Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123445 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"The establishment of acts is part of state authority, it shall be transparent and accountable. It also needs public participation. Thus it will produce a democratic act and it will be beneficial to the society. Furthermore it is able to embody good governance in accordance with the constitution 1945. "
JHUII 13:1 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Saifudin
"ABSTRAK
Gerakan reformasi 1998 telah melahirkan tuntutan demokratisasi dalam bentuk pemberdayaan rakyat di berbagai aspek kehidupan kenegaraan. Pembentukan UU sebagai bagian dari mengatur negara, dituntut pula adanya transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Hal ini akan melahirkan produk UU yang demokratis dan berguna bagi penataan negara menuju texwujudnya good governance dengan UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya. Dalam penelitian ini diajukan satu masalah pokok yaitu : bagaimana partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU di era reformasi ?? Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi hukum khususnya sosiologi perundang-undangan.
Kerangka teori yang dibangun untuk pcmecahan masalah pokok tersebut adalah mengacu pada teori demokrasi dan teori pembentukan UU. Perrama, teori demokrasi harus dipahami bahwa lernbaga perwakilan dalam mengambil keputusan yang bertalian dengan state policy berupa pembentukan UU harus membuka bagi adanya akses publik untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembentukannya Kedua. teori pembentukan UU harus diletakkan dalam konteks sosial masyarakat yang menampung konflik nilai dan kepentingan di masyarakat yang akan diputus oleh lembaga legislatif.
Dalam penelitian yang dilakukan terhadap tiga UU yaitu UU Sisclilmas, UU Pemilu dan UU Ketรฉnagakerjaan ditemukan adanya berbagai hal sbb. : Pertama, proses pembentukan UU di era reformasi memperlihatkan telah terjadi perubahan baik dilihat dari aspck kelembagaan DPR, aspek kepentingan masyarakat, aspek pengaturannya dan aspek pembahasan RUU. Kedua, partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU dapat diidentifikasi dalam pelaku partisipasi, bcntuk partisipasi, cara partisipasi, materi partisipasi, penyerapan panisipasi dan tahap-tahap partisipasi dalam pembentukan UU.
Ketiga, partisipasi masyarakat yang dilakukan terhadap proses pembentukan tiga UU yang diteliti, dapat mewamai dalam berbagai proses pembahasan pembentukan UU, sehingga produk UU yang dihasilkannya mendekati rasa kea/dilan, kepatuhan dan kepastian hukum masyarakat. Keempat, proses pembcntukan UU di era reformasi telah membuka akses publik dan melibatkan berbagai kekuatan politik dalam masyarakat. Hal ini pada dasamya rnempakan langkah ideal dalam proses pembentukan UU di era reformasi, dan dari sudut pandang sosiologi penmdang-undangan, UU merupakan endapan konflik nilai dan kepentingan yang secara politis diformulasikan dalam aturan hukum oleh lembaga legislatifi Akan tetapi, semua kondisi dalam proses pembentukan UU di era reformasi tersebut Blum disertai dengan perangkat peraturan perundang- undangan yang memadai.
Atas dasar uraian di atas, maka perlu dilakukan perubahan terhadap UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya yang berkaitan dengan pengaturan partisipasi masyarakat, Dengan demikian, akan terdapat dasar pijakan peraturan yang memadai guna memperkuat pemberdayaan rakyat melakukan partisipasi dalam proses pembemukan UU.

Abstract
Reformation movement in 1998 has brought demand for democratization in the form of the people empowerment in various aspects of state activities. Law-making is a part of regulating state, is also demanded to transparency, particmation and accountable. This will create legisaltion products that democratic and benefit for arrangement of state to bring into good governance with the 1945 Constitution as basic constitutional. In this rearch , I will examine one main problem : how public participation in legislative process? This rearch employs a sociological perspective, especially socioloy of legislation.
Theoritical framework formulated to solve the main problem is to base on democratic theory and law-making theory. Firstly, the democratic theory must be understood that constitutional bodies involved in the process of law making in taking decision related to state policy in law-making must be open to public access to participate. Secondly, the law-making theory must be put in the social context that accommodates conflicts of value and interest in society that will be decided by legislative institution.
The research focuses on three leislations, t.e. Act on National Education System, Act on General Elections, and Act of Labor and the result shows as follos : First, the law-making process in the reformation era has occurred changes in saveral aspects, such as representative institution, public interest, regulatory and law-making process.
Second public participation in the law-making process can identfed in several matters, such as people who participate, form of participation, method of participation. subject matter of participation, absord of participation. and stages of part icipation. Third public participation conducted in law -making process of the three Acts can affect in various law making process. Therefore, it is expected that legislotions enacted close to justice, compliance and legal certainty for society. For, lar making-process in the reformation era has opened public access and involved various political forces and society. This is basically an ideal step in law-making process in the reformation era and viewed from sociology of legislation. act is accumulation conflicts of value and interests which is politicalbrformulated in regulation by legislative body. However, all circumstances in the law-making process have not been equmped by a set of legislation sufficiently.
Hence, it is necessary to amend Act No. l 0 Year 200-I on Legislation Making Process, especially related to public participation. This amendement is expected to become a srjjicient basic regulatory for strengthening public participation in law-making process.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
D1052
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saifudin
"ABSTRAK
Gerakan reformasi 1998 telah melahirkan tuntutan demokratisasi dalam bentuk pemberdayaan rakyat di berbagai aspek kehidupan kenegaraan. Pembentukan UU sebagai bagian dari mengatur negara, dituntut pula adanya transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Hal ini akan melahirkan produk UU yang demokratis dan berguna bagi penataan negara menuju texwujudnya good governance dengan UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya. Dalam penelitian ini diajukan satu masalah pokok yaitu : bagaimana partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU di era reformasi ?? Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi hukum khususnya sosiologi perundang-undangan.
Kerangka teori yang dibangun untuk pcmecahan masalah pokok tersebut adalah mengacu pada teori demokrasi dan teori pembentukan UU. Perrama, teori demokrasi harus dipahami bahwa lernbaga perwakilan dalam mengambil keputusan yang bertalian dengan state policy berupa pembentukan UU harus membuka bagi adanya akses publik untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembentukannya Kedua. teori pembentukan UU harus diletakkan dalam konteks sosial masyarakat yang menampung konflik nilai dan kepentingan di masyarakat yang akan diputus oleh lembaga legislatif.
Dalam penelitian yang dilakukan terhadap tiga UU yaitu UU Sisclilmas, UU Pemilu dan UU Ketรฉnagakerjaan ditemukan adanya berbagai hal sbb. : Pertama, proses pembentukan UU di era reformasi memperlihatkan telah terjadi perubahan baik dilihat dari aspck kelembagaan DPR, aspek kepentingan masyarakat, aspek pengaturannya dan aspek pembahasan RUU. Kedua, partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU dapat diidentifikasi dalam pelaku partisipasi, bcntuk partisipasi, cara partisipasi, materi partisipasi, penyerapan panisipasi dan tahap-tahap partisipasi dalam pembentukan UU.
Keriga, partisipasi masyarakat yang dilakukan terhadap proses pembentukan tiga UU yang diteliti, dapat mewamai dalam berbagai proses pembahasan pembentukan UU, sehingga produk UU yang dihasilkannya mendekati rasa kea/dilan, kepatuhan dan kepastian hukum masyarakat. Keempat, proses pembcntukan UU di era reformasi telah membuka akses publik dan melibatkan berbagai kekuatan politik dalam masyarakat. Hal ini pada dasamya rnempakan langkah ideal dalam proses pembentukan UU di era reformasi, dan dari sudut pandang sosiologi penmdang-undangan, UU merupakan endapan konflik nilai dan kepentingan yang secara politis diformulasikan dalam aturan hukum oleh lembaga legislatifi Akan tetapi, semua kondisi dalam proses pembentukan UU di era reformasi tersebut Blum disertai dengan perangkat peraturan perundang- undangan yang memadai.
Atas dasar uraian di atas, maka perlu dilakukan perubahan terhadap UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya yang berkaitan dengan pengaturan partisipasi masyarakat, Dengan demikian, akan terdapat dasar pijakan peraturan yang memadai guna memperkuat pemberdayaan rakyat melakukan partisipasi dalam proses pembemukan UU.

Abstract
Reformation movement in 1998 has brought demand for democratization in the form of the people empowerment in various aspects of state activities. Law-making is a part of regulating state, is also demanded to transparency, particmation and accountable. This will create legisaltion products that democratic and benefit for arrangement of state to bring into good governance with the 1945 Constitution as basic constitutional. In this rearch , I will examine one main problem : how public participation in legislative process? This rearch employs a sociological perspective, especially socioloy of legislation.
Theoritical framework formulated to solve the main problem is to base on democratic theory and law-making theory. Firstly, the democratic theory must be understood that constitutional bodies involved in the process of law making in taking decision related to state policy in law-making must be open to public access to participate. Secondly, the law-making theory must be put in the social context that accommodates conflicts of value and interest in society that will be decided by legislative institution.
The research focuses on three leislations, t.e. Act on National Education System, Act on General Elections, and Act of Labor and the result shows as follos : First, the law-making process in the reformation era has occurred changes in saveral aspects, such as representative institution, public interest, regulatory and law-making process.
Second public participation in the law-making process can identfed in several matters, such as people who participate, form of participation, method of participation. subject matter of participation, absord of participation. and stages of part icipation. Third public participation conducted in law -making process of the three Acts can affect in various law making process. Therefore, it is expected that legislotions enacted close to justice, compliance and legal certainty for society. For, lar making-process in the reformation era has opened public access and involved various political forces and society. This is basically an ideal step in law-making process in the reformation era and viewed from sociology of legislation. act is accumulation conflicts of value and interests which is politicalbrformulated in regulation by legislative body. However, all circumstances in the law-making process have not been equmped by a set of legislation sufficiently.
Hence, it is necessary to amend Act No. l 0 Year 200-I on Legislation Making Process, especially related to public participation. This amendement is expected to become a srjjicient basic regulatory for strengthening public participation in law-making process.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
D607
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsul Ma`arif
"Penelitian (disertasi) ini menelaah pergeseran Tentara Nasional Indonesia (TNI) di era reformasi, khususnya setelah terbitnya UU No. 34/2004 tentang TNI. Fokus kajian disertasi ini dirumuskan dalam tiga research question berikut. Pertama, bagaimana pandangan masyarakat sipil dan para perwira TNI mengenai eksistensi lembaga teritorial bisnis TNI, serta hubungan TNI dengan Departemen Pertahanan (Dephan) dalam era demokratisasi dan arus perubahan masyarakat? Kedua, prasyarat macam apakah yang dibutuhkan TNI baik secara internal sebagai key factor maupun eksternal (driving force) dalam upaya menuju militer profesional? Ketiga, skenario macam apakah yang dapat dibentangkan bagi berbagai kemungkinan yang dapat ditempuh dalam melakukan reformasi lembaga teritorial, bisnis TNI, serta hubungan TNI dengan Departemen Pertahanan dalam rangka menuju militer profesional di masa depan?
Ada pun tujuan penelitian adalah rnemahami secara tuntas dan mendalam pandangan atau gagasan masyarakat sipil serta perwira TNI tentang eksistensi lembaga teritorial, bisnis TNI, Serta hubungan TNI dengan DepartemenPertahanan dalam rangka membangun tentara profesional di masa mendatang.
Penelitian ini dirancang dan dilaksanakan dalam pola metode kualitatif (qualitative method). Fenomena yang diangkat mengisyaratkan pernbacaan terhadap apa yang ada di balik fakta sehingga dipandang lebih relevan menggunakan pendekatan kualitatif dalam ilmu sosial, Pendekatan kualitatif memiliki akses dan perangkat metodologis memadai dan relevan yang dapat digunakan untuk membongkar hal-hal yang tersembunyi di balik fakta seperti dikatakan Strauss dan Corbin (l997:13), metode-metode kualitatif dapat perangkat metodologis memadai dan relevan yang dapat digunakan untuk membongkar hal-hal yang tersembunyi di balik fakta. Seperti dikatakan Strauss dan Corbin (l997:l3), metode-metode kualitatif dapat digunakan untuk menemukan dan memahami apa yang tersembunyi di balik fenomena (symtom, gejala) yang seringkali merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami.
Selain itu, penelitian ini juga mencoba menggunakan teknik skenario (scenario technique), khusus untuk konteks penawaran alternatif atau mendesain pilihan-pilihan kemungkinan bagi upaya reformasi internal TNI menuju militer profesional sesuai semangat UU TNI dan tuntutan perubahan dalam masyarakat. Teknik skenario, manumt Schwartz (199125) merupakan "a toolfor ordering one ?s perception about alternative future environments in which one 's decision might be played about. Alternatively: a set of organized woysfor ns to dream ejectively about our own fixture. Concretebr, the resemble a set of stories, either written out or often spoken". Selanjutnya dikatakan, however, these stories are built around carefully constructed plots that make the significant elements of the world scene stand out bolaju. This appoarch is more a diciplined way of thinking than a formal metodology.
Guna mendapatkan data yang dibutuhkan, beberapa teknik koleksi data telah berusaha digunakan yakni penyebaran kuesioner, focused group discussion (FGD), dan wawancara mendalam (in depth interview). Informan penelitian tersebar di dua belas kota sesuai wilayah Komando Daerah Militer (Kodam) yang ada di Indonesia. Sandaran teoretik yang digunakan dalam penelitian (disertasi) ini adalah teori Huntington tentang militer profesional. Menurutnya, militer profesional adalah militer yang memiliki keahlian (expertise), tanggung jawab (responsibility), dan kesatuan (corporateness) Dia menulis, ?the first step in analyzing the professional character of modern o_[ยข'icer corps is to define professionalism. T716 distinguishing characteristics of profession as a special type of vocation are its expertise, responsibility, and corporateness.
Bagi Huntington, intinya adalah berubahnya korps perwira militer dari bentuk ?penakluk? (warrior) menjadi kelompok profesional. Profesionalisme korps perwira ini ditandai oleh perubahan dari ?tentara pencari keuntungan materi? menjadi ?tentara karena panggilan suci memberikan pelayanan kepada masyarakat- Huntington melihat profesi militer merupakan produk terbaru masyarakat modern.
Huntington menggolongkan secara dikotomik kaum militer ke dalam dua kategori, yakni ?militer profesional? dan ?militer pretorian?. Militer profesional umumnya dijumpai di negara-negara Barat, di mana militer merupakan kelompok profesional untuk menjaga negara. Mereka juga memiliki ketertundukan kepada pemerintahan sipil. Ia berada di bawah supremasi sipil. Sedangkan prajurit pretorian adalah tentara yang turut terlibat dan melakukan intervensi dalam kehidupan poIitik.
Dalam kerangka peran militer dalam masyarakat (the role of the military in society), Huntington mengajukan terminologi civilian control (kontrol sipil) yang dibedakan antara "subjective civilian control " (kontrol sipil subyektif) dan ?objective civilian control ? (kontrol sipil objektif). Kontrol sipil subyektif, di mana kekuatan sipil berusaha memaksimalkan kekuasaan serta berusaha menarik tentara ke dalam dan untuk kepentingannya, baik kepentingan politik maupun ekonomi. Sedangkan kontrol sipil objektif, yakni memaksimalkan profesionalisme militer itu sendiri. Secara lebih tegas, kontrol sipil objektif adalah pembagian kekuasaan politik di antara militer dan kelompok-kelompok sipil untuk menciptakan situasi kondusif bagi munculnya sikap dan perilaku profesional di antara para anggota korps perwira. Kontrol sipil objektif, dengan demikian, menentang secara Iangsung kontrol sipil subyektif. Kontrol sipil subyektif mencapai tujuan akhirnya dengan men-sipilkan pihak militer. Sementara kontrol sipil objektif mencapai tujuan akhimya dengan memiliterkan pihak militer, menjadikan mereka alat negara Inti kontrol sipil objektif adalah pengenalan akan profesionalisme militer yang mandiri, sedangkan inti dari kontrol sipil subyektif adalah penyangkalan terhadap kemandirian militer.
Teori militer profesional yang dikembangkan Huntington seringkali dikenal sebagai the old professionalism, Di seberang pemikiran itu, muncul teori the new professionaIism yang diajukan oleh Alfred Stepan, yang diangkat dari fenomena militer di negara-negara sedang berkembang. Dalam the new professionalism, militer turut terlibat dalam kehidupan politik dan turut terlibat dalam menangani masalah ancaman yang muncul dari kalangan masyarakat di dalam negeri suatu negara.
Terhadap pertanyaan penelitian yang disebutkan di atas, temuan penelitian (disertasi) ini menunjukkan ada tiga pembelahan pandangan baik tentang lembaga Koter maupun bisnis TNI serta hubungan TNI dengan Dephan, yakni pandangan konservatif, progresit; dan moderat.
Menyangkut eksistensi Komando Tedtorial (Koter), kelompok pandangan konsenratif berpendirian, bahwa lernbaga tersebut, secara struktural, tetap dipertahankan seperti yang ada saat ini, tetapi secara fimgsional ia harus dikembalikan seperti semula yang semata-mata diorientasikan untuk menangani bidang pertahanan serta fungsi-fungsi teritorial lainnya jika diminta oleh Pemerintah Daerah. Sedangkan pandangan progresif mengisyaratkan pembubaran total lembaga teritorial, karena ketika TNI hanya melakukan peran dan fungsi semata-mata di bidang pertahanan maka Koter pun menjadi tidak relevan. Kemudian pandangan moderat mengajukan tesis refungsionalisasi lembaga tritorial. Artinya, Koter tetap dipertahankan tetapi peran dan fungsi yang dijalankan hanya dalam lingkup pertahanan dari sisi matra darat dan menutup seluruh peluang bagi keterlibatan TNI dalam politik praktis dan bisnis. Di samping itu, kelompok moderat juga berpandangan bahwa TNI Angkatan Laut dan Angkatan Udara dapat membentangkan struktur organisasinya sesuai kebutuhan pertahanan dalam perspektif matra laut dan matra udara, dengan melaksanakan pmberdayaan wilayah pertahanan sesuai matra masing-masing.
Mengenai bisnis TNL kalangan konservatif memandang bisnis TNI mampu memberikan dan meningkatkan kesejahteraan prajurit. Kalau kemudian bisnis TNI itu dialihkan ke negara, hal itu tidak dilakukan secara total. Artinya masih ada bentuk bisnis tertentu yang harus tetap dipertahankan untuk dikelola TNI yakni koperasi dan yayasan-yayasan nonproit, terutama yang bergerak di bidang pendidikan dan kesehatan. Sementara kalangan progresif memandang bahwa tentara profesional mensyaratkan untuk tidak terlibat sedikit pun dalam segala bentuk kegiatan bisnis. Hak dan akses bagi TNI berbisnis harus dicabut dan ditutup secara total. Bisnis dapat mengganggu dan mengacaukan profesionalisme TNI- Segala wujud bisnis yang ada selama ini harus diambil alih total oleh pemerintah, dan pemerintahlah yang kemudian bertanggung jawab untuk membiayai kebutuhan TNI dan kesejahteraan prajurit. Kemudian, kalangan moderat berpendirian bahwa bisnis TNI yang bersifat legal dan institusional hams diaudit dan dipilah-pilah terlebih dahulu sehingga dapat diketahui mana yang sehat dan yang tidak sehat. Bisnis yang sehat harus segera diambil alih oleh negara, sedangkan yang tidak sehat dibubarkan. Tetapi pengambil alihan oleh pemerintah itu harus diikuti dengan kompensasi yang jelas kepada TNI bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan prajurit.
Mengenai hubungan struktural antara TNI dengan Dephan. Dalam pandangan konservatif TNI harus tetap berada langsung di bawah Presiden karena Presiden merupakan Panglima Tertinggi TNI. Dalam konteks demikian, antara institusi TNI dengan Dephan berada pada posisi sejajar. Sementara itu, pandangan progresif seeara tegas menempatkan TNI di bawah Dephan, sebagai salah satu wujud dari pengakuan terhadap supremasi sipil. Sedangkan pandangan moderat berpendirian, sesungguhnya letak persoalannya tidaklah pada apakah TNI di bawah Presiden atau di bawah Dephan, tetapi lebih pada bagaimana TNI dapat melaksanakan peran kemiliterannya dengan baik yang didasarkan pada level fungsi yang tegas dan konsisten.
Hal itu semua terkait dengan upaya rnembangun TNI sebagai militer profesional. Profesionalisme TNI dapat dicapai jika melepaskan diri atau dilepaskan dari keterlibatannya dalam politik praktis, tidak berbisnis, dan tidak menjadikan lembaga teritorial sebagai sarana ke arena sospol. Pengakuan dan kedudukan pada supremasi sipil di mana Salah satu wujudnya adalah kesediaan TNI diposisikan di dalam Dephan. Kritenia militer profesional sepeni diisyaratkan Huntington tersebut juga harus melekat pada did TNI.
Saat ini TNI sesungguhnya sudah cukup jauh meninggalkan citra diri dan perilaku pretonan Semakin jauh dari pretorian semakin jauh pula dari tekanan subjective civilian control, dan ini sekaligus bermakna bahwa TNI semakin mendekati arena objective civilian control. Hal ini tentu saja berdampak positif bagi perkembangan civii society serta konsolidasi demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sejak awal reformasi hingga saat ini TNI masih dalam proses transisi menuju militer profesional. Dalam hubungan ini, TNI cenderung bergerak dari new professionalism (ala Stepan) ke old professionalism (ala Huntington), tetapi tidak murni seperti yang dipahami dalam teori, karena aspek-aspek tertentu dari new professionalism tidak bisa dilepaskan dalam peran dan fungsi TNI. Pada kenyataannya antara objective civilian cintrol dengan subjective civilian control tidak dapat dipisahkan secara hitam putih.
Dengan demikian, profesionalisme dalam konteks TNI, Iebih merupakan pemaduan antara new professionalism (Stepan) dengan old professionalism dan memiliki komitmen kuat untuk terlibat secara tulus -berdasarkan perintah pemerintah sipil- dalam tugas-tugas nonpertahanan demi kemanusiaan, solidaritas sosial, kebaikan bersama, dan keterhormatan bangsa.
Tentara profesional dalam konteks Indonesia adalah tentara yang memiliki prinsip-prinsip profesionalisme kemiliteran dalam pengertian old professionalism, memenuhi kriteria yang diamanatkan UU TNI, memiliki aspek-aspek new profesionalism, konsisten terhadap objective civilian control, berikut memegang teguh etika militer, Sumpah Prajurit, dan Etika Perwira. Sosok TNI yang demikianlah yang menjadi role expectation masyarakat. Pada giliran di tingkat role taking masyarakat akan mengakuinya ke depan ada optimisme TNI mampu membangun dan membuat peran (role making) secara lebih baik.
Membentuk TNI sebagai militer profesional membutuhkan sejumlah prasyarat tertentu seperti prasyarat ekonomi, prasyarat sosial, prasyarat politik, prasyarai teknologi, dan prasyarat kurikulum pendidikan militer. Tetapi untuk semua itu membutuhkan political will negara dan dukungan civil society untuk menopangnya.
Untuk kepentingan reformasi TNI berkait dengan eksistensi Koter, biasis TNI, dan hubungan TNI-Dephan, serta upaya rnendorongnya menuju profesionalisme militer, penelitian ini merekomendasikan tiga skenario. Pertama, melakukan refungsionalisasi Iembaga Koter. Kedua, mengalihkan bisnis TNI kepada pemerintah disertai kompensasi yang jelas. Ketiga, memososikan TNI berada di dalam Dephan, yakni tipe koordinasi, model Amerika.

This research (thesis) examines the shift of the Indonesian Armed Forces (TNI) in the reform era, particularly after the issuance of the Law No. 34/2004 concerning TNI. Focus of the review of this thesis is formulated in the following three research question: First, what is the opinion of civil society and the TNI officers regarding the existence of territorial institutions, TNI?s business, and the relationship of TNI and the ministry of Defense (Dephan) in the democratization era and the community?s changing trend? Second what type of prerequisite is needed by TNI, both intemally as key factors, or externally (driving fame) in its effort toward professional military? Third what type of scenario could be prepared for various possibilities that are possible to conduct the reformation of territorial institutions, TNI's business, as well as the relationship of TNI and the Ministry of Defense toward professional military in the future?
The objective of this research is to completely and thoroughly understand the civil society?s and TNI ofticer's idws regarding the existence of territorial institutions TNI?s business and the relationship of TNI and the Minisuy of Defense in building professional army in he future.
This research is designed and carried out in a qualitative method pattern. The phenomenon highlighted gives a signal to the reader regarding what exist behind the facts so that it is considered more relevant to using qualitative approach. In social science, the qualitative approach has adequate and relevant access and methodology tools that could be used to reveal any issues exist behind the fact. As quoted by Strauss and Corbin (l997:l3), the qualitative methods could be used to find out and understand what exist behind any phenomenon (symptom) that is often difficult to understand.
Additionally, this research tries also to use special scenario technique for alternative offering context or to design possible choices for the TNI?s internal reformation effort toward professional military according to the spirit of the Law of TNI, and change demand in the society. The scenario technique, according to Schwartz (1991:5) is... "a tool for ordering one is perception about alternative future environments in which one 's decision might be played about. Alternatively, a set of organized ways for us to dream efectively about our own fitture. Concretely, this resembles a set of stories either written out or often spoken ". Furthermore, it is stated that, however, these stories are built around carejitlly constructed plots ? that make the significant element of the world scene stand out boldly. This approach is more a disciplined way of thinking than a formal methodology.
In order to obtain data required, several data collection techniques have been used, namely dissemination of questionnaires, Focused Group Discussion (FGD), and in depth interview, Research informant spreads in twelve cities, pursuant to the Regional Military Command (Kodam) exist in Indonesia.
Theoretical base used in this resmrch (thesis) is the Huntington theory of professional military. According to hitn, a professional military is a military that has the expertise, responsibility, and corporateness He wrote, ?the first step in analysing the professional character of modern officer corps is to define professionalism". The distinguishing characteristics of profession as a special type of vocation are its expertise, responsibility, and corporateness.
For Huntington, the essence is the change of the military officer corps liorn conqueror type (warrior) into professional group. The professionalism of this officer corps is marked by the change nom ?army that looks for material advantages? into ?army by sacred call to serve the community". Huntington viewed that the military profession is the most recent products of modern society. Huntington classified in dichotomy manner, the military groups into two categories, namely ?professional military? and ?praetorian military?. The professional military is generally found in West countries, where military is a professional group to safeguard the country. They subject to the civil society. They are under the civil supremacy. Meanwhile, practorian troops are those involved and conduct intervention in political life.
In the frame of the role of military in society, Huntington proposes the terminology civilian control, which differs from the ?subjective civilian control? and "objective civilian control ?. The subjective civilian control is the civil power trying to maximize their power while trying to draw the military inside and for its interest either political or economic interest, wherms, the objective civilian control, namely to maximize the military professionalism itself in a stricter manner, objective civilian control is the distribution of political power between military and civil groups to create conducive circumstance for the awakening of professional attitude and behavior among the officer corps member. The objective civilian control therefore, directly is in opposition to the subjective civilian control. The subjective civilian control achieves its ultimate goal by civilizing the military groups. Meanwhile, the objective civilian control achieves its ultimate goals by militarizing the military groups and putting them as a state apparatus. The essence of the objective civilian control is the identification of independent military professionalism, whereas the essence of subjective civilian control is the denial of military independence.
The professional military theory developed by Huntington oiten referred to as the old professionaifsm. Opposing the thought, the new professionalism theory raised, which was proposed by Alfred Stepan highlighted from military phenomena in developing countries. In the new professionalism theory, the military is involved in political life and involved in handling any threat issues occur from the domestic community in a particular country.
Toward the research questioned raised above, findings of this research (thesis) show that there are three different views of Territorial Command institutions and the TNI?s business as well as the relationship of TNI and the Ministry of Defense, namely conservative, pro gr'essive, and moderate view.
Related to the existence ofthe Territorial Command (Koter), the conservation-view groups made an opinion that the institution, structurally, shall be maintained as current situation but functionally, it shall be restored to its original condition that is merely oriented to handle defense sector as well as other territorial functions upon request by Regional Govemment. Whereas, the progressive view signaled total dismiss of territorial institution, since TNI has errried out only their sheer roles and functions, the Territorial Command is no longer relevant. Furthennore, the moderate view proposes the territorial institution refunctionalization thesis which means that the Territorial Command shall be maintained but the role and function perforrned shall only in defense and land-dimension scope, and close the entire opportunities for TNI in practical politics and business. Additionally, the moderate group has an opinion also that the Navy and Air Force of TNI may expand its organizational structure according to defense requirement in sm-dimension and air-dimension perspective by empowering the defense territories according to respective dimension.
Regarding TNI's business, conservative group view that TNI's business is able to provide and improve officer?s welhre. Should the TNI?s business handed over to the State, such thing shall not be totally done, It means that there are certain types of business that shall be maintained to be handled by TNI, namely cooperatives and not-for-profit fotmclations particularly those run in education and health sector. Meanwhile, progressive group views that professional military requires not to get involved in any types of business activities. It means that the access for TNI to run business shall be totally revoked and closed since the business may distort and ruin the TNI?s professionalis.m Any types of busineses that are operated up to now shall be totally handed over by the government, and it is the government that shall be responsible for financing the TNI's needs and the military?s welfare. Furthermore, moderate group have an opinion that TNI?s legal and institutional business shall be audited and sorted first so that it will be able to identify which businesses are healthy and unhealthy. The healthy businesses shall be taken over by the State, whereas the unhealthy ones shall be dismissed. However, the government?s taking over shall be followed by clear compensation for TNI, for the interest of military?s welfare enhancement.
Concerning th structural relationship between TNI and the Ministry of Defense. In conservation?s opinion, TNI shall be put directly under the President since the President is the Ultimate Commander of TNI. In such context, the position of TNI and the Ministry of Defense is parallel Wherms, the progressive view strictly places TNI under the Ministry of Defense as a realization and recognition of civil supremacy. Whereas, moderate view has an opinion that the problems indeed not regarding whether TNI shall be placed under the President or under the Ministry of Defense but rather on how TNI will carry out its military role in good manner based on a strict and consistent function level.
These all related to the effort of building TNI as a professional military, The professionalism of TNI could be achieved if it releases itself or is released from any practical politic, not conduct any businesses nor make any territorial institutions as a means for social and political world Recognition and compliance with civil supremacy, where one of its realizations, is the willingness of TNI to be positioned under the Minntry of Defeme. Professional military criteria as required by Huntington shall also inherit in TNI.
At this time, TNI has quite tar left its practorian image and behavior. The further from practorian, the further from the pressure of subjective civilian control and this simultaneously means that TNI is getting closer to the objective civilian control sphere. This certainly gives positive impact on the development of civil society and the democracy consolidation in societal and national life.
Since the early reform up to now, TNI remains in a transition process toward professional military. In this regard, TNI tends to move fiom new professionalism (ala Stepan) to old professionalism (ala Huntington) but not in pure sense as understood in theory since particular aspects of the new professionalism could not be released hom tl1e TNl?s roles and functions. In fact, it is impossible to strictly separate the objective civilron control and subjective civilian control.
Thus, professionalism in TNI context is rather becoming the combination of new professionalism (Stepan) and the old professionalism (Huntington). Such professional miitary in this research is called ?The Patriot Professional The patriot professional military is a military that in addition to its presence in professionalism-character posture is also called and strongly committed to be sincerely involved based on the civil government?s command in non-defense duties for the sake of humanity, social solidarity, mutual benefit, and nation?s dignity.
Professional troops in Indonesian context are the troops that have military professionalism principles in term of old professionalism, satisfy the criteria set out in the Law of TNI, have new profasionalism aspect, consistent to the Objective civilian control, and strictly stick to the military ethics, 0fficer?s Oath, and officer?s Ethics. Such TNI?s image becomes the society?s role expectation. In turn, at the role raking level, the society will recognize it. In the future, optimism occurs that TNI will be able to build and make a better role.
Establish TNI as a professional military requires various certain prerequisites such as economic, social political, technological prerequisite and military education curriculum prerequisite. However, the entire things require the State's political will and support by civil society to support them.
For the interest of TNI reform related to the existence of TNI's Territorial Command and the relationship of TNI - Ministry of Defense, as well as the effort to encourage it toward military professionalism, this research recommends three scenarios. Firstly, carry out the refunctionalization of Territorial Command institution. Secondly hand over the TNl?s business to the government, accompanied with clear compensation. Thirdly. position between the TNI and the Ministry of Defense, using' the coordination type (American model), where there shall be coordinating of duties and authorities between TNI and the Ministry of Defense.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
D801
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maharanie
"Undang-undang sebagai hukum tertulis dapat lebih menimbulkan kepastian hukum, mudah dikenali, serta mudah untuk membuat atau menggantinya jika sudah tidak diperlukan lagi atau tidak sesuai lagi. Kelemahannya, kadang suatu perundang-undangan bersifat kaku (rigid) dan ketinggalan zaman karena perubahan di masyarakat begitu cepat. Di samping itu karena undang-undangan sering kali dipandang sebagai sebuah produk hukum namun karena dibuat oleh lembaga politik yang maka seringkali bernuansa politis, dalam pembentukannya kadang terjadi political bargaining atau tawar-menawar yang bermuara pada kompromi yang dapat berupa consensus atau kesepakatan politis yang dituangkan dalam norma (pasal) yang kadang kurang mencerminkan kepentingan umum, melainkan hanya untuk kepentingan golongan bahkan kepentingan pribadi. Hal ini kadang kala tidak dapat dihindari dalam proses pembentukan suatu undang-undang. Untuk itu perlu dicermati bagaimanakah tata cara pembentukan suatu undangundang, agar lebih mencerminkan kepentingan warga Negara sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Untuk itu perlu dibuka peluang partisipasi publik yang sebesarbsearnya dalam proses pembentukan kebijakan publik. Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan sebuah kebijakan seharusnya dilakukan dari awal perencanaan, pembuatan sampai pada tahan evaluasi. Dalam perencanaan awal pembentukan kebijakan masyarakat perlu untuk dilibatkan agar aware terhadap isu yang akan diatur, dalam proses pembentukan agar bisa mengerti bagaimana arah kebijakan tersebut akan dibentuk, dan pada tahap evaluasi agar memberikan masukan terhadap implementasi sebuah kebijakan.

Law as an written regulation give more certainty in the aplication, friendly recognize, and easy to change if it is not compatible anymore. Law also have some weakness which it?s character is very rigid compare with the changing in the society. Law as legsilastive product sometimes seen as a political product which have it?s political atmosphere because in the law making proccess can be some dealing among the actor and that dealing formulate in the article in the act. It is unavoidable sometime in the law making proccess eventhoug that is not reflecting people?s intersest but only the law maker intersest. That is why, it is necessary to scrutinize the procedure of the law making process so law as a public policy more reflecting people?s interest.That is why it?s really important to open public participation in the policy makin widely open. Public participation in the public policy making should be put on the agenda from the begining from planning, policy decisioning, up to evaluation. In the planning proccess people will be awared of the issue that will be regulate, in the decicion making people will see how is the policy maker vision of the issue, and in the evaluation procces people can give their oponion about the policy implementation."
2009
S25461
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yhannu Setyawa
"Hukum merupakan refleksi dinamika peradaban manusia. Hukum hadir menata pergaulan hidup antar dan diantara warganya, merupakan rangkaian norma yang mengarah pencapaian keadaan tertentu dengan mengatur tindakan serta perilaku manusia secara sadar. Hukum yang baik harusnya sesuai dan sejalan dengan aspirasi warganya. Akan tetapi, selama beberapa kurun waktu, Pemerintah Indonesia menganggap hukum sebatas serangkaian aturan mengikat berbentuk teks tertulis yang Iahir berdasarkan mekanisme dan kewenangan formal Iembaga- lembaga negara. Akibatnya, beberapa kali terjadi ledakan protes warga menuntut produk hukum yang telah dihasilkan diubah atau dibatalkan keberlakuannya. Tesis ini berupaya menelusuri latar belakang lahirnya sikap kritis warga terhadap hadirnya berbagai produk hukum pemerintah yang meniadakan partisipasi warganya. Pembahasan dan analisa tidak sebatas merujuk peraturan hukum positif sehingga jenis penelitian tergolong yuridis sosiologis. Data yang terhimpun diolah secara sistematis, dianalisis secara kualitatif kemudian diuraikan secara deskriptif.
Berdasarkan penelitian, terungkap relasionalitas antara ketidakefektifan produk hukum, misalnya undang-undang sebagai akibat ketidakpatuhan warga. Fenomena tersebut muncul karena dalam penyusunan undang-undang, pemerintah menihilkan peran partisipasi warga. Seharusnya rakyatlah pembentuk hukum yang utama, maka tepat jika rakyat diberi ruang berpartisipasi dalam setiap perumusan produk hukum di Indonesia. Bila tidak, wajar jika Rakyat Indonesia bertindak kritis memperjuangkan hak keterlibatannya. Partisipasi kritis warga sangat ditentukan oleh akses berpartisipasi termasuk terpenuhinya hak informasi dan terbukanya ruang bagi warga untuk turut dalam penyelesaian sengketa pasca operasionalisasi suatu produk hukum. Sikap kritis, secara obyektif berimplikasi terhadap daya ikat dan keberlakuan produk hukum.
Semoga pada masa yang akan datang, setiap perumusan dan penyusunan undang-undang di Indonesia senantiasa diawali dengan komunikasi timbal balik, antara eksekutif (pemerintah) dan legislatif sebagai drafter dengan rakyat selaku warga negara yang sejatinya adalah pemilik kedaulatan."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T22889
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nizwar Afandi
"Fenomena yang dijadikan latar belakang masalah penelitian adalah partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) dalam penyelenggaraan Pemilu 2004 di Kota Bandar Lampung yang dianggap menarik untuk dikritisi. Dengan latar belakang tersebut maka tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan perekrutan warga masyarakat menjadi PPK dan PPS; mendeskripsikan keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan tugas dan fungsi PPK dan PPS; dan membahas faktor pendukung dan faktor penghambat dalam pelaksanaan tugas dan fungsi PPK dan PPS di Kecamatan Panjang dan Kecamatan Teluk Betung Utara, Kota Bandar Lampung.
Penelitian menggunakan pendekatan Penelitian Kualitatif. Pengumpulan data primer kualitatif dari Informan Penelitian menggunakan Teknik Wawancara. Penentuan informan menggunakan Purposive Sampling Technique. Pengumpulan data sekunder menggunakan Studi Kepustakaan. Pengolahan data menggunakan Metode Analisis Deskriptif Kualitatif. Berdasarkan analisis hasil penelitian diperoleh pokok-pokok kesimpulan sebagai berikut :
Mekanisme dan sarana partisipasi warga masyarakat menjadi PPK dan PPS dalarn penyelenggaraan Pemilu 2004 di Kota Bandar Lampung mencakup proses pengumuman, pendaftaran dan penyeleksian untuk menjadi anggota PPK. atau PPS; dan proses pelaksanaan tugas dan fungsi PPK di tingkat kecamatan dan pelaksanaan mgas dan fungsi PPS di tingkat kelurahan. Pengumuman, pendaftaran dan penyeleksian tersebut merupakan suatu mekanisme dan sarana partisipasi masyarakat untuk menjadi PPK dan PPS yang berlaku secara terbuka bagi masyarakat luas. Partisipasi masyarakat untuk menjadi PPK dan PPS merupakan salah satu bentuk partisipasi yang bersumber dari kesadaran, kepedulian dan tanggungjawab sosial terhadap suatu program pembangunan yang menyangkut kepentingan bersama. Partisipasi masyarakat untuk menjadi PPK dan PPS terjalin melalui pendekatan institusional; pendekatan fungsional; dan pendekatan Sistem nilai. Karakteristik warga masyarakat yang menjadi anggota PPK dan PPS terdiri dari warga yang bexpendidikan SLTA hingga yang berpendidikan perguruan tinggi; keanggotaan PPK dan PPS mencakup berbagai suku dan agama.
Keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan tugas dan fungsi PPK dan PPS di tingkat kecamatan dan kelurahan antara lain tampak dari keikutsertaan warga masyarakat dalam merencanakan pembentukan KPPS, penyiapan TPS, teknis pemungutan suara, dan pengawasan penghitungan suara. Pelaksanaan tugas dan fungsi PPK dan PPS di Kecarnatan Panjang telah melibatkan 387.871 warga masyarakat yang memberikan suara; dan sebagian dari jumlah warga masyarakat tersebut terlibat secara aktif dalarn penyiapan 608 bilik suara di 7 wilayah kelurahan. Pelaksanaan tugas dan fungsi PPK dan PPS di Kecamatan Teluk Betung Utara telah melibatkan 43.324 warga masyarakat yang memberikan suara. Sebagian dari jumlah warga masyarakat tersebut terlibat secara aktif dalam penyiapan 596 bilik suara di 10 wilayah kelurahan.
Faktor internal yang mendukung partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan tugas dan fungsi PPK dan PPS adalah motivasi warga masyarakat itu sendiri. Faktor eksternal yang mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi PPK dan PPS adalah hubungan sosial dan tradisi sosial di antara sesama warga masyarakat. Hubungan sosial ini tidak terbatas hanya dalam pengertian kultural saja, tapi mencakup juga pengertian struktural. Sedangkan tradisi sosial adalah pola hubungan sosial antar individu dan antar kelompok yang terbentuk dari proses kesadaran, kepedulian dan tanggung jawab sosial. Tradisi sosial ini dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat melalui kelembagan masyarakat yang ada di tingkat lokal. Aktualisasi hubungan sosial sebagai faktor pendukung adalah kedekatan sosial antar sesama warga dalam suatu lingkungan sosial, kedekatan sosial antar sesama warga dalam suatu organisasi, dan kedekatan sosial antar warga masyarakat dengan pejabat-pejabat pemerintahan. Aktualisasi tradisi sosial sebagai faktor pendulcung adalah nilai-nilai budaya lokal atau adat istiadat setempat. Faktor penghambat yang menjadi kendala dalam pelaksanaan tugas dan fungsi PPK dan PPS lebih banyak bersifat teknis seperti keterlambatan distribusi alat kelengkapan pemungutan suara, kendala jarak dan lokasi tempat pemungutan suara, kendala lemahnya koordinasi antar pihak dan minimnya dukungan anggaran untuk menyiapkan tempat pemungutan suara."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22295
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>