Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 136207 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"[Pendahuluan: Congenital Talipes Equinovarus(CTEV) dan Developmental Dysplasia of the Hip (DDH) merupakan salah satu kelainan kongenital tersering dalam sistem muskuloskeletal. Pada patogenesis CTEV dan DDH, terdapat persamaan kemungkinan etiologi yaitu pada gaya mekanik intra-uterin panggul dan kaki yang menimbulkan gangguan perkembangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi pasien CTEV yang menderita DDH, serta hubungan antara CTEV dengan timbulnya DDH.
Metode Penelitian: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan desain studi potong lintang. Dari data registrasi CTEV di Poliklinik Orthopaedi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2011-2012 ditemukan 91 orang anak dengan CTEV primer. Dilakukan skrining dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mengeksklusi pasien di luar rentang usia 6 bulan hingga 5 tahun, pasien dengan gangguan neuromuskular, dan kelainan kongenital. Terdapat 22 orang pasien yang memenuhi kriteria tersebut dan dilakukan pemeriksaan foto polos panggul untuk mengukur Indeks Acetabular (IA). IA<25° dinyatakan normal, 25-30° dinyatakan borderline DDH, dan >30° dinyatakan displasia berat.
Temuan dan Diskusi Penelitian: Terdapat distribusi pasien yang homogen secara jenis kelamin (50% laki-laki, 50% perempuan), dan lokasi CTEV (50% bilateral, 50% unilateral). Didapatkan 19 subyek dengan IA di bawah 250 dan 1 subyek dengan IA antara 25-300. Didapatkan 2 subyek (9%) yang memiliki dysplastic hip dengan IA di atas nilai normal 300, kedua subyek tersebut memiliki bilateral CTEV dan menjalani serial casting ≥ 8 kali. Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara prevalensi DDH dengan rentang usia (p = 1), dengan jenis kelamin (p = 0.89), dengan lokasi CTEV (p = 0.89), dan dengan frekuensi casting (p = 0.05). Walaupun begitu, prevalensi hip dysplasia pada CTEV cenderung terjadi pada anak dengan CTEV bilateral dan menjalani serial casting ≥ 10 kali sehingga temuan ini dapat menjadi makna yang penting secara klinis.
Simpulan: Prevalensi displasia panggul pada anak CTEV berusia 6 bulan hingga 5 tahun pada penelitian ini adalah 9% dan cenderung dialami oleh anak dengan CTEV bilateral dan menjalani serial casting 8 kali atau lebih.
, Introduction: Congenital Talipes Equinovarus (CTEV) and Developmental Dysplasia of the Hip (DDH) are one of the most common pediatric orthopaedic problems ini musculoskeletal system. There is similar pathogenesis between CTEV and DDH in mechanical force that causes developmental disorders. The goals of this research are to determine the prevalence of CTEV that will suffer DDH in later time, and the relationship between CTEV and DDH.
Methods: This is a descriptive analytic study with cross sectional design. Ninety one patients with primary CTEV were registered in Orthopaedic Clinic at Cipto Mangunkusumo Hospital between 2011 and 2012. To exclude patients with neuromuscular disorders and congenital problems; screening is performed by conducting historical and physical examination. Patients between age 6 months and 5 years were included in this study. Twenty two patients met the criteria and pelvic x-ray was performed to measure the Acetabular Index (AI). AI<250 was considered normal; AI 25-300 was borderline DDH; and AI >300 was considered severe dysplasia.
Result and Discussion: Patient distribution was homogenous in gender (50% are boys, 50% are girls), and the location of CTEV (50% bilateral and 50%). There were 19 subjects with AI lower than 250 and 1 subject with AI between 250-300. Both subjects underwent ≥ 8 times serial casting. There was no significant difference between DDH prevalence with age range (p = 1), with gender (p = 0.89), with CTEV location (p = 0.89), and with casting frequency (p = 0.05). However, dysplastic hip prevalence in CTEV tend to occur in bilateral CTEV with serial casting ≥ 10 times which could be important on clinical setting.
Conclusion: Hip dysplasia prevalence on children with CTEV aged 6 months to 5 years was 9% and tend to occur in children with bilateral CTEV underwent ≥ 10 times serial casting.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ardiansyah
"Pendahuluan: Masih sedikit penelitian mengenai fraktur acetabulum dengan keterlibatan quadrilateral plate. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui luaran fungsional, radiologis, dan kualitas hidup pasien fraktur acetabulum dengan dan tanpa keterlibatan quadrilateral plate pasca operasi sehingga dapat memberikan data dasar sebagai pertimbangan dalam penatalaksanaan fraktur acetabulum. 
Metode: Penelitian kohort retrospektif dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo  dengan menganalisis rekam medis tahun 2010-2020 terhadap pasien fraktur asetabulum dengan atau tanpa keterlibatan quadrilateral plate. Penelitian ini mengevaluasi luaran fungsional (Harris Hip Score, Merle D’Aubigne, dan Oxford Hip Score), luaran radiologis (Matta Outcome Score), dan luaran fungsional (SF-36). 
Hasil: Terdapat perbedaan 53 subjek yang terlibat dalam penelitian ini. Sebanyak 28 (52,8%) mengalami fraktur asetabulum dengan keterlibatan quadrilateral plate sedangkan 23 (47,2%) lainnya mengalami fraktur asetabulum tanpa keterlibatan quadrilateral plate. Terdapat perbedaan luaran fungsional, radiologis, dan kualits hidup yang bermakna antara kelompok fraktur asetabulum dengan dan tanpa keterlibatan quadrilateral plate pada 1 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan berdasarkan Harris Hip Score, Merle D’Aubigne, Oxford Hip Score, Matta Outcome Grading, dan SF-36.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan luaran fungsional, radiologis, dan kualits hidup yang bermakna antara kelompok fraktur asetabulum dengan dan tanpa keterlibatan quadrilateral plate pada 1 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan postoperatif.

Background. Studies on acetabular fracture with quadrilateral plate involvement are lacking. This study aims to determine the postoperative functional, radiological, and quality of life outcomes of acetabular fracture patients with and without quadrilateral plate involvement so it can becomes data of management of acetabular fractures.
Method. This retrospective cohort study was conducted at Cipto Mangunkusumo acquiring medical records of acetabular fracture patients from 2010-2020, with or without quadrilateral plate involvemen. This study analyzed functional outcomes (Harris Hip Score, Merle D'Aubigne, and Oxford Hip Score), radiological outcomes and quality of life of both study groups.
Results. There were 53 subjects; 28 (52.8%) had fractures of the acetabulum with involvement of the quadrilateral plate while 23 (47.2%) without involvement of the quadrilateral plate. There were significant differences in functional, radiological, and quality of life outcomes between the acetabular fracture groups with and without quadrilateral plate involvement at 1 month, 6 months, and 12 months based on Harris Hip Score, Merle D'Aubigne, Oxford Hip Score, Matta Outcome Grading, and SF-36. 
Conclusion. There were significant differences in functional, radiological, and quality of life outcomes between the acetabulum fracture groups with and without quadrilateral plate involvement at 1 month, 6 months, and 12 months postoperatively. 
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Traya Niti Nalendra
"Penanganan Developmental Dysplasia of the Hip di Indonesia mayoritas tidak dilakukan secara dini sehingga membutuhkan operasi bedah. Operasi bedah yang sering dilkakukan adalah Total Hip Arthroplasty dimana sendi pinggul diganti secara menyeluruh menggunakan implan prostetik. Pada pelaksanaannya, cup dari prostetik dipasangkan menggunakan sekrup medis. Oleh karenanya penelitian mengenai tekanan yang diperoleh oleh sekrup perlu diteliti untuk menjamin keamanan dari pasien. Sebuah model CAD dari tulang pinggul yang memiliki defek containment sekitar 40% dibuat dipasangkan dengan suatu model implan prostetik diamankan oleh sebuah block graft dan dipasangkan sekrup berdiameter 2,7mm dan 3,5mm. Modeling dilakukan dengan menggunakan spline pada fitur 3D sketch sebagai batasan untuk pembuatan surface. Surface kemudian di-stitch untuk menutup celah dan memungkinkan penebalan surface menjadi solid dan pembuatan model solid dari batasan surface. Model kemudian disimulasikan menggunakan perangkat lunak SOLIDWORKS dengan pembebanan sebesar 400 N dengan arah vertikal kebawah pada spinal column. Pengaturan mesh pada mesh quality diatur dengan pengaturan ukuran maksimum mesh 29,6014mm dan minimal 1,48007mm, minimum jumlah elemen dalam sebuah lingkaran sebanyak 8, dan rasio pertumbuhan ukuran elemen sebesar 1,4. Mesh refinement juga dilakukan pada block graft dengan mengatur ukuran mesh maksimal sebesar 8,63177mm. Penulis mendapatkan bahwa konfigurasi pemasangan paling optimal dalam kasus ini adalah sekrup 3,5mm dengan konfigurasi horizontal dikarenakan lebih kecilnya perpindahan dan tegangan von mises yang dialami block graft dibandingkan dengan konfigurasi lainnya.

The majority of Developmental Dysplasia of the Hip treatments in Indonesia are not performed early enough to require surgery. The most common surgical operation is Total Hip Arthroplasty where the hip joint is completely replaced using a prosthetic implant. In practice, the cup of the prosthetic is attached using medical screws. Therefore, research on the stress obtained by the screw needs to be investigated to ensure the safety of the patient. A CAD model of a hip bone with a containment defect of approximately 40% was created paired with a prosthetic implant model secured by a block graft and attached with 2.7mm and 3.5mm diameter screws. Modeling was performed using the spline in the 3D sketch feature as a boundary for surface creation. The surface was then stitched to close the gap and allow thickening of the surface into a solid and creation of a solid model from the surface boundaries. The model was then simulated using SOLIDWORKS software with a loading of 400 N in a vertical downward direction on the spinal column. Mesh settings on mesh quality are set with a maximum mesh size of 29.6014mm and a minimum of 1.48007mm, a minimum number of elements in a circle of 8, and an element size growth ratio of 1.4. Mesh refinement was also performed on the block graft by setting a maximum mesh size of 8.63177mm. The authors found that the most optimal configuration in this case was a 3.5mm screw with a horizontal configuration due to the smaller displacement and von mises stress experienced by the block graft compared to other configurations."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gusti Ngurah Putra Stanu
"Latar Belakang: Acetabuloplasty dengan bone graft merupakan salah satu tatalaksana adult congenital hip disease. Tindakan ini bertujuan memperbaiki defisiensi dinding acetabulum dan meningkatkan stabilitas implant. Namun, terdapat variasi dalam teknik, lokasi, dan jenis implant yang dapat dipasang. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan membandingkan kekuatan konstruksi acetabuloplasty dengan pelbagai screw pada teknik bone graft kepala femur. Metode: Model pelvis 3D dibuat dengan simulasi defek containment 30% pada sisi antero-superior acetabulum. Rekonstruksi acetabuloplasty dibuat tulang kepala femur berbentuk angka 7 difiksasi dengan screw, diikuti uji finite element untuk menilai distribusi stres. Konstruk acetabuloplasty diaplikasikan pada tiga kelompok uji: A (2 screw cannulated ukuran 6.5 mm), B (2 screw cortical ukuran 4.5 mm), C (1 screw cannulated 6.5 mm + 1 screw cortical 4.5 mm). Spesimen diberi beban dari 50 hingga 750 N dengan peningkatan sebesar 100 N/detik sebagai simulasi single leg stance. FGM pada beban 750 N diukur menggunakan kamera. Kemudian dilakukan uji load to failure. Hasil: Kelompok sampel cannulated ukuran 6.5 mm lebih unggul secara significant pada uji load to failure dengan titik patah 2 kali lipat lebih besar dibandingkan kelompok lainnya (2191 N v 1206 N v 1065 N; p<0.01). Uji loading dengan 750 Newton juga menunjukkan bahwa kelompok A unggul dengan rerata pergeseran, peregangan, dan tilting terkecil di semua posisi marking kecuali pada tilting marking posterior superior. Sampel cannulated ukuran 6.5mm juga memiliki titik yield dan titik kekuatan maksimum terbesar. Sementara itu, kelompok B dan C memiliki hasil uji yang serupa satu sama lain. Tetapi, temuan ini tidak bermakna secara statistik (p>0.05) Kesimpulan: Acetabuloplasty dengan bone graft adalah metode biomekanik yang aman untuk terapi definitif pada congenital adult hip disease. Pemilihan screw cannulated dengan ukuran diameter screw lebih besar memiliki keunggulan biomekanik bila dibandingkan dengan kelompok uji screw cortical maupun kombinasi antara kedua screw.

Background: Acetabuloplasty using bone grafts is one of the treatment options for adult congenital hip disease. It aims to correct acetabular wall deficiencies and enhance pelvic implant stability. However, there are variations in the positions, types, and techniques of screw placements, leaving the fixation strength unknown. Therefore, this study aims to evaluate the structural strength of acetabuloplasty with screws in femoral head bone graft techniques. Methods: A 3D pelvis model was created to simulate a 30% containment defect on the antero-superior aspect of the acetabulum. Acetabuloplasty reconstruction utilized a femoral head bone graft shaped like a "7," which was fixed with screws, followed by finite element analysis to assess stress distribution. The acetabuloplasty construct was applied to three test groups: A (2 cannulated screws - 6.5 mm), B (2 cortical screws - 4.5 mm), and C (1 cannulated screw - 6.5 mm + 1 non-cannulated screw - 4.5 mm). Specimens were subjected to loads ranging from 50 to 750 N, with increments of 100 N/sec to simulate single-leg stance. FGM at 750 N were measured using a camera. Then the specimens were subjected to loading until implant failure. Results: Group A with cannulated 6.5 mm screws are shown to be significantly better in the load-to-failure test with a mean breaking point twice larger than the other two groups (2191 N v 1206 N v 1065 N; p<0.01). Group A also shows superior results in the single- leg stance in all marking positions with the smallest displacement, stretch, and tilting -bar the posterior superior tilt. Group A also has the largest yield and maximum strength point. In comparison, groups B and C had similarly inferior results. However, the findings are statistically insignificant (p>0.05). Conclusion: Acetabuloplasty with bone graft is a biomechanically safe method for definitive treatment of adult congenital hip disease. Larger cannulated screws are shown to have a biomechanical advantage compared to cortical smaller screws or a combination of both screws."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silva Audya Perdana
"Perkembangan bahasa anak dipengaruhi oleh banyak faktor. Sekitar 5-8 anak usia prasekolah di Indonesia mengalami keterlambatan bicara. Anak pada usia yang sangat muda butuh stimulasi yang cukup agar dapat berkembang dengan optimal. Oleh sebab itu, jika anak dibiarkan lama menonton TV, kesempatan untuk mendapatkan stimulasi yang baik menjadi terhambat. Kurangnya stimulasi yang disebabkan oleh anak yang terlalu lama menonton TV, dapat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa anak.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan lama menonton TV dan perkembangan bahasa anak pada anak usia 18 bulan sampai 3 tahun.
Metode: Studi potong lintang digunakan pada studi ini dengan menggunakan data primer yang didapat melalui kuesoner. Adanya gangguan perkembangan bahasa anak ditentukan dengan menggunakan KPSP dan ELM Scale 2 Test.
Hasil: Durasi lama menonton TV pada anak dengan perkembangan bahasa normal dan keterlambatan perkembangan bahasa dibandingkan dan didapat p value senilai 0,002 dan OR = 4,4 95 CI . Bahasa yang digunakan pada tayangan TV Indonesia atau Indonesia dan Inggris berpengaruh secara signifikan p = 0,004 . Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada umur pertama anak menonton TV, pemakaian gadget, dan kepemilikan TV di dalam kamar.
Kesimpulan: Studi ini menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara lama menonton TV dan perkembangan bahasa. Anak yang menonton TV lebih dari 4 jam sehari memiliki risiko 4 kali lebih tinggi mengalami keterlambatan bicara.

Background: There are many factors that contribute to child language development. About 5 8 children in Indonesia experience delayed language. Children at young age are still learning to develop and need stimulation so that they can process it and learn from it. When children watch TV for a long time they get less stimulation. Less stimulation in this case may contribute to child language development.
Aim: To know if there is an association of intensity of watching TV and child language development.
Methods: This was a cross sectional study using primary data collected from questionnaires. The child language development was tested using KPSP and ELM Scale 2 Test.
Results: Duration of watching TV from both children with normal and delayed language development was measured. Result showed in p value of 0.002 and OR 4.4 95 CI . The language used in TV program Indonesian or both Indonesian and English also showed a significant data p 0.004 . Other variables such as gender, first age exposed to TV, the use of gadget and TV in bedroom had no significant association with child language development.
Conclusion: This study demonstrates that there is an association between intensity of watching TV and child language development. Children who watch TV exceeding 4 hours a day had four times higher risk to develop language delay.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwin Adhi Darmawan
"Gangguan tidur pada bayi atau anak merupakan masalah yang sering didapatkan orang tua. Sekitar 20-30 % bayi di dunia mengalami gangguan pada tidurnya. Gangguan tidur pada anak dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak baik dalam aspek fisik, sosial, kognitif, dan perilaku anak. Hal ini penting karena perkembangan dan pertumbuhan memegang peranan penting hingga usia lima tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mencari prevalensi gangguan tidur dan hubungan antara gangguan tidur dengan perkembangan dan pertumbuhan anak usia usia 6 sampai 36 bulan di Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur. Penelitian ini dilakukan April 2014 hingga Juli 2015 terhadap 62 anak usia 6-36 bulan di Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive dan merupakan studi analitik seksi silang. Pengambilan data pada sampel dilakukan melalui wawancara dengan kuesioner yang telah di uji coba dan BISQ.
Hasil analisis bivariate menunjukkan P-value >0,05 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi gangguan tidur sebanyak 17,7% dari 62 subjek terdiri dari 33 anak laki-laki dan 29 anak perempuan. Dari tingkat pendidikan ayah dan ibu sebagian besar masuk ke dalam kategori menengah dengan 63,4 % dan 59,6%. Sebanyak 59,6 % anak minum ASI pada variabel perilaku anak sebelum tidur dan 38,7 % mengaku biasa saja pada kategori kesulitan menidurkan anak. Pada status gizi dan status perkembangan, 72,7 % anak dikelompokkan ke kategori status gizi normal dan 58% anak dikelompokkan ke kategori status perkembangan sesuai. Setelah dilakukan uji hipotesis Fisher, tidak ditemukan hubungan bermakna secara statistik antara gangguan tidur dengan pertumbuhan dan perkembangan (P>0,05).

Sleep disorder on kids is a problem that is often faced by parents. Around 20 to 30% babies have sleep disorder worldwide. Sleep disorder can cause disturbance to children?s growth and development. This issue needs to be addressed well, considering this particular age is the golden period that determines the children?s future growth and development. This research aims to seek for the relation between sleep disorder with growth and development on children aged 6 to 36 months in Kampung Melayu, East Jakarta. This research is a cross-sectional study, and the data is taken through anthropometry measurement and filling two sets of questionnaires, general questionnaires regarding growth and development and BISQ. Data is then analyzed in bivariate, which the result shows p value > 0,05. This means that there is no statistically relevant relation between sleep disorder with nutritional status and development.
This study shows that the prevalence of sleep disorder is 17,7% out of 62 subjects, which consist of 33 boys and 29 girls. The education status shows that 63,4% of fathers and 59,6% of mothers are in average category. 59,6% of children are breastfed before sleep and 59,6% of parents don?t undergo significant problems while putting their children to sleep. For the categories of nutritional status and development, 72,7% of children have normal nutritional status and 58% have appropriate development. Through Fisher test, there is no statistically relevant relation between sleep disorder and growth and development (p>0,05).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Marsa Nadhira
"Status gizi merupakan salah satu aspek penting kesehatan dan kesejahteraan seseorang. Sayangnya, di Indonesia, status gizi terutama pada anak masih banyak memiliki masalah. Secara umum, status gizi memiliki hubungan dengan faktor internal, misalnya usia, kondisi fisik, dan infeksi; dan faktor eksternal seperti faktor-faktor sosiodemografi. Selain faktor-faktor di atas, status gizi juga berhubungan dengan perkembangan anak.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan status gizi dengan faktor-faktor sosiodemografi, yaitu usia, pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua, status ekonomi, dan besar keluarga, juga dengan perkembangan anak usia 6 sampai 60 bulan di Posyandu Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur. Setelah pengambilan data berupa pengukuran status antropometri dan pengisian kuesioner, hasil analisis bivariat menunjukkan p-value > 0,05 yang menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara status gizi dengan faktor-faktor sosiodemografi dan perkembangan anak.

Nutritional status is one of the most important aspects of one?s health and welfare. Unfortunately, nutritional status especially among Indonesian children still faces many problems. In general, nutritional status is related to internal factors, such as age, physical condition, and infection; and external factors such as sociodemographic factors. Other than factors stated above, nutritional status is also closely related to children's development.
This research aims to seek for the relation between nutritional status with sociodemographic factors namely age, parents occupation, parents educational background, economic status, and family structures, also with development status on children aged 6 to 60 months old at Posyandu Kampung Melayu, East Jakarta. Data is taken through antropometry measurement and questionnaire filling, and then analyzed in bivariate which shows results of p-value > 0,05. This means that there is no statistically relevant relation between nutritional status with sociodemographic factors and children's developement.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antonia C.C. Paramitha
"Latar belakang: Perkembangan anak merupakan isu besar di dunia dan jumlah kasus ketelambatan tumbuh kembang anak di Indonesia masih tinggi. Banyak faktor dapat mempengaruhi terjadinya keterlambatan tumbuh kembang anak, salah satunya adalah nutrisi anak pada awal kehidupannya yang diperoleh melalui ASI (Air Susu Ibu). WHO merekomendasikan agar semua bayi menerima ASI eksklusif dengan periode minimal 6 bulan untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Di Indonesia, terdapat peningkatan jumlah pemberian ASI tetapi jumlah tersebut masih dianggap rendah dan tidak memuaskan.
Tujuan: Penelitian bertujuan untuk mempelajari hubungan antara ASI eksklusif dengan perkembangan anak pada anak umur 9 ? 36 bulan.
Metode: Metode penelitian yang digunakan adalah potong lintang. Data mengenai perkembangan anak diperoleh dari tes dengan menggunakan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP) sedangkan status ASI diperoleh dari kuesioner yang diisi oleh ibu dari anak yang dites. Dari 222 anak di Puskesmas Jatinegara dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), terdapat 89 anak yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Dari 89 anak yang dites, terdapat 39 anak dengan keterlambatan tumbuh kembang (43,82%) dan 29 anak dengan ASI eksklusif (32,58%). Proporsi anak dengan perkembangan normal adalah 56,18% dan persentase anak dengan ASI tidak eksklusif adalah 67,42%. Anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif memberikan kontribusi besar dalam kelompok anak dengan keterlambatan perkembangan (79,49%) dan 2,806 lebih tinggi mengalami keterlambatan perkembangan dibandingkan anak dengan ASI eksklusif.
Kesimpulan: Anak yang menerima ASI eksklusif memiliki perkembangan bahasa, motor dan sosial personal yang lebih baik dibandingkan dengan anak tanpa ASI eksklusif.

Background: Child development is a big issue in the world and the number of children with delayed development case in Indonesia is considered high. There are many factors that influence the occurrence of developmental delay including child's early nutrition, which is obtained through breastfeeding. WHO recommends for all babies to receive exclusive breastfeeding for at least 6 months to achieve optimal growth and development. In Indonesia, there is an increase percentage of breastfeeding however it is still considered low and unsatisfactory.
Aim: This research is conducted to study about the relationship between exclusive breastfeeding and child development in children aged 9 - 36 months old.
Methods: A cross sectional study was conducted using Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP) to obtain child development status and questionnaire on breastfeeding completed by mother. From 222 children in both Puskesmas Jatinegara and Cipto Mangunkusumo Hospital, there were 89 children who met the inclusion criteria of this study.
Results: From the 89 children, there were 39 children with developmental delay (43.82%) and 29 children with exclusive breastfeeding (32.58%). Children with normal development were 56.18% and the percentage of children with nonexclusive breastfeeding was 67.42%. Children with non-exclusive breastfeeding contributed higher in the delayed development group (79.49%) and have 2.806 times higher possibility to experience delayed development. compared with those with exclusive breastfeeding.
Conclusion: Children who get exclusive breastfeeding have better outcome in language, motor and social personal development compared to those with nonexclusive breastfeeding.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Syafira Audi Syahroel
"Dalam Riset Kesehatan Dasar 2013 di Indonesia, permasalahan gizi pada anak salah satunya adalah angka obesitas yang masih tinggi. Angka kejadian obesitas ini secara global akan meningkat dengan prediksi mencapai 9,1% atau sebanyak 60 juta anak pada tahun 2020. Obesitas tidak hanya merugikan secara fisik tetapi juga secara psikologis. Permasalahan psikologis yang dialami oleh anak-anak obesitas adalah body image discontent atau ketidakpuasan anak terhadap bentuk tubuhnya. Hal ini dapat terjadi sejak usia dini dikarenakan perlakuan bully dari pihak keluarga ataupun teman mengenai bentuk tubuhnya. Salah satu faktor yang berperan dalam kejadian obesitas adalah minimnya kontrol diri terkait perilaku makan. Perilaku makan yang dimaksud adalah mengonsumsi makanan yang tidak sehat (tinggi kalori) atau mengonsumsi makan dalam jumlah yang berlebihan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki kemampuan kontrol diri terkait perilaku makan pada anak obesitas usia 6-8 tahun. Teknik yang digunakan adalah dengan menggunakan metode penggolongan makanan (berdasarkan jenis, porsi, dan frekuensi) mengikuti aturan warna lampu lalu lintas yang disebut dengan Lampu Lalu Lintas Makanku. Penelitian ini menggunakan desain before-after experimental dan dianggap dapat memperbaiki kontrol diri terkait perilaku makan pada anak obesitas usia 6-8 tahun dinilai dari perbaikan skor pre test dan post test partisipan.

Based on Riset Kesehatan Dasar 2013 in Indonesia, one of the nutritional problems in children was the high obesity rate. The incidence of obesity globally will increase with predictions reaching 9.1% or as many as 60 million children in 2020. Obesity is not only detrimental physically but also psychologically. Psychological problem experienced by obese children is body image discontent or their dissatisfaction with their body shape. This can occur from an early age due to bullying from the family or friends regarding to their body shape. One of the factors that play a role in obesity is the lack of self-control related to eating behavior. Eating behavior means consume unhealthy foods (high in calories) or consume excessive amounts of food. This study conducted with the aim of improving the ability of self control related to eating behavior in obese children aged 6-8 years. Food classification method (based on type, portion, and frequency) following the traffic light color rules called 'Lampu Lalu Lintas Makananku' is the technique that used. This study use before-after experimental design and considered to improve self-control related to eating behavior in obese children aged 6-8 years assessed from the improvement of participants' pre-test and post-test scores."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
T52339
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reygais Razman
"Pendahuluan: Teknik reaming posteroinferior-superioanterior (PISA) pada total hip arthroplasty (THA) pasien displasia panggul dewasa memiliki banyak keuntungan dibandingkan asetabuloplasti. Akan tetapi, kegagalan reaming PISA dapat meningkatkan biaya serta memperpanjang waktu operasi karena dokter harus melakukan asetabuloplasti sebagai alternatif. Tujuan: Mengeksplorasi parameter radiografi panggul preoperatif dalam memprediksi keberhasilan preparasi asetabulum dengan teknik reaming PISA pada pasien displasia panggul dewasa. Metode: Kohort retrospektif ini menggunakan data sekunder rekam medis seluruh pasien displasia panggul yang menjalani prosedur THA di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (Jakarta, Indonesia) pada Januari 2015–Agustus 2024. Parameter radiografi panggul preoperatif berupa acetabular depth rasio (ADR), acetabular inclination (AI), lateral center-edge angle (LCEA), serta Tönnis angle diukur dengan menggunakan PACS Viewer. Hasil: Sebanyak 36 pasien (72,2% perempuan, usia rerata 46,5415,02 tahun) dianalisis. Sebanyak 24 pasien berhasil dilakukan preparasi asetabulum dengan teknik reaming PISA, sementara sisanya harus menjalani asetabuloplasti. Tidak ada perbedaan jenis kelamin, usia atau keterlibatan sisi pada kelompok PISA dan asetabuloplasti. Kelompok Crowe III-IV memiliki odds 55 kali lipat lebih besar untuk menjalani asetabuloplasti (odds ratio [OR] 55, interval kepercayaan [IK] 95%: 5,45–554,96; p<0,001). Nilai ADR, AI, LCEA dan Tönnis angle secara berturut-turut adalah 33,2911,44%, 52,357,81 , 23,92(7,70–62,73) dan 9,61(0,79–44,81) . Kelompok reaming PISA memiliki ADR yang lebih tinggi dan AI yang lebih rendah dibandingkan kelompok asetabuloplasti (p<0,001). Tidak terdapat perbedaan LCEA (p=0,198) dan Tönnis angle (p=0,251) pada kedua kelompok. Analisis regresi logistik dengan mengontrol ADR, AI, dan LCEA menunjukkan bahwa ADR (adjusted OR 0,85; IK 95%: 0,75–0,95) dan AI (adjusted OR 1,11; IK 95%: 1,03–1,19) berhubungan dengan dilakukannya asetabuloplasti. Probabilitas dilakukan asetabuloplasti dapat diprediksi dengan rumus ln p/(1-p) = - 0,169(ADR)+0,104(AI)-0,040(LCEA). Model ini memiliki ketepatan 88,9% dengan diskriminasi yang sangat baik (area under the curve=0,913 (IK 95%: 0,800–1)). Simpulan: Angka ADR dan AI preoperatif dapat memprediksi keberhasilan reaming PISA dengan diskriminasi yang sangat baik. Studi prospektif lebih lanjut dapat dilakukan dengan sampel dan parameter radiografi yang lebih banyak untuk memvalidasi temuan ini.

Introduction: The posteroinferior-superioanterior (PISA) reaming technique in total hip arthroplasty (THA) in adult hip dysplasia patients has many advantages over acetabuloplasty. However, failure of PISA reaming could increase costs and prolong surgery time because doctors must perform acetabuloplasty as an alternative. Purpose: To examine preoperative pelvic radiographic parameters in predicting the success of acetabular preparation with the PISA reaming technique in adult hip dysplasia patients. Methods: This retrospective cohort used secondary data from medical records of all adult patients with hip dysplasia who underwent THA procedures at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (Jakarta, Indonesia) from January 2015 to August 2024. Preoperative pelvic radiographic parameters such as acetabular depth ratio (ADR), acetabular inclination (AI), lateral center-edge angle (LCEA), and Tönnis angle were measured using PACS Viewer. Results: Thirty-six patients (72.2% female, mean age 46.54±15.02 years) were analyzed. Twenty four patients had successful acetabular preparation by using reaming PISA technique, while the rest underwent acetabuloplasty. There was no difference in gender, age, or site of involvement between patients in reaming PISA and acetabuloplasty groups. The Crowe III-IV group had 55-fold greater odds of undergoing acetabuloplasty (odds ratio [OR] 55, 95% confidence interval [CI]: 5.45–554.96; p<0.001). The ADR, AI, LCEA, and Tönnis angle values were 33.29±11.44%, 52.35±7.8, 23.92 (7.70–62.73) , and 9.61 (0.79–44.81) respectively. The reaming PISA group had a higher ADR and lower AI than the acetabuloplasty group (p<0.001). Both groups had no difference in LCEA (p=0.198) and Tönnis angle (p=0.251). Logistic regression analysis controlling ADR, AI, and LCEA showed that ADR (adjusted OR 0.85; 95% CI: 0.75–0.95) and AI (adjusted OR 1.11; 95% CI: 1.03–1.19) were associated with acetabuloplasty. The probability of acetabuloplasty can be predicted by the formula ln p/(1-p) = - 0.169(ADR)+0.104(AI)-0.040(LCEA). This model has an accuracy of 88.9% with excellent discrimination (area under the curve=0.913 (95% CI: 0.800–1)). Conclusion: Preoperative ADR and AI values can predict the success of reaming PISA with excellent discrimination. Further prospective studies with more samples and radiological parameters should be done to validate these findings."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>