Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11153 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, berdasarkan konstitusi Presiden diberikan hak untuk menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (yang sering disingkat dengan Perppu). Pada saat bersamaan, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Perppu diposisikan sederajat atau sejajar dengan undang-undang. Oleh karena itu, maka penerbitan dan pelaksanaan Perppu harus diawasi secara ketat oleh DPR melalui mekanisme persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam konstitusi. Namun demikian, dalam prakteknya tidak jarang ditemui deviasi atau penyimpangan terhadap pelaksanaan mekanisme konstitusional Perppu ini. Di antaranya adalah mengenai inkonsistensi pelaksanaan waktu atau masa pengajuan Perppu tersebut kepada DPR untuk disetujui atau ditolaknya Perppu. Di samping itu, mengenai status hukum Perpu pada saat Perppu tersebut ditolak oleh DPR secara yuridis formal juga menimbulkan persoalan. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka sudah selayaknya Perppu dapat dijadikan objek pengujian Mahkamah Konstitusi demi tegaknya konstitusi dan prinsip negara hukum di Indonesia"
JLI 8:1 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
Jakarta: Yasrif Watampone, 2005
347.012 JIM h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tigor Einstein
"

Sejak tahun 2009 hingga tahun 2018, terdapat 21 Permohonan Pengujian Perppu yang pernah  diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun, tidak ada satupun  yang diuji secara substantif.  Dengan kata lain, selama ini  tidak pernah ada permohonan yang dikabulkan atau ditolak oleh MK. Hal ini boleh jadi disebabkan oleh adanya kewenangan konstitusional yang dimiliki DPR sebagaimana ketentuan Pasal 22 UUD 1945 untuk menyetujui atau tidaknya suatu Perppu menjadi undang-undang. Penelitian ini  adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan tipologi penelitian preskriptif dan menggunakan data sekunder  serta  merujuk peraturan perundang-undangan,  yang mana dari penelitian ini, telah diketahui bahwa pengaturan mengenai pengujian terhadap Perppu baru muncul setelah adanya amandemen terhadap UUD 1945, tepatnya setelah adanya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000. Menurut Ketetapan MPR tersebut, pengujian Perppu dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). Namun  sejak tahun 2000 hingga tahun 2009, setelah MK terbentuk, baik MK maupun MA belum pernah melakukan pengujian terhadap Perppu. Baru sejak  tahun 2009, MK mulai melakukan pengujian terhadap Perppu dan menghasilkan  Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 putusan mana selanjutnya menjadi “pintu masuk” untuk melakukan pengujian-pengujian  Perppu berikutnya meskipun sesungguhnya hanya akan sia-sia jika DPR ternyata menentukan sebaliknya. Jika bangsa ini sungguh-sungguh menghendaki MK memiliki kewenangan untuk menguji Perppu, maka kewenangan konstitusional yang dimiliki DPR tersebut  mau tidak mau harus dihapuskan. Selanjutnya, untuk meneguhkan adanya kewenangan MK tersebut, tentunya harus diberikan berdasarkan UUD.

 

Kata Kunci:

Judicial Review Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Mahkamah Konstitusi; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.


Since 2009 until 2018, there are 21 applications for testing the Perppu that have been submitted to the Constitutional Court (MK), however, none of them have been substantively tested. In other words, so far there has never been a request that was granted or rejected by the Constitutional Court. This may be due to the existence of constitutional authority owned by the DPR as stipulated in Article 22 of the 1945 Constitution to approve or not a Perppu to become a law. This research is a normative legal research using prescriptive research typology and using secondary data and referring to laws and regulations, which from this research, it is known that the regulation regarding the reviewing of Perppu only appeared after the amendments to the UUD 1945, precisely after the MPR Decree Number III / MPR / 2000. According to the MPR Decree, the Perppu review was conducted by the Supreme Court (MA). However, from 2000 to 2009, after the Constitutional Court was formed, both the Constitutional Court and the Supreme Court have never reviewed Perppu. It was only since 2009 that the Constitutional Court began to reviewing  Perppu and resulted in the verdict of The Constitutional Court Number 138 / PUU-VII / 2009 which subsequently became the "entrance" to conduct subsequent Perppu reveiew even though it would only be in vain if the DPR turned out to determine otherwise. If this nation truly wants the Constitutional Court to have the authority to review Perppu, then the constitutional authority possessed by the DPR must inevitably be eliminated. Furthermore, to confirm the existence of the Constitutional Court's authority, of course it must be given based on the Constitution.

"
2019
T53598
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afrizal
"Paska amandemen konstitusi Indonesia, DPR periode 1999-2004 memiliki otoritas yang besar dalam proses penyusunan UU. Namun, UU yang dihasilkan DPR masih saja memunculkan kontroversi, ketidakpuasan, menuai protes dan berbagai bentuk resistensi lainnya dari masyarakat, seperti yang diperlihatkan dalam kasus UU Yayasan dan UU Penyiaran. UU Yayasan memunculkan ketidakpuasan di kalangan komunitas yang selama ini aktif dalam pengelolaan berbagai macam kegiatan dengan menggunakan instrumen organisasi berbentuk yayasan, seperti LSM, yayasan-yayasan pendidikan, dan sebagainya. Selain itu UU yang baru saja disahkan tersebut saat ini sedang dalam proses revisi. UU Penyiaran juga menuai ketidakpuasan, terutama dari para pengelola televisi swasta. Saat ini mereka sedang melakukan judicial review atas UU tersebut.
Ketika penyusunan sebuah UU, partisipasi publik merupakan aspek penting dalam proses penyusunan UU. Pembahasan tentang partisipasi publik berkaitan erat dengan relasi masyarakat dengan negara (sate-society relation) dalam pembentukan kebijakan yang akan dikeluarkan negara untuk mengatur warganya. Ada dua cara pandang untuk menjelaskan tentang partisipasi publik. Pertama, karena masyarakat sudah memberikan mandatnya kepada negara, mnka pembentukan kebijakan publik sepenuhnya diserahkan kepada negara. Peran atau partisipasi masyarakat hanya dibutuhkan pada saat memilih orang-orang yang akan menduduki berbagai jabatan di lembaga negara, misalnya melalui pemilihan umum. Kedua, sekalipun telah memberikan mandatnya kepada negara, masyarakat tetap memiliki hak untuk terlibat dalam pembentukan kebijakan yang akan dikeluarkan negara. Peran masyarakat, secara urnum, dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, negara menjamin tersedianya ruang-ruang partisipasi yang luas bagi masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan. Kedua, negara bekerjasama dengan masyarakat dalam seluruh proses penyusunan kebijakan.
Dalam konteks penyusunan UU di DPR, ada dua hal yang akan menentukan hasil akhir dari RUU yang sedang dibahas, yaitu artikulasi berbagai kepentingan oleh DPR dan partisipasi masyarakat dalam penyusunan UU tersebut. DPR diberikan ruang-ruang untuk mengartikulasikan berbagai kepentingani itu. Bentuknya berupa hak yang diberikan kepada anggota DPR dalam berbagai rapat pembahasan RUU, seperti hak ikut serta, hak berbicara, dan hak dalam pengambilan keputusan. Di luar itu, DPR juga dapat membentuk berbagai ruang artikulasi informal, seperti lobi, yang keberadaannya tergantung pada kreatifitas mereka untuk membentuknya.
Masyarakat juga memiliki kesempatan untuk terlibat dalam penyusunan UU melalui berbagai ruang partisipasi yang tersedia. Dalam proses formal penyusunan UU, ruang partisipasi yang tersedia adalah Rapat Dengar Pendapat Umum dan sosialisasi RUU. Sementara itu, masyarakat memiliki kesempatan untuk membentuk berbagai ruang partisipasi informal, tergantung pada kemampuan mereka untuk melakukannya.
Mengacu pada pembahasan RUU Yayasan dan RUU Penyiaran, DPR belum optimal menggunakan ruang-ruang artikulasi yang tersedia. Rendahnya tingkat kehadiran dan keaktifan dalam Rapat Paripurna, Rapat Pansus, dan Raker, adalah indikator tidak digunakannya secara optimal ruang-ruang artikulasi yang tersedia. DPR juga tidak memiliki kreatifitas untuk membentuk ruang-ruang artikulasi informal. Dalam tataran informal ini, hanya lobi yang dijadikan sebagai ruang artikulasi andalan. Penggunaan ruang-ruang artikulasi yang tidak optimal ini tidak terlepas dari berbagai persoalan internal maupun eksternal yang dihadapi DPR, seperti jumlah anggota Pansus yang terlalu banyak dan bidang kerjanya yang terlalu luas, ketiadaan sanksi bagi anggota DPR yang tidak hadir dalam berbagai rapat pembahasan RUU, dukungan staf DPR yang tidak memadai, dominasi fraksi dalam setiap rapat pembahasan RUU, dan sebagainya.
Kecuali dalam kasus RUU Penyiaran, masyarakat juga belum optimal dalam menggunakan ruang-ruang partisipasi yang tersedia. Masyarakat tidak memiliki inisiatif untuk memanfaatkan ruang partispasi yang ada. Dan tidak kreatif untuk menciptakan berbagai bentuk ruang partisipasi informal. Pengetahuan yang tidak memadai tentang mekanisme penyusunan UU di DPR dan dinamika yang mengiringinya, penguasaan yang lemah terhadap substansi RUU dan bentuk-bentuk lobi, sedikitnya dana yang tersedia, selain juga ruang partisipasi di DPR yang sempit, adalah beberapa hal yang sering menghambat masyarakat untuk menggunakan ruang-ruang partisipasi secara optimal.
Sinergi dalam penggunaan ruang-ruang di atas antara DPR dan masyarakat juga tidak terjadi, kecuali dalam kasus RUU Penyiaran. Kesediaan untuk bermitra di antara mereka adalah hambatan paling besar dalam membangun sinergi ini.
Kondisi di atas tentu saja berdampak pada UU yang dihasilkan DPR. Penggunaan ruang artikulasi yang rendah menyebabkan pembahasan UU menjadi tidak matang, terbukti dengan direvisinya UU Yayasan, sekalipun UU tersebut tetap sah secara formal prosedural. Sedangkan tidak optimalnya penggunaan ruang partisipasi berakibat pada lemahnya legitimasi UU yang dihasilkan DPR yang seringkali berujung pada ketidakpuasan atau penolakan masyarakat terhadap UU tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12084
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sakti Lazuardi
"Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang terdiri dari sumber bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder dan sumber bahan hukum tersier. Hal yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah sistematika kekuasaan yudisial dan kaitannya dengan indepedensi kekuasaan kehakiman ? dan bagaimana pengawasan hakim konstitusi pasca Judicial Review UU KY ? Salah satu unsur utama negara hukum adalah Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak. Hal ini membawa konswekensi tidak diperbolehkannya intervensi dalam bentuk apapun terhadap kekuasaan kehakiman yang terkait dengan kewenangan yudisial dari hakim yaitu memeriksa, memutus perkara dan membuat suatu ketetapan hukum. Namun dampak dari indepedensi hakim tersebut maka perlu diciptakan sistem pengawasan yang menyeluruh yaitu pengawasan internal dan eksternal. Pengawasan internal dilakukan oleh kalangan hakim sendiri dan pengawasan eksternal dilakukan oleh kalangan di luar hakim dalam hal ini Komisi Yudisial. Dalam hal ini hakim konstitusi, maka hakim konstitusi harus mendapatkan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial. Hal ini tercantum di dalam Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945 hasil perubahan dan di tegaskan di dalam UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Namun pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 Komisi Yudisial kehilangan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap hakim konstitusi karena Mahkamah Konstitusi menilai pengaturan mengenai pengawasan hakim konstitusi di dalam UU No.22 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu demi menjaga imparsialitas dari para hakim konstitusi, Mahkamah Konstitusi menyatakan kalau hakim konstitusi tidak dapat diawasi oleh lembaga negara lain. Padahal kebebasan yang tidak diiringi oleh akuntabiltas sangat berpotensi untuk melahirkan korupsi yudisial. Oleh karenanya mewujudkan indepedensi kekuasaan kehakiman serta peradilan yang bebas dan tidak memihak, perlu diadakan pengawasan hakim konstitusi oleh Komisi Yudisial.

Abstract
The method used in this study is a juridicial normative method with a secondary data that consist of primary, secondary, and tertiary law's source. A things that being a problem in this study is how is a systematic of judicial power and its relation with independence of judiciary power. And how is a supervision of constitusional judge post Judicial Review Undang-Undang Komisi Yudisial? One of the main element in state law is a justice that independent and impartial. This point creates a consequence about prohibition to do an intervention in any form against judiciary power that has a relation with judicial authority of judge, namely checking, deciding upon, and making a legislation. However, because of there's an impact of the independence of judge, it have to created a comprehensive supervision system, namely internal and external supervision. An internal supervision is done by among judge themselves and external supervision is done by circle outside of judges, namely Komisi Yudisial. In this case, constitutional judges must get an external supervision by Komisi Yudisial. It listed in Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 results of change and it confirmed in UU No. 22 Tahun 2004 about Komisi Yudisial. However, post-verdict of Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, Komisi Yudisial has lost an authority to do supervision against constitution judges. It happened because Mahkamah Konstitusi assessed that an adjustment about a supervision of constitutional judges in UU No. 22 Tahun 2004 is contradicted with UUD 1945. Moreover, to guarding an impartiality of constitutional judges, Mahkamah Konstitusi was declare that they can not be supervised by other state board. Whereas a freedom that not accompanied an accountability is potentially to create a judicial corruption. Because of this, to realize an independence of judicial power and an independent and impartial justice, it have to held a supervision of constitutional judges by Komisi Yudisial."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S445
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Syamsiati D.
"Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 24 ayat (2a) perubahan ketiga UUD 1945, kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dari empat kewenangan Mahkamah Konstitusi, salah satunya adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Kewenangan pengujian undang-undang terhadap konstitusi yang dimiliki Mahkamah Konstitusi merupakan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Sebagaimana hukum acara pada umumnya, hukum acara pengujian undang-undang pada Mahkamah Konstitusi memiliki proses-proses yang harus dilalui. Dari sekian proses tersebut, pengujian mengenai kedudukan hukum (legal standing) dari Pemohon, merupakan tahapan yang paling penting untuk dapat beracara di Mahkamah Konstitusi.
Dalam praktik, hakim Mahkamah Konstitusi menerapkan dua persyaratan yang harus dipenuhi pemohon agar memiliki legal standing, yaitu harus menyatakan termasuk empat kualifikasi Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UUMK< kemudian menjelaskan bahwa Pemohon memiliki hak konstitusional yang diberikan UUD 1945, hak konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya undang-undang, kerugian tersebut harus spesifik aktual maupun potensial, adanya hubungan kausalitas antara kerugian dengan berlakunya undang-undang, dan kemungkinan dengan dikabulkannya permohonan tersebut kerugian tidak akan terjadi lagi.
Dalam penulisan skripsi ini penulis juga membahas hal yang masih terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang yaitu dalam mengenai ketiadaan norma sebagai obyek pengujian dalam Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dalam hukum acara di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 51 ayat (3) huruf b UUMK, mewajibkan pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 untuk menguraikan dengan jelas materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang- undang yang dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945. Dalam dalam praktek, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan perkara pengujian undang-undang dalam hal ketiadaan norma. Hal tersebut mungkin saja terjadi karena pembentukan UUMK sendiri dilakukan sangat singkat dan cakupan masalah yang dirumuskan dalam kaidah-kaidah yang dikandungnya masih sangat sederhana. Sehingga Mahkamah Konstitusi berusaha mengatur masalah-masalah yang dihadapi dalam praktek dengan membentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi.

Based on the provisions in Article 24, paragraph (2a) changes the third of the 1945 Constitution, judicial power is held by a Supreme Court (MA) and the judicial body that is located underneath the environment in general, the religious environment, the military environment, the environment administration of justice, and by a Constitutional Court. Four of the authority of the Constitution Court, one of which is to test the laws of the 1945 Constitution. The authority of the laws of the constitution of the Constitutional Court is the protection of constitutional rights of citizens. As the law in general, the law of the law on the Constitutional Court have the processes that must be passed. Of the process, the position of the law (legal standing) from the applicant, is the most important stages to be able to be in session in the Constitutional Court.
In practice, the judge Constitutional Court to apply the two requirements that must be fulfilled so that the applicant has legal standing, the claim must include the four applicant qualifications as specified in Article 51, paragraph (1) UUMK then explained that the applicant has a constitutional right given to the 1945 Constitution, constitutional rights are disadvantaged by the introduction of the law, damages must be specific and actual potential, the relationship between loss causalities with the introduction of laws, and possibly with the application to be granted loss will not occur again.
In writing this essay author also discusses the things that are related to the Constitutional Court the authority to test the law in the absence of norms as a test object in the Constitutional Court as the law in the Constitutional Court in the event. Based on the provisions in article 51 paragraph (3) letter b UUMK, require the applicant in the application of laws against the 1945 Constitution to construe the clear material in the cargo clause, article, and/or part of the law deems contrary to the 1945 Constitution.
In practice, the Constitution Court grant the application of the law in the absence of norms. This may happen because the establishment of their own UUMK is very short and the scope of the problem formulated in the convention to be contain the rule is very simple. So that the Constitutional Court seeks to set up the problems faced in practice with the Constitutional Court Rules form. Keywords: Constitutional Court, Legal Standing, Object Testing."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S22591
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Situmeang, Mulak Timbul
"Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria telah mencabut Buku II KUHPerdata. Pencabutan tersebut menimbulkan penafsiran bahwa Hukum Tanah Nasional tidak mengenal lembaga daluarsa sebagai upaya memperoleh hak milik atas tanah. Adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2773.K/Sip/Pdt/2012, yang menetapkan sesorang memperoleh hak milik atas tanah karena daluarsa. Putusan MA tersebut mendorong penulis meneliti bagaimana peran dan konsekuensi cara memperoleh hak atas tanah yang didasarkan lampaunya waktu menurut Hukum Tanah Nasional dan pengaruh Putusan MA tersebut terhadap Hukum Tanah Nasional.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan alat pengumpulan data berupa studi dokumen untuk mendapatkan data sekunder melalui berbagai sumber hukum. Data yang diperoleh diolah dan dianalisa secara kwalitatif deduktif. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa UUPA tidak mengenal lembaga daluarsa. Lembaga daluarsa terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dan dalam Hukum Adat.

Low No. 5 of 1960 about the Basic Regulation of Agrarian, revoke Book II Book of the Law of Civil. The revocation createtan the interpretation that the National Law Land does not recognice the institution expired in order abtain land titles. Supreme Court Decision No. 2773.K/Sip/Pdt/2012, estabilishes a person acquires the right to land because has expired. Supreme Court's decision prompted the authors to examine how the role and consequences of abtaining the right to land because has expired according to the National Land Law and how to influence the decision of the National Land Law.
Form of research is normatife juridical study with dat collecting documents for abtaining secondary data through various sources of law. The data abtained were processed and anilyced by qualitatife deductive based on the results of the study concluded that the Basic Regulation of Agrarian does not recognize the institution expired. Institution expiry date contained in Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 about Land Registration and the customary law
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45885
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Mahrus Ali
"Pengujian norma konkret dalam putusan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pada dasarnya tidak menjadi kewenangan MK. Pengujian terhadap norma secara teoritis haruslah bertitiktolak dari norma abstrak sebagai implikasi kedudukan MK yang menjadi pengadilan norma dan mengujinya terhadap konstitusi. Untuk menilai konstitusionalitas norma undang-undang, maka norma abstraklah yang seharusnya ditafsirkan oleh MK. Sedangkan norma konkret lebih menitikberatkan implementasi atau penerapan dari norma itu sendiri. Penerapan norma tidak dapat dilepaskan dari legalitas norma, sedangkan konstitusionalitas norma adalah menguji kebersesuain norma tesebut dengan konstitusi. Apabila landasan pengujian norma adalah Undang-Undang Dasar 1945 maka norma abstrak yang seharusnya menjadi materi utama untuk diuji. Sebaliknya ketika norma konkret yang akan diuji, maka yang harus dipertimbangkan juga adalah penerapan dari norma tersebut yang sudah sudah masuk dalam kasus konkret yang terjadi. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan kasus (case approach) yaitu 15 (lima belas) putusan Mahkamah Konstitusi sepanjang 2003-2013 dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 secara materiil yang memfokuskan pada ratio decidendi hakim konstitusi dalam menentukan konstitusionalitas norma. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa MK dalam menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 tidak memisahkan secara dikotomis antara norma abtrak dan norma konkret. Dalam upaya melindungai hak-hak konstitusional warga negara, tidak adanya upaya hukum lanjutan yang akan ditempuh oleh Pemohon, serta untuk memberikan kepastian hukum yang adil, MK mengabulkan pengujian norma konkret. Meskipun MK tetap tegas menyatakan bahwa hal tersebut adalah norma konkret, sehingga permohonan pemohon hanya dikabulkan sebagian pada pengujian norma abstraknya saja. Sedangkan dalam hal putusan MK yang menolak pengujian norma konkret karena norma yang diujikan bukanlah persoalan konstitusionalitas norma melainkan penerapan norma dan permintaan putusan provisi (putusan sela) yang tidak relevan dengan pokok perkara. Pengujian norma konkret dalam putusan menolak adalah bentuk kehatian-hatian MK agar tidak mengadili perkara yang menjadi kewenangan peradilan lain yaitu Mahkamah Agung serta peradilan di bawahnya. Adapun terkait putusan yang menyatakan tidak dapat diterima, MK menyatakan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum serta MK tidak memiliki kewenangan untuk menguji norma tersebut. Akhirnya, ke depan MK dalam perlu menegaskan perihal kedudukan norma sebelum melakukan pemeriksaan lebih mendalam terhadap permohonan yang diajukan. Di samping itu MK perlu diberikan kewenangan pengaduan konstitusional (constitutional complaint) atau pertanyaan konstittusional (constitutional question) sehingga terciptanya harmonisasi penafsiran berdasarkan konstitusi.

The review of conrete norms in the decision of judicial review of laws against the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia basically does not constitute authority of the Constitutional Court. Theoretically, norms review should be starting from abstract norms as the implications of the Constitutional Court authority. In order to review the constitutionality of laws, norms and abstract norms should be interpreted by the Constitutional Court. While concrete norms focuse more on the implementation or application of the norm itself. The application of norms cannot be separated from the legality of the norms, while constitutionality of norms is related to its coherence with with the Constitution. If the basis of norms review is the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia then abstract norms should be the main subject matter to be reviewed. Otherwise, when concrete norms are the subject matters to be reviewed, then the implementation of the norms that have been applied in concrete cases. This research is using normative juridical method with case approach in which 15 (fifteen) verdicts of the Constitutional Court of Republic of Indonesia over the period of 2003-2013 in judicial review of laws against the 1945 Constitution are analyzed. The focus is on the ratio decidendi of the Constitutional Court judges in determining the constitutionality of norms. The result of this research shows that, the Constitutional Court, in the judicial review of laws against the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia does not separate abstract norms and concrete norms dichotomously. In an attempt to protect the constitutional rights of citizens, the absence of legal remedies that can be further pursued by the applicant, as well as to provide legal certainty, the Constitutional Court, granted, in its decision, the review of concrete norms. Even though the Constitutional Court remains firm in satting that it is a concrete norm, the applicant's petition is granted in part which is concerning the review the abstract norms only. Whereas, with respect to the verdict of the constitutional court that rejected the review of concrete norms, it is because the review is not on the constitutionality of norms but the application of the norms and also concerns a petition for an interlocutory decision which is irrelevant to the subject matter of the case. The review of concrete norms in a rejecting ruling is a form of prudence by the Constitutional Court in order not to prosecute the matters which constitute the authority the other judicial bodies, namely the Supreme Court and the lower courts. As for the ruling which declared a petition inadmissible, the Constitutional Court stated that the applicant has no legal standing and the Constitutional Court does not have the authority to test these norms. Finally, in the future, the Constitutional Court needs to affirm the status of norms before further examining in depth the petition filed. In addition, the Constitutional Court should be conferred with the authority to hear constitutional complaint and constitutional question in order to create the harmonization of interpretation based on the Constitution.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43091
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jimly Asshiddiqie, 1956-
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
342.02 JIM m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>