Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149853 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Naindra Kemala Dewi
"LATAR BELAKANG: Tuberkulosis (TB) hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan di dunia. Berdasarkan tuberculosis global report 2013 insidens TB pada tahun 2012 di seluruh dunia tidak jauh berbeda dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu sekitar 8,6 juta. Berbagai penelitian menunjukan bahwa TB mempunyai kaitan erat terhadap gangguan hematologi seperti anemia, lekositosis, netrofilia, peningkatan laju endap darah (LED), trombositosis atau trombositopenia. Menurut WHO anemia merupakan indikator yang buruk terhadap status nutrisi dan tingkat kesehatan pasien dengan TB paru. Status nutrisi sendiri mempunyai peran terhadap seluruh fungsi sistem tubuh termasuk sistem imunitas terhadap berbagai penyakit infeksi dan status nutrisi pada pasien TB paru ditemukan secara bermakna lebih rendah dibandingkan orang sehat. Kedua keadaan ini saling berkaitan satu dengan lainnya, malnutrisi dapat menjadi predisposisi terjadinya penyakit TB dan TB itu sendiri dapat menyebabkan malnutrisi.
TUJUAN: Penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara perubahan nilai pemeriksaan hematologi (DHb, DLekosit, DLED) dan status gizi (DAlbumin, DIMT) pasien TB paru BTA (+) kasus baru sebelum dan sesudah pemberian OAT kategori 1 fase intensif dengan usia, jenis kelamin, konversi sputum dan perubahan gambaran foto toraks.
METODE: Penelitian dengan desain uji klinik pre dan post study sejak bulan Januari-Juni 2014. Sebanyak 114 subjek penelitian terpilih sesuai kriteria inklusi dan bersedia mengikuti penelitian hingga akhir fase intensif.
HASIL: Dari 114 orang subjek penelitian, 13 orang subjek dikeluarkan karena tidak dapat menyelesaikan penelitian. Terdapat 101 orang subjek penelitian yang bisa menyelesaikan penelitian dengan kelompok usia yang terkecil antara 23-46 tahun. Subjek penelitian terbanyak laki-laki (67,3%) dengan pendidikan terbanyak menengah (40,6%) dan bekerja sebagai pegawai swasta (41,5%). Sebagian besar subjek mengalami konversi sputum (81,2 %) dan perbaikan foto toraks (63,4%). Parameter hematologi mean ΔHb (0,78±1,08), median ΔLeukosit [1.760 (-8.948,93 - 17.738,96)], median ΔLED [-24,00 (-85 - 83)]. Parameter status gizi median ΔAlbumin [0,50 (0 - 2)] dan median ΔIMT [0,93 (-2,34 - 3,51)].
KESIMPULAN: Terdapat hubungan yang bermakna antara parameter hematologi (Δleukosit) terhadap konversi sputum (p=0,038) dan parameter status gizi (ΔIMT) terhadap konversi sputum (p=0,004).

BACKGROUND: Up to now, tuberculosis is still becoming a world health problem. Based on tuberculosis global report 2013, the incidence of TB in 2012 was not far different from the previous years that was about 8,6 millions. Various studies have showed that TB is closely related to the disturbance of hematology such as anemia, leucocytosis, neutrophylia, increasing of blood sedimentation rate, thrombocytosis or thrombocytopenic. According to WHO, anemia becomes bad indicator to nutritional and health status in patient with TB. While the nutrition status it self has an important role to the whole function of the body system including immune system to avoid various infectious diseases. The nutritional status in patients with TB significantly found lower compared to the healthy persons. These two factors are closely related to each other. Malnutrition cause predisposition of TB whereas TB it self can cause.
PURPOSE: This study is aimed to know the relationship between hematology parameter changes (∆Hb, ∆Leucocyte, and ∆erythrocyte sedimentation rate/ESR) and the nutritional status (∆Albumin, ∆BMI) in patients with TB, AFB (+) new case before and after treatment with antituberculosis drugs category I during intensive phase based on age, sex, sputum conversion, and thorax radiology changes.
METHOD: This method uses clinically design for Pre and post study from January up to June 2014. Around 114 persons have been selected according to inclusion criteria and agree to join this study until the end of intensive phase.
RESULT: From 114 persons used as subjects, 13 are excluded due to the unfinished study. There are 101 subjects who are able to complete this study with the lowest age are 23 to 46. The largest subjects are male (67.3%) with their education are senior high school (40.6%) and working as private employees (41.5%). Most subjects have sputum conversion (81,2%) and radiological improvement (63.4%). In hematology parameter, the mean ∆Hb is (0.78±1.08), the ΔLeucocyte median is [1,760 (-8,948.93 - 17,738.96)], the ΔESR median is [-24.00 (-85 - 83). In nutritional status parameter, the median for ∆Albumin is [0.50 (0-2)] and ∆BMI is [0.93(-2.34 - 3.51)].
CONCLUSION: Statistically, there are significant relationship between hematology parameter (∆Leucocyte) to sputum conversion (p=0.038) and nutritional status (∆BMI) to sputum conversion (p=0.004).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tika Dwi Tama
"ABSTRAK
Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan indeks massa tubuh (IMT)
dengan konversi sputum pada pasien TB paru BTA positif. Studi dilakukan pada
Desember 2013 – Januari 2014 di poli paru RSUP Persahabatan. Desain studi
yang digunakan adalah desain studi kohort retrospektif. Jumlah sampel pada studi
ini adalah 120 pasien, 60 pasien dengan IMT < 18,5 kg/m2 dan 60 pasien dengan
IMT ≥ 18,5 kg/m2. Sampel diambil secara konsekutif. Dari studi ini, diketahui
bahwa probabilitas kumulatif gagal konversi pasien TB paru sebesar 17,0% dan
sebanyak 9,2% pasien TB paru mengalami gagal konversi. Probabilitas kumulatif
gagal konversi pada pasien TB paru BTA positif dengan IMT < 18,5 kg/m2
(24,4%) lebih besar dibanding pasien dengan IMT ≥ 18,5 kg/m2 (9,3%). Di antara
pasien dengan IMT < 18,5 kg/m2, hazard rate konversi sputum akan semakin
rendah jika peningkatan berat badan yang dialami pasien di akhir tahap intensif <
1 kg dibandingkan dengan pasien yang mengalami peningkatan berat badan ≥ 1
kg. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa indeks massa tubuh < 18,5
kg/m2 menurunkan peluang terjadinya konversi sebesar 37,8% (HR 0,622; 95%
CI 0,389-0,995) setelah dikontrol oleh kategori pengobatan, peningkatan berat
badan di akhir tahap intensif, dan hasil sputum di awal pengobatan. Status gizi
pasien selama masa pengobatan perlu ditingkatkan untuk menunjang keberhasilan
pengobatan.

ABSTRACT
The aim of this study was to identify the association of body mass index
(BMI) with sputum smear conversion among AFB positive pulmonary tuberculosis
patients. This study was conducted from Desember 2013 to Januari 2014 at
pulmonary ward RSUP Persahabatan. The design study was retrospective cohort.
A total of 120 patients consecutively enrolled in this study, 60 patients having
BMI < 18,5 kg/m2 and 60 patients having BMI ≥ 18,5 kg/m2. The cumulative
probability of failed conversion among AFB positive pulmonary tuberculosis
patients was 17,0% and 9,2% patients failed to have sputum conversion. The
cumulative probability of failed conversion among patients having BMI < 18,5
kg/m2 (24,4%) was higher than patients having BMI ≥ 18,5 kg/m2 (9,3%). Among
BMI < 18,5 kg/m2 patients, hazard rate of sputum conversion would be lower if
their weight gain at the end of intensive phase < 1 kg than having weight gain ≥ 1
kg. Multivariat analysis found that BMI < 18,5 kg/m2 reduced the probability of
sputum conversion up to 37,8% (HR 0,622; 95% CI 0,389-0,995) after controlled
by treatment category, weight gain at the end of intensive phase, and initial
sputum. Nutritional status of TB patients during treatment must be increased to
support the successful treatment."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T42058
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dance Dita Pranajaya
"Latar Belakang: Sudah diketahui bahwa peningkatan indeks massa tubuh (IMT) merupakan indikator peningkatan profil lipid. Dengan adanya penelitian terbaru dari Ashwell yang menyatakannya bahwa Rasio lingkar perut tinggi badan (RLP-TB) lebih sensitif terhadap kasus dislipidemia dari pada indeks massa tubuh. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui korelasi rasio lingkar perut tinggi badan dan indeks massa tubuh terhadap profil lipid pada pekerja di PT.E yang bergerak di Industri Migas.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi korelasi, menggunakan data sekunder hasil medical check-up pekerja tahun 2013 dan 2014. Berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi didapatkan data sebanyak 130 orang untuk tahun 2013 dan 69 orang untuk tahun 2014.
Hasil Penelitian: Dari total 199 subyek, didapatkan RLP-TB (r: 0.186 dan r: 0.334) memiliki nilai koefisien korelasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan IMT (r: 0.180 dan r: 0.319) pada parameter metabolik kolesterol dan trigliserid, namun pada HDL, IMT memiliki nilai koefisien korelasi lebih baik (r: -0.328) daripada Rasio Lingkar Perut dan Tinggi Badan (r: -0.291). Namun perbedaan koefisien korelasi tersebut relatif tidak besar sehingga dapat dikatakan Rasio Lingkar Perut-Tinggi Badan tidak lebih baik sebagai prediktor profil lipid dibandingkan dengan Indeks Massa Tubuh.

Background: It is already known that increasing Body Mass Index is an indicator of increasing lipid profile. The latest research from Ashwell has revealed that the Waist circumference – height ratio is more sensitive than body mass index on dyslipidemia. Therefore, the researchers wanted to determine the correlation of Waist circumference – height ratio and body mass index to lipid profile on PT. E workers who running the business in oil and gas.
Methodology: This is a correlation study used secondary data from employee medical check-up data on years 2013 and 2014. Based on the inclusion and exclusion criteria, obtain a 130 subject for year 2013 and 69 subject for year 2013.
Research result: From the 199 subject, obtain a Waist circumference – height ratio (r: 0.186 and r: 0.334) has relative high correlation coefficient to cholesterol and triglyceride compared by Body mass index (r: 0.180 and r: 0.319), but body mass index has good correlation coefficient (r:-0.328) with HDL rather than Waist circumference – height ratio (r: -0.291). But, the differentiation of correlation coefficient between Body Mass Index and Waist Circumference-Height ration is not significant. The conclusion is Waist Circumference-Height Ratio is not better than Body Mass Index as a profile lipid predictor
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benny Budiman
"Background: antiretroviral drug-related liver injury (ARLI) is a drug-induced hepatotoxicity due to antiretroviral medication (ARV). It commonly disrupts compliance to treatment and causes treatment discontinuation in HIV-infected patients. Several studies have been conducted on predisposing factors for ARLI including studies on body mass index (BMI) and cluster of differentiation 4 (CD4). The association of BMI and CD4 with ARLI remains controversial as previous studies have demonstrated different outcomes. Our study was conducted to identify the association of low baseline BMI and CD4 cell count as risk factors for ARLI in HIV-infected patients.
Methods: this is a cross-sectional study. Subjects were 75 patients with HIV-AIDS who received ARV therapy using fixed-dose combination (tenofovir, lamivudine, efavirenz) at the Teratai HIV outpatient clinic of Hasan Sadikin Hospital in Bandung city. Alanine aminotransferase (ALT) test was performed prior to starting ARV treatment and the test was repeated on the sixth month of therapy.
Results: there was no significant difference on the proportion of low baseline CD4 count between ARLI and non-ARLI group (p=0.155). Bivariate analysis demonstrated that regarding the proportion of low baseline BMI, there was a significant difference between ARLI and non-ARLI group (p= 0.001). Multivariate analysis using logistic regression showed that BMI of < 18.5 kg/m2 increased the risk for developing ARLI by 5.53 fold; while CD4 cell count of < 200 cells/µL did not the risk.
Conclusion: our study indicates that low baseline BMI may increase the risk for developing ARLI; while low baseline CD4 cell count does not; therefore, we suggest that ALT test should be performed on a routine basis among HIV-AIDS patients for early detection of ARLI, particularly in patients with low BMI.

Latar belakang: antiretroviral drug-related liver injury (ARLI) adalah salah satu jenis hepatotoksisitas terkait obat yang disebabkan karena obat antiretroviral (ARV). Kejadian ARLI sering mengganggu kepatuhan berobat dan menyebabkan putus berobat pada pasien HIV. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mempelajari faktor predisposisi kejadian ARLI, di antaranya adalah penelitian tentang indeks massa tubuh (IMT) dan cluster of differentiation 4 (CD4). Hubungan nilai IMT dan CD4 dengan kejadian ARLI masih menjadi kontroversi karena keluaran yang berbeda dari beberapa penelitian sebelumnya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan IMT dan CD4 awal yang rendah sebagai faktor risiko kejadian ARLI pada pasien HIV.
Metode: penelitian ini merupakan studi potong lintang pada 75 orang dengan HIV-AIDS (ODHA) yang mendapat terapi ARV dalam bentuk kombinasi dosis tetap (tenofovir, lamivudine, efavirenz) di Poliklinik Teratai Rumah Sakit Hasan Sadikin. Pemeriksaan Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT) dilakukan sebelum ODHA memulai pengobatan ARV dan diulang pada bulan ke-6 pengobatan ARV.
Hasil: tidak terdapat perbedaan bermakna proporsi hitung CD4 awal yang rendah antara kelompok ARLI dan kelompok non-ARLI (p=0,155). Analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna proporsi nilai IMT awal yang rendah antara kelompok ARLI dan kelompok non-ARLI (p=0,001). Analisis multivariat dengan regresi logistik mendapatkan bahwa IMT <18,5 kg/m2 meningkatkan risiko 5,53 kali untuk terjadinya ARLI, sedangkan CD4 <200 sel/μl tidak meningkatkan risiko untuk terjadinya ARLI.
Kesimpulan: nilai IMT awal yang rendah akan meningkatkan risiko terjadinya ARLI sedangkan hitung CD4 awal yang rendah tidak meningkatkan risiko terjadinya ARLI. Oleh karena itu, kami menyarankan bahwa pemeriksaan SGPT sebaiknya dilakukan secara rutin pada ODHA sebagai deteksi dini terjadinya ARLI, khususnya pada pasien dengan IMT rendah
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2019
610 UI-IJIM 51:3 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Diyah Kristanty R.
"Dalam upaya menekan laju pertambahan penduduk dunia yang sangat pesat telah menggugah para ahli Andrologi untuk berusaha mencegah dengan cara yang efektif dan aman, dapat kembali normal dan mudah digunakan serta dapat diterima oleh masyarakat. Para androlog telah menemukan kombinasi hormon androgen dan progesteron, dari hasil penelitian dapat membuat pria menjadi azoospermia dan oligospermia. Faktor yang dapat menimbulkan perbedaan penekanan dalam spermatogenesis disebabkan oleh variasi sosiologis baik secara genetik atau disebabkan faktor lingkungannya termasuk nutrisi dan menu. Status nutrisi terutama konsumsi lemak dan protein tinggi, menentukan pengaturan ikatan antara Sex Steroid Binding Protein (SBP) atau Sex Hormon Binding Globulin (SHBG) dengan testosteron bebas yang akan digunakan dalam mekanisme umpan balik negatif. Sex Hormon Binding Globulin berperan dalam mengikat hormon-hormon steroid seks (dehidrotestosteron, testosteron dan estradiol) di dalam sirkulasi darah dengan afinitas yang kuat. Kadar testosteron total, testosteron bebas dan SHBG juga dipengaruhi oleh besarnya BMI (Body Mass Index). Karena diduga komposisi nutrisi dalam makanan merupakan salah satu faktor yang menentukan produksi hormon dan metabolisme hormon seks SHBG, sehingga SHBG sangat mungkin terlibat dalam pengaturan fertilitas pria melalui keseimbangan hormon seks.
Dari keseluruhan uraian tersebut diatas menunjukkan bahwa SI-BG merupakan salah satu faktor dalam mempelajari ilmu andrologi, khususnya dikaitkan dengan program keluarga berencana pria. Untuk itu perlu dilakukan penelitian terhadap SHBG dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pengukuran konsentrasi SHBG, menggunakan immunoradiorneric assay (IRMA), untuk mengetahui komposisi asupan makanan karbohidrat, lemak dan protein dilakukan pencatatan makanan (food recall dan food record) selama 3 hari sedangkan testosteron total dan bebas dengan menggunakan radioimnrunoessay (RIA), dan pengukuran BMI dilakukan penimbangan badan serta tinggi badan. Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui korelasi antara SHBG dengan parameter-parameter yang diukur dan analisis regresi Banda untuk mengetahui hubungan yang paling erat antara konsentrasi SHBG dengan parameter-parameter yang diukur.
Hasil dan Kesimpulan:
Hasil penelitian menunjukkan bahwa SHBG mempunyai korelasi positif terhadap karbohidrat dan testosteron total (nilai r karbohidrat = 0,046; p = 0,375 dan nilai r testosteron total = 0,325; p=0,011). Konsentrasi SHBG mempunyai hubungan yang cendrung menurun terhadap testosteron bebas (r = 0,268; p=0,034). Konsentrasi SHBG mempunyai hubungan negatif terhadap protein (r = 0,077; p = 0,298), lemak (r = 0,052; p = 0,361), dan BMI (r = 0,012; p = 0,240).
Hubungan antara kadar SHBG terhadap asupan makanan, kadar testosteron total, testosteron bebas dan BMI pada pria Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan IV (empat) telah dibuktikan sebagai berikut:
Semakin tinggi protein, semakin rendah kadar SHBG.
Semakin tinggi lemak, semakin rendah kadar SHBG.
Semakin tinggi kadar testosteron total, semakin tinggi kadar SHBG.
Semakin tinggi kadar testosteron bebas, semakin menurun kadar SHBG.
Semakin besar angka Body mass index (BMT), semakin rendah kadar SHBG."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T 13678
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfiyyah Rizqy
"Latar belakang: Menarke merupakan peristiwa menstruasi pertama yang mencerminkan berbagai aspek kesehatan. Usia menarke remaja putri di Indonesia mengalami penurunan akibat berbagai faktor. Peneliti bertujuan ingin mengonfirmasi lebih lanjut hubungan usia menarke dengan indeks massa tubuh (IMT), aktivitas fisik, dan konsumsi teh.
Metode: Penelitian ini merupakan studi cross-sectional pada 84 remaja putri berusia 9-15 tahun di Kota dan Kabupaten Tegal, yang mengalami menarke dalam satu tahun terakhir. Data usia menarke dan aktivitas fisik diambil menggunakan kuesioner yang diisi berdasarkan ingatan remaja putri. IMT dihitung berdasarkan berat badan serta tinggi badan yang diukur mandiri atau oleh peneliti. Data konsumsi teh diambil menggunakan metode wawancara.
Hasil: Median usia menarke dari penelitian adalah 11.42 tahun dengan usia menarke tercepat, yaitu 9 tahun dan usia menarke paling lambat 13.83 tahun. Tidak ditemukan adanya hubungan signifikan antara IMT dengan usia menarke (p = 0.291), aktivitas fisik dengan usia menarke (p = 0.241), dan konsumsi teh dengan usia menarke (p = 0.758). Uji korelasi menunjukkan korelasi negatif yang tidak signifikan antara IMT dengan usia menarke (r = -0.058; p = 0.602) dan korelasi positif yang tidak signfikan antara konsumsi teh dengan usia menarke (r = 0.005; p = 0.975)
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara IMT, aktivitas fisik, dan konsumsi teh dengan usia menarke pada remaja putri di Kota dan Kabupaten Tegal

Introduction: Menarche is the first menstrual event that reflects various aspects of health. The menarche age for adolescent girls in Indonesia has decreased due to various factors. Researchers aimed to further confirm the relationship between menarche age and Body Mass Index (BMI), physical activity, and tea consumption
Method: This study was a cross-sectional study on 84 adolescent girls aged 9-15 years in the City and District of Tegal, who experienced menarche in the past year. Data on the menarche age and physical activity were taken using a questionnaire that was filled out based on the memories of adolescent girls. BMI was calculated based on weight and height measured independently or by researchers. Tea consumption data was taken using the interview method.
Result: The median menarche age from the study was 11.42 years with the fastest being 9 years old and the latest being 13.83 years old at the latest. There was no significant relationship between BMI and menarche age (p = 0.291), physical activity with menarche age (p = 0.241), and tea consumption with menarche age (p = 0.758). Correlation test showed an insignificant negative correlation between BMI and menarche age (r = -0.058; p = 0.602) and an insignificant positive correlation between tea consumption and menarche age (r = 0.005; p = 0.975)
Conclusion: There is no relationship between BMI, physical activity, and tea consumption with menarche age in adolescent girls in the City and District of Tegal
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wita Rizki Amelia
"Tujuan penelitian membahas hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dan faktor-faktor lain dengan status lemak tubuh pada pramusaji di Pelayanan Gizi Unit Rawat Inap Terpadu Gedung A RSCM Jakarta. Penelitian bersifat kuantitatif dengan desain cross sectional, pengambilan sampel secara purposive sampling. Data antropometri didapatkan dengan pengukuran langsung saat penelitian. Analisis data meliputi crosstabs dan chi-square, menggunakan SPSS versi 13.0.
Hasil penelitian, 88.9% dan 38.9% orang berstatus gizi lebih masing-masing memiliki persen lemak tubuh mendekati tinggi/tinggi dan lemak viseral tinggi(p<0.05). Disarankan kepada pramusaji untuk membiasakan sarapan pagi, mengkonsumsi makanan tinggi serat dan sering beraktivitas fisik.

The aim of this study is how Body Mass Index and Other Factors Related to Body Fat Status on Waitress at Nutrition Service of Integrated Admission Unit Building A RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta. This is a quantitative study with cross sectional approach, samples are collected by purposive sampling. Anthtopometry data are collected directly by measurement. Analysis included crosstabs dan chisquare, by using SPSS version 13.0.
The result, 88.9% dan 38.9% are overweight with each of them have slightly high/high body fat percentage and high visceral level(p<0.05). The researcher sugested that waitress should have breakfast gradually, consume foods containing high dietary fiber, frequent physical activity.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Wiranty, auhor
"Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi pengaruh indeks massa tubuh (IMT), denyut nadi istirahat, kebiasaan merokok dan olahraga serta umur terhadap nilai kesamaptaan aerobik pada Pasukan Khas (Paskhas). Sehingga diketahui faktor-faktor risiko yang berkaitan terhadap nilai kesamaptaan aerobik yang mempengaruhi performa kinerja Paskhas dalam melaksanakan tugasnya.
Metode: Disain penelitian potong lintang dengan sampling purposif di antara Paskhas. Pengumpulan data dilakukan sejak tanggal 13-25 Mei 2013 di Batalyon Paskhas. Data diperoleh melalui wawancara dengan panduan kuesioner oleh peneliti serta pemeriksaan fisik. Nilai kesamaptaan aerobik diperiksa dengan metode Cooper, yaitu menghitung jarak tempuh lari dalam meter selama 12 menit. Data dianalisis dengan regresi linear.
Hasil: Total subjek yang menyelesaikan penelitian ini berjumlah 135 orang. Nilai kesamaptaan aerobik antara 2000-3100 meter dengan rerata 2552,78±250,66. Terdapat tiga faktor (umur, IMT, dan kebiasaan olahraga selama 3 bulan terakhir) yang berkaitan dengan nilai kesamaptaan aerobik. Dengan meningkatnya umur 1 tahun dan 1 poin IMT masing-masing akan menurunkan nilai kesamaptaan aerobik Paskhas [koefisien regresi (r) = -20,42; 95% interval kepercayaan (CI) = -26,32;-14,53) dan (r = -22,28; 95% CI = -36,08;-8,49)]. Sedangkan dengan meningkatnya frekuensi 1 hari per minggu berolahraga akan meningkatkan nilai kesamaptaan aerobik Paskhas 14,7 poin (r = 14,67; P = 0,046; 95% CI = 6,65;35,98).
Kesimpulan: Peningkatan IMT dan semakin bertambah umur menurunkan nilai kesamaptaan aerobik sedangkan kebiasaan olahraga meningkatkan nilai kesamaptaan aerobik pada Paskhas.

Background: Several factors related to the value aerobic fitness affecting performance in carrying out someone’s duties. This study aimed to identify several factors related to the value of aerobic fitness in Indonesian Air Force Special Paratrooper.
Methods: A cross-sectional study designed with purposive sampling among Indonesian Air Force Special Paratrooper. Data collection was conducted from 13 to 25 May 2013 in the 461st Battalion. The data obtained through interviews with questionnaires by researchers as well as guide the physical examination. Aerobic fitness examined by Cooper method, which calculates the distance run in meters for 12 minutes. Data were analyzed by linear regression.
Results: Total subjects who completed the study were 135 persons. The value of aerobic fitness between 2000-3100 meters with average 2552.78±250.66. There were three factors (age, BMI, and exercise habits over the last 3 months) associated with aerobic fitness. Increasing age for 1 year and 1 point BMI would reduce the value of aerobic fitness [coefficient regression (r) = -20.42; P = 0.000; 95% CI = -26.32;-14.53 and r = -22,28; P = 0.002; 95% CI = -36.08;-8.49 respectively]. Meanwhile, with the increasing frequency for 1 day per week exercise will increase the value of aerobic fitness (r = 14.67; P = 0.046; 95% CI = 6.65;35.98).
Conclusion: Increased BMI and age, lowered the aerobic fitness in Indonesian Air Force Special Paratrooper. While regular exercise increases the value of aerobic fitness.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tresha Anugraha Kartika
"Skripsi ini membahas perbedaan proporsi antara berbagai faktor risiko hipertensi pada petugas satpam UI, Depok, Tahun 2014. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara status gizi, asupan makan, dan gaya hidup dengan kejadian pre dan hipertensi pada petugas satpam Universitas Indonesia pada tahun 2014. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah cross sectional dengan pendekatan kuantitatif. Sampel pada penelitian ini adalah petugas satpam berusia 18 - 60 tahun dan berjenis kelamin lakilaki. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi pre hipertensi sebesar 7,9% dan hipertensi sebesar 43,7%. Variabel yang menunjukkan perbedaan signifikan diantaranya Riwayat Keluarga (OR 3,989 dengan p value 0,000), Indeks Massa Tubuh (IMT) (OR 3,188 dengan p value 0,010), dan Asupan Natrium (OR 2,974 dengan p value 0,010). Riwayat keluarga merupakan faktor paling dominan pada penelitian ini dengan nilai OR 4,379. Saran bagi petugas satpam Universitas Indonesia adalah agar selalu menjaga gaya hidup yang sehat dengan cara mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang serta rutin memeriksakan tekanan darah minimal 1 kali per bulan.

This thesis aims to explain the differences between the proportions of the various risk factors of hypertension in males security guard of University of Indonesia in 2014. The purpose of this study was to determine the relationship between nutritional status, food intake, and lifestyle with the incidence of pre and hypertension in male security guards of University of Indonesia in 2014. This study uses cross sectional design with quantitative method. Samples in this study were male security guards aged 18-60 years. The result of this research shows that there are several variables with significant differences. The result of this research shows the prevalence of pre hypertension and hypertension is 7,9% and 43,7%. Those variables was a significant correlation are family?s history of htpertension (OR 3989 with p value 0,000), body mass index (BMI) (OR 3,188 with p value 0,010), and sodium intake (OR 2,974 with p value 0,010). Family history of hypertension is the dominant variable in this study with OR 4,379. Some advices for male security guard of University of Indonesia is to always maintain a healthy lifestyle by eating a balanced nutrition food and routine checked blood pressure at least 1 time in a month."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S55936
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Fathul Hasanah
"Latar belakang: Peningkatan alanine aminotransferase (ALT) dapat terjadi secara asimtomatis. Tes fungsi hati sering ditemukan abnormal pada dikalangan penerbang, dengan sedikit peningkatan kecil dalam satu atau dua parameter enzim hati, penyebab yang paling sering adalah perlemakan hati non alkoholik dan efek minor dari alkohol. Walaupun tidak mempengaruhi sertifikasi kesehatan pada penerbang sipil tetapi peningkatan ALT dapat mempengaruhi kesehatan dari penerbang itu sendiri dan akan mempengaruhi keselamatan penerbangan. Penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang menghubungkan dengan kadar ALT pada penerbang sipil di Indonesia.
Metode: Metode potong lintang yang dilakukan 5-26 Mei 2014 pada penerbang sipil yang melakukan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan dengan sampling purposif dan analisis regresi Cox. Pengumpulan data dengan mengisi kuesioner dan data ALT diambil dari laboratorium. Pemeriksaan tinggi badan, berat badan dan lingkar pinggang dilakukan oleh peneliti. Kadar ALT meningkat jika ≥41 U/l.
Hasil: Diantara 785 subjek yang mengikuti pemeriksaan kesehatan berkala terdapat 314 yang menjadi subjek penelitian. Persentase peningkatan ALT pada penelitian ini sebesar 31,8%. Faktor risiko dominan terhadap peningkatan ALT pada penerbang sipil di Indonesia adalah lingkar pinggang ≥90 cm [risiko relatif (RRa) = 2,00; p = 0,001] yang mempunyai peningkatan 2 kali jika dibandingkan dengan lingkar pinggang yg <90 cm, selanjutnya obesitas meningkatkan risiko peningkatan kadar ALT, meskipun secara statistik tidak signifikan (RRa = 1,75; 95% CI = 0,97-3,17; p = 0.062).
Simpulan: Penerbang sipil dengan lingkar pinggang ≥90 cm atau dengan obesitas mempunyai risiko lebih besar mengalami peningkatan ALT.

Background: Elevated serum alanine aminotransferase (ALT) may occur in asymptomatic. Liver function tests are frequently found to be abnormal in among aviators, with small elevations in one or two liver enzyme parameters. The most common cause is non-alcoholic fatty liver and minor effects of alcohol. This will affect the health of aviators which affect flight safety. The purpose of this study was to determine the factors that connect with ALT levels in commercial pilot in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study on May 5-26Th 2014 in commercial pilots who doing medical check up at Civil Aviation Medical Center, with purposive sampling and cox regression analysis. The collection of data by filling in a questionnaire and ALT data taken from the laboratory. The examination height, weight and waist circumference was conducted by researchers. Elevated serum ALT ≥ 41 U/l.
Results: Among 785 commercial pilots only 314 were willing to participate it in study and 31,8 % had eleveted serum ALT in this study. The dominant risk factor to the elevated of ALT in commercial pilots in Indonesia is waist circumference ≥90 cm [Relative risk (RRa=2.00; p=0,001)]#who have an increased 2 fold when compared with that waist circumference <90 cm, furthermore obesity increases the risk of elevated levels of ALT, although it was not statistically significant (RRa=1.75; 95% CI=0.97-3.17; p=0.062).
Conclusion: Commercial pilot who had waist circumference ≥90 cm or who obese had elevated serum ALT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>