Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105949 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"[ ABSTRAK
Laylat al-henna adalah sebuah tradisi yang berasal dari negara-negara Arab dan beberapa negara
di Asia Selatan. Semenjak Islam masuk ke Indonesia melalui orang Arab, Gujarat, dan Persia,
tradisi ini masuk dan dipertahankan oleh perempuan keturunan Arab-Indonesia di Otista, Jakarta
Timur menjelang hari pernikahannya sebagai simbol akan melepaskan masa lajang. Laylat alhenna
ditandai dengan penggunakan henna pada tangan dan kaki calon pengantin perempuan pada
dua atau sehari sebelum perayaan dan perayaannya biasanya terjadi pada malam hari menjelang
hari pernikahan. Tradisi ini hanya dihadiri oleh kaum perempuan di rumah atau tempat lain yang
disediakan calon pengantin perempuan. Penggunaan henna tersebut diyakini sebagai daya tarik,
kepercayaan leluhur, dan kesehatan. Tradisi ini masih dipertahankan sampai saat ini oleh
perempuan keturunan Arab di Indonesia. Laylat al-henna sudah dianggap layaknya suatu tahap
yang wajib dilakukan sebelum melakukan acara atau prosesi pernikahan. Tradisi laylat al-henna di
Indonesia juga mengalami percampuran antara budaya asli, yaitu Arab dan budaya setempat, yaitu
Indonesia.

ABSTRACTLaylat al-henna is a tradition that comes from Arab countries and some countries in South Asia.
Since Islam arrived in Indonesia through the Arabs, Gujarat, and Persia, this tradition entered and
maintained by the Arab-Indonesian woman in Jakarta ahead of her wedding day as a symbol will
be releasing the single. Laylat al-henna is characterized by the use of henna on the hands and feet
of the bride at the two or the day before the festivities and celebrations usually take place on the
night before the wedding day. This tradition is only attended by women at home or elsewhere
provided the bride. The use of henna is believed to be the charm, ancestral beliefs, and health. This
tradition is still maintained today by the women of Arab descent in Indonesia. Laylat al-henna has
been deemed appropriate, a step that must be done prior to the event or wedding procession. Laylat
al-henna traditions in Indonesia also experienced a mixture of origin culture, Arab and the local
culture, Indonesia., Laylat al-henna is a tradition that comes from Arab countries and some countries in South Asia.
Since Islam arrived in Indonesia through the Arabs, Gujarat, and Persia, this tradition entered and
maintained by the Arab-Indonesian woman in Jakarta ahead of her wedding day as a symbol will
be releasing the single. Laylat al-henna is characterized by the use of henna on the hands and feet
of the bride at the two or the day before the festivities and celebrations usually take place on the
night before the wedding day. This tradition is only attended by women at home or elsewhere
provided the bride. The use of henna is believed to be the charm, ancestral beliefs, and health. This
tradition is still maintained today by the women of Arab descent in Indonesia. Laylat al-henna has
been deemed appropriate, a step that must be done prior to the event or wedding procession. Laylat
al-henna traditions in Indonesia also experienced a mixture of origin culture, Arab and the local
culture, Indonesia.]"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
MK-PDF
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1988/1989
392.592 ART
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI, 1990
392.592 ART
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan RI, 1987
392.592 ART
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1993
392.592 ART
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Li Jie
"Penelitian ini membandingkan peran gender dan adat dalam upacara pernikahan di Tiongkok dan Vietnam serta implikasinya terhadap norma sosial. Melalui analisis kualitatif, penelitian ini meneliti tradisi pernikahan di kedua negara untuk memahami bagaimana adat memperkuat ekspektasi gender. Di Tiongkok, adat pernikahan lebih menekankan kelanjutan garis keluarga dan menegaskan dominasi laki-laki dalam hierarki keluarga, sementara di Vietnam, lebih berfokus pada kesatuan keluarga dan penghormatan leluhur. Metode penelitian mencakup analisis konten dari media massa, teks akademik, serta analisis narasi tekstual dan visual dari dokumenter yang berkaitan dengan praktik pernikahan. Dengan menggunakan teori ritual Turner, performativitas gender Butler, maskulinitas hegemonik Connell, deskripsi Tebal Geertz, dan teori Objektifikasi Nussbaum, penelitian ini mengeksplorasi bagaimana adat pernikahan tradisional mempertahankan norma peran gender. Hasilnya menunjukkan bahwa, meski ada perubahan karena modernisasi, banyak praktik tradisional masih memengaruhi pandangan masyarakat di daerah pedesaan. Penelitian ini berkontribusi pada pemahaman tentang fungsi adat pernikahan dalam memperkuat peran gender di Tiongkok dan Vietnam, serta bagaimana modernitas menantang praktik-praktik ini.

This study compares gender roles and marriage customs in wedding ceremonies in China and Vietnam, as well as their implications for social norms. Through qualitative analysis, this research examines wedding traditions in both countries to understand how customs reinforce gender expectations. In China, wedding customs place greater emphasis on the continuation of the family lineage and reinforce the male dominance in the family hierarchy, while in Vietnam, they focus more on family unity and ancestral reverence. The research methodology includes content analysis of mass media, academic texts, along with textual and visual narrative analysis of documentaries related to wedding practices. Using Turner’s ritual theory, Butler’s gender performativity, Connell’s hegemonic masculinity, Geertz’s thick description, and Nussbaum’s objectification theory, this study explores how traditional marriage customs sustain gender role norms. The results indicate that while modernization has brought about changes, many traditional practices continue to influence societal views in rural areas. This research contributes to an understanding of the function of marriage customs in reinforcing gender roles in China and Vietnam, as well as how modernity challenges these practices."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Indira Rizkyana
"Upacara persembahan teh atau disebut dengan istilah Teh Pai (茶拜Chá bài), telah menjadi salah satu bagian dari rangkaian acara pernikahan orang Tiongkok sejak Dinasti Tang (唐朝 Táng cháo) (618-906 SM). Upacara persembahan teh ini juga dilakukan dalam acara pernikahan orang Indonesia keturunan Tionghoa hingga sekarang. Penelitian ini bertujuan menjelaskan mengapa Teh Pai dalam pernikahan orang Indonesia keturunan Tionghoa masih bertahan hingga sekarang. Penjelasan mengenai masih dipertahankannya Teh Pai di Indonesia hingga saat ini akan dipaparkan melalui teori semiotika Peirce. Selain itu, dalam penelitian ini juga dibahas rangkaian acara Teh Pai. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif melalui wawancara dan ditunjang studi kepustakaan berupa buku, artikel, jurnal, dan kamus. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa rangkaian prosesi Teh Pai masih terus dilaksanakan karena meyimbolkan ajaran bakti. Ajaran bakti atau 孝 xiào dari Konfusius (孔夫子 Kǒng Fūzǐ) akan membentuk moral baik seseorang melalui perilaku bakti kepada orang tua. Selama masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa masih memegang teguh ajaran bakti, maka Teh Pai masih tetap dilaksanakan.

Tea ceremony, also known as Teh Pai (茶拜 Chá bài), has been a part of the Chinese wedding ceremony since the Tang Dynasty (唐朝 Táng cháo) (618-906 BC). Teh Pai has also been a part of Chinese-Indonesian wedding ceremony until now. The purpose of this study is to explain why Teh Pai in Chinese-Indonesian wedding still persists to the present day. An explanation of the ongoing existence of Teh Pai will be presented through Peirce's semiotic theory. In addition, this paper also explains the processions of Teh Pai ceremony. This study uses qualitative research methods through interviews and is supported by literary works in the form of books, articles, journals, and dictionary. The conclusion of this research shows that the ceremony of Teh Pai processions symbolize the teachings of fillial piety. Filial piety or xiao 孝 Xiào taught by Confucius (孔夫子 Kǒng fūzǐ), will shape someone's good moral character through filial behavior towards their parents. As long as Chinese-Indonesian people still adhere to values of filial piety, Teh Pai will still continue to be practiced."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christine Rianti
"Pernikahan merupakan salah satu dari 3 peristiwa utama dalam kehidupan orang Cina, 2 hal lainnya adalah kelahiran dan kematian. Oleh karena hal tersebut, pernikahan masyarakat Cina tidak dapat dilepaskan dari tradisi upacara yang melekat didalamnya, yakni tradisi Upacara Persembahan Teh--- Chabai 茶拜. Upacara persembahan teh adalah salah satu bagian dari budaya leluhur Cina yang sudah diimplementasikkan turun temurun sampai sekarang, upacara ini terus dilaksanakan dan dilestarikan walau dengan konsep yang berbeda seiring dengan berkembangnya jaman. Meskipun demikian, makna dari Upacara Persembahan Teh tetap sama, yakni untuk menghormati orang tua dari kedua mempelai dan saudara-saudara yang dituakan dalam keluarga.

Marriage is one of the three main occasions in the life of the Chinese, besides birth and death. Therefore, Marriage in Chinese culture cannot be separated from its wedding rituals, specifically Tea Offering Ceremony ritual. Tea offering ceremony is a part of old Chinese culture that has been implemented until present days, this ceremony continues to be implemented and preserved with several conceptual changes to adjust to the modern era. Nevertheless, the significance of this ceremony remains the same, which is to honor the parents and the elders in the families of the bride and groom.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Aisha Nabila
"Pesta Pernikahan bukan sekadar selebrasi atas bersatunya dua insan, namun juga sebagai ajang eksibisi kekayaan dan posisi sosial seseorang. Sebagai akibatnya, tidak jarang calon pengantin perempuan rela mengambil tindakan konsumsi di luar kemampuan seperti berhutang demi mewujudkan ‘pesta pernikahan impian’. Melalui foto yang diunggah pada media sosial Instagram, pebisnis industri pesta pernikahan seperti Bridestory dinilai secara aktif mendorong konsumsi tanda dalam benak followers perempuan. Penelitian konstruktivis-kritis ini menggunakan metode wawancara yang dilakukan pada tiga orang informan perempuan follower akun instagram @TheBridestory dengan gaya hidup, perilaku finansial, lingkaran sosial, dan konsumsi media yang berbeda-beda. Menggunakan konsep consumer society dan internet spectatorship, hasil penelitian memperlihatkan bahwa internet engagement dan status pernikahan memiliki hubungan dengan motivasi konsumsi individu sebagai klasifikasi dan diferensiasi sosial. Prestise, popularitas, dan estetika adalah nilai tanda yang umum ditemukan dalam konsumsi followers perempuan dalam wedding photography di akun @TheBridestory. Penelitian juga berhasil menemukan hiperrealitas pada wedding photography yang terjadi melalui desire dan narrative yang dibangun oleh fotografer melalui negosiasi apparatus dan negosiasi khalayak.

Wedding is not merely a celebration of the union of two people, but also as an exhibition of one's wealth and social position. As a result, it is not uncommon for brides-to-be to take consumption measures beyond their means such as going into debt for the sake of realizing a "dream wedding". Through photos uploaded on Instagram social media, wedding party vendors like Bridestory are considered to be actively encouraging consumption of signs in the minds of its female followers. This constructivist-critical research interviewed three female @TheBridestory instagram followers of different lifestyles, financial behavior, social circles, and media consumption. Using the concept of consumer society and internet spectatorship, the results show that internet engagement and marital status links to individual consumption as an instrument for social classification and social differentiation. Prestige, popularity, and aesthetics are common sign values consumed by female followers in wedding photos at @TheBridestory instagram account. The research also succeeded in finding hyperreality in wedding photography that occurs through desire and narrative built by the photographer through apparatus negotiations and audience negotiations.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>