Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 70666 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Pengaturan mengenai Pengelolaan Aset sudah sangat mendesak untuk memberantas korupsi. Karena penghukuman terhadap pelaku saja tidak cukup. Untuk itu, dibutuhkan perangkap hukum dalam melacak, membekukan, menyita, merampas, dan mengembalikan pada negara serta mengelola aset. Selain itu, diperlukan juga suatu penelusuran hasil kejahatan dalam rangka penegakan pencucian uang. Untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan di atas perlu dilakukan Mutual Legal Assistance."
JLI 7:4 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Ketentuan dan implementasi yang efektif tentang pengembalian atau perampasan aset hasil korupsi memiliki makna ganda bagi pemberantasan kejahatan korupsi di Indonesia, yaitu: Pertama, implementasi yang efektif ketentuan tentang pengembalian atau perampasan aset tersebut akan membantu negara dalam upaya menagnggulangi dampak buruk kejahatan korupsi. Kedua, adanya legislasi yang memuat klausul tentang pengembalian atau perampasan aset hasil kejahatan korupsi merupakan pesan jelas bagi para pelaku korupsi, bahwa tidak ada lagi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil kejahatan korupsi, baik kekayaan Indonesia yang dilarikan ke luar negeri maupun harta kekayaan luar negeri yang ada di Indonesia."
JLI 7:4 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Chitraning Widhianindya
"ABSTRAK
Pengembalian aset hasil korupsi di luar negeri adalah prioritas utama untuk
dikejar oleh Pemerintah RI, KPK, PPATK dan lembaga penegak hukum lainnya
dalam rangka mengembalikan kerugian negara karena para pejabat korup
menyamarkan aset-aset hasil tindak pidana korupsi di luar negeri melalui mekanisme
pencucian uang, sehingga sulit untuk ditelusuri, dibekukan, dan disita. Untuk
memaksimalkan upaya pengembalian aset hasil korupsi di luar negeri, maka
pemerintah RI dan KPK menjalin kerjasama internasional melalui Mutual Legal
Assistance (MLA) sebagaimana mengacu pada Pasal 46 UNCAC. Indonesia
mempunyai Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik
dalam Masalah Pidana, tetapi kelemahannya adalah tidak mengatur secara rinci
mengenai sharing fee forfeiture dan asset management, sehingga kedua hal iu
menjadi kendala tersendiri bagi pemerintah RI dalam menjalin MLA dengan negara
lain. Kemudian, mekanisme pengembalian aset hasil korupsi sebagaimana diatur
dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 57 UNCAC, terutama perampasan aset tanpa
pemidanaan (NCB) atau perampasan aset in rem, yang merupakan paling efektif
untuk mengembalikan aset-aset tersebut. Tetapi, hambatan-hambatan dalam
pengembalian aset hasil korupsi di luar negeri sering dihadapi pemerintah RI dan
KPK, seperti kinerja penegak hukum tidak maksimal, MLA ditolak karena alasan
penerapan hukuman mati di negara yang dimintakan MLA, perbedaan sistem hukum
dan legal proceedings, beberapa negara yang tidak menegakkan anti money
laundering, dan lain-lain. Dikarenakan Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang tidak mampu mendukung pengembalian aset hasil korupsi di luar
negeri, oleh karena itu, seharusnya pemerintah RI segera mengesahkan RUU
Perampasan Aset untuk memaksimalkan upaya pengembalian aset hasil tindak pidana
di luar negeri, khususnya tahap-tahap pengembalian aset, kerjasama internasional,
badan pengelola aset, dan lain-lain.

ABSTRACT
Recovering assets from corruption in aboard is a top priority to being chased
by the Government of Indonesia, KPK, and PPATK to recover state losses because
of corrupt officials disguising assets proceeds of corruption in aboard through money
laundering mechanisms, making it difficult to trace, frozen and seized. To maximize
the efforts in recovering assets from corruption in aboard, the government of
Indonesia and KPK to establish international cooperation through the Mutual Legal
Assistance (MLA) as referred to in Article 46 of UNCAC. Indonesia has Law No.
1/2006 on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters, but the weakness is not set
in detail regarding the sharing fee forfeiture and asset management, so that both are
became an obstacle for the government of Indonesia in establishing MLA with other
countries. Then, a mechanism to recover assets from corruption cases under Article
51 through Article 57 of UNCAC, especially confiscation of assets without a criminal
conviction (NCB) or confiscation of assets in rem, which is the most effective way to
restore these assets. However, the obstacles in recovering assets from overseas
corruption in government, and often facing KPK, such as the performance of law
enforcement is not maximal, MLA rejected the application of the death penalty for
reasons for which a MLA in the state, the legal system and legal differences
proceedings, some states not enforce anti-money laundering, and others. Due to the
Law on Corruption Eradication and Prevention Act and Anti-Money Laundering
unable to support the return of proceeds of corruption assets abroad, therefore, the
Indonesian government should immediately pass Draft Law of Asset Confiscation
asset recovery efforts to maximize the the proceeds of crime abroad, particularly the
stages of asset recovery, international cooperation, asset management agencies, and
others."
Universitas Indonesia, 2013
T35414
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Korupsi di Indonesia dari hari ke hari semakin mengakar, bahkan ada yang menyebutnya sudah membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir pada semua lapisan birokrasi, baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif serta telah pula menjalar ke dunia usaha. Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia sudah menjadi penyakit kronis yang terhadap penderitanya haruslah dilakukan amputasi. Meluasnya praktek korupsi telah melahirkan kerugian yang sangat besar terhadap keuangan dan perekonomian negara. Sedemikian besarnya uang negara yang dinikmati oleh para koruptor telah mengakibatkan dirampasnya hak-hak ekonomi dan masa depan rakyat Indonesia. Menurut laporan the Open Society Justice Initiative, terdapat 3 karakteristik penjarahan kekayaan negara, yaitu jumlah kekayaan yang mencapai milyaran dolar, berpindah dan disembunyikan kekayaan tersebut oleh pelaku, hancurnya kehidupan sosial dan ekonomi yang pada akhirnya mengorbankan masyarakat. Gambaran tersebut membuat tindak pidana korupsi dapat dikwalifikasikan sebagai kejahatan terhadap kesejahteraan bangsa dan negara yang ditandai dengan hilangnya aset-aset publik yang akan digunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat, untuk itu pengembalian kerugian negara melalui perampasan aset hasil tindak pidana korupsi merupakan bagian terpenting dan strategis dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, sekaligus sebagai upaya pengembalian kerugian negara secara lebih efektif."
JLI 7:4 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Pengaturan Asset Recovery mengandung konsep pengaturan pemisahan antara proses pidana dan proses perdata untuk lebih memfokuskan juga pada penegakan terhadap aset negara hasil tindak pidana korupsi sesuai dengan UNCAC 2003."
JLI 7:4 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
364.132 3 PAN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Meitty Amelia
"ABSTRAK
Dalam melakukan penyelesaian/penertiban terhadap aset BUMN (Badan Usaha Milik Negara), BUMN dihadapkan pada perangkat peraturan yang berbeda dibanding pihak swasta, dimana keputusan bisnis berpotensi dikenakan tindak pidana korupsi ketika keputusan bisnis tersebut ditetapkan dengan mengesampingkan asas kehati-hatian, prinsip-prinsip bisnis, menyimpang dari ketentuan, ada atau tidak adanya Good Corporate Governance (GCG), dilakukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok atau orang lain yang bukan kepentingan perusahaan. Dalam hal ini, Penulis melakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang tersedia dan keterbatasannya dalam penyelesaian/penertiban aset Pertamina di Yos Sudarso Plumpang Jakarta Utara. Metode yang digunakan untuk meneliti adalah yuridis normatif yaitu meneliti norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, dengan tipologi penelitian evaluatif. Tesis ini menyimpulkan bahwa management BUMN dalam melakukan penyelesaian permasalahan/penertiban aset BUMN (PT Pertamina) di Jalan Yos Sudarso Plumpang belum dapat memiliki koridor hukum yang kuat dimana penyelesaian permasalahan aset tersebut tidak cukup diselesaikan dengan menggunakan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Nomor PER-06/MBU/2011 tentang Pedoman Pendayagunaan Aktiva Tetap BUMN dan/atau Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor: Per-02/MBU/2010 tentang Cara Penghapusbukuan dan Pemindahtangan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara. Secara mendasar, pembuatan kedua peraturan tersebut lebih menekankan pada bisnis/nilai tambah bagi BUMN dibanding penyelamatan aset-aset BUMN (recovery asset). Pada akhir tesis, penulis memberikan saran agar pembuat kebijakan (Menteri) melakukan perubahan atau revisi terhadap Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Nomor PER-06/MBU/2011 tentang Pedoman Pendayagunaan Aktiva Tetap BUMN dan/atau Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor: Per-02/MBU/2010 tentang Cara Penghapusbukuan dan Pemindahtangan Aktiva Tetap BUMN atau membuat peraturan baru yang secara khusus mengatur mengenai penyelamatan terhadap aset-aset BUMN (Recovery Asset).

ABSTRACT
In the resolution/enforcement against dispute the assets of BUMN, the BUMN’s management faced a different set of rules than the private sector, where their business decisions potentially subject to corruption when the decisions are exclude principle of prudence, the principles of business, notwithstanding, the presence or absence of Good Corporate Governance (GCG), committed for personal gain or groups or others who are not corporate interests. In this studies, the authors review the regulations and limitations provided in the settlement/enforcement dispute as a highest BUMN in Indonesia Pertamina North Jakarta. The method used to examine the normative juridical researching legal norms contained in the legislation is the typology of evaluative research. This thesis concludes that the Pertamina management in the resolution of disputing their assets the Jalan Plumpang BUMN can not have a strong legal corridor to solve the problems since the dispute assets are not adequately resolved by using the Regulation of the BUMN Minister PER-06/MBU/2011 Number of Fixed Asset Performance Guidelines state and/or the Minister of BUMN Number: Per-02/MBU/2010 on How to Write-off of Fixed Assets and alienation of State-Owned Enterprises. Fundamentally, both regulation the have more emphasis on the business/value added for BUMN than saving the assets (asset recovery). At the end of the thesis, the author provides advice to policy-makers (the Minister) to revise the Regulation of the Minister of BUMN No.PER-06/MBU/2011 Number of Fixed Asset Performance Guidelines state and/or the Minister of State Owned Enterprises No.: Per-02/MBU/2010 on How to Write-off of fixed assets and the alienation of state or create new legislation regulation that specifically regulates the rescue of the state-owned enterprise assets (Asset Recovery)."
2013
T34907
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ritonga, Lydia Indah Anneike
"Jabatan yang dipangku oleh Notaris adalah jabatan kepercayaan, sebagai seorang kepercayaan, Notaris berkewajiban untuk merahasiakan isi Akta. Seorang Notaris yang tidak dapat membatasi dirinya akan mengalami akibatnya dalam praktek; ia akan segera kehilangan kepercayaan publik dan tidak lagi dianggap sebagai orang kepercayaan. Kewajiban merahasiakan isi Akta dapat dikecualikan jika UndangUndang mengatur lain, kekecualian terhadap kewajiban tersebut hanya dapat dilakukan dalam keadaaan tertentu saja seperti kewajiban Notaris sebagai Pihak Pelapor untuk membuka dan memberikan keterangan Transaksi Keuangan Pengguna Jasa kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Hal ini ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Permasalahan yang dibahas dalam Tesis ini mengenai sikap Notaris dalam kedudukannya sebagai Pihak Pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dihubungkan dengan kewajibannya merahasiakan isi Akta serta perlindungan hukum terhadap Notaris setelah membuka kerahasiaan isi Aktanya. Penulisan tesis ini menggunakan Metode Penelitian Hukum Normatif, yaitu penelitian dengan menggunakan data sekunder yaitu perundang-undangan mengenai Jabatan Notaris, Tindak Pidana Pencucian Uang dan Peraturan Pemerintah yang berkaitan, buku-buku teks, serta pendapat para ahli hukum. Sikap Notaris dalam kedudukannya sebagai Pihak Pelapor harus netral, mandiri, dan tidak berpihak. Notaris dimungkinkan menjadi pihak dalam Transaksi Keuangan Mencurigakan walaupun kemungkinan tersebut kecil. Notaris dapat memutuskan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa jika Pengguna Jasa menolak untuk mematuhi prinsip mengenali Pengguna Jasa atau Notaris meragukan kebenaran informasi yang disampaikan oleh Pengguna Jasa. Jika hal tersebut terjadi Notaris diwajibkan melaporkan tindakan tersebut kepada PPATK sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan. Notaris bukanlah pihak, Notaris dalam jabatannya bertindak dalam mewakili negara sehingga harus mendapat perlindungan hukum yang selayaknya.

A position held by a Notary is a position of trust, as a confidant, a Notary is obliged to keep the contents of the Deed. A Notary who cannot limit himself will face a consequences in his/ her practice; he will soon lose public trust and no longer regarded as a trusted object. The obligation to keep the contents of the Deed may be exempted. The exceptions to such obligations may only be made in certain circumstances such as the obligation of Notary as a Reporting Party to open and provide User Service Transaction information to the Financial Transaction Reporting and Analysis Center (PPATK). This is stipulated in Government Regulation Number 43 of 2015 concerning Reporting Parties in the Prevention and Eradication of Money Laundering Act which is the implementing regulation of Law Number 8 of 2010 concerning Money Laundering. The issues discussed in this Thesis regarding the attitude of Notary in his position as a Reporting Party in the prevention and eradication of Money Laundering related to his obligation to keep the contents of the deed as well as legal protection against Notary after disclosing the confidentiality of its contents. This thesis uses Normative Legal Research Method, which is research by using secondary data which is legislation about Notary Position, Money Laundering Crime, and related Government Regulation, textbooks, and opinion of jurists. Notary's attitude in his / her position as a Reporting Party shall be neutral, independent and impartial. Notary may be a party to Suspicious Transactions even though the possibility is small. The Notary may terminate the business relationship with the service user if the user refuses to comply with the principle of recognizing the service user or Notary questioning the correctness of the information submitted by the Service User. If the action occurs, Notary is required to report such action to PPATK as Suspicious Financial Transaction. Notary is not a party, Notary in his / her position acting in representing the country so that should get proper legal protection."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49446
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Perangkat hukum yang berlaku di Indonesia saat ini belum mampu secara maksimal mengatur dan menampung kegiatan-kegiatan dalam rangka pengembalian aset hasil kejahatan. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada tidak secara khusus ditujukan untuk mengatur pemulihan aset/pengembalian aset hasil kejahatan secara komprehensif. Indonesia telah melakukan ratifikasi UNCAC dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 yang salah satunya mengatur pengembalian aset. Implikasi dari ratifikasi itu mengharuskan Indonesia untuk segera menyesuaikan hukum nasionalnya. Diperlukan reformasi khusus yang komprehensif untuk mengatur pengembalian aset kejahatan sehingga pengelolaan aset hasil kejahatn dapat dilakukan secara lebih transparan dan bertanggung jawab serta profesional. Masa depan pengembalian aset di Indonesia haruslah disorong dalam bentuk RUU Pengembalian Aset yang komprehensif. RUU tersebut harus pula diperluas lingkup dan objek pengaturannya, tidak saja terhadap aset-aset kejahatan yang dapat dikembalikan melalui tuntutan pidana (penuntutan) melainkan juga asset yang dapat dikembalikan melalui gugatan perdata yang dilakukan oleh pemerintah atas aset seorang tersangka/terdakwa yang ditempatkan di negara lain."
JLI 7:4 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Feynita Susilo
"Program Tax Amnesty pada dasarnya merupakan sarana yang diberikan pemerintah untuk pengungkapan harta kekayaan Wajib Pajak secara sukarela untuk membayar pajak (voluntary tax compliance). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penggunaan data dan informasi yang berasal dari pengungkapan kekayaan melalui program Tax Amnesty dapat digunakan dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak dan keberlakuannya apabila dijadikan dasar untuk kasus tindak pidana pencucian uang oleh aparat penegak hukum. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, suatu pendekatan penelitian hukum yang dilakukan dengan menganalisis bahan pustaka atau data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan data dan informasi yang berasal dari pengungkapan harta kekayaan dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak jelas tidak dapat dilakukan. Hal ini dikarenakan pengungkapan tersebut dilakukan secara sukarela (voluntary) dan untuk kepentingan negara. Penggunaan informasi yang bersifat voluntary tersebut dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak dapat melanggar prinsip non-self incrimination. Selain itu, apabila melihat pada kasus Putusan Pengadilan Jakarta Utara Nomor 626/Pid.Sus/2022/PN Jkt. Utr., Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU TA) pada dasarnya dipergunakan untuk mengundang para pihak untuk melaporkan dan/atau mengungkapkan harta kekayaan karena Pasal 20 UU TA berkaitan dengan asas rekonsiliasi yang merupakan bagian bentuk trust dari Wajib Pajak untuk melaporkan harta kekayaannya. Maka itu tidak boleh sebenarnya proses rekonsiliasi dijadikan dasar dalam penyidikan karena apabila dijadikan satu-satunya bukti untuk menarik perbuatan pidana tindak pencucian uang, maka akan melanggar asas seseorang tidak boleh dihukum atas keterangannya sendiri.

The Tax Amnesty program is basically a tool provided by the government for the voluntary disclosure of taxpayers' assets to pay taxes (voluntary tax compliance). The purpose of this research is to determine whether the use of data and information originating from wealth disclosure through the Tax Amnesty program can be used in the process of investigating, inquiring and/or criminally prosecuting taxpayers and its validity if used as the basis for a criminal case of money laundering by authorities. law enforcer. The research method used in this research is normative juridical research, a legal research approach carried out by analyzing library materials or secondary data. The results of this research indicate that the use of data and information originating from the disclosure of assets in the process of investigation, inquiry and/or criminal prosecution of Taxpayers is clearly not feasible. This is because the disclosure is carried out voluntarily and is in the interests of the state. The use of voluntary information in the process of inquiry, inquiry and/or criminal prosecution of Taxpayers may violate the principle of non-self incrimination. Apart from that, if we look at the case of North Jakarta Court Decision Number 626/Pid.Sus/2022/PN Jkt. Utr., Article 20 of Law Number 11 of 2016 concerning Tax Amnesty (UU TA) is basically used to invite parties to report and/or disclose assets because Article 20 of the TA Law is related to the principle of reconciliation which is part of the form of trust of the Mandatory Tax to report his assets. Therefore, the reconciliation process cannot actually be used as the basis for an investigation because if it is used as the only evidence to attract criminal acts of money laundering, it will violate the principle that a person should not be punished based on his own statement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>