Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174810 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Telah dilakukan penelitian mengenai uji efikasi Reldan 40 WP (10 dan 13 mikron) dosis 0,25g/m2 ; 0,50 g/m2 ; dan 1,00 g/m2 dibandingkan dengan Ficam 80 WP dosis 0,20 g/m2 dan Icon 10 WP dosis 0,03 g/m2 pada berbagai permukaan dinding tembok, papan, dan bambu. Penelitian ini dilakukan pada tahun 1995 di perumahan penduduk desa Ngawen, Tegalsari Kotamadya Salatiga. Berdasarkan uji hayati (bioassay), dosis yang efektif membunuh nyamuk An. Aconitus 70% selama 12 minggu adalah Reldan 40 WP (13 mikron) dosis 1.00 g/m2."
MPARIN 9 (1-2) 1996
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Samidjo Onggowaluyo
"ABSTRAK
Ruang lingkup dan Cara penelitian : Penelitian kepekaan Anopheles sinensis terhadap larva filaria W. bancrofti telah dilakukan di Laboratorium Bagian Parasitologi FKUI, Naval Medical Research Unit (NAMRU) No.2 Jakarta dan Laboratorium SPVP Balitbangkes Dep Kes RI Salatiga. Sumber infeksi W. bancrofti berasal dari wilayah kecamatan Serpong, Tangerang, Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah mikrofilaria W, bancrofti tipe urban yang vektor aktualnya Culex quinquefasciatus dapat berkembang dalam An. sinensis yang umumnya banyak terdapat pada daerah persawahan di pedesaan. Strain An. sinensis berasal dari kepulauan Nias dan dikembang-biakan di Laboratorium SPVP Balitbangkes Dep Kes RI Salatiga, sedangkan Cx.quinquefasciatus sebagai kontrol telah dikembangbiakkan di Laboratorium NAMRU No. 2 Jakarta. Penelitian ini dimulai dengan infeksi nyamuk An. sinensis dan Cx. quinquefasciatus dewasa muda dengan mikrofilaria secara per os. Pengamatan perkembangan larva filaria dilakukan melalui pembedahan nyamuk yang telah kenyang darah (full fed) masing-masing 20 ekor pada 1 jam, 3, 6, 9, 12, 15 hari pasca infeksi dan dilakukan 3 kali pengulangan untuk mengetahui : angka infeksi, densitas infeksi, waktu perkembangan larva serta tingkat efisiensi. Pengamatan umur An. sinensis dilakukan dengan mengamati jumlah kematian nyamuk setiap hari pasca infeksi pada kelompok nyamuk yang tidak di bedah.
Hasil dan kesimpulan : Hasil penelitian menunjukkan perbandingan angka 'infeksi (68,3% : 56,7%), densitas infeksi (1,2 mikrofilaria/nyamuk : 1,3 mikrofilaria/nyamuk) serta tingkat efisiensi (0,58 : 0,59) pada An. sinensis tidak berbeda bermakna dengan Cx. quinquefasciatus. Waktu yang diperlukan untuk perkembangan larva filaria seluruhnya(100%) menjadi stadium infektif pada An. sinensis (17 hari) lebih lama daripada Cx.quinquefasciatus (15 hari). Umur nyamuk maksimum yang mengisap darah mengandung mikrofilaria pada An. sinensis dan Cx.quinquefasciatus (26 hari) lebih kecil dari nyamuk yang mengisap darah normal. Keberhasilan An. sinensis mengembangkan larva stadium infektif (L3) serta umur nyamuk yang lebih panjang dari waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan larva infektif dalam penelitian ini, menyebabkan An.sinensis dapat dikategorikan sebagai vektor potensial bagi W.bancrofti.
"
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardiana
"Di Indonesia malaria masih merupakan penyakit yang sulit diberantas meskipun upaya pemberantasan telah dilakukan sejak tahun 1952. Kesulitan ini antara lain disebabkan adanya hambatan dalam memberantas vektor malaria karena tempat perindukannya yang luas dan sulit dijangkau manusia. Oleh karena itu diperlukan insektisida yang mempunyai daya residu lama dan dapat digunakan pada tempat perindukan vektor malaria.Salah satu cara yang mungkin dapat digunakan untuk mengatasi masalah ini adalah penggunaan metopren bentuk briket.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efikasi metopren bentuk briket terhadap pertumbuhan nyamuk An. farauti di laboratorium dan pengaruh 4 macam konsentrasi metopren terhadap angka kematian larva, pupa dan nyamuk dewasa An. farauti.
Pada penelitian ini larva An. farauti diuji dengan 4 macam konsentrasi metopren yaitu 0.0029 g/50 1 air, 0.0058 g/50 1 air ,0,0116 g/50 1 air ,0,0232 g/50 1 air. Sebagai kontrol, satu kelompok larva tidak diberi metopren. Perlakuan ini dilakukan dengan 4 kali ulangan selama 4 minggu. Setelah itu ke dalam drum tersebut dimasukkan metopren dengan konsentrasi yang telah ditentukan. Kemudian sebanyak 100 ekor larva instar I akhir yang berumur 1-2 hari dimasukkan ke dalam drum yang berisi 50 1 air. Selanjutnya pertumbuhan larva diamati dan dihitung angka kematian larva, pupa dan nyamuk dewasa. Efikasi metopren dihitung berdasarkan rumus % efikasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada kematian larva, pupa dan nyamuk dewasa (PC0.05). Hal ini berarti bahwa angka kematian tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi metopren. Makin tinggi konsentrasi yang diberikan makin tinggi angka kematian larva, pupa dan nyamuk dewasa.
Kematian larva terjadi pada instar IV. Sebagian larva dapat meneruskan siklus hidupnya dan berubah menjadi pupa, tetapi pada saat nyamuk dewasa akan keluar dari pupa, pupa tidak terbuka sehingga terjadi kematian. Sementara itu, nyamuk dewasa yang berhasil keluar dari pupa banyak yang cacat yaitu tarsus bengkok, ujung tarsus dan abdomen melekat pada pupa, bentuk sayap tidak sempurna, sehingga nyamuk tidak bisa terbang tinggi dan akhirnya mati.
Efikasi rata-rata metopren pada keempat konsentrasi berturut-turut 72.52%, 91.93%, 97.32% dan 99.24% ; efikasi metopren ini tidak berbeda makna pada minggu pertama sampai minggu keempat. Berdasarkan analisis probit diketahui bahwa konsentrasi metopren untuk menghambat 50% pertumbuhan larva adalah 0,0014 g/50 1 air dan untuk menghambat 95% pertumbuhan larva adalah 0,0085 g/50 1 air.
Disimpulkan bahwa metopren bentuk briket dapat digunakan untuk pengendalian .An. farauti.

In Indonesia malaria is still a disease that is difficult to be controlled despite malaria eradication program has been conducted since 1952. The difficulty of the problem among other things was due to the vector control's obstacles in conjunction with the wide pread mosquito breeding places to which are had to be reached. Therefore, an insecticide characterized by long residual action is needed for the control of malaria vector breeding sites.One of the methods that could be used to overcome this problem is the use of methoprene in the briquet form.
The purpose of this study was to know the efficacy of methoprene in briquet form to wards the growth of An farauti and the effect of 4 different concentration of methoprene to the mortality rates of larvae, pupae and adult masquito population of An farauti.
In this study, An farauti larvae were tested with 4 different concentration of methoprene, namely 0,0029 g/50 1 water, 0,0058 g/50 1 water, 0,0116 g/50 1 water and 0,0232 g/50 1 water. As a control, one group of larvae was not given methoprene, this test was repeated 4 time in 4 weeks. After that, methoprene was given in concentration as described above. An amount of 100 late stadium larvae of instar 1, 1-2 days old, was put into a drum containing 50 liters of water. The growth of larvae was abserved and mortality rates for larvae, pupae and adult mosquitoes were counted. Methoprene efficacy was counted with % efficacy formula.
The result of this study indicates that there was a significant difference of larval, pupal and adult mosquito mortality rates (P.0,05). This means that mortality rates were affected by methoprene concentrated. The higher concentrated, the higher mortality rates of larvae, pupae and adult mosquitoes.
Larval mortality occurred on instar IV. A part of larvae could continue their life cycles and changed to pupae, but when adult mosquitoes were coming out from pupae, pupae did not open so that they died. Meanwhile, adult mosquitoes that were able to come out were invalid as shown by crooked tarsus and abdomen that were sticked to pupae including wing formation that were not perfect, so that they could not fly high and then died.
Average methoprene efficacy on the four concentration were 72,52%, 91,93%, 97,32% and 99,24% respectively; there was no significant difference from fist to fourth week's observation. Based in probit analysis it was recoqnized that methoprene concentrated to inhibit 50% of larval growth was 0,0014 g/50 1 water and to inhibit 95% of larval growth was 0,0085 g/50 1 water.
This study conclude that methoprene in 'briquet form may be used for An farauti control.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T4573
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Suatu penelitian dilakukan di kecamatan Wulanggitang – kabupaten Flores Timur dengan menggunakan Bacillus thuringiensis H-14 (TEKNAR) dosis 0,6 liter per Ha terhadap jentik Anopheles barbirostris pada kolam tanpa vegetasi, dengan vegetasi rumput dan vegetasi lumut, untuk menekan kepadatan populasi jentik vektor di ketiga jenis kolam tersebut. Tangki semprot “Hudson” digunakan untuk menyemprotan bakteri ini ke masing-masing kolam. Kolam tanpa vegetasi sebanyak 1,98 ml per 33 m2, kolam vegetasi rumput 7,2 ml per 120 m2 dan kolam vegetasi lumut 2,1 ml per 36 m2. Hasil pengamatan 24 jam sesudah penyemprotan menunjukkan bahwa B.thuringiensis H-14 dapat menekan kepadatan populasi jentik instar I – II dan III-IV masing-masing sebesar 97.52% dan 100% pada kolam tanpa vegetasi, 91,70% dan 88,99% pada kolam vegetasi rumput serta 55,92% dan 51,39% pada kolam vegetasi lumut. Pengamatan 6 hari penyemprotan menunjukkan penurunan kepadatan populasi jentik instar 1-II dan III-IV. Penurunan ini relatif rendah, bahkan kadang tidak terlihat adanya penurunan.
"
MPARIN 7 (1-2) 1994
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sakinah Rahma Sari
"Latar belakang: Nyamuk Culex sp. merupakan nyamuk yang berperan dalam penyebaran berbagai penyakit, seperti filariasis, Japanese encephalitis, St. Louis encephalitis, dan West Nile Fever. Indonesia sebagai salah satu negara endemis filariasis memiliki program eliminasi filariasis, salah satunya dengan pengendalian vektor filariasis menggunakan insektisida. Seiring dengan semakin seringnya digunakan insektisida untuk mengendalikan vektor nyamuk lainnya, dikhawatirkan terjadi resistensi pada Cx. quenquefasciatus terutama terhadap insektisida yang sering digunakan. Resistensi metabolik dan modifikasi situs target dapat diamati dengan adanya peningkatan aktivitas enzim asetilkolinesterase karena enzim asetilkolinesterase merupakan target kerja dari insektisida golongan organofosfat, seperti malation.7 Di Jakarta, belum dilakukan penelitian mengenai tingkat resistensi Cx. quinquefasciatus terhadap malation dan deltametrin beserta aktivitas enzim asetilkolinesterase.
Tujuan: Menganalisis efektivitas malation dan deltametrin pada larva Cx. quinquefasciatus.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimental. Sampel penelitian merupakan larva tahap III-IV Cx. quinquefasciatus yang diambil menggunakan teknik random sampling. Sampel akan dipaparkan dengan insektisida deltametrin dan malation dengan lima konsentrasi yang berbeda selama 24 jam. Kelompok larva mati dan hidup selanjutnya akan digunakan untuk uji biokimia enzim asetilkolinesterase menggunakan spektofotometri.
Hasil: Mortalitas larva pada konsentrasi tertinggi (0,25 ppm) kelompok perlakuan deltametrin adalah 96,8%. Sedangkan mortalitas larva pada konsentrasi tertinggi (0,5 ppm) kelompok perlakuan malation adalah 100%. LC50 dan LC90 pada deltametrin terhadap larva Cx. quinquefasciatus secara berurutan adalah 0,015 ppm dan 0,106 ppm. Sedangkan LC50 dan LC90 malation secara berurutan adalah 0,052 ppm dan 0,173 ppm. Absorbansi pada uji aktivitas asetilkolinesterase pada kelompok larva hidup dan mati yang diinduksi deltametrin secara berurutan adalah 0,754 ± 0,204 dan 0,728 ± 0,257. Sedangkan absorbansi pada uji biokimia aktivitas asetilkolinesterase pada kelompok larva hidup dan mati yang diinduksi malation secara berurutan adalah 0,405 ± 0,009 dan 0,237 ± 0,003.
Kesimpulan: Deltametrin dan malation memperlihatkan aktivitas larvisida terhadap larva Cx.quinquefasciatus. Berdasarkan nilai LC50 dan LC90 menyimpulkan deltametrin lebih efektif dibandingkan dengan malation. Malation menghambat aktivitas asetilkolinesterase pada larva Cx. quinquefasciatus, sedangkan deltametrin tidak menghambat aktivitas asetilkolinesterase tersebut.

Background: Culex sp. plays an important role as a vector in spreading various diseases such as filariasis, Japanese encephalitis, St Louis encephalitis, and West Nile Fever. Indonesia as one of the countries endemic in filariasis, has a program in eliminating filariasis, with one of the program done by controlling vector using insecticide. Insecticides used in eliminating vector of filariasis, Cx. quinquefasciatus, are used concurrently in order to eliminate another vector such as Anopheles sp. and Aedes sp. The escalation of insecticide utilization leads to the concern of Cx. quinquefasciatus being resistance against insecticides, especially insecticides that are often used. Metabolic resistance and target site modification in Cx. quinquefasciatus as the proposed mechanisms in insecticide resistance can be seen by observing the activity of acetylcholinesterase due to its role as a target site for organophosphat such as malathion. Currently in Jakarta, there’s no research established regarding Cx. quinquefasciatus resistance against malathion and deltamethrin along with their acetylcholinesterase activity.
Objective: Analyzing effectivity of malathion and delamethrin in Cx. quinquefasciatus.
Method: The design study used in this research was experimental. Larva Instar stage III-IV Cx. quinquefasciatus was used as samples and chosen with random sampling technique. Samples was exposed to deltamethrin and malathion with 5 different concentrations for 24 hours. Both samples, alive and dead, after the exposure, were assessed for their acetylcholinesterase activity using spectophotometry.
Result: Mortality from the highest concentration in deltametrhin-induced group was 96,8%. Meanwhile, mortality from the highest concentration in malathioninduced group was 100%. LC50 and LC90 of deltamethrin was 0,015 ppm and 0,106 ppm while LC50 and LC90 of malathion was higher (0,052 ppm and 0,173 ppm). Absorbance in acetylcholine esterase activity assay in the group of alive and dead larva induced by deltametrhin was 0,754 ± 0,204 dan 0,728 ± 0,257. While the absorbance in malathion-induced group was lower with the result of 0,405 ± 0,009 in the group of alive larva and 0,237 ± 0,003 in the group of dead larva.
Conclusion: Deltamethrin dan malathion both showed larvacidal activity in Cx. quinquefasciatus. According to LC50 and LC90 we can conclude that deltamethrine was more effective than malathion.From the acetylcholinesterase activity assay, we can see that there was inhibition from malathion against acetylcholinesterase while we see no effect against acetylcholinesterase activity from deltamethrin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Savana Jacqueline Dooley
"Di Indonesia, filariasis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang vektor utamanya adalah nyamuk Culex quinquefasciatus. Pengendalian vektor nyamuk menggunakan insektisida sintetis dapat menimbulkan resistensi nyamuk betina Cx. quinquefasciatus. Oleh karena itu, diperlukan insektisida alternatif dari bahan alami (curcumin (C21H20O6) dan hexahydrothymol (C10H20O)). Penelitian ini difokuskan pada aktivitas curcumin dan hexahydrothimol dalam membunuh nyamuk betina Cx. quinquefasciatus, mekanismenya yang meliputi perubahan aktivitas enzim detoksifikasi, dan pengaruhnya terhadap perilaku nyamuk betina dalam mengisap darah. Bioassay nyamuk mengikuti protokol WHO, nyamuk dipaparkan dengan kertas filter yang mengandung curcumin dan hexahydrothymol dengan konsentrasi 10, 25, 50 ppm. Bioassay dilakukan dengan ulangan 3 kali. Pemeriksaan enzim asetilkolinesterease (AChE), glutation s-transferase (GST), dan oksidase dengan menggunakan metode biokimia yaitu homogenisasi yang diikuti dengan pembacaan menggunakan ELISA reader. Pengujian perilaku makan darah dan engorgement time menggunakan modifikasi Xue et al. Curcumin dan hexahydrothymol konsentrasi 50 ppm menyebabkan angka mortalitas 100% pada nyamuk betina Cx. quinquefasciatus. Curcumin memperlihatkan nilai LC50 = 0,455 ppm dan LC90 =1,360 ppm serta hexahydrothymol sebesar LC50 = 0,455 ppm dan LC90 =1,360 ppm. Aktivitas AChE dan GST meningkat (p<0,05), sedangkan oksidase mengalami inhibisi (p<0,05). Hexahydrothymol mengakibatkan perubahan perilaku waktu kenyang yang lebih singkat dan persentase makan darah yang lebih kecil dibandingkan dengan curcumin.

In Indonesia, filariasis is a public health problem whose main vector is the Culex quinquefasciatus mosquito. Mosquito vector control using synthetic insecticides can cause resistance to female mosquitoes Cx. quinquefasciatus. Therefore, alternative insecticides are needed from natural ingredients (curcumin (C21H20O6) and hexahydrothymol (C10H20O)). This study focused on the adulticidal activity of curcumin and hexahydrothymol, its mechanism (changes in the activity of detoxification enzymes, and its effect on the blood sucking behavior of female mosquitoes). The mosquito bioassay followed the WHO protocol, where mosquitoes were exposed to filter paper containing curcumin and hexahydrothymol at concentrations of 10, 25, 50 ppm with 3 repetitions. Examination of the enzymes acetylcholinesterease (AChE), glutathione s-transferase (GST), and oxidase uses biochemical method, homogenization followed by reading using ELISA. The testing of blood-sucking behavior and engorgement time uses the modification of Xue et al method. Curcumin and hexahydrothymol at a concentration of 50 ppm caused a 100% mortality rate in female Cx. quinquefasciatus mosquitoes. Curcumin showed LC50= 0.455 ppm and LC90= 1.360 ppm and hexahydrothymol LC50 = 0.455 ppm and LC90= 1.360 ppm. AChE and GST activities increased (p<0.05), while oxidase was inhibited (p<0.05). Hexahydrothymol resulted in shorter engorgement time and smaller blood-sucking percentage compared to curcumin."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Dhea Suciana Hamka
"Filariasis masih merupakan masalah Kesehatan masyarakat di Indonesia dan pemberantasan penyakit tersebut difokuskan pada pengendalian nyamuk Culex quinquefasciatus. Senyawa dari tanaman terbukti dapat membunuh nyamuk betina Cx. quinquefasciatus melalui mekanisme metabolisme dan perilaku nyamuk tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh ekstrak rimpang kunyit (Curcuma longa) dan camphor terhadap nyamuk betina Cx. quinquefasciatus melalui mekanisme metabolit enzim detoksifikasi dan perilaku makan darah dan waktu kenyang. Nyamuk betina Cx. quinquefasciatus dipaparkan dengan kertas filter yang mengandung ekstrak rimpang kunyit atau camphor dengan konsentrasi 10, 25, dan 50 ppm. Bioassay nyamuk dewasa mengikuti metode WHO selama 24 jam dengan ulangan 3 kali. Aktivitas asetilkolinesterase (AChE), glutation s-tranferase (GST), dan oksidase diperiksa dengan metode biokimia. Perilaku makan darah dan waktu kenyang dilakukan dengan modifikasi metode Xue et al(2007). Ekstrak rimpang kunyit dan camphor pada konsentrasi 50 ppm mengakibatkan angka mortalitas sebesar 100% pada nyamuk betina Cx. quinquefasciatus selama 24 jam dengan nilai LC50 pada kedua zat berturut turut sebesar 5,386 ppm dan 14,121 ppm. Terdapat peningkatan aktivitas AChE dan penghambatan aktivitas GST dan oksidase yang signifikan (p<0,05). Terjadi perubahan perilaku nyamuk betina Cx. quinquefasciatus, yaitu makan darah dan waktu kenyang yang singkat. Ekstrak rimpang kunyit dan camphor pada konsentrasi 50 ppm memiliki potensi sebagai insektisida alternatif untuk mengendalikan populasi nyamuk Cx. quiquefasciatus.

Filariasis is still a public health problem in Indonesia, and the eradication of the disease is focused on the control of the Culex quinquefasciatus mosquito. Compounds from plants have been shown to kill female mosquitoes Cx. quinquefasciatus through the metabolic mechanisms and behavior of these mosquitoes. This study aims to evaluate the effect of turmeric rhizome extract (Curcuma longa) and camphor on female mosquitoes, Cx. quinquefasciatus, through the mechanism of detoxification enzyme metabolites, blood feeding rate, and engorgement time. The female mosquito, Cx. quinquefasciatus, was exposed to filter paper containing extracts of turmeric rhizome or camphor with concentrations of 10, 25, and 50 ppm. Adult mosquito bioassays follow the WHO method for 24 hours with a repeat of 3 times. The activities of acetylcholinesterase (AChE), glutathione s-transferase (GST), and oxidase were examined by biochemical methods. The modified method of Xue et al. (2007) was used to measure the blood feeding rate and the engorgement time. Extracts of turmeric rhizomes and camphor at 50 ppm caused 100% mortality in female mosquitoes Cx. quinquefasciatus after 24 hours, with LC50 values of 5.386 ppm and 14.121 ppm, respectively. There was a significant increase in AChE activity and inhibition of GST and oxidase activity (p 0.05). There is a change in the behavior of the female mosquito, Cx. quinquefasciatus, in the form of a decrease in blood feeding rate and a short engorgement time. Turmeric rhizome extract and camphor at a concentration of 50 ppm have the potential as alternative insecticides to control the mosquito population of Cx. quiquefasciatus."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian menggunakan jasad hayati B.sphaericus 2362 telah dilakukan di laboratorium stasiun penelitian vektor penyakit, Salatiga dan beberapa kolam tidak terawat milik penduduk desa Sukutukan, kecamatan Wulanggitang, kabupaten Fleres Timur. Kolam tidak terawat tersebut merupakan tempat perindukan jentik An.barbirostris. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efikasi formulasi liquid B.sphaericus 2362 terhadap jentik An.barbirostris baik di laboratorium maupun di lapangan. Pengujian di laboratorium dilakukan menurut prosedur WHO dan dimaksudkan untuk mendapatkan nilai LC50 dan LC90 yang dihitung dari analisis probit. Dari hasil pengujian di lapangan dengan dosis aplikasi sebesar 30 ppm, efikasi B.sphaericus 2362 terhadap jentik An.barbirostris dapat dipertahankan sampai hari ke-35 dengan persentase reduksi lebih dari 50%."
MPARIN 9 (1-2) 1996
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Penentuan hubungan kekerabatan spesies nyamuk yang ada di Yogyakarta telah dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif secara numeris. Pada penelitian ini didapatkan 11 spesies Anopheles yaitu 1 spesies dari subgenus Anopheles dan 10 termasuk subgenus Celia. Pengamatan sifat morfologi yang dipakai dari 11 spesies Anopheles menunjukkan bahwa antara AN.subpictus dan An.indefinititus mempunyai hubungan kekerabatan fenetis yang paling dekat dengan koefisisen korelasi 0,989 dan jarak taksonomi 2. Dalam pengelompokan didapatkan 2 gambar fenogram yang tidak sama dari perhitungan di atas. "
MPARIN 9 (1-2) 1996
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Universitas Indonesia, 1990
UI - Publikasi  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>