Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 109787 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohammad Arief Rachman Kemal A S
"[Latar Belakang. Infeksi HIV merupakan suatu proses inflamasi kronik, diawali dengan cidera endotel yang mengakibatkan penebalan kompleks intima media. Pada HIV yang disertai infeksi oportunistik intrakranial resiko terjadinya penebalan kompleks intima media akan menjadi lebih besar serta akan memberikan manifestasi gangguan pembuluh darah, khususnya pembuluh darah karotis. Oleh karena itu perlu dilakukan deteksi dini pembuluh darah karotis sebagai salah satu dasar untuk menentukan perlu tidaknya pencegahan kejadian serebrovaskular
Metode. Desain penelitian adalah potong lintang untuk mengetahui gambaran ketebalan KIM karotis pada pasien HIV dengan infeksi oportunistik intrakranial. Subjek penelitian sejumlah 65 orang didapatkan di ruang rawat inap, poliklinik UPT HIV RSCM. Dilakukan wawancara menggunakan form penelitian, dan pemeriksaan ultrasonografi karotis.
Hasil. Didapatkan kadar rerata ketebalan KIM karotis pada pasien HIV dengan infeksi oportunistik intrakranial sebesar 0.62±0.07 mm, sedangkan rerata ketebalan KIM karotis pada pasien HIVtanpa infeksi oportunistik intrakranial sebesar 0.61±0.08 mm. Tidak terdapat perbedaan rerata yang bermakna antar kedua kelompok tersebut (p=0,79).
Simpulan. Rerata ketebalan KIM karotis pada pasien HIV dengan infeksi oportunistik intrakranial dibandingkan tanpa infeksi oportunistik intrakranial tidak ditemukan perbedaan yang bermakna. Rerata ketebalan KIM karotis pasien HIV dengan infeksi oportunistik intrakranial lebih tebal dibandingkan pasien sesuai umurnya., Background. HIV infection is a chronic inflammatory process that causes endothelial injury leading to thickening of the intima media complex. As a result, HIV patients with intracranial opportunistic infections have a higher risk to manifest vascular disturbance, especially within the carotid vessels. Therefore, early detection using carotid vessel examination is fundamental to determine the need for preventive action against cerebrovascular incidents.
Methods. This was a cross-sectional study in adult HIV patients with intracranial opportunistic infection. Sixty-five patients were recruited in neurology ward, and integrated outpatient clinic of HIV at Pokdisus AIDS Cipto Mangunkusumo hospital. Data was obtained via interview and questionnaires and the complex intima media thickness (CIMT) was assessed using carotid ultrasonography.
Results. Mean CIMT in HIV patients with intracranial opportunistic infection was 0.62±0.07mm, while it was 0.61±0.08mm in HIV patients without intracranial opportunistic infection. There was no significant difference in mean CIMT in HIV patients with or without intracranial opportunistic infection (p=0.79).
Conclusion. There was no significant difference in mean CIMT in HIV patients with or without intracranial opportunistic infection. Mean CIMT in HIV patients with intracranial opportunistic infection was higher than that in age-adjusted normal population.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Herdiman Theodorus
Jakarta: UI-Press, 2006
PGB 0168
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Jihan Rosita
"[Latar belakang Kondiloma akuminatum adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh human papillomavirus tipe tertentu dengan kelainan berupa fibroepitelioma pada kulit dan mukosa. Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi kondiloma akuminatum pada pasien HIV lebih tinggi daripada pasien non HIV. Hubungan antara hitung sel CD4+ dengan penemuan lesi kondiloma sudah banyak dilaporkan, namun tidak demikian halnya hubungan antara hitung sel CD4+ dengan ukuran lesi kondiloma. Data mengenai ukuran lesi kondiloma pada pasien HIV diharapkan dapat bermanfaat sebagai prediktor terhadap penurunan hitung sel CD4+ khususnya bagi pasien yang dicurigai namun enggan melakukan pemeriksaan status HIV. Tujuan Untuk mengetahui korelasi antara ukuran terbesar lesi kondiloma akuminatum anogenital dengan hitung sel CD4+ pada pasien HIV. Desain Penelitian deskriptif analitik dengan desain potong lintang pada pasien HIV dengan kondiloma akuminatum anogenital yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin divisi IMS RSCM, UPT HIV RSCM, dan Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta selama periode Juni-November 2014. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling. Hasil Terdapat 34 subyek penelitian (SP), terdiri atas 28 SP laki-laki (82,35%) dan dan 6 SP perempuan (17,65%), berusia 20-62 tahun, nilai rerata hitung sel CD4+ pada SP adalah 262±118 (4–467) sel/mm3. Dilakukan pengukuran lesi kondiloma secara klinis dengan menggunakan kaliper dan didapatkan nilai tengah ukuran terbesar lesi kondiloma adalah 392 (4-16.695.396) mm3. Dari analisis statistik didapatkan korelasi negatif lemah antara ukuran terbesar lesi kondiloma akuminatum anogenital dengan hitung sel CD4+ pada pasien HIV, namun tidak bermakna secara statistik (r = - 0.09, p>0.05).
Kesimpulan Tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara ukuran terbesar lesi kondiloma akuminatum anogenital dengan hitung sel CD4+ pada pasien HIV. Temuan ini dapat digunakan sebagai data dasar, dapat pula disimpulkan bahwa ukuran terbesar lesi kondiloma akuminatum anogenital tidak dapat digunakan sebagai prediktor terhadap penurunan hitung sel CD4+ pada pasien HIV., Background Condyloma acuminatum refers to a sexually transmitted infection due to certain types of human papillomavirus, manifested as fibroepithelioma on the skin and mucus membranes. Several studies have reported prevalence of condyloma acuminatum among HIV-infected patients is higher than HIVuninfected patients. The association between CD4+ cell count and detection of condyloma lesions have been reported frequently, but there was only one report about the association between CD4+ cell count and the size of condyloma lesions. Data about the size of condyloma lesions among HIV-infected patients hopefully can be used as a predictor of decrease in CD4+ cell count particularly in suspected patients who reluctant to examine their HIV serologic status. Objective To determine the correlation between the largest size of anogenital condyloma acuminatum and CD4+ counts in HIV-infected patients.
Method Analytic descriptive study with cross sectional method among
HIV-infected patients suffered from anogenital condyloma acuminatum who visited Sexually Transmitted Infections Division of Dermatovenereology Clinic RSCM, HIV Integrated Service Unit RSCM, and District Primary Health Care Pasar Rebo, Jakarta during period of June-November 2014. Sampling method was implemented as consecutive sampling. Results There were 34 participants, consists of 28 male (82,35%) and 6 female (17,65%), aged 20-62 years old, CD4+ cell count were 262±118 (4– 467) cells/mm3. We measured the size of condyloma lesions clinically using calipers, and median of the largest size of anogenital condyloma was 392 (4-16.695.396) mm3.
Statistical analysis revealed a weak inverse correlation between the largest size of
anogenital condyloma with CD4+ cell count in HIV-infected patients but not statistically significant (r = - 0.09, p>0.05). Conclusion There was a weak inverse correlation between the largest size of
anogenital condyloma acuminatum with CD4+ cell count in HIV-infected patients but not statistically significant. These findings can be used as a data base, and we conclude that the largest size of anogenital condyloma acuminatum can not be used as a predictor of decrease in CD4+ cell count in HIV-infected patients.
]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indria Yogani
"[Latar Belakang: HIV adalah infeksi yang menyerang sistem kekebalan tubuh, dengan CD4 sebagai sel targetnya. Dengan ditemukannya Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) diharapkan mampu menurunkan angka morbiditas dan mortalitasnya dengan cara mengurangi replikasi virus HIV dan meningkatkan jumlah CD4. Namun kenaikan CD4 tidak sama untuk setiap pasien. Terdapat faktor lain yang berhubungan dengan kenaikan CD4 pada pasien HIV.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, faktor risiko infeksi HIV, jumlah CD4 awal, jumlah infeksi opportunistik, stadium klinis HIV, jenis HAART yang diberikan, kepatuhan minum obat, infeksi tuberkulosis, hepatitis C, infeksi HSV, infeksi CMV, dan obat herbal dengan kenaikan CD4 dalam 6 bulan pertama setelah pemberian HAART.
Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan pada pasien HIV rawat jalan di Unit Pelayanan Terpadu HIV RSUPN Cipto Mangunkusumo dalam kurun waktu Januari 2004-Desember 2013. Data penelitian didapatkan dari rekam medis. Hubungan antara usia, indeks massa tubuh, dan jumlah CD4 awal dengan kenaikan CD4 dianalisis dengan uji beda dua rerata menggunakan Uji Mann Whitney. Sedangkan hubungan antara jenis kelamin, faktor risiko infeksi HIV, jumlah infeksi opportunistik, stadium klinis HIV, jenis HAART yang digunakan, kepatuhan minum obat, infeksi tuberkulosis, hepatitis C, infeksi HSV, CMV, dan obat herbal dengan kenaikan CD4 dianalisis dengan uji perbedaan dua kelompok kategorik (Uji Chi Square atau Fisher) serta analisis multivariat dengan teknik regresi logistik.
Hasil: Sebanyak 818 subjek diikutsertakan pada penelitian ini. Sebanyak 368 (45%) subjek tidak mengalami kenaikan CD4 seperti yang diharapkan. Median CD4 awal sebelum terapi 56 sel/mm3 dan setelah 6 bulan terapi 130 sel/mm3. Terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah CD4 awal (p<0,001), infeksi tuberkulosis (p=0,010) dan tingkat kepatuhan (p<0,001) dengan kenaikan CD4. Hasil analisis multivariat didapatkan bahwa jumlah CD4 awal (p<0,001; OR: 0,996; IK 95% 0,995-0,998), tidak patuh minum obat (p<0,001; OR:2,907; IK 95%: 2,162-3,909), dan infeksi tuberkulosis (p=0,021; OR: 1,527; IK 95%: 1,065-2,190) berhubungan dengan kenaikan CD4 pada pasien HIV yang mendapat HAART.
Simpulan: Jumlah CD4 awal, kepatuhan minum obat, dan infeksi tuberkulosis mempengaruhi kenaikan CD4 pada pasien HIV yang mendapat Highly Active Antiretroviral Therapy setelah 6 bulan pertama., Background: HIV infection attacked immune system causing immunodeficiency with CD4 as a targel cell. Highly Active Antiretroviral Therapy given to reduce HIV replications and increased CD4 counts. The increasing of CD4 count is different among each patient. There were several factors associated with the increased of CD4 count after first six months therapy.
Objectives: To prove that age, gender, body mass index, risk factor of HIV infection, CD4 pre HAART, number of opportunistic infections, HIV stadium, type of HAART, adherence, Tuberculosis infection, co-infection Hepatitis C, HSV infection, CMV infection, use of herb associated with the increased of CD4 count.
Methods: Retrospective cohort study conducted in this study, among out patient in Integrated HIV Clinic In Cipto Mangunkusumo General Refferal Hospital between January 2004-December 2013. The data of this study were taken from medical records. For age, body mass index, and CD4 pre HAART associated with the increased of CD4 were analyze using Mann Whitney Test. For variable gender, risk factor for HIV infection, number of opportunistic infections, HIV stadium, type of HAART, adherence, Tuberculosis infection, co-infection of Hepatitis C, HCV infection, CMV infection, and use of herb associated with the increased of CD4 analyze using Chi Square test of Fisher test and for multivariate analysis the logistic regression test.
Results: 818 subjects met the inclusion criteria. 368 subject did not meet the expected CD4 count. The median of CD4 pre HAART was 56 cell/mm3, and after six months therapy was 130 cell/mm3. There was significant correlation between CD4 pre HAART (p<0,001), tuberculosis infection (p=0,010), and adherence with the increasing of CD4 count (p<0,001). From the multivariate analysis, shown that CD4 pre HAART (p<0,001; OR: 0,996; IK 95% 0,995-0,998), not adherence (p<0,001; OR:2,907; IK 95%: 2,162-3,909), and tuberculosis infection (p=0,021; OR: 1,527; IK 95%: 1,065-2,190) associated with the increased of CD4 count after six months therapy.
Conclusion: Adherence, CD4 pre HAART, and Tuberculosis infection were associated with the increasing of CD4 count in HIV patient who received HAART in the first six months therapy.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zubairi Djoerban
Jakarta: UI-Press, 2003
PGB 0207
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Arwin A.P. Akib
Jakarta: UI-Press, 2007
PGB 0183
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Sucipto
"Latar belakang: Infeksi intrakranial merupakan masalah yang menjadi tantangan berat bagi setiap dokter yang merawat. Tingkat kematian saat rawat inap pasien infeksi intrakranial sangat tinggi. Walaupun pasien infeksi intrakranial dapat keluar dari rumah sakit dalam keadaan hidup, namun berbagai komplikasi dan masalah paska rawat inap yang kompleks dapat menyebabkan kematian pasien saat rawat jalan.
Metode penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif untuk mengetahui kesintasan 180 hari pada pasien infeksi otak yang dirawat di RS Cipto Mangunkusumo. Populasi penelitian ini adalah subjek dari penelitian Optimization of Diagnosis and Treatment of Tuberculous Meningitis ODT-TBM selama periode Januari-Desember 2015. Keluaran 180 hari subjek diketahui dengan penelusuran data kunjungan rawat jalan melalui rekam medis, telepon, pesan singkat atau kunjungan rumah. Analisis kesintasan Total survival rate dilakukan dengan menggunakan analisis cox regression baik univariat maupun multivariat. Penyajian data kesintasan dilakukan dengan menggunakan kurva kaplan meier.
Hasil: Didapatkan 218 pasien dengan diagnosis akhir infeksi intrakranial. Berdasarkan status HIV, didapatkan 47,7 subjek HIV positif dan 52,3 HIV negatif. Tingkat kesintasan 180 hari pasien infeksi intrakranial di RSCM secara umum adalah 43,5. Kesintasan pada kelompok HIV positif 32,7 secara bermakna p 0,005; Rasio Hazard 1,695 1,177-2,442 lebih buruk daripada HIV negatif 53,5. Faktor lain yang mempengaruhi kesintasan adalah usia, papiledema, suhu aksila awal, SKG awal, anemia, hiponatremia, gambaran herniasi serebri pada pencitraan otak, rasio glukosa CSS/serum, dan kadar protein CSS.
Kesimpulan : Tingkat kesintasan 180 hari pasien infeksi intrakranial pada penelitian ini rendah. Infeksi HIV secara bermakna mempengaruhi kesintasan pasien infeksi intrakranial.

Background: Managing brain infection patients is a challenge for every physician. Beside a very high in hospital mortality, many complexes problems and complications can cause patient die after discharge.
Methods: This is a retrospective cohort research to find 180 days outcomes of brain infection patients that admitted in Cipto Mangunkusumo Hospital. The study population is Optimization of Diagnosis and Treatment of Tuberculous Meningitis ODT TBM research subject that admitted in 2015. Health records, phone calls, short message or home visit is done to find patient rsquo s outcome. Total survival rate analysis is done with univariate and multivariate cox regression analysis. The comparison of survival rates between 2 groups is presented by Kaplan Meier curve.
Results: A total of 218 subjects were included in this study. There were 47,7 subjects with HIV positive and 52,3 HIV negative. Overall 180 days survival rates is 43,5. HIV status is strongly influenced the survival rate of brain infection patients in this study p value 0,005 Hazard Ratio 1,695 1,177 2,442. The survival rate of HIV negative subjects was 53,5 that significantly higher than HIV positive subjects 32,7. Other factors that influenced the survival rate in this research are age, papil edema, early axial temperature, Glasgow coma scale, anemia, hyponatremia, imaging of brain herniation, blood CSF glucose ratio and CSF protein.
Conclusion: The survival rate of brain infection patients in this research is low. HIV infection significantly influenced patients rsquo survival rates.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novie Rahmawati Zirta
"Latar Belakang: Angka kejadian Tuberkulosis Ekstra Paru (TBEP) lebih tinggi pada pasien dengan infeksi HIV. Pasien TBEP dengan infeksi HIV berisiko mengalami perburukan yang cepat dan angka kematian yang tinggi. Oleh karena nya perlu diketahui karakterisitik klinis setiap jenis TBEP agar dapat mendeteksi HIV dan memulai tatalaksana TBEP lebih dini.
Tujuan: Mengetahui pola demografi pasien TBEP dan mengetahui karakteristik klinis TBEP pada pasien HIV positif dan HIV negatif.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan desain potong lintang dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien TBEP di seluruh RSCM baik rawat jalan maupun rawat inap selama tahun 2008-2012. Semua data dikumpulkan dan diseleksi. Kriteria inklusi penelitian ini adalah pasien TBEP dewasa dan memiliki data rekam medis yang lengkap serta dilakukan pemeriksaan Elisa anti HIV. Data yang terkumpul diolah secara deskriptif dengan menggunakan piranti lunak SPSS.
Hasil: Penelitian ini mendapatkan 620 pasien TBEP yang terdiri dari 75,97% dengan HIV positif dan 24,03% dengan HIV negatif. Kelompok usia terbanyak 18-40 tahun. Jenis kelamin pria didapat sebesar 76,6%. Sebagian besar (57,7%) berpendidikan SMA dan sederajatnya dan 46,13% tidak bekerja. Distribusi organ terbanyak pada kelompok HIV positif adalah limfadenitis TB ( 42,59%) dan pada kelompok HIV negatif adalah meningitis TB (36,18%). Gambaran klinis sistemik terbanyak adalah penurunan berat badan, demam lama, dan lemah/lemas. Karakteristik klinis tiap jenis TBEP pada kelompok HIV positif dan HIV negatif pada umumnya serupa dan keluhan terbanyak adalah nyeri.
Simpulan : Proporsi TBEP pada pasien HIV positif lebih banyak dari pada HIV negatif. Pola demografi TBEP adalah sebagian besar pria, kelompok usia 18-40 tahun, berpendidikan SMA dan sederajatnya, sudah menikah, dan tidak bekerja. Karakteristik klinis setiap jenis TBEP pada pasien HIV positif dan HIV negatif serupa.

Background: Prevalence of Extrapulmonary TB (EPTB) increases along with an escalated number of HIV infection. Patients with EPTB with HIV infection are at risk of having rapid deterioration and higher death rate. Therefore, it is important to identify clinical characteristics of each EPTB in both HIV positive and negative patients allowing early EPTB management and thus decreasing its mortality rate.
Objectives: To recognize the demographic pattern of EPTB patients and identify clinical characteristics of EPTB in HIV positive and negative patients.
Methods: This was a cross sectional study that utilized secondary data from medical records of EPTB patients from all units in RSCM, both outpatient and inpatient during a period from 2008 - 2012. Data were gathered and selected. All EPTB patients who had complete medical record and had anti HIV ELISA examined were included in this study. Gathered data were processed descriptively by using SPSS software to be presented.
Result: This study obtained data from 620 EPTB patients consisted of 75,97% with HIV positive and 24,03% with HIV negative. Most patients were in 18 - 40 year-old age group, 70% were male, 57,7% had education at senior high school or equivalent level while 46,13% were unemployed. Distribution of organ involvement in HIV positive were lymphadenitis ( 42,59%) and in HIV negetive were meningitis (36,18%). Systemic clinical presentation were mostly weight loss, prolonged fever, and weakness/fatigue. Clinical characteristics in each EPTB both in HIV positive and negative were generally similar. The most common symptoms were pain.
Conclusion: EPTB proportion in HIV positive patients were higher than in HIV negative. Demographic pattern of EPTB were mostly male, age group 18 - 40 year-old, senior high school or equivalent level and unemployed. Clinical characteristics from each type of EPTB in HIV positive and negative were similar.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arini Dwi Deswanti
"ABSTRAK
Tingginya jumlah kasus penderita AIDS di Indonesia berdasarkan pekerjaan yang berasal dari kelompok ibu rumah tangga memperbesar kemungkinan terjadinya penularan HIV dari ibu ke anak melalui transmisi vertikal. Kecenderungan remaja dengan HIV mengalami penundaan disclosure HIV dan stigma HIV merupakan tantangan sulit yang harus dihadapi remaja dengan HIV di masa mendatang. Penelitian ini melihat gambaran kondisi sosioemosional remaja dengan HIV yang hidup dalam stigma. Penelitian ini dilaksanakan di Jakarta, bekerjasama dengan dua Lembaga Swadaya Masyarakat LSM yang bergerak di bidang HIV/AIDS yaitu Yayasan Pelita Ilmu YPI dan Yayasan Vina Smart Era VSE . Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Informan dalam penelitian ini sebanyak 13 orang yang terdiri dari 7 remaja dengan HIV sebagai informan kunci, dan 6 pengasuh remaja dengan HIV sebagai informan pendukung. Usia informan kunci dalam penelitian ini berkisar antara 11-17 tahun. Temuan dalam penelitian ini dibedakan menjadi kondisi sosioemosional pada remaja awal dan remaja akhir dengan HIV. Hasil dari penelitian ini, didapat 2 tipe kondisi sosioemosional remaja awal dan 2 tipe kondisi sosioemosional remaja akhir dengan HIV yang dibentuk oleh proses disclosure, stigma yang dialami, dan teman sebaya.

ABSTRACT
High amount of people with AIDS in Indonesia based on proffession placed by housewife which means increasing possibility infection HIV from mother to child by vertical transmission. Postponing disclosure process of HIV to adolescences and stigma related HIV are the great challenges that adolescence would face in the future. This study describes socioemotional condition among HIV infected adolescences who living with stigma. This study located in Jakarta and surroundings which cooperate with two Non Government Organization NGO of HIV AIDS Yayasan Pelita Ilmu YPI and Yayasan Vina Smart Era VSE . This study uses descriptive qualitative approach. Participants in this study are adolescences as key participants age range 11 17 years old and their caregiver as support participants with total 13 persons. Findings from this study can be divided into two group, these are socioemotional condition among early adolescences and socioemotional condition among late adolescences. Results from this study explains there are two type of socioemotional condition among early adolescents and two type of socioemotional condition among late adolescents that formed by disclosure processes, stigma related HIV, and peers."
2018
T50543
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Latar Belakang: Ko-infeksi dengan human immunodeficiency virus (HIV) pada infeksi virus hepatitis C memiliki angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Salah satu defek imunologik yang terjadi pada ko-infeksi ini ialah dalam hubungannya dengan populasi sel NK (CD56+CD3-) dan NKT (CD56+CD3+) di hati, yang dalam keadaan normal berperan penting dalam jejas di hati dan fibrogenesis. Kedua populasi sel ini dikatakan menurun dan mengalami disfungsi pada ko-infeksi ini dan dikaitkan dengan progresivitas penyakit serta fibrosis di hati. Pemberian Anti Retroviral Therapy (ART) diharapkan dapat memperbaiki defek imunologik pada kedua populasi sel ini. Immune restoration disease (IRD) virus hepatitis C merupakan salah satu efek samping pemberian ART pada ko-infeksi ini dan mungkin melibatkan kedua populasi sel tersebut.
Bahan dan Metode: Pulasan imunohistokimia dengan CD56 dilakukan pada 39 spesimen biopsi pasien sebelum pemberian ART dan 26 spesimen setelah pemberian ART selama 48 minggu. Parameter klinik dan histopatologik dari penelitian sebelumnya dicatat. Rerata sel limfosit CD56+ dihitung dalam 3-5 area porta yang terlihat.
Hasil: Rerata sel limfosit CD56+ tidak meningkat setelah pemberian ART (p=0,35) dan tidak menunjukkan korelasi baik dengan skor fibrosis, jumlah sel T CD4+ di darah tepi, viral load HIV dan viral load virus hepatitis C. Tidak didapatkan pula perbedaan rerata sel limfosit CD56+ antara kelompok dengan dan tanpa IRD virus hepatitis C.
Kesimpulan: Ko-infeksi HIV dan virus hepatitis C mungkin memiliki efek permanen pada sel NK dan NKT di hati dan pemberian ART saja tidak dapat mengembalikan jumlah kedua populasi sel tersebut., Background: Human immunodeficiency virus (HIV) and hepatitis C virus (HCV) coinfection has a high mortality and morbidity rate. One of the immunological defects in this coinfection is in NK (CD56+CD3-) and NKT (CD56+CD3+) cells population in the liver, which in normal condition have important role in liver injury and fibrogenesis. Both cell populations decrease in numbers and have dysfunction in this coinfection and are related with disease progression and fibrosis in the liver. Anti retroviral therapy (ART) given to coinfected patients is expected to repair immunological defect in both NK and NKT cell populations. HCV immune restoration disease (IRD) is one of the side effects of ART in this coinfection and may also involve both cell populations.
Materials and methods: Immunostaining with CD56 was performed on 39 biopsy samples of coinfected patients at baseline and 26 biopsy samples after 48 weeks of ART. Both clinical and histopathological parameters from previous study were noted. Means of CD56+ lymphocyte were counted over 3-5 portal areas.
Result: Means of CD56+ lymphocyte counts did not increase after ART (p=0.35) and did not correlate with fibrotic score, CD4+ T cell count in peripheral blood, and neither with HIV and HCV viral load. There was no difference in CD56+ lymphocytes count between HCV IRD and non HCV IRD group.
Conclusion: HIV/HCV coinfection might have permanent effect on both NK and NKT cells population and ART alone can not reverse NK and NKT cell numbers in this coinfection.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>