Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 63529 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Sifat putusan mahkamah konstitusi (MK) yang final sering dipersoalkan. Problemnya antara lain ketika para pencari keadilan meraskan adanya ketidakadilan Putusan MK. Tidak ada lain yang dapat dilakukan kecuali menerima dan melaksanakan Putusan tersebut. Kendati keadilannya dibelenggu dan dipasung oleh Putusan MK, para pencari keadilan, khususnya Pemohon tidak punya pilihan lain. Pada titik ini, persoalan pada aspek keadilan pada sifat final Putusan MK dijumpai, khususnya keadilan bagi pencari keadilan. Tulisan ini menegaskan tidak adanya persoalan pada aspek keadilan dalam sifat final Putusan MK manakala Para Pihak menyadari dan memahami sekurang-kurangnya 3 (tiga) hal, yaitu (1) sifat final dilekatkan pada hakikat kedudukan Konstitusi sebagai hukum tertinggi sehingga tidak ada hukum lain yang lebih tinggi darinya merupakan upaya untuk menjaga wibawa peradilan konstutusional dan kepastian hukum yang adil; (2) sifat final putusan MK merupakan upaya untuk menjaga wibawa peradilan konstitusional sehingga berbeda dengan peradilan umum; dan (3) kemungkinan Putusan MK salah tetap ada mengingat hakim konstitusi adalah manusia biasa, namun tidak ada alternatif yang lebih baik menggantikan sifat final putusan MK"
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan ultra petita adalah: (a) alasan filosofis dalam rangka menegakkan keadilan substantif dan keadilan konstitusional sebagaimana terkandung dalam UUD NRI 1945, (b) alasan teoritis berkaitan dengan kewenangan hakim untuk menggali, menemukan dan mengikuti nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, apabila hukumnya tidak ada atau hukumnya tidak memadai lagi (usang), dan (c) alasan yuridis terkait dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 dan Pasal 45 ayat (1) UU No. 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa MK sebagai penyelenggara peradilan bertujuan menegakkan hukum dan keadilan sesuai alat bukti dan keyakinan hakim. Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat ultra petita pada dasarnya dapat diterima, sepanjang terkait dengan pokok permohonan dan mendasarkan pada pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis (yakni mengandung nilai-nilai keadilan, moral, etika, agama, asas, doktrin). Wewenang membuat putusan yang bersifat ultra petita bagi Mahkamah Konstitusi dapat saja diberikan apabila terjadi kekaburan norma hukum (vague normen) melalui metode penafsiran hukum, atau bilamana terjadi kekosongan hukum (rechts-vacuum) melalui metode penciptaan hukum (rechtschepping). Namun mengingat penafsiran hukum maupun penciptaan hukum bersifat sangat subyektif, maka dalam rangka mencegah terjadinya menyalahgunaan kekuasaan, kewenangan Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan ultra petita, seharusnya dibatasi oleh prinsip–prinsip negara hukum demokratis, prinsip-prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak, dan asas-asas umum penyelenggaraan negara yang baik"
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Risna Ismail Suny
"Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang bersifat mandiri dengan posisi yang sejajar dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi berfungsi melakukan kekuasaan yang merdeka untuk menyelengarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Secara teoritis Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai pengawdl konstitusi, sebagai penafsir konstitusi, pelindung hak konstitusional warga negara, sebagai pelindung hak asasi manusia dan sebagai pengimbang demokrasi.
Fungsi-fungsi tersebut diterapkan dalam melaksanakan empat wewenangnya dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD RI 1945; memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD RI 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilu; dan memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana beret lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Mahkamah Konstitusi berusaha untuk menjadi penyeimbang dalam hubungan antar lembaga negara, sehingga Mahkamah Konstitusi berada di tengah-tengah mekanisme hubungan antar lembaga negara. Posisi tersebut terkait dengan bertambahnya lembaga-lembaga baru pasca reformasi dan juga peran Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang wewenang menyangkut sengketa kewenangan lembaga negara.

The Constitutional Court is one of Indonesia independent judicial power with the same level position as the Supreme Court. The Constitutional Court is an independent authority in enforcing justice in order to uphold the law. Theoretically, the Constitutional Court functions as the guardian of the constitution, as the sole interpreter of the constitution, as the protector of human rights, as the protector of the citizens' constitutional rights, and as The Agent of Control of Democracy.
These functions are applied in implementing its four authorities and one obligation of the Constitutional Court, namely to verify the legislation against the 1945 Constitution of Republic of Indonesia; to settle the disperse of political parties; to settle the dispute on the outcome of general election; and to provide a decision on the judgment of House of Representatives that the President and/or Vice President is allegedly committed a breach of law in the form of betrayal against the nation, corruption, bribery, other extreme criminal acts, or unlawful acts, and/or does not any longer meet the requirement as the President and/or Vice President.
Constitutional Court seeks to serve as a balancer of inter-institutions relationship. The position is related to the existence of new post-reform national institutions and also to the role of Constitutional Court as the authority in matter relating to the authority related dispute between the national institutions."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19665
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Hakim
"Penelitian ini berangkat dari factual problem penanganan perkara Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan dengan waktu penanganan perkara, ketidakpastian hukum, regulasi, disparitas waktu, konflik kepentingan, dan pelanggaran kode etik dalam penanganan perkara. Berdasarkan permasalahan tersebut dilakukan penelitian yang berfokus pada pelaksanaan prinsip-prinsip dan membangun model Good Court Governance (GCG) dalam sistem penanganan perkara di MK. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah mixed method dengan pendekatan post positivist dan konstruktivis. Hasil penelitian menunjukan bahwa pelaksanaan prinsip-prinsip GCG yaitu akuntabilitas, prosedur perkara, manajemen perkara, organisasi, perkembangan penanganan perkara, dan sistem pendukung di MK masih memiliki permasalahan. Problematika yang ditemukan diantaranya terkait disparitas waktu penanganan perkara, struktur organisasi, pelanggaran prosedur, inefisiensi dan inefektifitas proses berperkara, lemahnya institusi pengawasan dan kurang intensifnya pengawasan, regulasi serta penataan penanganan perkara berbasis online yang belum terkelola dengan baik serta rendahnya tingkat penggunaan teknologi peradilan oleh masyarakat . Selanjutnya, terkait model GCG dalam sistem penanganan perkara di MK, hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam membangun model Good Court Governance dalam sistem penanganan perkara di MK proses membangun model dipengaruhi oleh system contexts berupa dimensi-dimensi eskternal yaitu dimensi politik, dimensi sosial dan budaya, dan dimensi rekrutmen hakim di mana ketiga dimensi tersebut menjadi ekternal drivers yang memiliki pengaruh yang siginfikan dalam rangka mewujudkan sistem penanganan perkara di MK yang efektif, efisiens, akuntabel dan transparan serta dalam rangka mewujudkan kepastian hukum dan keadilan dalam berperkara di MK. Ketiga dimensi tersebut melibatkan aktor-aktor eksetrnal yang memiliki keterkaitan dengan MK sebagai lembaga peradilan dan aktor-aktor tersebut sangat penting untuk terlibat dan berkontribusi dalam mewujudkan sistem peradilan berdasarkan Model Good Court Governance di MK. Selanjutnya, dalam model GCG terdapat 6 faktor utama sebagai governance instruments dalam rangka mewujudkan sistem penanganan perkara yang efektif, efisien, akuntabel dan transparan yaitu sistem Akuntabilitas dan Transparansi, prosedur dan regulasi, kepemimpinan, sistem organisasi, sistem komunikasi, dan yang terakhir adalah sistem pendukung (IT). dalam pelaksanaanya Model GCG juga harus mengacu pada 10 prinsip dan strategi penanganan perkara yang menjadi syarat dalam penerapan Model GCG yang dibangun dalam penelitian ini.

"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Innasprilla
"Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga tinggi negara  yang bertugas untuk menjaga konstitusi. Hakim Mahkamah Konstitusi  yang merupakan pejabat negara dan dapat memutus perkara yang berkaitan dengan konstitusionalisme  dan memiliki dampak secara nasional menempatkan posisi Hakim Mahkamah Konstitusi pada posisi yang krusial. Pemberhentian yang dilakukan kepada Hakim Mahkamah Konstitusi memiliki pengaturan yang rinci, terutama prosedur pemberhentian tidak dengan hormat. Dalam prosedur pemberhentian tidak dengan hormat terdapat suatu mekanisme yaitu  pemberhentian sementara. Pemberhentian sementara memberikan kesempatan bagi hakim untuk membela diri dan memberikan kesempatan pada Mahkamah Konstitusi untuk tetap menjaga marwah integritas yang dimiliki dengan menonaktifkan hakim yang bermasalah terlebih dahulu. Posisi yang abu-abu terhadap Hakim Mahkamah Konstitusi berimbas pada kurangnya hakim yang mengadili dan akhirnya berimbas pada proses persidangan.  Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan tentang mekanisme pemberhentian sementara Hakim Mahkamah Konstitusi dan  implikasinya pada persidangan di Mahkamah Konstitusi. Penggunaan  metode yuridis normatif untuk menjawab dampak dari pemberhentian sementara pada persidangan  guna mengetahui  penyesuaian pelaksanaan dalam praktiknya.

Judges of the Constitutional Court who are state officials and can decide cases related to constitutionalism and have a national impact place the position of Constitutional Court Judges in a crucial position. The dismissal of Constitutional Court Judges has detailed arrangements, especially the procedure for dishonourable dismissal. In the procedure for dishonourable dismissal there is a mechanism, namely temporary dismissal. Temporary dismissal provides an opportunity for judges to defend themselves and provides an opportunity for the Constitutional Court to maintain the dignity of its integrity by deactivating problematic judges first. The grey position of the Constitutional Court judges has an impact on the lack of judges who hear cases and ultimately affects the trial process.  Therefore, the author will explain the mechanism for the temporary dismissal of Constitutional Court Judges and its implications for trials at the Constitutional Court. The use of normative juridical methods to answer the impact of temporary dismissal on the trial in order to find out the implementation adjustments in practice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2009
347.035 IND h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Malang: Setara Press, 2014
342.02 YUR
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Rianita Rehulina
"Sebelum adanya Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016, dalam prakteknya, Mahkamah Agung (MA) pernah menerima pengajuan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pengajuan PK tersebut menimbulkan pro dan kontra karena kekaburan norma sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam implementasinya. Dalam perkembangannya, dibentuk UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan), peraturan ini memberikan kewenangan kepada JPU untuk mengajukan PK dalam perkara pidana. Munculnya UU Kejaksaan dengan tidak memperhatikan Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016 selanjutnya akan dilakukan pengkajian, terutama menyangkut bagaimana kekuatan final dan mengikat serta keberlakuan Putusan MK Nomor Nomor 33/PUU-XIV/2016 pasca terbitnya UU Kejaksaan. Lebih lanjut penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual, dengan hasil penelitian sebagai berikut: kekuatan final dan mengikat Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016 menjadi hapus (tidak lagi menjadi final dan mengikat) dan Putusan MK Nomor 33/PUU-XIV/2016 menjadi tidak berlaku pasca diterbitkannya UU Kejaksaan sehingga yang disampaikan MK dalam pertimbangannya bahwa JPU tidak berwenang mengajukan PK dalam perkara pidana telah menjadi konstitusional dan dibenarkan menurut hukum sejak terbitnya UU Kejaksaan.

Prior to the Constitutional Court's Decision Number 33/PUU-XIV/2016, in practice, the Supreme Court (MA) had received a judicial review (PK) in a criminal case submitted by the Public Prosecutor (JPU). The submission of the PK raises pros and cons because of the ambiguity of norms, resulting in legal uncertainty in its implementation. In its development, Law Number 11 of 2021 concerning Amendments to Law Number 16 of 2004 concerning the Prosecutor's Office (AGO) was formed. The emergence of the Prosecutor's Law without paying attention to the Constitutional Court's Decision Number 33/PUU-XIV/2016 will then be studied, especially regarding how the final and binding force and the enforceability of the Constitutional Court's Decision Number 33/PUU-XIV/2016 after the issuance of the Prosecutor Law. Furthermore, this research uses normative juridical law research with a statutory approach and a conceptual approach, with the following research results: the final and binding force of the Constitutional Court Decision Number 33/PUU-XIV/2016 becomes null and void (no longer final and binding) and The Constitutional Court Number 33/PUU- XIV/2016 became invalid after the issuance of the Prosecutor's Law so that what was conveyed by the Court in its consideration that the Public Prosecutor was not authorized to file a PK in a criminal case had become constitutional and justified according to law since the issuance of the Prosecutor's Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Kekuasaan dalam negara harus dibatasi karena hanya dengan pembatasan, karakter kekuasaan Power tends to corrupt and absolut power corrupt absolutely dapat dikurangi. Dalam bangunan negara, hubungan lembaga-lembaga negara dalam konsep trias politika harus dalam posisi setara dan saling melakukan kontrol checks and balances. Hanya dengan prinsip kesetaraan dan saling kontrol prinsip negara hukum yang demokratis dapat ditegakan. Tulisan ini mencoba menguraikan kedudukan, fungsi dan peran MK dalam sistem Hukum dan Politik Indonesia."
342 JTRA 11:3 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>