaah data sekunder yang menggunakan alat pengumpulan data secara studi kepustakaan dengan metode pengolahan dan analisa data secara pendekatan kwalitatif serta bersifat deskriptif-analitis dan berbentuk preskriptif-analitis. Mengingat topik penelitian ini terkait dengan remunerasi yang dianalisis secara yuridis, maka landasan teori didasarkan pada kerangka pemikiran hierarki kebutuhan dan keadilan. Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, amanat konstitusi yang menghendaki sistim remunerasi itu haruslah mampu memberikan dan menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan dan layak masih belum terwujud dengan baik. Kedua, peraturan perundang-undang yang mengatur sistim remunerasi tidak menegaskan aturan sistim remunerasi yang berbasis kinerja. Ketiga, rumusan norma dan validitas norma peraturan yang dibuat sebagai dasar hukum pemberlakuan kebijakan perbaikan sistim remunerasi tersebut adalah tidak taat asas-asas hukum dan dapat dikatakan tidak valid. Untuk itu, dalam rangka ius constituendum, tiada jalan lain yang harus dilakukan untuk reformasi sistim remunerasi adalah dengan membuat Undang-Undang tentang Kepegawaian yang baru yang sunguh-sunguh merumuskan amanat konstitusi dan menggantikan Undang-Undang tentang Kepegawaian yang saat ini berlaku.

Civil servants, as a state apparatus have a big and an important role in the smooth organization and tasks of the government and national development. Their performance is claimed very high. Meanwhile, the award system as a reward for services rendered have been torrentialwith full life and wholeheartedly by them with no organized based onperformance (merit system) and are very impressed with the popular and the term ?PGPS? ( ?Pintar Goblok Penghasilan Sama? or "wise fool of the same"). To solve the problem, Indonesian government has been trying to reform the remuneration system. Since July 1 2007, Department of Finance of Republic of Indonesia has started to introduce a new remuneration system for its officials. The new remuneration system has implemented by limited and gradually in several ministries / agencies. The limited application of a new remuneration system has been caused discrimination due to the absence of justice in the implementation of policy for overall civil servants. In addition to the issue of fairness/justice in the implementation of the policy, there are many weaknesses in the implementation of the juridical application of these policy. This research tries to observe whether the new remuneration system for civil servants is well obeyed in accordance with law because of Indonesia as a country proclaiming itself as the Rule of Law or Rechtsstaat. This research is based on juridicalnormative, with the secondary data analysis and with the method of data processing and analysis by qualitative and descriptive-analytical and prescriptiveanalytical. Given the topic of this research related to the remuneration of the juridical analyzed, the theoretical foundation or framework of thought is based on the hierarchy of needs and theory of justice. This research produced some findings. First, the mandate of the Constitution require the remuneration system should be able to provide and create the prosperity which is proper and justice has not been realized well. Second, the regulations which set the remuneration system does not assert that the rules-based remuneration system performance. Third, the formulation of norms and norm validity of regulations made as a legal basis of the policy about reformation of the remuneration system is not compliance the principles of law and it can be said is invalid. Therefore, in order ius constituendum, there is no way that should be done to reform the system of remuneration is to make a new Act on civil servant or officialdom Act (Undang- Undang Kepegawaian) that compliance to constitution and replacing the old Act.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26194
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan BKN, 2004
352.63 BAD p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Nursiawaty
"Tesis ini membahas pencitraan pegawai negeri sipil (PNS) era reformasi, sebagaimana tercermin dalam buku Catatan Parno PNS Gila (2011) karya Yulius Haflan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan cultural studies dengan menerapkan strategi trans-coding sebagai salah satu mekanisme representasi untuk menganalisis teks. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teks masuk ke dalam sistem representasi citra PNS dominan dan mengalami perubahan dan perluasan dimensi sehingga membentuk makna dan citra baru. Pencitraan PNS dalam teks masih membawa citra yang sudah populer di masyarakat namun juga membentuk citra baru. Citra populer yang masih ditampilkan, yaitu: patuh, berdedikasi, gaji kecil, dan budaya kerja yang buruk. Citra yang baru meliputi gigih dan gagap teknologi. Pencitraan tersebut disampaikan dalam bahasa yang komunikatif dan penuh humor, yang merupakan cara efektif untuk memberikan pemahaman sekaligus menghibur pembaca.

This thesis focused on the image of civil servants in reform era, as reflected in the book of Catatan Parno PNS Gila (2011) written by Yulius Haflan. This research is based on a qualitative research, using the cultural studies approach and applying the trans-coding strategies, as one of the representation mechanisms, to analyze texts. The result of the research shows that the text entered the representation system of dominant image of the civil servants and makes changes and expansion of dimensions so that it constructs new meanings and images. The images of civil servants in the text still carry the public's popular images but at the same time it also constructs several new images. The popular images that still exist consist of obedient, dedicated, civil servant with low income and low performance work culture, while the new images include persistent attitude and technology illiterate. Those images are delivered in a communicative and humorous way, an effective way to convey ideas and to entertain the readers.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
T43575
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>