Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 62725 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat (final and binding) serta memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan/dibacakan, namun ada beberapa putusannya tidak dapat langsung dilaksanakan karena harus memerlukan tindak lanjut dengan pembentukan undang-undang baru atau undang-undang perubahan, sebagai misal putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IV/2007 yang mengabulkan permohonan Pemohon mengenai “calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah”, tidak dapat langsung berlaku secara operasional, tanpa ditindaklanjuti dengan pembentukan Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pembentukan undang-undang dalam rangka menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi secara yuridis diperbolehkan, meskipun undang-undang yang bersangkutan di luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dalam pembentukan undang-undang, putusan Mahkamah Konstitusi dapat dipakai oleh pembentuk undang-undang sebagai bahan acuan menentukan konstitusionalitas Rancangan Undang-Undang yang disusun terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"
JLI 6:4 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Salah satu bentuk ikon reformasi adalah terlambangnya nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia ke dalam perubahan UUD 1945. Dengan demikian,perubahan UUD 1945 memiliki sarat materi muatan yang diharapkan mampu membawa Indonesia menuju kehidupan ketatanegaraan lebih baik....."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Resti Fauzi
"Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk menguraikan dan menganalisis permasalahan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tentang Cipta Kerja yang cacat formil dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat tetapi masih memiliki daya laku dan daya ikat sebagai undang-undang. Uji formil itu diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 pada 21 November 2021. Pembentukan dan pengujian undang-undang merupakan proses yang saling berkesinambungan dalam prinsip checks and balances. Uji formil yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan kontrol terhadap proses pembentukan hukum yang menjadi kewenangan kekuasaan dibidang legislasi oleh lembaga yudisial, yaitu upaya kontrol terhadap pembentukan hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. UJi formil Undang-Undang merupakan proses pemeriksaan yang dilakukan terhadap prosedur keabsahan pembentukan Undang-Undang. Proses itu dilakukan atas permohonan yang diajukan masyarakat ke Mahkamah Konstitusi terhadap suatu Undang-Undang yang dianggap menyalahi peraturan pembentukannya. Terdapat tiga masalah yang akan diuraikan dan dianalisis yaitu terkait dengan putusan uji formil nomor 91/PUU-XVIII/2020, implikasi dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi 91/PUU-XVIII/2020 terhadap pembentukan Undang-Undang, dan menguraikan terkait konsep ideal pembentukan undang-undang agar undang-undang tidak cacat formil. Hasil penelitian menunjukan cacat formil diputuskan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang 11 Tahun 2020 karena telah melanggar Peraturan Pembentukan Undang-Undang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 yaitu terkait penggunaan metode omnibus law, asas keterbukaan dengan tidak terpenuhinya partisipasi masyarakat, dan terdapat perubahan terhadap substansi rancangan undang-undang setelah disetujui. Dalam implementasinya putusan itu dapat ditafsirkan berbeda oleh pembentuk undang-undang dan pelaksana undang-undang sehingga mengakibatkan muncul permasalahan baru dalam bidang legislasi. Hal itu terjadi akibat tidak konkritnya norma hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi, yang memberi tafsiran baru terhadap inkonstitusional bersyarat dengan menyatakan undang-undang tetap berlaku sampai syarat dipenuhi.

The research was conducted with the aim of describing and analyzing the problems in the Process of law making of Law Number 11 Concerning Job Creation which was formally flawed and declared conditionally unconstitutional but still has enforceable and binding power as a law. This judicial review of legislative process or due process of law making was decided by the Constitutional Court through Decision Number 91/PUU-XVIII/2020 on November 21, 2021. The process of law making and the due process of law making are mutually continuous processes in the principle of checks and balances. The formal test conducted by the Constitutional Court is a control over the process of law making which is the authority of powers in the field of legislation by the judicial institution, namely an effort to control the law making of law in the Indonesian constitutional system. The formal examination of the law is a process of examining the legality of the formation of the law. The process was carried out based on an application submitted by the public to the Constitutional Court against a law deemed to have violated the regulations for its law making. There are three problems that will be described and analyzed, namely those related to the formal test decision number 91/PUU-XVIII/2020, the implications and implementation of the Constitutional Court Decision 91/PUU-XVIII/2020 on the process of law making, and elaborate on the ideal concept of forming a law. law so that the law is not formally flawed. The results of the research show that the Constitutional Court decided on a formal defect against Law 11 of 2020 because it had violated the Regulations for Forming a Law stipulated in Law Number 12 of 2011 in conjunction with Law Number 15 of 2019, namely related to the use of the omnibus law method, the principle of openness with the non-fulfillment of public participation, and there are changes to the substance of the draft law after it is approved. In its implementation, the decision can be interpreted differently by legislators and law enforcers, resulting in new problems in the field of legislation. This happened due to the lack of concrete legal norms in the decision of the Constitutional Court, which gave a new interpretation of conditional unconstitutionality by stating that the law remains in force until the conditions are met."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Muhammad Ikhsan
"Kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang telah diatur pada Pasal 22D UUDNRI 1945, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 serta Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 (UU MD3 2009) menempatkan kedudukan DPD tidak setara dengan Presiden atau DPR dalam hal pembentukan undang-undang. Lahirnya, putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 telah merubah kedudukan dan kewenangan DPD dalam hal pembentukan undang undang yaitu dengan merumuskan bahwa DPD ikut terlibat sejak tahap pengajuan undang-undang sampai dengan sebelum diambil persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden. Pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3 2014) yang tidak didasarkan pada putusan Makamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 mengakibatkan ketidakjelasan kewenangan DPD dalam proses pembentukan undang-undang. Sehingga, diajukannya pengujian formil dan materiil atas UU MD3 2014 yang kemudian melahirkan putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014, membuktikan bahwa UU MD3 2014 tidak dibentuk berdasarkan arahan dari putusan MK nomor 92/PUU-X/2012 karena mengatur kembali hal yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK pada Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012. Terlebih lagi, terdapat beberapa aturan lainnya pada UU MD3 2014 yang bertentangan dengan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang seharusnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada Putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014.

DPD authority in the formation of legislation have been regulated in Article 22D UUDNRI 1945, Law No. 27 of 2009 and Act No. 17 of 2014. Act No. 27 of 2009 (Act MD3 2009) locates the position of DPD is not equivalent to the President or the House of Representatives in the formation of legislation. The Constitutional Court decision No. 92 / PUU-X / 2012 has changed his position and authority of the DPD in the formation of the legislation is to formulate that DPD is involved since the submission stage of the legislation before it is taken up by mutual agreement by the Parliament and the President. Formation of Law No. 17 of 2014 (Act MD3 2014) that are not based on the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 resulted in obscurity authority of the DPD in the formation of legislation. Thus, the filing of formal review and substantive review of the Act MD3 2014 which gave birth to the decision of the Court number 79 / PUU-XII / 2014, proving that the Act MD3 2014 are not formed under the direction of the Constitutional Court decision number 92 / PUU-X / 2012 as set back the has been declared unconstitutional by the Constitutional Court in Constitutional Court Decision No. 92 / PUU-X / 2012. Moreover, there are several other rules on MD3 Act 2014 contrary to the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 that should have been declared unconstitutional by the Constitutional Court conditional on Court Decision number 79 / PUU-XII / 2014.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47101
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Muhammad Ikhsan
"Kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang telah diatur pada Pasal 22D UUDNRI 1945, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 (UU MD3 2009) menempatkan kedudukan DPD tidak setara dengan Presiden atau DPR dalam hal pembentukan undang-undang. Lahirnya, putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 telah merubah kedudukan dan kewenangan DPD dalam hal pembentukan undang-undang yaitu dengan merumuskan bahwa DPD ikut terlibat sejak tahap pengajuan undang-undang sampai dengan sebelum diambil persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden. Pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 (UU MD3 2014) yang tidak didasarkan pada putusan Makamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 mengakibatkan ketidakjelasan kewenangan DPD dalam proses pembentukan undang-undang. Sehingga, diajukannya pengujian formil dan materiil atas UU MD3 2014 yang kemudian melahirkan putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014, membuktikan bahwa UU MD3 2014 tidak dibentuk berdasarkan arahan dari putusan MK nomor 92/PUU-X/2012 karena mengatur kembali hal yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK pada Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012. Terlebih lagi, terdapat beberapa aturan lainnya pada UU MD3 2014 yang bertentangan dengan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang seharusnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada Putusan MK nomor 79/PUU-XII/2014.

 

Kata Kunci: Kewenangan DPD, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi


DPD authority in the formation of legislation have been regulated in Article 22D UUDNRI 1945, Act No. 27 of 2009 and Act No. 17 of 2014. Act No. 27 of 2009 (Act MD3 2009) locates the position of DPD is not equivalent to the President or the DPR in the formation of legislation. The Constitutional Court decision No. 92 / PUU-X / 2012 has changed his position and authority of the DPD in the formation of the legislation is to formulate that DPD is involved since the submission stage of the legislation before it is taken up by mutual agreement by the Parliament and the President. Formation of Law No. 17 of 2014 (Act MD3 2014) that are not based on the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 resulted in obscurity authority of the DPD in the formation of legislation. Thus, the filing of formal review and substantive review of the Act MD3 2014 which gave birth to the decision of the Court number 79 / PUU-XII / 2014, proving that the Act MD3 2014 are not formed under the direction of the Constitutional Court decision number 92 / PUU-X / 2012 as set back the has been declared unconstitutional by the Constitutional Court in Constitutional Court Decision No. 92 / PUU-X / 2012. Moreover, there are several other rules on MD3 Act 2014 contrary to the decision of the Constitutional Court Number 92 / PUU-X / 2012 that should have been declared unconstitutional by the Constitutional Court conditional on Court Decision number 79 / PUU-XII / 2014."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nur Syamsiati D.
"Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 24 ayat (2a) perubahan ketiga UUD 1945, kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dari empat kewenangan Mahkamah Konstitusi, salah satunya adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Kewenangan pengujian undang-undang terhadap konstitusi yang dimiliki Mahkamah Konstitusi merupakan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Sebagaimana hukum acara pada umumnya, hukum acara pengujian undang-undang pada Mahkamah Konstitusi memiliki proses-proses yang harus dilalui. Dari sekian proses tersebut, pengujian mengenai kedudukan hukum (legal standing) dari Pemohon, merupakan tahapan yang paling penting untuk dapat beracara di Mahkamah Konstitusi.
Dalam praktik, hakim Mahkamah Konstitusi menerapkan dua persyaratan yang harus dipenuhi pemohon agar memiliki legal standing, yaitu harus menyatakan termasuk empat kualifikasi Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UUMK< kemudian menjelaskan bahwa Pemohon memiliki hak konstitusional yang diberikan UUD 1945, hak konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya undang-undang, kerugian tersebut harus spesifik aktual maupun potensial, adanya hubungan kausalitas antara kerugian dengan berlakunya undang-undang, dan kemungkinan dengan dikabulkannya permohonan tersebut kerugian tidak akan terjadi lagi.
Dalam penulisan skripsi ini penulis juga membahas hal yang masih terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang yaitu dalam mengenai ketiadaan norma sebagai obyek pengujian dalam Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dalam hukum acara di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 51 ayat (3) huruf b UUMK, mewajibkan pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 untuk menguraikan dengan jelas materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang- undang yang dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945. Dalam dalam praktek, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan perkara pengujian undang-undang dalam hal ketiadaan norma. Hal tersebut mungkin saja terjadi karena pembentukan UUMK sendiri dilakukan sangat singkat dan cakupan masalah yang dirumuskan dalam kaidah-kaidah yang dikandungnya masih sangat sederhana. Sehingga Mahkamah Konstitusi berusaha mengatur masalah-masalah yang dihadapi dalam praktek dengan membentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi.

Based on the provisions in Article 24, paragraph (2a) changes the third of the 1945 Constitution, judicial power is held by a Supreme Court (MA) and the judicial body that is located underneath the environment in general, the religious environment, the military environment, the environment administration of justice, and by a Constitutional Court. Four of the authority of the Constitution Court, one of which is to test the laws of the 1945 Constitution. The authority of the laws of the constitution of the Constitutional Court is the protection of constitutional rights of citizens. As the law in general, the law of the law on the Constitutional Court have the processes that must be passed. Of the process, the position of the law (legal standing) from the applicant, is the most important stages to be able to be in session in the Constitutional Court.
In practice, the judge Constitutional Court to apply the two requirements that must be fulfilled so that the applicant has legal standing, the claim must include the four applicant qualifications as specified in Article 51, paragraph (1) UUMK then explained that the applicant has a constitutional right given to the 1945 Constitution, constitutional rights are disadvantaged by the introduction of the law, damages must be specific and actual potential, the relationship between loss causalities with the introduction of laws, and possibly with the application to be granted loss will not occur again.
In writing this essay author also discusses the things that are related to the Constitutional Court the authority to test the law in the absence of norms as a test object in the Constitutional Court as the law in the Constitutional Court in the event. Based on the provisions in article 51 paragraph (3) letter b UUMK, require the applicant in the application of laws against the 1945 Constitution to construe the clear material in the cargo clause, article, and/or part of the law deems contrary to the 1945 Constitution.
In practice, the Constitution Court grant the application of the law in the absence of norms. This may happen because the establishment of their own UUMK is very short and the scope of the problem formulated in the convention to be contain the rule is very simple. So that the Constitutional Court seeks to set up the problems faced in practice with the Constitutional Court Rules form. Keywords: Constitutional Court, Legal Standing, Object Testing."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S22591
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dio Ekie Ramanda
"Pelibatan partisipasi masyarkat dalam pembentukan undang-undang masih menjadi sekedar pemenuhan formil belaka. Partisipasi masyarakat belum benar-benar dimaknai sebagai sesuatu yang harus didengarkan dan dipertimbangkan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja kemudian melakukan suatu penemuan hukum baru. bahwasannya pemaknaan partisipasi harus dimaknai sebagai hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard),hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered) dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Sehingga penting untuk merumuskan suatu kebijakan yang tepat untuk menghadirkan partisipasi yang bermakna dalam pembentukan undang-undang. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penjabaran dari amanah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dilakukan dengan menghadirkan partisipasi publik di semua tahapan. Mulai dari tahapan perencanaan, tahapan penyusunan, tahapan pembahasan dan tahapan pengesahan serta penetapan undang-undang. Pelibatan masyarakat dalam setiap tahapan tersebut tentunya tetap berada pada jalur yang telah ditetapkan UUD 1945. Artinya sistem yang akan dibangun dalam desain keterlibatan yang bermakna adalah memungkinkan setiap tahapan yang dilakukan pada pos-pos lembaga pembentuk undang-undang, memberikan legal standing bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan masukan tersebut dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab

The involvement of the community's participation in the formation of laws is still a mere fulfillment for miles. Community participation has not really been interpreted as something that must be listened to and considered. Decision of the Constitutional Court Number 91/PUU-XVIII/2020 regarding the review of the law form no. 11 of 2020 concerning Job Creation and then made a new legal discovery. that the meaning of participation must be interpreted as the right to have one's opinion heard (the right to be heard), the right to have his/her opinion considered (the right to be considered) and the right to get an explanation or answer to the opinion given (the right to be explained). So it is important to formulate an appropriate policy to bring about meaningful participation in the formation of laws. The results of this study indicate that the elaboration of the mandate of the Constitutional Court's decision can be carried out by presenting public participation at all stages. Starting from the planning stage, drafting stage, discussion stage and the stage of ratification and stipulation of laws. Community involvement in each of these stages of course remains on the path that has been determined by the 1945 Constitution. That is, the system to be built in a meaningful involvement design is to allow every stage carried out at the posts of law-making institutions to provide legal standing for the community to provide input and input is considered seriously and with full responsibility"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>