Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 188289 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Reni Sunarty
"Berbagai mekanisme perlindungan global safeguards dalam WTO Agreement dan Free Trade Agreement (FTA) seperti pada Bilateral Trade Agreements (BTA) dan Regional Trade Agreements (RTA) didasarkan pada alasan-alasan yang berbeda, fungsi yang berbeda, juga memiliki mekanisme safeguards yang berbeda. Fungsi utama global safeguards sebagai instrumen sementara untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius disebabkan adanya lonjakan impor, sebagai akibat disepakatinya tingkat tarif liberalisasi perdagangan diantara Negara-negara Anggota WTO. Sehingga Negara-negara anggota WTO dapat menikmati fleksibilitas kebijakan tingkat tarif tertentu atas liberalisasi perdagangan. Pembebasan penerapan global safeguards antar pihak FTA tidak konsisten dengan WTO Agreement khususnya tidak sejalan dengan prinsip non-diskriminasi (Most-Favoured-Nation). Namun, pada prakteknya dibenarkan asalkan kondisi paralelisme terpenuhi. Pihak FTA juga dapat mengambil perlindungan bilateral safeguards dan regional safeguards terhadap pihak lain asalkan tingkat pembatasan tarif tidak membahayakan persyaratan yang terkait dengan menghilangkan hambatan sehubungan dengan substansial semua perdagangan. Mekanisme Bilateral safeguards dan regional safeguards di bawah FTA dirancang menyesuaikan laju liberalisasi lebih lanjut setelah pihak FTA melaksanakan rencana penghapusan tarif sebagaimana kesepakatan dalam BTA dan RTA. Karena fungsi mendasar ini, persyaratan substansial semua perdagangan berdasarkan ketentuan FTA dalam Pasal XXIV GATT 1994 merupakan satu-satunya ketentuan yang relevan terkait ketentuan bilateral safeguards dan regional safeguards. Diterapkan di FTA selama periode penghapusan tarif dan dalam batas tingkat tarif MFN, yang konsisten dengan aturan WTO. Pemberlakuan ketentuan global safeguards, bilateral safeguards, dan regional safeguards memiliki mekanisme persyaratan substantif dan prosedural dalam penerapannya. Mengingat kemungkinan banyak bentuk penerapan safeguards yang tumpang tindih, negosiator FTA dapat mengambil solusi legislatif yang efektif yang memasukkan ketentuan FTA yang secara eksplisit melarang bentuk-bentuk tertentu jika terjadi penerapan tumpang tindih yang tidak diinginkan. Tesis ini mengungkapkan bagaimana penerapan global safeguards dibandingkan dengan bilateral safeguards dan regional safeguards tersebut, juga akan memberikan preskripsi tentang hal-hal yang harus dilakukan dalam menerapkan ketentuan bilateral safeguards dan regional safeguards antar negara-negara anggota BTA dan RTA yang juga merupakan Negara-negara anggota WTO yang menerapkan ketentuan global safeguards.

Various mechanisms of global safeguards in the WTO Agreements and the Free Trade Agreement (FTA) such as the Bilateral Trade Agreements (BTA) and Regional Trade Agreements (RTA) is based on different reasons, different functions, also has a different mechanism of safeguards. The main function of global safeguards as a temporary instrument to protect domestic industry from serious injury or threat of serious injury caused by a surge in imports, as a result of the agreement on the level of tariff liberalization of trade between Member States of the WTO. So WTO member countries enjoy a certain level of policy flexibility tariff on trade liberalization. The mutual exemption of the global safeguards application among FTA parties is not inconsistent with the WTO Agreement in particular are not in line with the principle of non-discrimination (Most-Favored-Nation), provided that the parallelism condition is met. An FTA party may also take safeguards against another party as long as the restriction level from those safeguards does not harm the requirement associated with eliminating barriers with respect to substantially all trade. Bilateral and regional safeguards under the FTA are designed to be mechanism for adjusting the pace of further liberalization once FTA parties implement the tariff elimination plan as an agreement in BTA and RTA. Because of this fundamental function, the substantially all trade requirement under FTA provisions in the Article XXIV of GATT 1994 represent was the only relevant provisions of the relevant provisions under which bilateral and regional safeguards measures are disciplined. Any bilateral safeguards, which are applied to sector subject to FTA tariff elimination during the tariff elimination period and within the limits of the MFN tariff rate, which is consistent with WTO Agreement. Enforcement of global safeguards provisions, bilateral safeguards, and regional safeguards have substantive and procedural requirements mechanism in its application. Given the many possibilities for the application of safeguards, which forms overlap, FTA negotiators can take effective legislative solutions that incorporate the provisions of the FTA, which explicitly prohibits certain forms in case of adoption of unwanted overlap.
This thesis reveals how the global application of safeguards in comparison with bilateral and regional safeguards such safeguards, will also provide prescriptions about things to do in implementing the provisions of bilateral and regional safeguards between countries BTA and RTA member who is also the Member States WTO provisions which apply global safeguards.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T43348
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Kemal Adrianto
"Perdagangan internasional adalah salah satu aspek dari kehidupan dimana masyarakat dapat memiliki akses terhadap barang-barang yang pada umumnya susah untuk dijangkau. Untuk mengatur aspek perdagangan internasional, sebuah organisasi diperlukan untuk kepentingan tersebut. World Trade Organization merupakan organisasi yang memiliki fungsi umum sebagai pengatur perdagangan internasional dalam segala aspeknya seperti Langkah-langkah perdagangan, tarif, dan penyelesaian sengketa. Diantara instrumen-instrumen yang dapat dipakai untuk memfasilitasi perdagangan adalah safeguard measure. Safeguard measures memberikan perlindungan terhadap produk yang diimpor dengan jumlah banyak dan dapat menyebabkan atau akan menyebabkan kerugian serius bagi industri domestik negara pengimpor. Regional trade agreements merupakan perjanjian yang dibuat oleh dua atau lebih negara untuk tujuan perdagangan yang dapat memberi keuntungan bagi mereka seperti pengurangan tarif impor untuk negara-negara yang masuk dalam perjanjiannya. Skripsi ini bertujuan untuk meneliti pengaturan safeguard measure seperti yang tertuang dalam aturan World Trade Organization dan aturan dalam regional trade agreements dengan metode yuridis normatif. Dalam penelitian ini, terdapat beberapa perbedaan yang muncul dalam perbandingan aturan-aturannya, seperti jangka waktu, proses notifikasi, kenaikan tarif terhadap produk impor dan proses investigasi. Namun, hal ini tidak berarti bahwa peraturan dalam regional trade agreements berbeda dengan aturan dari World Trade Organization karena mereka saling melengkapi dan anggota regional trade agreements merupakan anggota World Trade Organization juga.

International trade takes part of everyday life to receive products that are normally unavailable. To govern the aspect of international trade, an organization was created for the purpose of it. The World Trade Organization acts as the premier organization in regulating international trade in all its aspects such as trade measures, tariffs, and dispute settlement. Instruments used to facilitate trade are trade remedies with one of them being safeguard measures. Safeguard measures provide protection from imported products that are brought in increased amounts and can or will cause serious injury to a country’s domestic industry. Regional trade agreements are an agreement between two or more countries to partake in a trade agreement that liberalizes tariff for the Parties in the agreement. This thesis will delve to the regulation of safeguard measures in accordance with the World Trade Organization rules as well as the regional trade agreements’ provisions via a judicial normative research method. From the research, there are differences that appear when comparing the provisions, such as difference in duration, notification process, tariff increase to products, and investigation procedures. However, this does not necessarily mean that the regulations under regional trade agreements are different than the World Trade Organization rules as they complement each other, and members of the regional trade agreements are members of the World Trade Organization as well.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Buckley, Ross
Austin: Wolters Kluwer, 2008
382 BUC c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"The stalling of the Doha Development Round trade negotiations has resulted in bilateral and regional free trade agreements (BRTAs) becoming an important alternative. These agreements have proliferated in recent years, and now all of the major trading countries are engaging in serious bilateral trade negotiations with multiple trading partners. This second edition provides updated and comprehensive analysis of the contents and trends of recent BRTAs. It is unique in that it situates these agreements in their economic, international law and international relations contexts. It also comprehensively reviews the recent agreements in relation to each substantive topic covered (e.g. intellectual property, investment, services and social policy) so as to provide an overview of the law being created in these areas."
Cambridge: Cambridge University Press, 2015
e20519714
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Erwana Firdaous
"Perdagangan regional (RTA) menjadi fenomena umum yang menyebar luas ke seluruh dunia. Gelombang besar inisiatif perdagangan regional terus berlajut sejak awal tahun 1990-an. Banyak negara memilih membuat komitmen di tingkat regional karena lebih mudah dilakukan daripada komitmen bidang yang sama di tingkat multilateral. RTA merupakan bagian dari sistem perdagangan global (multilateral trading sistem), namun dalam kenyataanya persyaratan Pasal XXIV GATT 1994 sering kali diabaikan. Beberapa kelompok regional memiliki persetujuan perdagangan barang, persetujuan perdagangan jasa, persetujuan investasi, dan kerjasama ekonomi, diantaranya adalah ACFTA. Liberalisasi ACFTA akan meningkatkan kinerja perdagangan antara negara anggota, namun karena China jauh lebih siap dengan daya saing lebih tinggi, menyebabkan pertumbuhan kinerja ekspor China akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN. Kementerian Perindustrian pada tahun 2010 mengungkapkan bahwa liberalisasi ACFTA berdampak buruk terhadap kinerja beberapa industri nasional. Sektor elektronik merupakan salah satu sektor yang mengalami defisit neraca perdagangan paling buruk semenjak liberalisasi ACFTA. Penelitian ini mempergunakan kajian hukum normatif untuk memahami penerapan norma-norma hukum pengaturan RTA dalam kerangka WTO, sedangkan dalam kegiatan menggali dan mengkualifikasi fakta-fakta sebagai dipergunakan kajian empiris. Hasil penelitian ini adalah bahwa Pasal XXIV GATT 1994 memperbolehkan anggota WTO untuk perdagangan bebas dengan lebih cepat diantara anggota-anggota tertentu yang membentuk suatu kelompok. ACFTA bukan merupakan sistem terpisah, namun merupakan bagian dari sistem perdagangan global WTO, keduanya mengejar tujuan yang sama yaitu liberalisasi perdagangan secara substansial yang tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam perjanjian-perjanjian WTO. Ketidakberhasilan Indonesia memanfaatkan liberalisasi ACFTA untuk meningkatkan kinerja perdagangan, khususnya sektor elektronik, mengakibatkan China akan memperoleh manfaat lebih besar dari liberalisasi ACFTA sebagai akibat daya saing industri mereka yang lebih tinggi. Dengan demikian, industri elektonik di Indonesia harus melakukan serangkaian perbaikan berupa investasi tenaga kerja, fisik dan teknologi untuk meningkatkan daya saing mereka dalam menghadapi produk dari China.

Regional Trade Agreement (RTA) to be a common phenomenon that widespread throughout the world. A surge of regional trade initiatives has continued since the early 1990s. Many countries have chosen to make a commitment at the regional level because it is easier to do than the same field commitments at the multilateral level. RTA is part of the multilateral trading system, but in fact the requirements of Article XXIV of GATT 1994 is often times overlooked. Some regional groups have consent of trade in goods, trade in services agreements, investment agreements, and economic cooperation, including the ACFTA. ACFTA liberalization will improve the performance of trade between member states, but because China is much better prepared with higher competitiveness, led to the growth of China's export performance will be much higher than the ASEAN countries. Ministry of Industry in 2010 revealed that the liberalization ACFTA adversely affect the performance of some of the national industry. The electronics sector is one sector that suffered the worst trade deficit since the liberalization of the ACFTA. The study used a normative legal studies to understand the application of legal norms within the framework of the WTO RTA arrangements, whereas in digging activities and qualify the facts as used empirical study. The result of this is that Article XXIV of GATT 1994 allows WTO members to trade freely with faster among certain members that form a group. ACFTA is not a separate system, but is part of the multilateral trading system the WTO, both pursuing the same goal of trade liberalization substantially subject to the provisions of the WTO agreements. The failure to take advantage of the liberalization of Indonesia in ACFTA to improve trading performance, particularly the electronics sector, China will result in a greater benefit from the liberalization of the ACFTA as a result of their industrial competitiveness higher. Thus, the electronic industry in Indonesia must make a series of improvements in the form of investment of manpower, physical and technology to improve their competitiveness in the face of the product from China.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35462
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pelc, Krzysztof J.
New York, NY: Cambridge University Press, 2016
343.087 PEL m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lidya Nathasya Widyastika
"Dewasa ini, fasilitasi perdagangan merupakan elemen penting dalam proses ekspor-impor suatu negara. Fasilitasi perdagangan pertama kali dibahas dalam Singapore Ministerial Conference tahun 1996 dan kemudian dikategorikan sebagai salah satu Singapore Issues. Akan tetapi, negosiasi terhadap fasilitasi perdagangan antara negara-negara WTO sempat mengalami deadlock dan menghabiskan waktu yang cukup lama. Hingga akhirnya pada 22 Februari 2017, Perjanjian Fasilitasi Perdagangan mulai diberlakukan bagi negara-negara anggota WTO. Dimulainya penerapan single window system di Indonesia, atau yang lebih dikenal sebagai Indonesia National Single Window INSW pada tahun 2008 menandai bahwa Indonesia menjalankan komitmen dalam negosiasi fasilitasi perdagangan WTO. Hal yang menarik adalah dalam hal ini Indonesia sudah mulai menerapkan kebijakan single window system sebelum kesepakatan terhadap Perjanjian Fasilitasi Perdagangan dicapai. Penerapan sistem ini dinilai penting oleh Indonesia demi menunjang proses ekspor-impor yang lebih efektif dan efisien, sebab seringkali proses tersebut memakan banyak waktu dan biaya yang cukup besar. Namun demikian, sebagai negara berkembang Indonesia membutuhkan dukungan baik secara kebijakan maupun pendanaan untuk dapat membangun sistem ini. Tulisan ini kemudian melihat bagaimana keterlibatan atau pengaruh WTO dan Bank Dunia dalam pengembangan sistem INSW. Dalam hal ini, pengaruh WTO lebih ditekankan pada penetapan aturan perdagangan yang berkaitan dengan fasilitasi perdagangan. Kemudian, keterlibatan Bank Dunia adalah dari sisi pendanaan dan pengawasan melalui program Development Policy Loan DPL yang mendukung policy reform, khususnya dalam kebijakan pengembangan sistem INSW. Cognitive authority yang dibangun oleh keduanya menunjukkan terdapat strong institutional belief untuk mewujudkan terciptanya perekonomian negara-negara di dunia yang lebih terbuka.

Nowadays, trade facilitation is a prominent element in a country rsquo s export import process. Trade facilitation was first discussed at the Singapore Ministerial Conference in 1996 and subsequently categorized as one the ldquo Singapore Issues. However, the negotiations on trade facilitation had been deadlocked and took considerable time to reach the conclusion. On February 22, 2017, the Trade Facilitation Agreement was finally applied to all of the WTO member countries. The commencement of the implementation of single window system in Indonesia, or Indonesia National Single Window INSW in 2008, indicates that Indonesia is committed to WTO trade facilitation negotiations. Indonesia has implemented this system even long before the Trade Facilitation Agreement is reached, which is considered unique as Indonesia is categorized as a developing country. Implementation of this system is considered crucial for Indonesia in order to promote the efficiency and effectivity of trade process, because sometimes this process takes a lot of time and costly indeed. Nevertheless, as a developing country Indonesia needs both policy support and funding to build this system. This paper explains the involvement of WTO and The World Bank in developing INSW system. In this case, the involvement of WTO is more emphasized on setting trade rules, especially relating to trade facilitation. The World Banks involvement is more on funding and monitoring through Development Policy Loan DPL program that promotes policy reform, particularly in the development of INSW system. Their cognitive authority shows there is strong institutional belief to stimulate more liberalized world."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vincent Ricardo
"Perdagangan pangan internasional berperan penting dalam memenuhi kebutuhan pangan dunia. Karena itu, WTO sebagai lembaga internasional yang mengatur perdangangan internasional membuat beberapa ketentuan yang mengatur tentang perdagangan internasional terkait pangan. Penelitian ini menganalisis keselarasan ketentuan hukum perdagangan luar negeri Indonesia terkait pangan ditinjau dari ketentuan WTO, dengan melakukan perbandingan atas prinsip dan peraturan ketentuan perdagangan dan perdagangan luar negeri Indonesia terkait pangan dengan prinsip dan ketentuan WTO. Metode penelitian yang dilakukan adalah studi kepustakaan menggunakan sumber hukum primer dan sekunder. Penelitian ini menemukan bahwa Indonesia sebagai salah satu anggota WTO, nyatanya memiliki beberapa ketentuan perdagangan pangan yang tidak sesuai dengan ketentuan WTO, yang berdampak terhadap harga dan ketersediaan pangan di dalam negeri.

International food trade plays an important role in meeting world food needs. Consequently, WTO as an intergovernmental organization that regulates international trade makes several provisions governing international trade related to foods. This thesis analyzes the harmony of the provisions of Indonesia’s international trade law based on WTO law, by comparing the principles and regulations of Indonesia’s international trade related to foods and trade with WTO principles and provisions. The method that is used in this thesis is library studies of primary and secondary source of law. This study found that Indonesia, as one of the members of WTO, has several food trade laws that are not in accordance with the WTO law, that impacts the price and availability of foods in the country."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Fachrudin
"World Trade Organization (WTO) adalah organisasi perdagangan yang hampir mencakup seluruh peraturan perdagangan. Namun, bagian penting dari setiap aspek perdagangan diatur dalam Regional Trade Agreement (RTA). RTA antara EFTA-Indonesia menimbulkan pertanyaan apakah perjanjian tersebut akan membuat perdagangan menjadi lebih liberal dan juga pertimbangan apa saja yang mendasarinya. Metode penelitian secara normatif dilakukan untuk mengulas hal tersebut. Serta didukung dengan sifat penelitian yang preskriptif dan juga analisis data secara deduktif. Hasil dari penelitian mengemukakan fakta bahwa perjanjian perdagangan tersebut akan membuat perdagangan menjadi lebih liberal bila merujuk pada konsesi bea masuk. Namun, cenderung akan membuat perdagangan menjadi lebih sulit dari sebelumnya. Berdasarkan fakta demikian, dapat diketahui bahwa dalam merundingkan perjanjian tersebut, Indonesia kurang mempertimbangan aspek ekonomi dari perjanjian bila diuji menurut neraca perdagangan menurut kode HS tertentu. Sehingga, pertimbangan politik merupakan alasan kuat yang utama mengapa Indonesia menegosiasikan RTA dengan EFTA. Preskripsi yang dapat diberikan terkait perjanjian tersebut adalah pertimbangan ekonomi yang lebih diutamakan merujuk kepada neraca perdagangan di mana Indonesia memiliki keunggulan secara komparatif terhadap negara calon mitra dalam RTA berikutnya.

The World Trade Organization (WTO) is an organization that almost covers all regulations.however, the important part of the trade is regulated in the Regional Trade Agremeent (RTA). The RTA between EFTA-Indonesia raises question of whether will the agreement establish trade more liberal and consider what are underlying it. The reseach method is normatively fulfilled to review the subject. The research is supported by prescriptive feature and also the data is deductively analyzed. The result of the research reveal the fact that the agreement would establish trade more liberal if it refers to tariff concessions. But, it tends to create trading more difficult than before. Based on the fact, it can be seen while negotiating the agreement, Indonesia didnot consider the economic aspects if examined according to the balance of payment to specific HS code. Thus, political considerations are the main reason why Indonesia negotiates RTAs to EFTA. The prescriptions that can be given in relations to the agreement is economic considerations should be priory preferred. Refers to the trade balance in which Indonesia has a comparative advantage over to potential partners in the next RTA."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T52817
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Griselda Megantami
"Perjanjian Fasilitasi Perdagangan adalah perjanjian WTO yang berisi ketentuan tentang penyederhanaan prosedur bea cukai, yang dibuat untuk meningkatkan aliran perdagangan internasional. Indonesia adalah salah satu dari banyak anggota WTO yang meratifikasi Perjanjian Fasilitasi Perdagangan. Tesis ini membahas implikasi hukum ratifikasi Perjanjian Fasilitasi Perdagangan WTO dengan Indonesia. Secara khusus, tesis ini membahas alasan ratifikasi Indonesia dari Perjanjian Fasilitasi Perdagangan bersama dengan implikasi hukum ratifikasi. Tesis ini disusun dengan menggunakan Metode yuridis normatif, yang dilakukan dengan menggambarkan ketentuan tercantum dalam Perjanjian Fasilitasi Perdagangan dan membandingkannya dengan ketentuan yang berkaitan dengan fasilitasi perdagangan dalam beberapa undang-undang dan peraturan di Indonesia. Tesis ini menyimpulkan bahwa sebagian besar ketentuan fasilitasi perdagangan dalam undang-undang tersebut dan peraturan di Indonesia sesuai dengan Perjanjian Fasilitasi Perdagangan, tetapi pada ketentuan fasilitasi perdagangan yang belum mengikuti Fasilitasi Perdagangan Kesepakatan, beberapa penyesuaian harus dilakukan. Tesis ini menyarankan Indonesia untuk melakukannya penyesuaian sehubungan dengan ketentuan fasilitasi perdagangan yang belum mengikuti Perjanjian Fasilitasi Perdagangan, karena dengan meratifikasi Fasilitasi Perdagangan

Trade Facilitation Agreement is a WTO agreement that contains provisions on simplifying customs procedures, which are made to increase the flow of international trade. Indonesia is one of the many WTO members to ratify the Trade Facilitation Agreement. This thesis discusses the legal implications of ratification WTO Trade Facilitation Agreement with Indonesia. Specifically, this thesis discusses the reasons for Indonesias ratification of the Trade Facilitation Agreement along with the legal implications of ratification. This thesis was prepared using a normative juridical method, which is done by describing the provisions contained in the Trade Facilitation Agreement and comparing it with
Provisions relating to trade facilitation in several laws and regulations in Indonesia. This thesis concludes that most of the trade facilitation provisions in the law and regulations in Indonesia are in accordance with the Trade Facilitation Agreement, but on trade facilitation provisions that have not yet followed the Trade Facilitation Agreement, some adjustments must be made. This thesis recommends that Indonesia make adjustments with respect to trade facilitation provisions that have not yet followed the Trade Facilitation Agreement, because by ratifying Trade Facilitation
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>