Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6341 dokumen yang sesuai dengan query
cover
A. Jauhar Fuad
"Nydran is the heritage of hindu, nowadays it has transformed after islam spread in java. This transformation produced local tradition without the Islamic dogma and local tradition. The tradition has religious meaning concering with thanksgiving performance to Allah and wishing Allah SWT will receive the best from their ancient people or family. Nyadran is one of media for them to hope the safety life and welfare even it can illuminate the cultural transformation among them."
Tulungagung: Lembaga penelitian, pengabdian dan penerbitan ( LP3M) STAIN Tulungagung, 2013
JDP 13:2 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ernawati Purwaningsih
"Upacara nyadran Tuk Tempurung di Dusun Liangan, Temanggung merupakan tradisi yang selalu dijaga oleh masyarakat pendukungnya. Tradisi tersebut terus diwariskan secara turun temurun. Namun, semenjak ditemukannya Situs Liangan yang lokasinya di Dusun Liangan, pada tahun 2008, penyelenggaraan upacara tradisi tersebut mengalami perubahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perubahan penyelenggaraan nyadran Tuk Tempurung dan fungsinya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelenggaraan nyadran Tuk Tempurung mengalami perubahan baik dalam hal penyelenggaraan maupun fungsinya. Upacara nyadran Tuk Tempurung yang semula diselenggarakan secara perorangan dan sederhana, setelah ditemukannya Situs Liangan diselenggarakan secara kolektif. Penyelenggaraan nyadran dikemas lebih meriah. Nyadran Tuk Tempurung mengalami perubahan fungsi, yang semula sakral menjadi profan, artinya kepentingan menjadikan upacara tersebut sebagai daya tarik wisata menjadi lebih menonjol daripada esensi dari penyelenggaraan tradisi nyadran Tuk Tempurung."
Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2017
959 PATRA 18:3 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Irmawati Marwoto Johan
"Kedatangan Islam di Nusantara pada awal abad ke 7 hingga terbentuknya kerajaan Islam pertama pada awal abad ke 13 telah menghasilkan tinggalan budaya yang amat kaya. Para ahli sepakat bahwa Islam datang dan berkembang melalui jalur perdagangan sehingga pada awalnya terbentuklah koloni-koloni perdagangan muslim di berbagai tempat di kota-kota pelabuhan, sebagaimana dicatat dalam berita Cina pada tahun 674, yang menyebutkan Palembang sebagai. salah satu koloni muslim.
Peninggalan yang berarti tentang adanya masyarakat muslim adalah sebuah situs di Leran yang menyimpan sebuah nisan dari seorang wanita muslim yang berangka tahun 1082 Masehi dan bukti lainnya adalah yang terdapat di situs Kota Gina (Sumatera Utara) dan kota Barus yang diperkirakan memiliki temuan-temuan keramik yang berangka thhun dari abad 10 sampai abad 12 Masehi.
Kemunduran dari kerajaan-kerajaan Indonesia Hindu diduga merupakan salah satu faktor berkembangnya Islam di bumi Nusantara, sehingga kemudian jalur perdagangan berpindah ditangan para pedagang Islam. Pantai utara Jawa adalah jalur perdagangan yang banyak dikunjungi para pedagang sejak lama, sehingga di wilayah ini banyak sekali ditemukan situs-situs dari masa Islam. Berbagai penelitian telah banyak dilakukan oleh para ahli ,namun sangat sedikit yang mempersoalkan seni dekoratif yang dihasilkan kebudayaan islam di Nusantara. Sehingga perlu kiranya dilakukan penelitian ke arah ini.
Seperti apakah bentuk-bentuk dekoratif yang menandai masa Islam. Berbagai pernyataan telah disampaikan para ahli mengenai fungsi dan makna dekoratif pada tinggalan budaya Islam di dunia, seperti Faruqi yang menyatakan bahwa fungsi dari ornamen Islam adalah untuk mengingatkan manusia akan ke Esaan Tuhan, sehingga bentuk-bentuk yang dihasilkan adalah ornamen-ornamen yang penuh dengan abstraksi. Jabar Beg menggaris bawahi bahwa pusat daya normatif seni kaum muslim adalah Islam itu sendiri dan agama Islam tidak menggariskan bentuk-bentuk seni tertentu, tetapi sekedar memberi pagar lapangan ekspresi.
Para ahli berkebangsaan Asing yang melakukan penelitian tentang Islam di Nusantara banyak yang mengajukan pendapatnya bahwa Islam di Indonesia tidak menghasilkan apapun baik peninggalan berupa monumen maupun kemajuan dalam bentuk yang lain. Berbagai aspek dipandangnya sebagai semata-mata kelanjutan dari budaya masa Indonesia-Hindhu. Tentu saja hal ini sangat ditentang oleh para ahli Islam, seperti yang dilakukan Naguib Al- attas.
Dari penelitian yang saya lakukan terhadap situs Demak dan Kudus di pesisir utara Jawa memperlihatkan bahwa memang masih banyak ornamen yang dipakai pada masa Islam yang merupakan kelanjutan dari masa Indonesia -Hindu yaitu seperti ornamen bunga lotus, sulur-suluran, motif sinar Majapahit dan bentuk-bentuk makara yang telah distilir. Namun demikian , hasil penelitian ini masih harus dipertimbangkan lebih lanjut karena bila memperhatikan beberapa situs lainnya seperti Cirebon, Mantingan dll kita akan menemukan berbagai ornamen yang sangat dekat kaidah-kaidahnya dengan kaidah ornamen Islam.
Selain ornamen yang disebut di atas ternyata, juga diperoleh kaligrafi Islam dan berbagai bentuk perbingkaian yang sangat banyak dipakai sebagai ornamen pada kedua Situs ini. Hal ini sangat menarik dan dapat saya anggap sebagai salah satu ekspresi seniman Islam di tempat ini yang tampaknya dengan sadar membatasi diri dari keinginannya untuk mengisi bingkai-bingkai dengan hiasan-hiasan mahluk hidup seperti yang umumnya ditemukan pada bangunan candi-candi. Lebih lanjut sangat menarik untuk melihat kasus ini pada menara Kudus yang oleh banyak sarjana Belanda di anggap sebagai sisa peninggalan dari masa Indonesia-Hindhu karena bentuknya yang sangat menyerupai candi. Namun bila kita lihat seluruh ornamen yang ada hanyalah bingkai-bingkai yang polos kadang-kadang diberi hiasan keramik Cina, tentu sangat berbeda dengan kebiasaan tradisi seni Hindu. Ada hal yang sangat disukai oleh para seniman di kedua situs ini adalah menempelkan keramik Cina, Pada tembok mesjid Agung Demak ada keramik cina yang selain menggambarkan bunga-bunga terutama lotus juga banyak dijumpai penggambaran binatang seperti , anjing yang berada di atas awan, burung merak dll. Bila dilihat dari bentuk mesjid kuno, maka kehadiran keramik cina pada dinding-dinding tembok mungkin merupakan tambahan yang kemudian.
Walaupun demikian dari hasil penelitian ini sangat terasa bahwa ornamen mahluk hidup sangat dibatasi dan hal ini mengingatkan kita akan larangan dari para ulama Islam untuk menggambarkan mahluk hidup apalagi di dalam bangunan mesjid. Fungsi dari ornamen tampaknya lebih pada penanda bagian-bagian penting dari bangunan.
Dalam penelitian ini dilakukan beberapa tahapan penelitian yaitu tahap pertama pengumpulan data dan selanjutnya dilakukan analisis dan interpretasi data. Pada tahap pengumpulan data dilakukan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Pada penelitian lapangan dilakukan pendataan berbagai bentuk omamen dengan cara membuat foto dan gambar. Pada tahap analisis dilakukan pemilahan atas dasar variabei-variabel tertentu terutama aspek bentuk serta ketetakan. Pada tahap interpretasi dipakai analog' yang dapat dipakai untuk mengungkapkan keberadaan suatu gejala-gejala tertentu."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1996
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Lalitya Nada Tamaranny
"Sejak kurang lebih 3000 tahun yang lalu, muncul sebuah budaya pernikahan unik di Cina, yaitu pernikahan roh atau yang dikenal dengan sebutan Ming Hun (冥婚). Pada awalnya budaya ini memiliki makna dan esensi yang baik, yaitu harapan agar orang yang meninggal sebelum menikah bisa memiliki pasangan sehingga rohnya tenang di alam sana. Namun, di zaman modern seperti sekarang, karena pemikiran masyarakat yang sudah modern sehingga sudah tidak banyak yang mempercayai budaya Ming Hun. Pada akhirnya, budaya tersebut mengalami pergeseran makna dan komodifikasi, karena bagi beberapa masyarakat yang masih mempercayai dan menjalankan budaya tersebut kesulitan untuk mendapatkan jenazah baru yang akhirnya dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang melakukan praktik jual-beli jenazah hingga timbul kriminalitas pencurian jenazah di Cina. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pemaparan deskriptif secara menyeluruh melalui tulisan terdahulu dan berita untuk mengetahui pergeseran makna serta komodifikasi budaya Ming Hun di Cina pada zaman modern.

Since approximately 3000 years ago, a unique marriage culture emerged in China, namely spirit marriage or known as Ming Hun (冥婚). At first this culture had a good meaning and essence, namely the hope that people who died before married could have a partner so that their spirit was calm in the spirit world. However, in modern times like nowadays, due to modern people's thinking, not many people believe in Ming Hun culture. In the end, the culture experienced a shift in meaning and commodification, because for some people who still believe in and practice this culture, it is difficult to get new bodies which are eventually used by people who carry out the practice of buying and selling corpses so that the crime of theft of bodies in China arises. This study uses a qualitative method with comprehensive descriptive exposure through previous writings and news to find out the shift in meaning and commodification of Ming Hun culture in China in modern times."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ernawati Purwaningsih
Yogyakarta: BPNB DI Yogyakarta, 2016
306.598 ERN k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sainul Hermawan, 1973-
"Selama ini balamut hanya dilihat sebagai tradisi untuk menghibur, menunaikan nadar dan pengobatan. Penelitian ini berupaya mengisi rumpang tersebut dengan mengkaji bahwa di balik ketiga praktik tersebut ada beragam bentuk resistensi baik yang bersifat individual maupun kolektif terhadap momentum kekuasaan yang ada dalam setiap pertunjukannya. Kemungkinan adanya praktik resistensi ini terabaikan dalam kajian terdahulu karena tradisi balamut cenderung dilihat sebagai sastra lisan dan mendekatinya seperti membaca sastra tulis atau cetak untuk mengidentifikasi makna dan nilai dengan menganalisis unsur-unsur intrinsiknya. Pendekatan tersebut mengabaikan peran penting palamutan dan audiens sebagai faktor pembentuk makna. Oleh karena itu, penelitian ini mendekati tradisi balamut dengan teori dan metode yang disediakan oleh etnografi, tradisi lisan, pertunjukan, dan ritual untuk mengkaji kemungkinan adanya praktik resistensi.Resistensi yang dilakukan palamutan termasuk jenis resistensi individual nirkekerasan yang dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol budaya baik di ranah publik maupun domestik untuk melawan sekaligus membela tradisinya, merespons politik identitas dan mengeritik kondisi sosial kontemporer yang dihadapinya. Dinamika inilah yang membuat tradisi ini tetap bertahan.Dengan melihat tradisi balamut sebagai praktik resistensi berarti menempatkan palamutan sebagai pelaku tradisi yang memiliki kesadaran sosial dan ideologis. Ia bukan sekadar pelaku yang mentransmisikan tradisi secara pasif tetapi ikut menciptakan kembali tradisi tersebut secara aktif dan kreatif.

So far balamut oral tradition in Banjarmasin, South Kalimantan, has been seen only as a tradition to entertain, to perform nadar and treatment. This study attempts to fill these gaps by examining that behind the such three practices there are various forms of resistance to the momentum of the powers individually and collectively in every moment of its performance. The possibility of this resistance practices was overlooked in previous studies because balamut tradition tends to be seen as oral literature and approached as printed literature to identify its meaning and values by analyzing its intrinsic elements. Such approach ignores the important role of palamutan the storyteller of the tale of Lamut and audience as the determining factors of meaning. Therefore, this research approaches balamut tradition in the framework of theories and methods provided by ethnography, oral traditions, performance, and ritual practices to assess the possibility of resistance.Resistance that is conducted by palamutan the storyteller of Lamut Story is a kind of nonviolent individual resistance using cultural symbols both in the public and domestic spheres to fight as well as defend its traditions, respond to politics of identity and criticize the contemporary social conditions he faces. Such cultural dynamic makes this tradition survive.By looking at balamut tradition as a practice of resistance means to place palamutan as a social actor who has social and ideological awareness. He is not just actor who transmits his tradition passively but go on recreating the tradition actively and creatively."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
D2322
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tusani Nurul Yanastuti
"Skripsi ini membahas mengenai makna simbolik serta aspek-aspek religi yang terkandung dalam upacara nebus kembar mayang. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif interpretatif, dengan menggunakan teori interpretasi (Jan van Luxemburg), pengetahuan sistem kode bahasa, sastra, dan budaya (A. Teeuw), serta mengaplikasikan konsepsi simbolik (Suwaji Bastomi). Hasil dari penelitian ini, ditemukan sembilan unsur yang mengandung nilai moral dan spiritual religiusitas. Aspek-aspek religiusitas yang terdapat dalam upacara nebus kembar mayang kemudian dianalisis secara deskriptif interpretatif, yaitu aspek laku, sasmita, wahyu, rasa, dan sangkan paraning dumadi. Kelima aspek religi dalam upacara nebus kembar mayang merupakan tahapan untuk mencapai kemanunggalan atau kesempurnaan hidup (kasampurnan dumadi).

The Focus of this study is about the meaning of the symbolic and religious aspects contained in nebus kembar mayang ceremony. This research using interpretative descriptive methods, using the theory of interpretation (Jan van Luxemburg), the knowledge system of code language, literature, and culture (Teeuw), and applying the conception of the symbolic (Suwaji Bastomi). Results from this study, found nine elements that contain a moral and spiritual values of religiosity. Aspects of religiosity inherent in nebus kembar mayang ceremony and then analyzed by descriptive interpretative, is the aspect laku, sasmita, wahyu, rasa, and sangkan paraning dumadi. The fifth aspect of religion in the ceremony nebus kembar mayang is a stage to achieve unity or perfection of life (kasampurnan dumadi)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S11486
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Silberg, Richard
New York: Harcourt, Brace & World, 1967
301.24 SIL d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Graciella Clarissa Ekaputri
" ABSTRAK
Di Indonesia terdapat banyak keterbatasan berpromosi yang harus dihadapi oleh produk produk kontroversial dan tabu atau yang biasa disebut sebagai produk ldquo unmentionables rdquo Salah satu dari produk tersebut adalah tampon sebuah produk kebersihan wanita female hygiene products yang dinilai lebih higienis daripada pembalut biasa Terdapat pernyataan yang mengatakan bahwa perempuan Indonesia termasuk di Jakarta memiliki minat yang sangat rendah terhadap produk tersebut Menarik untuk dikaji lebih dalam apakah keterbatasan promosi produk tampon di Indonesia disebabkan oleh rendahnya minat perempuan Indonesia dan apakah subjective culture turut berperan dalam pembentukan minat tersebut Analisis penulis terhadap empat informan menunjukkan bahwa tidak semua elemen dari subjetice culture berpengaruh namun hanya elemen agama linguistik nasional dan grup saja

ABSTRACT
In Indonesia there are many limits to be faced for promoting controversial and taboo products or commonly called as the ldquo unmentionables rdquo One of these products are tampons which is a female hygiene product which is more hygienic than sanitary pads There is a statement saying that Indonesian women including those in Jakarta have a very low interest in tampons It is interesting to learn more about whether these limitations on the promotion of tampons in Indonesia are caused by Indonesian women rsquo s lack of interest and whether subjective culture affects their level of interest Writer rsquo s analysis on four informants showed that not every element of subjective culture affects but only in religious linguistic national and group elements "
[, ], 2014
MK-PDF
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>