Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 107714 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Ali Apriansyah
"Latar Belakang : Angka kejadian depresi tinggi pada individu yang menderita penyakit kronik, termasuk asma bronkial, dengan prevalensi depresi hampir 50% pada pasien yang berobat di pelayanan tertier klinik asma. Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-α) telah diketahui sebagai sitokin pro-inflamasi yang berperan penting dalam mekanisme patogenesis sejumlah penyakit inflamasi kronik, termasuk asma bronkial dan depresi. Belum ada data penelitian mengenai hal tersebut di Indonesia.
Tujuan : Mengetahui korelasi depresi dengan kadar TNF-α pada penderita asma bronkial tidak terkontrol.
Metode : Penelitian ini merupakan studi cross sectional dilakukan pada 40 pasien asma bronkial tidak terkontrol di poliklinik alergi imunologi klinik unit rawat jalan RSUP Moh Hoesin Palembang selama kurun waktu mulai bulan Juni 2014 sampai dengan Agustus 2014. Asma bronkial tidak terkontrol dinilai mempergunakan kuisioner Asthma Control Test (ACT), sedangkan gejala depresi dinilai dengan kuisioner Beck Depression Inventory (BDI), dan dikonfirmasi diagnosis depresi dengan kriteria dari Diagnostic and Statistical Manual for Psychiatry-IV Text Revision (DSM-IV TR) / International Code Diagnose 10 (ICD-10). Kadar TNF-α serum diukur dengan metode kuantitatif enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).
Hasil : Nilai median skor depresi dan kadar TNF-α serum pada penelitian ini adalah 16 (10 – 45) dan 4,09 (1,29 – 19,57) pg/mL. Tidak didapatkan korelasi bermakna antara depresi dan kadar TNF-α (r = -0,265, p = 0,098).
Kesimpulan : Tidak didapatkan korelasi yang bermakna antara depresi dengan kadar TNF-α pada penderita asma bronkial tidak terkontrol.

Background : Depression occurs at high rates in people with chronic diseases, including bronchial asthma, with the prevalence of depression approaching 50% in patients treated in tertiary care asthma clinic. Tumor necrosis factor alpha (TNF-α) is known to play a critical role in the pathogenic mechanism of a number of chronic inflammatory disease, including bronchial asthma and depression. There has not been any research data on the subject in Indonesia.
Aim : The objective of this study was to investigate the correlation between depression and TNF-α level in uncontrolled bronchial asthma.
Method : This study was a cross sectional study conducted in 40 patients with uncontrolled bronchial asthma at the allergy immunology clinic outpatient of Dr Moh Hoesin Hospital Palembang, during June 2014 until August 2014. Uncontrolled bronchial asthma assessed using the Asthma Control Test (ACT) questionnaire, whereas depressive symptoms assessed by Beck Depression Inventory (BDI) questionnaire, and confirmed the diagnose of depression by the criteria of the Diagnostic and Statistical Manual for Psychiatry-IV Text Revision (DSM-IV TR) / International Code Diagnose 10 (ICD-10). Serum levels of TNF-α was measured by the method of quantitative enzyme-linked immunosorbent assay ( ELISA ).
Result : The median value of the score of depression and serum TNF- α level in this study were 16 (10 - 45) and 4.09 (1.29 - 19.57) pg/mL. There was no significant correlation between depression and TNF-α level (r = -0.265, p = 0.098).
Conclusion : There was no significant correlation between depression and TNF-α level in uncontrolled bronchial asthma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Made Restiawati
"Latar belakang penelitian : Gejala klinis dan fungsi paru pada asma tidak sensitif dalam mencerminkan inflamasi saluran napas yang mendasarinya dan monitoring proses inflamasi pada asma yang terbaru telah tersedia saat ini. Kadar NO pada udara ekspirasi saat ini dikenali sebagai tanda peradangan eosinofil, merupakan pemeriksaan non invasif dan sangat mudah untuk dikerjakan akan tetapi masih sangat mahal.
Metode penelitian : Asma dibagi menjadi 2 kategori yaitu terkontrol dan tidak terkontrol. Sembilan puluh enam subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi dinilai kontrol asmanya dengan ACT kemudian dilakukan pengukuran kadar NO dan spirometri dengan menggunakan metode penelitian cross-sectional comparative.
Hasil penelitian : Sembilan puluh enam subyek penelitian berhasil dikumpulkan. Lima puluh orang subyek merupakan kelompok asma terkontrol (41 orang asma terkontrol sebagian dan 8 orang asma terkontrol penuh) dan 47 orang merupakan kelompok asma tidak terkontrol. Semua pasien mendapatkan terapi asma sesuai dengan GINA 2011. Berdasarkan nilai spirometri VEP1/KVP untuk menilai derajat obstruksi 26 (53,3%) kelompok asma tidak terkontrol memiliki nilai normal, 14 (29,8%) dengan obstruksi ringan dan 7 (14,9%) dengan derajat obstruksi sedang. Sementara itu 25 (51%) kelompok asma terkontrol memiliki nilai normal, 21 (42,9%) dengan derajat obstruksi ringan dan 3 (6,1%) dengan derajat obstruksi sedang. Tidak ditemukan derajat obstruksi berat pada kedua kelompok asma. Nilai median NO pada kelompok asma terkontrol adalah 27 part per billion (ppb) xx (6;10), sedangkan pada kelompok asma tidak terkontrol 40 ppb (5;142) dengan nilai p 0,002.
Kesimpulan : Kelompok asma tidak terkontrol memiliki nilai NO lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok asma terkontrol. Lebih dari 50% subyek penelitian ditemukan tidak memiliki obstruksi berdasarkan nilai VEP1/KVP.

Background: Clinical findings and lung function test results of asthmatic patient are happen to be less sensitive in reflecting the underlying airway inflammation. Such required monitoring of this process has only recently become available. Exhaled nitric oxide is recognized as reliable surrogate marker of eosinophilic airway inflammation and offers the advantage of being completely non-invasive, easy procedure.
Methods: This cross-sectional comparative study involves 96 asthmatic subjects whom fulfilled the inclusion and exclusion criteria. Subjects are then classified into two main categories of asthma which are controlled asthma and uncontrolled asthma based on ACT questionnaire. Nitric oxide level measurement and spirometry examination are then performed in both of controlled asthma and uncontrolled asthma.
Results: Ninety six subjects were included in this study. Fifty subjects had controlled asthma (41 partially controlled, 8 fully controlled) and 47 had uncontrolled asthma. All patients had been using asthma medication on regular basis. Based on FEV1/FVC 26 (55,3%) uncontrolled asthma patients had normal results, 14 (29,8%) had mild obstruction and 7 (14,9%) had moderate obstruction. Meanwhile, 25 (51%) controlled asthma patients had normal results, 21 (42,9%) had mild obstruction, and 3 (6,1%) had moderate obstruction. No patients had severe obstruction. Median of NO in controlled asthma patients was 27 part per billion (ppb), (6;110) while in uncontrolled asthma was 40 ppb (5;142) with pvalue 0,002.
Conclusion: Uncontrolled asthma patients had higher measured level of exhaled NO compared to controlled asthma patients. More than 50% subjects had no obstruction based on FEV1/FVC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Maharani
"Penyakit asma telah dikenal secara luas namum belum pernah dijelaskan secara mendetil. Tomografi komputer resolusi tinggi (HRCT) dapat mendeteksi struktur tidak normal pada penderita asma. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik lesi asma dan hubungannya dengan data klinis pada hasil Tes kontrol asma (ACT).
Penelitian dilakukan secara prospektif dengan metode potong lintang terhadap penderita asma yang berobat ke poli asma RSUP Persahabatan Jakarta selama bulan Januari ? Februari 2014, mereka kemudia di rujuk untuk menjalani pemeriksaan HRCT setelah pemeriksaan awal dan mengisi ACT.
Dari 34 kasus, 33 (97%) mengalami penyempitan lumen bronkial, 21 (61,7%) mengalami penebalan dinding bronkial, 15 (44,1%) mengalami gambaran mosaik, 5(5,8%) mengalami bronkiektasis dan seluruhnya (100%) mengalami emfisema. Hasil ACT yang didapat adalah pasien terkontrol sebagian (35,2%) dan tidak terkontrol (64,7%). Ketika dihubungkan dengan hasil ACT, maka penyempitan lumen bronkial (p=0,970), penebalan dinding bronkus (p=0,488), gambaran mosaik (p=0,882), bronkiektasis (p=0,137) dan emfisema tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Lesi lainnya yang ditemukan dan berkaitan dengan ACT adalah tuberkulosis (11,8%; p=0,273), granuloma (2,9%; p=1,000), aspergiloma bronkopulmonari alergik (5,9%; p=0,529) dan bronkitis (5,9%; p=1,000).
Gambaran lesi karakteristik penderita asma bronkial pada HRCT merupakan hal yang penting, karena dapat memperlihatkan komplikasi lain yang menyertai asma, namun karakteristik lesi tersebut tidak berkaitan dengan hasil ACT.

The coexistence of asthma is widely recognized but has not been well described. High resolution computed tomography (HRCT) can detect the structural abnormalities in asthma. This study attempts describe the characteristic lesion of asthma and to correlate these abnormalities with clinical and asthma control test (ACT) data.
We perfomed a prospective cross sectional study of 34 asthma patients who were attending outpatient Persahabatan Hospital, Jakarta from January-February 2014, that were subjected to HRCT after initial evaluation and ACT.
Thirtythree subjects (97%) had narrowing of bronchial lumen, 21 (61.7%) had bronchial wall thickening, 15 (44.1%) had mosaic attenuation, 5 (5.8%) had bronchiectasis and 34 (100%) had emphysema. The ACT result were partial controlled patients (35.2%) and not controlled (64.7%). When correlated with ACT result, the narrowing of bronchial lumen (p=0.970), bronchial wall thickening (p=0.488), mosaic attenuation (p=0.882), bronchiectasis (p=0.137) and emphysema showed no significant association. Another HRCT findings that correlate with ACT were tuberculosis (11.8%; p=0.273), granuloma (2.9%; p=1.000), aspergilloma bronchopulmonary allergica (5.9%; p=0.529) and bronchitis (5.9%; p=1.000).
HRCT findings of characteristic lesion are important in bronchiale asthma patients, because they can describe other complication / comorbidity eventhough they were not correlate well with ACT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Windy Najla Rubiati
"Latar Belakang : Single nucleotide polymorphism SNP gen TNF-? terbukti dapat meningkatkan kerentanan berbagai penyakit inflamasi termasuk periodontitis.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan distribusi polimorfisme gen TNF-? -308 G/A pada penyakit periodontitis dan individu sehat.
Metode: 100 bahan biologi tersimpan 50 sampel periodontitis dan 50 sampel kontrol dianalisa menggunakan teknik PCR-RFLP dengan enzim restriksi NcoI.
Hasil : Genotip AA tidak ditemukan dan genotip GG ditemukan dengan jumlah terbanyak pada kelompok kontrol dan periodontitis. Genotip dan alel polimorfik ditemukan lebih banyak pada kelompok periodontitis 22 dan 11 dibandingkan kelompok kontrol 8 dan 11 . Hasil uji Fisher`s Exact menghasilkan p value=0.091.
Kesimpulan : Terdapat polimorfisme gen TNF-? -308 G/A pada penderita periodontitis namun tidak terdapat perbedaan bermakna pada distribusi polimorfisme antara penyakit periodontitis dan individu sehat di populasi Indonesia p>0.05.

Background : Single nucleotide polymorphism SNP in TNF gene has been associated with several inflammatory diseases including periodontitis.
Purpose : This study aimed to discover the difference of TNF 308 G A gene polymorphism distribution in periodontitis and healthy controls.
Methods : 100 stored samples of from 50 periodontitis male patients and 50 controls were analyzed using PCR RFLP technique with NcoI restriction enzyme and subsequently assessed with statistical analysis using Fisher's Exact test.
Results : AA genotype was absent and GG genotype was found with the highest amount in both sample. Polymorphic genotype and alelle were found higher in periodontitis sample 22 and 11 than healthy controls 8 and 11. Using fisher exact test, it was found p value 0.091.
Conclusion : No significant difference of TNF 308 G A SNP distribution was found between periodontitis and controls in Indonesian population p 0.05.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Rostini
"Prevalensi asma di Indonesia cukup tinggi (4,5%) dan beban yang diakibatkannya menyebabkan konsekuensi sosial ekonomi. Peningkatan risiko terjadinya efek samping yang mengiringi pengobatan jangka lama pada asma mendorong pengembangan modalitas terapi lain salah satunya adalah akupunktur tetapi belum ada penelitian akupunktur pada asma yang menilai efeknya pada derajat keterkontrolan asma menggunakan alat ukur yang valid.
Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas terapi kombinasi akupunktur tanam benang dan medikamentosa terhadap derajat keterkontrolan asma menggunakan skor ACT, pengaruhnya terhadap perubahan faal paru dan efek samping yang dapat timbul pada tindakan akupunktur tanam benang pada pasien asma bronkial derajat persisten sedang yang terkontrol sebagian dan tidak terkontrol. Uji klinis acak dan tersamar ganda dengan pembanding dilakukan pada 52 penderita asma bronkial derajat persisten sedang yang terkontrol sebagian dan tidak terkontrol yang dialokasikan secara acak menjadi kelompok terapi kombinasi akupunktur tanam benang dan medikamentosa (kelompok kasus) atau kelompok terapi medikamentosa (kelompok kontrol).
Hasil penelitian menunjukkan perbedaan bermakna perubahan skor ACT dan persentasi perubahan nilai APE sebelum dan sesudah perlakuan lebih tinggi pada kelompok kasus dibanding kelompok kontrol (p < 0,05). Persentasi perubahan nilai VEP1, KVP dan VEP1/KVP sebelum dan sesudah perlakuan lebih tinggi pada kelompok kasus dibanding kelompok kontrol namun perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik (p > 0,05).
Kesimpulan penelitian adalah terapi kombinasi akupunktur tanam benang dan medikamentosa lebih efektif dibanding terapi medikamentosa saja dalam meningkatkan derajat keterkontrolan asma pada pasien asma bronkial derajat persisten sedang yang terkontrol sebagian dan tidak terkontrol.

Asthma prevalence in Indonesia is quite high (4,5%) and the resulting burden caused socio-economic consequences. An increased risk of side effects that accompany long term treatment of asthma encourage the development of other therapeutic modalities one of which is acupoint catgut embedment but there is no studies of acupuncture in asthma that assess its effect on the degree of asthma control using a valid measurement tools.
The aim of this study was to establish the effectiveness of acupoint catgut embedment combined with medical treatment on asthma control using Asthma Control Test (ACT), to establish its effect on measurement result of lung function and to monitor the side effects that may occur. This study is a randomized, double-blind and controlled clinical trial involving 52 patients with partially controlled and uncontrolled moderate persistent bronchial asthma that are allocated into groups of catgut embedding method combined with medication (case group) and group of medication (control group).
The results showed a statistically significant difference in the change of ACT scores and PEF before and after treatment higher in case group compared to control group (p < 0,05). The change of FEV1, FVC and FEV1/FVC before and after treatment were higher in case group compared to control group but the differences were not statistically significant (p > 0,05).
The conclucion of this study is acupoint catgut embedment combined with medical treatment is more effective than medication treatment alone in improving asthma control in patients with partially controlled and uncontrolled moderate persistent bronchial asthma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Malikul Chair
"Artritis reumatoid (AR) dapat menyebabkan penurunan massa tulang sistemik akibat adanya peningkatan osteoklastogenesis dan penghambatan osteoblastogenesis melalui peningkatan sklerostin yang menyebabkan penghambatan jalur Wingless(Wnt)-bcatenin canonicaldan bone morphogenetic proteins(BMP). Sampai saat ini masih belum ada penelitian tentang korelasi TNF-adan sklerostin terhadap penanda turnovertulang (CTX dan P1NP) pada pasien AR perempuan premenopause.Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan patogenesis hilangnya massa tulang pada pasien artritis rheumatoid perempuan premenopause dengan menilai hubungan antara kadar sitokin proinflamasi TNF-α, penghambat Wnt signalingsklerostin, dan penanda resorpsi tulang P1NP dan CTX.Studi potong lintang ini melibatkan 38 perempuan AR premenopause. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif. Pemeriksaan dilakukan dengan ELISA.
Penelitian ini didapatkan kadar CTX (rerata 2,74 ng/ml) yang lebih tinggi dan P1NP (median 34,04 pg/ml) yang lebih rendahdibandingkan dengan sampel sehat pada penelitian sebelumnya. Terdapat korelasi negatif (r = -0,388) antara kadar TNF-α dengan kadar sklerostin yang bermakna secara statistik (p = 0,016). Terdapat pula korelasi positif (r = 0,362) antara kadar TNF-α dengan kadar P1NP yang bermakna secara statistik (p = 0,026). didapatkan adanya peningkatan CTX dan penurunan P1NP, adanya korelasi negatif bermakna antara kadar TNF-α dan sklerostin serta adanya korelasi positif bermakna antara kadar TNF-α dan P1NP.

Rheumatoid arthritis is associated with systemic bone mass loss due tostimulation of osteoclastogenesis and inhibition of osteoblastogenesis through inhibition of Wingless(Wnt) -bcatenin canonical and bone morphogenetic proteins(BMP) pathway by sclerostin. There are currently no studies that assess the correlation of TNF-α and sclerostin with bone resorption markers CTX and P1NPin premenopause rheumatoid arthritis patients. This study aims to explainthe pathogenesis of bone mass decrease by assessing the correlation between TNF-α, sclerostin, P1NP and CTX. This cross-sectional study involves 38 premenopausal women with AR. Sampling is done consecutively. Examination is done by ELISA.
This study found higher level of serum CTX (mean 2,74ng/mL) and lower level of P1NP (median 34,04 pg/mL) than normal population in previous studies. There was a negative correlation (r = -0,388) between TNF-α levels and sclerostin levels which was significant (p = 0,016). There wasalso a positive correlation (r = 0,362) between TNF-α levels and P1NP levels which was also significant (p = 0,026). This study found an increase in CTX and decrease in P1NP. There was a significant negative correlation between TNF-α and sclerostin levels and also a significant positive correlation between TNF-α and P1NP levels.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55523
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siringoringo, Victor Sahat
"Latar belakang
Teofilin merupakan bronkodilator yang efektif dalam pengobatan asma bronkial dan penggunaannya dalam bentuk garam etilendiamin sebagai bolus i.v. aminofilin merupakan terapi standar dalam penanggulangan penderita asma bronkial akut (1-3).
Dari beberapa hasil penelitian ditunjukkan bahwa baik efek terapi maupun efek toksik teofilin sangat berkaitan dengan kadar teofilin dalam serum. Untuk bronkodilatasi, lajak kadar teofilin serum terapetik adalah sempit yaitu 10 - 20 μg/ml (1,2,4-7). Disamping mempunyai efek terapetik yang rendah, variasi biotransformasi atau bersihan total teofilin, baik intraindividual maupun interindividual sangat berpengaruh pada kadar teofilin serum. Oleh karena itu pemantauan kadar teofilin serum dengan penerapan prinsip farmakokinetik sangat penting dalam optimasi penggunaan teofilin (1,8-12).
Dalam praktek, untuk menanggulangi serangan asma akut, seringkali penderita yang datang ke rumah sakit diberikan dosis awal bolus i.v. aminofilin dengan dosis muatan 5,6 mg/kg BB tanpa memperhitungkan apakah penderita ini telah mendapat teofilin dalam waktu sehari sebelumnya. Kemudian, apabila serangan dapat diatasi, penderita tidak mendapat infus aminofilin melainkan hanya mendapat resep dokter untuk membeli sediaan teofilin per oral di apotek sebagai kelanjutan terapi di rumah. Penatalaksanaan serangan asma bronkial akut yang dianjurkan dalam kepustakaan adalah pemberian bolus i.v. aminofilin dengan dosis muatan 5,6 mg/kg BB. Kemudian dosis awal ini harus dilanjutkan dengan pemberian infus aminofilin untuk mempertahankan kadar teofilin serum terapetik (1,2).
Interval waktu seteiah pemberian bolus i.v. aminofilin yang diberikan di rumah sakit sampai penderita minum sediaan teofilin per oral. di rumah diperkirakan 3 - 6 jam. Oleh karena itu kadar teofilin serum sebelum bolus injeksi aminofilin dan sesudahnya sampai 6 jam serta hubungannya dengan efek terapi dan efek sampingnya perlu diteLiti pada penderita asma bronkial akut yang hanya mendapat bolus i.v. aminofilin dengan dosis standar 5,6 mg/kg BB di rumah sakit?"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-6734
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Allen Widysanto
"Parameter yang menilai derajat asma dan asma kontrol saling tumpang tindih secara bermakna. Walaupun terjadi korelasi antar parameter namun tidak ada satu komponen tunggal yang dapat secara akurat mengklasifikasikan setiap individu penyandang asma. Beberapa alat ukur berupa kuesioner yang telah divalidasi, seperti Asthma Control Test ( ACT ), Asthma Control Scoring System ( ACS ) dan Asthma Control Questionnaire (ACQ ) telah dipublikasi saat ini, namun belum dilakukan perbandingan antar kuesioner tersebut.
Asthma Control Test adalah suatu kuesioner yang berisi 5 pertanyaan dan dapat diisi sendiri oleh penyandang asma. Lima pertanyaan tadi mencakup frekuensi gejala, pembatasan aktiviti, penggunaan obat pelega, dan persepsi sendiri mengenai kontrol asma. Asthma Control Scoring System adalah suatu kuesioner yang sifatnya kuantitatif dan berisi 3 parameter yaitu gejala klinis, fungsi paru ( VEP1 ) dan persen eosinofil pada sputum induksi. Khusus parameter eosinofil disebut sebagai parameter opsi pada kuesioner ini. Kantrol asma dihitung berdasarkan skor 0-100% untuk tiap pertanyaan.
Tujuan penelitian adalah untuk menilai hubungan antara ACT dan ACS pada penderita asma persisten baik sebelum dan sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi. Disain penelitian yang digunakan adalah kohort dan pengumpulan sampel dilakukan secara quota di poli paru RSUD Dr Moewardi, Surakarta. Jumlah sampel yang diteliti sebesar 32 orang yang seluruhnya tergolong dalam asma persisten. Janis kelamin laki-laki sebanyak 11 orang (34%) dan perempuan 21 orang (66% ). Sampel yang termasuk derajat asma persisten ringan sebesar 17 orang ( 53% ), asma persisten sedang 14 orang ( 44%) dan asma persisten berat 1 orang (3% ).
Tidak ada korelasi antara skor ACS dengan skor kategori ACT sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi dengan koefisien kesepakatan (x) : 0, 06, p : 0, 86. Sebaliknya, korelasi antara skor ACS dengan skor kategori ACT sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi menunjukkan korelasi sedang yang bermakna (K: 0,56; p : 0,001 ). Perbedaan rata-rata skor ACT balk sebelum dan sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi adalah bermakna ( p : 0,001 ), sedangkan hasil yang sama juga diperlihatkan pada perbedaan rata-rata skor ACS baik sebelum dan sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi ( p : 0,001 ). Cut off point ACS sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi sebesar 60%.
Kesimpulan : Hasil menunjukkan bahwa terdapat korelasi sedang dan bermakna pada penilaian skor ACS dan skor ACT sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi pada cut off point ACS sebesar 60%.

The individual parameters to define asthma severity and asthma control overlap significantly. Although correlation exists between the various parameters, no single component can accurately classify the entire individual. Validated measures, such as ACT, ACS, ACQ, for assessing asthma control are now available, but no comparison between the existing measures has been performed. Asthma Control Test is a five item self administered survey, scored from 0-5 points and only assessed asthma control from symptom frequency, activity limitation, rescue medication and self-perception of control.
Asthma Control Scoring System is a quantitative measure of asthma control incorporating 3 parameters (respiratory symptoms, FEV, and percentage eosinophit in induced sputum as an option parameter). Asthma score is quantified based on 0-100% for each component.
The purposes of this study were to assess the correlation between ACT and ACS in persistent asthmatic patients either before of after inhaled corticosteroid (ICS) treatment. The study design was cohort study and the sample was collected by quota sampling. A total of 32 patients (male 11 persons (34%) and female 21 persons (66%)) which was diagnosed as persistent asthma fulfilled the criteria of this study. Samples were categorized as mild persistent asthma (53%), moderate persistent asthma (44%) and severe persistent asthma (3%).
The correlation of ACS score based on ACT category score before ICS showed no agreement (agreement coefficient (K: 0,06) ; p : 0,86 ). In contrary, the correlation of ACS score based on ACT category score after ICS showed significantly moderate agreement ( K : 0,56 ; p : 0,001 ). The mean difference of ACT score before and after treatment showed significant level (p: 0,001). Likewise, the mean difference of ACS score before and after treatment showed significant level (p: 0,001). Cut off point of ACS score after inhaled corticosteroid was 60%.
Conclusion: The result showed that there was a moderate correlation statistically significant agreement between ACS and ACT assessment when ACS score of 60% was used as the cut off point.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18027
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Surya Komala
"ABSTRAK
Latar Belakang: Asma alergi merupakan salah satu jenis fenotipe asma yang terbanyak, ditandai dengan adanya sensitisasi terhadap alergen lingkungan. Pada asma alergi terjadi respons inflamasi tipe 2 yang akan menghasilkan periostin yang dapat dideteksi dalam darah. Salah satu faktor yang mempengaruhi keterkontrolan asma adalah paparan alergen yang dapat bervariasi bergantung pada pola musim. Wilayah Indonesia sebagai benua maritim memiliki dua musim (hujan dan kemarau) berbeda dengan wilayah lain yang memiliki empat musim. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kadar periostin serum pada asma alergi terkontrol dan tidak terkontrol. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan subjek penelitian adalah pasien asma alergi yang berobat ke poliklinik divisi Alergi Imunologi Klinik Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo bulan Januari-April 2017. Keterkontrolan asma dinilai dengan skor Tes Kontrol Asma sementara periostin serum digunakan sebagai penanda proses inflamasi Th2. Hasil: Dari 80 pasien asma alergi didapatkan rerata usia 39,7 tahun dengan proporsi perempuan lebih banyak (76%). Sebagian besar pasien memiliki riwayat rinitis alergi (73,8%) dan riwayat asma dalam keluarga (71%). Tungau debu rumah merupakan jenis alergen yang banyak memberikan sensitisasi. Kadar periostin serum pada subjek yang tidak terkontrol tidak berbeda dengan subjek yang terkontrol (209,78 ng/mL vs 627,66 ng/mL, p = 0,424) Simpulan: Tidak terdapat perbedaan kadar periostin pada kelompok asma alergi terkontrol dan tidak terkontrol.

ABSTRACT
Background: Allergic asthma is the most common asthma phenotype, defined by the presence of sensitization to environmental allergens. In allergic asthma, following allergen exposure there will be an activation of T2-type inflammation producing periostin that can be detected from blood. Many factors can influence asthma control, including allergen exposure, which may vary greatly with climatic and seasonal changes. The Indonesia region as the Maritime Continent is characterized by a wet and a dry season which is different from other regions with four seasons. Objective: To see the difference of serum periostin level in uncontrolled and controlled allergic asthma. Methods: This is a cross sectional study using samples from allergic asthma patients who went to Allergy and Clinical Immunology Clinic, Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital in January to April 2017. Asthma control was assessed clinically by using Asthma Control Test, while serum periostin was used as biological markers reflecting Th2 inflammation. Results: From 80 allergic asthma patients, the average of age was 39.7 years old with a greater proportion of women (76%). Most of the subjects had history of allergic rhinitis (73.8%) and positive family history of asthma (71%). House dust mites were the most common cause of sensitization. Serum periostin level in uncontrolled allergic asthma was not different from those in controlled allergic asthma (209,78 ng/mL vs 627,66 ng/mL, p = 0,424). Conclusions: There was no difference in the level of serum periostin in controlled and uncontrolled allergic asthma."
2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Prastiti Utami
"Latar Belakang: Pajanan terhadap jamur telah diketahui berperan dalam perburukan gejala asma, fungsi paru yang buruk, rawat inap dan kematian. Kolonisasi atau pajanan jamur dapat mencetuskan respons alergi dan inflamasi paru. Sensititasi jamur oleh Aspergillus dapat menyebabkan Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis (ABPA) maupun Severe Asthma with Fungal Sensitization (SAFS). Pemeriksaan Immunodiffusion test (IDT) merupakan uji serologi untuk mengetahui terdapatnya antibodi anti-Aspergillus, namun pemeriksaan ini belum banyak digunakan di Indonesia dan perannya terhadap pasien asma belum diketahui.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian prospektif dengan metode consecutive sampling dan desain potong lintang. Subjek penelitian ini adalah pasien asma yang berobat di Poliklinik Asma Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. Subjek penelitian menjalani pemeriksaan spirometri, Asthma Control Test (ACT) dan serologi antibodi anti-Aspergillus dengan metode IDT Aspergillus menggunakan crude antigen Aspergillus.
Hasil: Subjek penelitian ini sebanyak 59 pasien. Sejumlah 49 subjek (83,1%) berjenis kelamin perempuan, 37 subjek (62,7%) berusia ≥50 tahun, 45 subjek (76,3%) berpendidikan SLTA atau lebih, 25 subjek (42,4%) obesitas I, 5 subjek (8,5%) obesitas II dan 11 subjek (18,6%) bekas perokok. Sebagian besar subjek (62,71%) merupakan pasien asma persisten sedang. Asma terkontrol penuh ditemukan pada 7 subjek (11,86%), sedangkan asma tidak terkontrol pada 32 subjek (54,24%). Derajat obstruksi yang terbanyak ditemukan adalah obstruksi sedang pada 31 subjek (52,5%). Nilai %VEP1 ≥80% prediksi setelah uji bronkodilator ditemukan pada 24 subjek (40,7%). Dari 59 sampel darah yang diperiksa, tidak ada yang menunjukkan hasil IDT positif (0%), termasuk subjek yang datang dalam keadaan eksaserbasi dan subjek dengan asma persisten berat.
Kesimpulan: Hasil positif pemeriksaan IDT Aspergillus pada pasien asma sebesar 0%. Pemeriksaan IDT Aspergillus tidak dapat digunakan secara tunggal tanpa pemeriksaan lain untuk mendeteksi sensititasi terhadap Aspergillus pada pasien asma dan tanpa validasi terhadap crude antigen Aspergillus yang digunakan.

Background: Exposure to fungi has been known to play a role in worsening symptoms of asthma, poor lung function, hospitalization and death. Fungal colonization or exposure can trigger an allergic response and lung inflammation. Fungal sensitization by Aspergillus spp. can cause allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA) or severe asthma with fungal sensitization (SAFS). Immunodiffusion test (IDT) is a serological test to determine the presence of anti-Aspergillus antibodies, but this examination has not been widely used in Indonesia and its role in asthma patients is unknown.
Method: This study was a prospective study with consecutive sampling method and cross-sectional design. The subjects were asthma patients treated at Asthma Outpatient Clinic at Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia. Subjects underwent spirometry, Asthma Control Test (ACT) and serology of anti-Aspergillus antibodies examination with the IDT Aspergillus method using crude antigen Aspergillus.
Results: The subjects of this study were 59 patients. A total of 49 subjects (83.1%) were females, 37 subjects (62.7%) were ≥50 years old, 45 subjects (76.3%) had high school education level or higher, 25 subjects (42.4%) were obese I, 5 subjects (8.5%) were obese II and 11 subjects (18.6%) were former smokers. Most subjects (62.71%) were moderate persistent asthma patients. Fully-controlled asthma was found in 7 subjects (11.86%), while uncontrolled asthma was found in 32 subjects (54.24%). The highest degree of obstruction found was moderate obstruction in 31 subjects (52.5%). The %VEP1 ≥80% predicted after the bronchodilator test was found in 24 subjects (40.7%). Of the 59 blood samples examined, none showed positive IDT results (0%), including subjects who came in exacerbations and subjects with severe persistent asthma.
Conclusion: Positive results of IDT Aspergillus examination in asthma patients were 0%. The Aspergillus IDT examination cannot be used singly without other examinations to detect Aspergillus sensitization in asthmatic patients and without validation of the crude antigen Aspergillus used."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>