Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97865 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raden Brotoseno
"Dampak globalisasi telah menimbulkan konsekuensi logis terhadap berkembangnya kuantitas dan kualitas berbagai kejahatan, tidak terkecuali pada perspektif tindak pidana korupsi yang semakin menjadi perhatian dunia karena dampaknya yang sangat merugikan negara. Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di Indonesia dewasa ini mengalami berbagai kendala yang cukup kompleks. Berbagai upaya implementasi strategi pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme telah dilaksanakan, walaupun tidak optimal. Demikian halnya dengan pembentukan berbagai peraturan perundangan dan komisi pemberantasan KKN. Namun tingkat KKN, khususnya korupsi di Indonesia tidak juga mengalami perubahan berarti.
Korupsi sudah menjadi wabah penyakit yang menular di setiap aparat negara dari tingkat yang paling rendah hingga tingkatan yang paling tinggi. Dengan demikian diperlukan upaya yang lebih komprehensif dan holistik untuk melakukan gerakan anti-korupsi pada berbagai tingkatan. Tingginya kerugian negara sebagai salah satu dampak korupsi, menjadikan konteks penegakan hukum tindak pidana korupsi saat ini lebih berorientasi kepada upaya pengembalian kerugian keuangan negara. Konsekuensinya, pemberantasan korupsi tidak semata-mata bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana penjara (detterence effect), tetapi harus juga dapat mengembalikan kerugian negara yang telah dikorupsi. Sehingga unsur kerugian negara menjadi unsur essensial dari tindak pidana korupsi pada berbagai peraturan perundang-undangan.
Maksud pengembalian kerugian negara kemudian diakomodir dalam Pasal 38 B ayat (2) Undang-Undang No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi : “Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara”. Dalam Undang-Undang ini juga terdapat penerapan sistem “pembuktian terbalik” untuk mendukung upaya pengembalian kerugian negara.

The impact of globalization has led to a logical consequence of the development of the quantity and quality of various crimes, not least in the perspective of corruption is increasingly becoming the world's attention because of its effects are extremely detrimental to the state. Eradication of corruption, collusion and nepotism (KKN) in Indonesia today, difficulties are quite complex. Various efforts to implement strategies to eradicate corruption, collusion and nepotism have been carried out, although not optimal. Similarly, with the establishment of various laws and combating corruption commission. But the level of corruption, especially corruption in Indonesia is not too significant change.
Corruption has become an outbreak of infectious disease in every state apparatus from the lowest level to the highest level. Thus more efforts are required to undertake a comprehensive and holistic anti-corruption movement at various levels. The high losses to the state as one of the effects of corruption, making the context of law enforcement corruption is now more oriented to the effort to re-state losses. Consequently, the eradication of corruption is not solely intended for criminals sentenced to prison (detterence effect), but must also be able to restore the losses that have been corrupted. So that the state's losses become essential elements of the crime of corruption in various legislations.
Purpose state indemnification then accommodated in Article 38 B (2) of Law No. 20 of 2001 on the Amendment of Act No. 31 of 1999 on Corruption Eradication, which reads: "In case the defendant can not prove that the property referred to in paragraph (1) is obtained not because of corruption, such assets are considered acquired also of corruption and judges the authority to decide all or part of the property seized for the state ". In this Act also contained system implementation "of proof" to support the efforts of the state indemnification.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesti Widyaningrum
"Penyidik KPK dapat melakukan penyitaan tanpa surat izin ketua pengadilan negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, namun ketentuan ini tidak sesuai dengan aturan umum yang diatur dalam KUHAP. Dalam penulisan tesis ini terdapat tiga pertanyaan penelitian, yaitu: Mengapa KPK diberikan kewenangan untuk melakukan penyitaan tanpa izin dari Ketua Pengadilan Negeri? Bagaimanakah batasan terhadap kewenangan penyidik KPK untuk melakukan penyitaan aset tersangka tindak pidana korupsi? dan Apa akibat hukumnya jika penyidik KPK melampaui batasan kewenangan ketika melakukan penyitaan aset tersangka tindak pidana korupsi? Penelitian ini merupakan penelitian yang menelaah dan menganalisis data sekunder yang berupa peraturan perundang-undangan, literatur, artikel, jurnal, dan sebagainya. Sebagai pendukung penelitian ini, maka digunakan juga data primer yang didapatkan melalui wawancara dengan akademisi dan praktisi hukum. Hasil analisa tersebut ditarik kesimpulan secara induktif.
Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa dasar pemikiran dari pengaturan penyitaan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 berdasarkan 2 (dua) alasan, yakni: 1. Alasan Penegakan Hukum Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang luar biasa, 2. Alasan tentang pemberantasan korupsi yang harus efektif. Syarat sebagai batasan penyidik KPK untuk melakukan penyitaan harus disertai surat perintah penyidikan untuk melakukan penyitaan, benda sitaan harus diseleksi kembali dalam 2 tahap (penyidikan dan prapenuntutan) sebagai pelaksanaan dari prinsip kehati-hatian oleh penyidik KPK. Kedua syarat tersebut dinilai masih memiliki kekurangan sehingga ketentuan mengenai kewenangan penyitaan oleh penyidik KPK harus dilengkapi dengan ketentuan yang jelas dan tegas. Dengan demikian, perlu adanya SOP (Standard Operational Procedure) untuk melengkapi kekurangan dari ketentuan yang telah ada. Jika batasan tersebut dilanggar, maka KPK memberikan sanksi berdasarkan tingkat pelanggarannya yang didasarkan pada temuan pengawas internal. Akan tetapi, temuan pelanggaran tersebut sulit diketahui oleh pengawas internal karena tidak adanya kewajiban penyidik KPK untuk menyerahkan berita acara/ resume penyitaan kepada pengawas internal. Oleh karena itu, KPK agar mewajibkan penyidik KPK untuk menyerahkan berita acara/resume singkat penyitaan kepada pengawas internal dan tetap menjaga profesionalitas, kredibilitas, integritas, dan kesadaran hukum yang tinggi sebagai upaya memberikan perlindungan terhadap hak tersangka.

Seizure By Investigator of Indonesian Corruption Eradication Commission can be done without the permission of the Chairman of the District Court, as stipulated in The Law No. 30 of 2002, but this provision is not in accordance with the general rules set out in the Criminal Procedure Code (KUHAP). Therefore, the implementation poses problems. In this thesis, There are three research questions, namely: Why the Commission is given the authority to expropriate without the permission of the Chairman of the District Court? How limits The Authority of The Investigators of Indonesian Corruption Eradication Commission When The Seizure of Assets suspected of Corruption? And what legal consequences in terms of Indonesian Corruption Eradication Commission?s Investigator transcend The limits of Authority when The seizure of Assets suspected of Corruption? This research is the study and analyze secondary data in the form of legislation, literature, articles, journal, and so on. As a supporter of this research, it is also used primary data obtained through interviews with academics and legal practitioners.
The results of this analysis conclude inductively. The results of this study indicate that the rationale of seizure provision in Law No. 30 of 2002 considered on the nature of the crime of corruption by 2 reason: 1. Reason of law enforcement which is use extraordinary methods. 2. Reason on Eradication Corruption should effectively. Requirement as a limit for Indonesian Corruption Eradication Commission?s Investigator to conduct a seizure must be accompanied by an investigation warrant for the seizure, the seized objects should be selected again in 2 phases (investigation and Pre-Prosecution) as the implementation of the prudential principle by Indonesian Corruption Eradication Commission's Investigator. Both of these requirement are still considered to have a lack so that the provisions of seizure powers by Indonesian Corruption Eradication Commission?s Investigator must be equipped with a clear and unequivocal. Thus, the need for SOP (Standard Operational Procedure) to complement the lack of the existing provisions. If these limits are violated, investigator given sanction by the offense level as seen from the findings of an Internal Controller. However, the findings are difficult to detect violations by Internal Controller because are Indonesian Corruption Eradication Commission's Investigator are not required to submit an official report/resume seizure to an Internal Controller. Therefore, the Commission requires that Indonesian Corruption Eradication Commission?s investigator to submit an official report/resume seizure to Internal Controller and still maintain professionalism, credibility, integrity, and high awareness of the law as an effort to protect the rights of suspects.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41812
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purbasanda Woro Mandarukmidia
"Permasalahan korupsi merupakan sebuah permasalahan yang sudah menjadi musuh besar bagi negara ini. Telah 73 tahun berdiri namun belum juga dapat secara tuntas menyelesaikan permasalahan yang telah mengakar sejak lama di Indonesia. Melihat banyaknya pilihan perumusan kebijakan yang dapat dilakukan dalam memberantas korupsi, penelitian ini membahas tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi lembaga KPK dalam merumuskan kebijakan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Penelitian ini menggunakan pendekatan post positivis dengan instrumen wawancara mendalam dengan masyarakat, akademisi dan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Adapun sumber data-data yang diperoleh berasal dari data primer dan sekunder dari buku-buku, naskah ringkas dan hasil wawancara mendalam. Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa faktor-faktor perumusan kebiajakan di KPK telah sesuai dengan teori yang ada dan faktor pengaruh dari luar merupakan salah satu faktor yang cukup kuat atau cukup besar pengaruhnya terhadap proses perumusan kebijakan di KPK.

Corruption is a problem that has become a major enemy to this country. The Corruption Eradication Commission (KPK) has been founded for 73 years but has not been able to completely resolve this problem that have been rooted for a long time in Indonesia. Considering the many policy formulation choices that can be made in eradicating corruption, this study discusses factors tha influence the KPK in formulating policies towards eradicating corruption. This study used a post positivist approach using in-depth interviews with the community, academics, and the Corruption Eradication Commission (KPK). The source of the data obtained from primary and secondary data from books, concise texts, and the results of in-depth interviews. It is found that the factors of the policy formulation in the Corruption Eradication Commission were in accordance with existing theories, and the external influencing factors are one of the most influential factors on the policy formulation process in the KPK.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasanuddin
"Tesis ini membahas mengenai pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara (asset declaration) dalam upaya pemberantasan korupsi. Pelaporan harta kekayaan merupakan suatu kewajiban penyelenggara negara menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara merupakan perwujudan dari prinsip-prinsip good governance terutama prinsip transparansi dan akuntabilitas yang bertujuan untuk penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis dan bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme. Untuk kepentingan pemberantasan korupsi yang meliputi tindakan pencegahan dan penindakan, pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara berfungsi sebagai sarana untuk menguji integritas penyelenggara negara atau calon penyelenggara negara, menanamkan sifat kejujuran, keterbukaan dan tanggung jawab di kalangan penyelenggara negara, mendeteksi potensi konflik kepentingan antara tugas-tugas publik penyelenggara negara dan kepentingan pribadinya, serta dapat digunakan untuk mendeteksi adanya illicit enrichment atau sebagai pintu masuk dan sebagai bukti pendukung penyelidikan dan penuntutan perkara korupsi. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 itu sendiri masih mengandung beberapa kelemahan terutama yang terkait dengan kewenangan lembaga pengelola pelaporan dan lemahnya sanksi yang tercantum dalam undang-undang. Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga yang berwenang melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara belum sepenuhnya bisa efektif untuk memastikan ketaatan dan kejujuran penyelenggara negara dalam melaporkan harta kekayaannya karena kewenangan yang diberikan oleh undang-undang terbatas pada pendaftaran dan pemeriksaan, tidak disertai dengan kewenangan yang lebih luas berupa pemberian sanksi administratif secara langsung ataupun memberikan rekomendasi yang sifatnya mengikat kepada atasan penyelenggara negara. Adapun dalam hal penyelenggara negara didakwa melakukan tindak pidana korupsi, maka harta kekayaan penyelenggara negara yang mengalami peningkatan yang tidak wajar harus dibuktikan dengan sistem pembuktian terbalik.

This thesis discusses the asset declaration of public officials in an effort to eradicate corruption. Asset Declaration is an obligation of public officials as stated in Law No. 28 of 1999 on the Governance of State that Free From Corruption, Collusion and Nepotism. Asset declaration system is the implementation of good governance principles especially the principle of transparency and accountability in order to creating democratic and clean government that free from corruption, collusion and nepotism. In an attempt on combating corruption which is included preventive and punitive measures, asset declaration functions as a tool for examining the integrity of public officials as well as public officials candidate and could also serves to evoke honest, transparent, and accountable characters of public officials. Other essential purposes of asset declaration system are detecting conflict of interests and illicit enrichment of public officials and also function as an entrance for investigating corruption practices. Law No. 28 of 1999 itself still contains some weaknesses, especially related to the authority of reporting agency and the weakness of sanctions contained in the legislation. Indonesian Corruption Eradication Commission (KPK) as a reporting agency of public officials? asset declaration is not fully effective in ensuring compliance and honesty of public officials in reporting their entire assets because of its limited authority given by the existing legislation. The commission should have been given greater authority such as to impose a direct administrative sanction or to provide a binding punitive recommendation to the superior of the public officials who has intentionally not fulfilled reporting obligation. In terms of a public official is accused corruption, the significant increase of the accused?s asset must be proven by using the reversal of the burden of proof.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2013
T32534
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Giovanni Sugiarto
"Penulis akan membahas mengapa korupsi masih terjadi di Indonesia, terlepas dari semua upaya yang telah dilakukan. Indonesia, sebagai salah satu negara yang dianggap kotor oleh beberapa indeks, sebenarnya dipandang sebagai salah satu negara yang telah memperkenalkan banyak agenda tentang bagaimana menghadapinya. Esai ini akan membahas beberapa inisiatif yang telah dibuat, lalu mengapa korupsi masih berlanjut. Tiga alasan termasuk, predator-elit, fraud-triangle, dan budaya korupsi. Beberapa rekomendasi yang mungkin tentang apa yang bisa dilakukan juga akan dibahas.

The writer will be discussing why corruption persists in Indonesia, despite all of the efforts that have been made. Indonesia, as one of the countries considered corrupted by several indexes, has actually being seen as one of the countries that had introduced numerous agendas on how to deal with it. This essay will discuss several initiatives that have been made, then why then corruption still persists. Three reasons are included, predatory-elites, fraud triangle, and culture of corruption. Several possible recommendations on what could be done will also be discussed"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fahd Budi Suryanto
"Penegakan hukum tindak pidana korupsi sebagai salah satu fokus utama pemerintah untuk mewujudkan good and clean government memiliki problematika hukum terkait dengan penerapan hukum tindak pidana korupsi pada kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN khususnya pada Anak Perusahaan BUMN. Untuk menjamin adanya kepastian hukum dan penerapan hukum yang sesuai dengan teori dan asas-asas yang berlaku di dalam hukum, perlu dilakukan penelitian yuridis terhadap status hukum dan aspek hukum keuangan Anak Perusahaan BUMN. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif (legal research) melalui pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan teori hukum (rechts teorie). Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan apakah keuangan Anak Perusahaan BUMN merupakan keuangan publik dan masuk dalam lingkup keuangan publik dan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau sebaliknya keuangan Anak Perusahaan BUMN sebagai badan hukum privat tunduk pada hukum perdata, sehingga segala problematika hukum terkait Anak Perusahaan BUMN harus dilakukan dalam koridor hukum perdata termasuk di dalamnya peraturan mengenai perseroan terbatas.

Anti Corruption Law enforcement, as one of the main focuses of the government in realizing good and clean government, has legal problems related to anti corruption criminal act enforcement to state financial that are separated from state owned company, especially its subsidiaries. In order to ensure legal certainty and legal application in accordance with the theory and principles applicable in law, it is necessary to conduct juridical research on the legal status and financial legal aspects of the state owned company’s subsidiaries. The method used in this research is the normative juridical method (legal research) through the statute approach and legal theory (rechts theory). This study aims to answer the question whether the finance of the state owned company’s subsidiaries is a subject of public finance and is included in the scope of public finance and state finances as referred to in Law of the Republic of Indonesia Number 20 of 2001 concerning Amendments to Law of the Republic of Indonesia Number 31 of 1999 concerning the Eradication of Action Corruption, or vice versa, the finance of the state owned company’s subsidiaries as private legal entities is subject to civil law, so all legal problems related to the state owned company’s subsidiaries must be carried out in the corridor of civil law, including regulations regarding limited liability companies"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghali, A.
"Penelitian ini bermula dari latar belakang permasalahan korupsi yang
melibatkan penyelenggara negara di Indonesia yang tidak kunjung habisnya. Hal
ini kemudian dibentuknya lembaga antikorupsi yang mempunyai wewewang
melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Komisi Pemberantasan
Korupsi merupakan komisi antikorupsi di Indonesia yang mempunyai tugas,
fungsi, dan wewenang yang sangat strategis dalam memberantas korupsi.
Penelitian ini membahas mengenai penggunaan penyadapan Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam mengungkap kasus tindak pidana korupsi,
khususnya penyuapan dan pemerasan. Posisi Komisi Pemberantasan korupsi
cukup strategis terlihat pada penggunaan penyadapan yang sah secara hukum
dalam mengungkap kasus korupsi, khususnya kasus penyuapan dan pemerasan.
Penggunaan penyadapan telah menjerat banyak pelaku tindak pidana
korupsi. Penelitian ini juga ditujukan untuk melihat manfaat dan kendala selama
penggunaan penyadapan yang dilakukan oleh KPK sehingga dapat
menggambarkan secara keseluruhan dari penggunaan penyadapan dalam
mengungkap kasus penyuapan dan pemerasan yang melibatkan penyelenggara
negara.
Hasil penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa KPK menyadari
penyadapan melalui telepon tidak cukup. Banyak kendala selama penggunaan
penyadapan selama ini disebabkan oleh, yaitu kendala personel KPK yang sedikit
dibandingkan kasus yang sedang ditangani, dibutuhkan aturan hukum dan
insfrastruktur yang memadai dalam hal menunjang tata cara teknis penyadapan,
khususnya penyadapan yang berbasis layanan data internet.

Abstract
This research started from a background of corruption involving state
administrators in Indonesia that never end. It is then, forming anti-corruption
agencies which have lawful interception and recording conversations. Indonesia?s
Corruption Eradication Commission (KPK) is an anti-corruption commission
which has the duties, functions, and authority are very strategic in eradicating
corruption.
This research discusses the use of lawful interception Indonesia?s Corruption
Eradication Commission (KPK) in exposing corruption cases, especially bribery
and extortion. Indonesia's Corruption Eradication Commission (KPK) position is
strategic at the use of lawful interception in exposing corruption cases, especially
bribery and extortion.
The use of lawful interception has trapped many corruptors. The study also aimed
to see the benefits and constraints of lawful interception conducted by the KPK,
so that it can describes the use of it in exposing bribery and extortion cases
involving state administrators.
The results of this research is KPK aware of intercepts telephone is not enough.
Many obstacles during this policy, due to the lack of personnel in KPK, it takes
the rule of law and adequate infrastructure in terms of technical procedures to
support lawful interception especially internet-based data services."
2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nadila Ikhsani
"Artikel ini membahas mengenai peran pers dalam melakukan pengawasan korupsi di pemerintahan Orde Baru melalui kacamata Harian KAMI. Surat Kabar Harian KAMI lahir pada 16 Juni 1966 atas kebutuhan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) untuk melakukan akomodasi terhadap gerakan-gerakan mahasiswa di luar ibukota. Pada perkembangannya, Harian KAMI tumbuh sebagai salah satu pers mahasiswa terpopuler karena tulisan-tulisannya yang kritis dan berimbang. Lewat tajuk rencana, Harian KAMI memberikan opininya atas masalah yang terjadi pada pemerintahan Orde Baru. Salah satu topik yang tidak habis dibahas adalah mengenai korupsi. Meskipun baru beberapa tahun berdiri, Orde Baru tidak luput dari masalah tersebut, baik itu yang menyangkut pejabat tinggi pemerintah, maupun pegawai-pegawai kecil. Pada masa awal Orde Baru ini pers memiliki lebih banyak kebebasan untuk menyampaikan pendapatnya, sehingga pers menjadi lebih kritis dan aktif dalam mengawasi pemerintahan Orde Baru. Harian KAMI sebagai pers yang lahir dari pergerakan mahasiswa berusaha menanggapi Orde Baru secara kritis. Harian ini ikut mengkritisi kasus korupsi yang melibatkan orang-orang dekat Soeharto dan memberikan pandangan mengenai usaha-usaha pemberantasan korupsi di Orde Baru. Artikel ini dibuat dengan menggunakan metode sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi.

This article discusses the role of the press in supervising corruption in the New Order government through the eyes of Harian KAMI. Harian KAMI was born on June 16, 1966 because of the need for the Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) to accommodate student movements outside the capital city. In its development, Harian KAMI grew as one of the most popular student press because of its critical writings. Through their editorial, Harian KAMI gave its opinion on the problems that occurred in the New Order government. One of the topics that are frequently discussed is corruption. Even though it only had been established for a few years, the New Order government did have these problems, whether it involved high-ranking government officials or small employees. In the early days of the New Order, the press had more freedom to express their opinions, so the press became more critical and active in overseeing the New Order government. As a press that was born from the student movement, Harian KAMI tried to respond critically to the New Order. This newspaper also criticized corruption cases involving people close to Suharto and provided views on efforts to eradicate corruption in the New Order. This article was written using historical methods consisting of heuristics, critics, interpretation and historiography."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yogi Bayu Aji
"Sejak lama, korupsi telah menyerang kehidupan negera dan terus menyebar ke berbagai bidang. Untuk itu perlu penegakan hukum yang tegas dan dapat memberantas kejahatan ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan pemiskinan koruptor sebagai langkah alternatif dalam penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data dari penelitian ini berasal dari buku-buku serta berita di media. Data-data tersebut kemudian dianalisa untuk melihat upaya pemiskinan koruptor dalam penegakan hukum kasus korupsi. Dari penelitian ini menemukan bahwa penegakan hukum terhadap korupsi belum tegas dan masih lemah dalam menangani kejahatan ini. Pemiskinan koruptor dapat menjadi solusi yang baik dan menguntukan bagi negara.

For a long time, corruption has attacked the life of state and was spreading to multiple area. To extirpate this crime needs a strict law enforcement. The purpose of this research are to explain about corruptor impoverishment as an alternative law enforcement towards the corruption case in Indonesia. This research is using qualitative approach with collected data from books and news in mass media. The data is analized to see the effort of the impoverishment corruptor as an effort of law enforcement towards corruption in Indonesia. The result from this research showed that law enforcement in Indonesia is still not strict and weak in handling corruption. Impoverishment corruptor can become a good solution and benefit the state."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S45608
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mustika Ayu Ningrum
"Pandemi COVID-19 di Indonesia telah menciptakan peluang kejahatan (criminal opportunity) untuk melakukan korupsi. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan metode studi kasus, studi ini secara spesifik membahas kasus korupsi dana bantuan sosial Pandemi COVID-19 di Kementerian SS pada tahun 2020. Dipandu oleh Routine Activity Theory yang diperluas, menggabungkannya dengan konsep Corrupt Government Networks serta menggunakan metode analisis isi kualitatif, studi ini menyimpulkan sebagai berikut. Korupsi dana bantuan sosial Pandemi COVID-19 di Kementerian SS dipengaruhi oleh konvergensi dari tiga faktor utama yang hadir dalam ruang dan waktu yang sama. Pertama adanya pelaku yang termotivasi (motivated offender) yaitu kelompok korup atau jejaring koruptif (corrupt clique) dalam Kementerian SS. Kedua,  jejaring koruptif ini memiliki kekuasaan (power) untuk mengakses sumber daya (suitable target). Ketiga pemadaman pengawasan internal di dalam Kementerian SS mendorong ketiadaan penjaga yang cakap (absence of capable guardians). Secara akademis, studi ini menyumbang pentingnya memperluas teori kriminologi dari Barat agar sesuai dengan konteks kejahatan di Indonesia. Secara empiris, studi ini menyumbang para penentu kebijakan publik mengenai pentingnya mendeteksi jejaring koruptif yang sering terabaikan dalam peradilan kejahatan korupsi.

The COVID-19 pandemic in Indonesia has created a criminal opportunity for corruption. Using a qualitative approach and case study method, this study specifically discusses cases of corruption in social assistance funds during the COVID-19 Pandemic at the Ministry of SS in 2020. Guided by an extension Routine Activity Theory, combining it with the concept of Corrupt Government Networks and using analytical methods qualitative content, this study concludes as follows. Corruption in social assistance funds during the COVID-19 pandemic at the SS Ministry was influenced by the convergence of three main factors present in the same space and time. First, there are motivated offenders, namely corrupt cliques within the SS Ministry. Second, this corrupt network has the power to access resources (suitable target). The three breakdowns of internal oversight within the SS Ministry led to the absence of capable guardians. Academically, this study contributes to the importance of expanding criminological theory from the West to adopt the context of crime in Indonesia. Empirically, this study contributes to public policy makers regarding the importance of detecting corrupt networks which are often neglected in corruption crime trials."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>