Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 73894 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"In the election head of region can be used as a momentum of fundamental change, thus the attendance of independent candidate is absolute and can not be bargained. Practically and theoritically independent candidate is significant."
JHUII 13:1 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Vino Devanta Anjaskrisdanar
"ABSTRAK
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peran yang penting dalam penegakan hukum di Indonesia serta sama-sama menjalankan tugas konstitusional. Salah satu amanah konstitusional antara PTUN dan MK yaitu sama-sama menjadi lembaga pengadilan dalam memeriksa perselisihan yang muncul dalam proses Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Kewenangan antara PTUN dan MK sudah dibedakan secara tegas dalam Pemilukada. PTUN untuk menangani perselisihan administrasi Pemilukada dan MK untuk menangani perselisihan hasil Pemilukada. Namun, kedua putusan di lembaga pengadilan yang berbeda tersebut juga bisa memberikan implikasi hukum yang berbeda terhadap legalitas pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang terpilih. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan metode analisis data secara kualitatif. Secara teoritis, apabila melihat prinsip kekuatan hukum yang mengikat erga omnes, baik putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap maupun MK sama-sama memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Problem yang muncul adalah KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota sebagai pejabat yang wajib untuk selalu melaksanakan putusan pengadilan berada dalam dilema yuridis untuk melaksanakan putusan antara putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap dan MK yang memiliki implikasi hukum yang berbeda. Di sisi yang lain, baik putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap maupun MK memiliki kendala dalam penerapannya apabila terkait dengan proses Pemilukada baik itu diakibatkan oleh kultur hukum, kendala teknis, posibilitas konflik sosial yang ditimbulkan, dan sebagainya. Perbedaan implikasi putusan antara PTUN yang berkekuatan hukum tetap dan MK diakibatkan oleh tidak adanya batasan waktu penanganan perselisihan administrasi dan tidak harmonisnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Kepemiluan. Hal ini mencerminkan politik hukum terkait dengan pengaturan pengisian posisi jabatan pasangan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah yang seharusnya setiap periode selalu harus ada perbaikan dan evaluasi.

ABSTRACT
State Administrative Court (PTUN) and the Constitutional Court ( MK ) has an important role in law enforcement in Indonesia and constitutional duties equally. One of the constitutional mandate of the Administrative Court and the Constitutional Court is equally into the courts in examining the disputes that arise in the General Election of Regional Head (Pemilukada) process. Authority between the Administrative Court and the Court has explicitly distinguished in the General Election. The Administrative Court to handle administrative disputes and the Constitutional Court to handle election result disputes. However, two decisions on different courts could also provide different legal implications of the legality the chosen of Regional Head and Deputy Head. This study is a juridical-normative research using qualitative methods of data analysis. Theoretically, based on principle legally enforceable erga omnes, the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court has the same binding legal force. The problem is KPU/ KPU Province/Regency/City (election commission) as officials are obliged to execute court decisions are always in a dilemma between the judicial decision to execute the decision of the permanent legal binding Administrative Court or the Constitutional Court which has different legal implications. On the other hand, the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court has disadvantages in its application if either linked to Election process was caused by the legal culture, technical constraints, posed for the possibility of social conflict, etc. The difference between the implications of the decision of the permanent legal binding Administrative Court and the Constitutional Court due to the absence of a time limit and has a problem about the harmony of electoral legislation. This reflects the ‘politics of law’ related to the charging arrangements positions of Regional Head and Deputy Head that always should be improvements and evaluation periodically."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38731
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Kelana Dewantara
"Kompleksitas regulasi pemilu yang ada menghasilkan permasalahan serius diantaranya adanya tumpang tindih regulasi; pengulangan pengaturan; standar beda atas isu yang sama; dan tidak koheren dalam mengatur sistem pemilu legislatif dan pemilu eksekutif. Masalah-masalah tersebut menyebabkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum pemilu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut kelompok masyarakat sipil membentuk koalisi yang bernama Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-Undang Pemilu, mempunyai agenda menyatupadukan/kodifikasi regulasi pemilu demi menciptakan kepastian dan keadilan hukum. Sebagaimana dijelaskan Reynolds (1997) penyusunan kerangka hukum pemilu merupakan salah satu aspek standar pemilu demokratis.
Penelitian ini melihat bagaimana strategi advokasi yang dilakukan oleh koalisi dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, pendekatan ini digunakan untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang aspek-aspek yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang merupakan proses pencarian dan pengungkapan, dilakukan dengan metode wawancara dengan aktor masyarakat sipil dan penentu kebijakan, mempelajari risalah-risalah pertemuan dan dokumen lainnya. Dalam mengadvokasi RUU Pemilu, pilihan strategi advokasi yang digunakan oleh koalisi masyarakat sipil berupa networking, lobbying dan media.
Kesimpulan dari penelitian ini melihat kelompok masyarakat sipil bukanlah kelompok yang homogen, sehingga kelompok masyarakat sipil merupakan kekuatan yang terpecah/fragmentasi, sebagian kelompok tergabung dalam koalisi sekber, sebagian lainnya tergabung dalam tim perumus kebijakan yang mendorong perubahan dari dalam.

The complexity of the existing electoral regulations produces serious problems including overlapping regulations; repeat settings; different standards on the same issue; and incoherent in regulating the legislative and executive election systems. These problems cause uncertainty and unfairness of election law. To overcome these problems, civil society groups formed a coalition called the Joint Secretariat of the Election Law Codification, which had an agenda to integrate/codify election regulations in order to create legal certainty and justice. As Reynolds (1997) explained, the electoral legal framework is one aspect of standard democratic elections.
This research looks at how the advocacy strategy carried out by the coalition in the formation of Law No. 7 of 2017 concerning Elections. The research approach used is a qualitative approach, this approach is used to obtain a comprehensive picture of the aspects studied. The data collection technique, which is a process of searching and disclosing, is carried out by means of interviews with civil society actors and policy makers, studying the minutes of meetings and other documents. In advocating for the Election Bill, the choice of advocacy strategies used by the civil society coalition in the form of networking, lobbying and the media.
The conclusion of this study is that civil society groups are not homogeneous groups, so civil society groups are fragmented, some groups are part of the Joint Secretariat coalition, others are part of a policy-making team that encourages change from within.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Erfa Redhani
"ABSTRAK
Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah Melalui Peradilan Khusus Desain penyelesaian sengketa pilkada di Indonesia belum terintegrasi dengan baik sehingga seringkali aspek keadilan pemilu electoral justice guna untuk menciptakan pemilu yang bebas dan adil free and fair election belum tercapai. Padahal penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah seharusnya melihat sisi efektifitas dan efisiensi dari lembaga yang menangani sengketa tersebut. Dalam hal penyelesaian sengketa hasil pilkada, terdapat banyak pergantian terkait dengan lembaga yang menanganinya. Hal ini disebabkan oleh penafsiran dari pilkada bagian rezim pemilu atau pemerintahan daerah. Terakhir, UU Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur tentang Pilkada menentukan bahwa penyelesaian sengketa hasil pilkada ada pada Badan Peradilan Khusus. Sebelum adanya peradilan khusus tersebut, Mahkamah Konstitusi masih berwenang untuk mengadili sengketa hasil pilkada. MK menjadi peradilan transisi sebelum adanya badan peradilan khusus yang harus dibentuk sebelum pilkada serentak Tahun 2024. Desain badan peradilan khusus pilkada yang ditawarkan dalam tesis ini tidak hanya mengadili dan menyelesaikan sengketa hasil pilkada, namun juga mengintegrasikan sengketa pilkada lainnya yang memungkinkan untuk diintegrasikan. Sesuai dengan amanat UU Kekuasaan Kehakiman yaitu ada 2 dua syarat formal yang harus dipenuhi dalam membentuk badan peradilan khusus yaitu dibentuk dibawah salah satu lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung dan dibentuk dengan undang-undang. Peradilan khusus pilkada tersebut dibentuk dibawah lingkungan peradilan tata usaha negara dengan kewenangan mengadili sengketa hasil pilkada dan mengadili perselisihan tata usaha negara mencakup juga perselisihan pemilihan sebagaimana yang ada pada UU 10 Tahun 2016 . Kata Kunci : Sengketa, Pilkada, Peradilan Khusus.

ABSTRACT
Dispute Resolution of Region Election Through Special Court The dispute resolution design for regional elections in Indonesia has not been well integrated so often the aspects of electoral justice in order to create free and fair election have not been reached. Whereas the resolution of the dispute over the regional head election should see the effectiveness and efficiency of the agency handling the dispute. In the case of dispute resolution of election results, there are many changes related to the agency that handles it. This is due to the interpretation of elections to the election regime or regional government. Finally, Law Number 10 Year 2016 which regulates the Pilkada determines that the resolution of the dispute over the election results is on the Special Court. Prior to the special judiciary, the Constitutional Court is still authorized to adjudicate election disputes. The Constitutional Court becomes a transitional justice before the existence of a special judicial body that must be established before the elections simultaneously in 2024. The design of the special election court body offered in this thesis not only prosecutes and resolves the dispute over election results, but also integrates other electoral disputes that allow for integration. In accordance with the mandate of Judicial Power Law, there are 2 two formal requirements that must be fulfilled in forming a special judicial body that is formed under one of the court environment under the Supreme Court and established by law. The special election court is established under the administrative court of the state with the authority to adjudicate electoral dispute cases and adjudicate state administrative disputes including electoral disputes as well as in Law Number 10 Year 2016 . Keywords Disputes, Regional head elections, Special Court "
2017
T48881
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satrio Alif Febriyanto
"Sebagai dua negara demokrasi dengan penganut sistem pemerintahan presidensial, Indonesia dan Brazil melakukan pemilihan umum dengan metode serentak yang langsung memlih Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif dalam waktu bersamaan. Di samping itu, keduanya juga melaksanakan Pemilihan Umum Anggota DPR dengan sistem pemilihan proporsional dengan memilih nama calon atau sistem pemilihan proporsional terbuka. Berangkat dari kondisi tersebut, penelitian ini akan mengkaji kompatibilitas antara metode pemilihan umum serentak dengan sistem proporsional terbuka di dua negara tersebut. Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan historis dan komparatif untuk mengetahui latar belakang pelaksanaan pemilihan umum serentak serta pelaksanaan pemilihan umum serentak di kedua negara tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat kompatibilitas antara metode pemilihan serentak dengan sistem pemilihan proporsional terbuka pada kedua negara tersebut berupa kesamaan tata Kelola pemilihan umum dan berkurangnya selisih suara antar pemilihan umum.

As two democracies with a presidential system of government, Indonesia and Brazil conduct simultaneous elections that directly elect the President as the holder of executive power and Parliament as the holder of legislative power simultaneously. In addition, both also conduct legislative elections with a proportional voting system by selecting the names of candidates or an open proportional voting system. Departing from these conditions, this research will examine the compatibility of the simultaneous general election method with the open proportional system in the two countries. This research will be conducted using normative juridical research methods with historical and comparative approaches to find out the background of the implementation of simultaneous general elections and the implementation of simultaneous general elections in the two countries. Based on the research, there is compatibility between the simultaneous election method and an open proportional voting system in the two countries in the form of similarity in the electoral management and reduced vote difference between elections."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
JIP 36(2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kholidin
"Sistem Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance) atau sering disingkat dengan MLA merupakan sistem kerjasama internasional dalam bidang pencegahan dan pemberantasan kejahatan khususnya terhadap kejahatan lintas negara (transnasional crime). Sistem ini lahir dari kaidah-kaidah hubungan antarnegara yang telah diterapkan oleh Indonesia baik dengan perjanjian maupun tidak. Pada awal tahun 2006, Pemerintah Republik Indonesia bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Batik dalam Masalah Pidana, yang menjadikan payung hukum dalam penerapan sistem ini di Indonesia. Terkait kasus penyalahgunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Pemerintah Indonesia sangat serius dalam menerapkan sistem ini dengan tujuan utama adalah dalam mencari, mengejar, dan menyita, serta mengembalikan aset-aset hasil korupsi di Indonesia,
Berkenaan dengan penyusunan tesis ini, penulis mencoba melihat pelaksanaan sistem bantuan timbal balik antarnegara di Indonesia dari 4 (empat) aspek yaitu: Pertama, sistem bantuan timbal balik sebagai sistem yang mendukung proses penegakan hukum; Kedua, sistem bantuan timbal balik sebagai sistem yang lahir dari hubungan antarnegara yang lebih menekankan kepada prinsip kerjasama; Ketiga, Hubungan antar kewenangan penegakan hukum hams lebih sistematis dan terpadu untuk menerapkan sistem bantuan timbal balik sebagai upaya pemberantasan kejahatan yang luar biasa (extraordindry crime); dan Keempat, adalah bentuk sistem bantuan timbal batik yang menekankan pelaksanaannya pada perjanjian dan resiprositas sebagai perwujudan Good Governance. Pelaksanaan sistem bantuan timbal balik mendapat prediksi masalah yang akan muncul, mengingat sistem ini merupakan hal baru dalam mendukung Hukum Acara Pidana di Indonesia maka diperlukan kajian tentang bagaimana pelaksanaan sistem ini dapat menyesuaikan dengan pelaksanaan kewenangan masing-masing lembaga penegak hukum di Indonesia sehingga dapat dicapai suatu kesempurnaan dalam pelaksanaan sistem ini."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16642
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Partai politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan demokrasi secara konstitusional dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia. Sementara itu pemilu adalah arena untuk mengekspresikan kebebasan rakyat dalam memilih dan menyeleksi pemimpinnya. Namun demikian, partai politik sebagai mesin politik yang efektif harus dapat memahami selera publik terutama terkait penentuan calon legislatif, calon preside dan clon wakil presiden dalam strateginya untuk menghadapi pemilu 2014. Jika tidak, partai politik akan ditinggalkan publik."
POL 4:2 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2009
352 IND k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Adharinalti
"Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengkaji substansi pemilu dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah. 2) mengkaji peran Mahkamah Agung dalam memeriksa dan memutuskan sengketa hasil penetapan pemilihan kepala daerah. 3) mengkaji kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa dan memutuskan sengketa hail penetapan pemilihan kepala daerah. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dan empiris. Dalam penelitian normatif digunakan data sekunder berupa UUD 1945 dan Perubahannya, peraturan perundang-undangan, putusan Mahkamah Konstitusi, putusan Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, rancangan peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan bacaan yang terkait dengan judul penelitian yang didapat melalui studi dokumen. Untuk menambah dan memperkuat data sekunder dilakukan wawancara dengan narasumber yaitu anggota DPR/MPR, hakim agung, LSM, dan beberapa hakim pengadilan tinggi karena kompetensi mereka yang berkaitan dengan judul penelitian. Wawancara merupakan salah satu cara untuk mendapatkan data primer melalui penelitian empiris. Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah kualitatif. Metode pembahasan masalah yang digunakan adalah metode analisis yuridis. Diperoleh hasil bahwa 1) pilkada secara demokratis sebagaimana amanat Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 tidak dapat serta merta diartikan sebagai pemilu melainkan harus memperhatikan pasal-pasal lain dalam UUD 1945 yaitu Pasal 18 B dan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Pilkada secara demokratis diartikan sebagai pilkada secara langsung (pilkadal) dan secara tidak langsung (melalui pengangkatan). Pilkadal harus diartikan sebagai bagian dari pemilu dalam rangka mengejawantahkan asas kedaulatan rakyat. Melalui sarana pilkadal diharapkan terlaksananya konsep kekuasaan dari, oleh, untuk, dan bersama rakyat. 2) Lahirnya kewenangan MA untuk menyelesaikan sengketa penetapan hasil pilkadal didasarkan pada adanya penggolongan pilkadal sebagai bagian dari pemerintahan daerah. Mengingat banyaknya tugas MA sebagai benteng terakhir pencari keadilan dalam memutus perkara-perkara dan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang serta ketidakcocokan penggunaan hukum acaranya, maka perlu kearifan dari semua pihak untuk tidak memberikan kewenangan penyelesaian sengketa pilkadal kepada MA. 3) Sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, pilkadal merupakan bagian dari pemilu sehingga asas-asas dari pemilu berupa jurdil dan luber juga diberlakukan termasuk kewenangan KPU sebagai institusi penyelenggara pilkadal yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Jika ada perselisihan mengenai hasil pilkadal haruslah diartikan sebagai bagian dari perselisihan hasil pemilu sehingga menurut Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945, MK berwenang dalam menyelesaian sengketa penetapan hasil pilkadal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16478
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>