Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 103052 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wahyu Ika Wardhani
"ABSTRAK
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyebab kematian utama dengan prevalensi di Indonesia 7,2%. Penelitian observasional memperlihatkan asupan kalsium yang rendah berkorelasi dengan peningkatan beberapa faktor risiko dan kejadian PJK, namun di lain pihak, didapatkan hubungan suplemen kalsium dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas akibat PJK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asupan kalsium dengan derajat stenosis berdasarkan skor Gensini. Metode penelitian adalah studi potong lintang pada 49 pasien PJK laki-laki berusia 19 sampai 65 tahun yang pertama kali angiografi koroner di Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) RSCM pada Juli sampai dengan November 2014. Asupan kalsium berdasarkan kuesioner FFQ dan kalsium dan albumin serum diperiksa sesaat sebelum dilakukan tindakan. Derajat stenosis dinyatakan dengan skor Gensini. Pada penelitian didapatkan median asupan kalsium 301,6 (93–1404) mg/hari dan tidak berkorelasi (r=0,13, p=0,37) dengan kadar kalsium terkoreksi (rerata=8,8+0,4 mg/dL). Rerata skor Gensini didapatkan sebesar 95,18 + 57,78. Asupan kalsium tidak berkorelasi dengan skor Gensini (r=- 0,04, p=0,77). Penelitian ini menyimpulkan tidak terdapat korelasi yang bermakna antara asupan kalsium dengan derajat stenosis pada pasien PJK laki-laki dewasa, dengan kecenderungan korelasi negatif.

ABSTRACT
Coronary artery disease (CAD) is the leading cause of death, with its prevalence in Indonesia 7.2%. Observational evidence suggested that calcium intake was inversely associated with either some risks or event of CAD, but some others found association between calcium supplements with increasing trend in cardiovascular morbidity and mortality. This study proposed to investigate the association between calcium intake and severity of coronary artery disease (CAD) assessed by Gensini score. This cross sectional study enrolled 49 male patients from 19 to 65 years old who underwent their first angiography at Holistic Cardiac Care Centre Unit of Ciptomangunkusumo Hospital Indonesia from July to November 2014. Subjects were assessed using food frequency questionnaires to explore their historical intake of main food sources of calcium. Calcium and albumin level were performed immediately before angiography. Severity of CAD was assessed by Gensini Score. Association between calcium intake and Gensini Score were analyzed. From the study we found median calcium intake was 301,6 (93 – 1404) mg/day and did not have correlation (r=0,13, p=0,37) with corrected serum calcium (means=8,8+0,4 mg/dL). We found means of Gensini score was 95,18 + 57,78. We didn’t find any correlation between calcium intake with Gensini score (r=-0,04, p=0,77). We conclude that there was no correlation between calcium intake and severity of CAD, especially in male patients with CAD with negative tendency."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Sejati
"Latar Belakang: Keparahan stenosis pada penyakit jantung koroner (PJK) stabil berkaitan erat dengan prognosis. Dalam memprediksi keparahan stenosis dapat digunakan beberapa faktor klinis dan ekokardiografi. Akhir-akhir ini berkembang speckle tracking echocardiography yang mampu menilai strain miokardium dan baik untuk memprediksi stenosis. Penilaian faktor-faktor klinis dan ekokardiografi strain bersama-sama diharapkan mampu memprediksi lebih baik keparahan stenosis. Tujuan: Mengetahui apakah faktor-faktor klinis (usia, jenis kelamin, diabetes, angina tipikal, riwayat infark) dan global longitudinal strain (GLS) pada ekokardiografi strain dapat memprediksi keparahan stenosis pasien PJK stabil yang dinilai dengan skor Gensini. Membuat model prediktor dari parameter yang bermakna. Metode: Studi potong lintang dilakukan di RSCM pada periode Maret-Mei 2019. Pengambilan sampel secara konsekutif pada pasien PJK stabil yang menjalani angiografi koroner. Analisis bivariat dilakukan dengan chi-square, dilanjutkan analisis multivariat dengan regresi logistik metode baickward stepwise pada variabel yang bermakna. Hasil: Terdapat 93 subjek yang masuk dalam penelitian. Pada analisis bivariat faktor-faktor prediktor yang bermakna adalah diabetes melitus (OR 2,79; IK95%:1,08-7,23), riwayat infark (OR 4,04; IK95%:1,51-10,80), angina tipikal (OR 5,01; IK95%:1,91-13,14), dan GLS ≥-18,8 (OR 30,51; IK95%:10,38-89,72). Pada analisis multivariat faktor-faktor prediktor yang bermakna adalah angina tipikal (OR 4,48; IK95%:1,39-14,47) dan GLS ≥18,8 (OR 17,30; IK95%:5,38- 55,66). Tidak dilakukan pembuatan model prediktor karena hanya 2 faktor prediktor yang bermakna. Simpulan: Angina tipikal dan GLS merupakan faktor-faktor prediktor keparahan stenosis pada pasien PJK stabil, sedangkan faktor usia, jenis kelamin, diabetes, dan riwayat infark bukan merupakan prediktor keparahan stenosis pasien PJK stabil. Model skor prediktor tidak dikembangkan karena hanya 2 faktor prediktor yang bermakna.

Background: In patient with stable coronary artery disease (CAD), severity of stenosis is closely related to prognosis. It is known that several clinical and echocardiographic parameters can predict severity of stenosis. Recently a new method in echocardiography called speckle tracking echocardiography can be used to asses myocardial strain, which is a good predictor of stenosis severity. Assessment of clinical parameters together with strain echocardiography parameter is expected to make better prediction. Objective: To determine whether clinical factors, i.e. age, sex, diabetes, typical angina, and history of myocardial infarction, and strain echocardiography parameter, i.e. global longitudinal strain, can predict severity of coronary artery stenosis measured with Gensini score. To further develop a prediction model based on significant parameters. Methods: This is a cross-sectional study taken at Cipto Mangunkusumo Hospital during period March-May 2019. Patient with stable CAD scheduled to undergo coronary angiography is recruited consecutively. Bivariate analysis using chi- square is performed to each predictor. Significant predictors are further analysed using backward stepwise logistic regression. Results: The study group include 93 subjects. Significant predictors on bivariate analysis include diabetes melitus (OR 2.79; CI95%:1.08-7.23), history of myocardial infartion (OR 4.04; CI95%:1.51-10.80), typical angina (OR 5.01; CI95%:1.91-13.14), and GLS ≥-18.8 (OR 30.51; CI95%:10.38-89.72). Significant predictors on multivariate analysis are typical angina (OR 4.48; CI95%:1.39-14.47) and GLS ≥18.8 (OR 17.30; CI95%:5.38-55.66). Predicton model is not developed because there are only two significant predictors. Conclusions: Typical angina and GLS are predictors of stenosis severity in patient with stable CAD. Age, sex, diabetes, and history of myocardial infarction are not significant predictors. A prediction model can not developed because there are only 2 significant predictors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57613
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Katrin Sumekar
"Latar Belakang: Pasien diabetes melitus tipe 2 menunjukkan peningkatan risiko penyakit jantung koroner dengan kondisi aterosklerosis arteri koroner yang lebih berat. Ketebalan lemak epikardial diperkirakan berhubungan dengan kondisi inflamasi dan derajat stenosis arteri koroner pada pasien DM tipe 2 dengan chronic coronary syndrome (CCS), dimana kadar HsCRP dapat digunakan sebagai penanda inflamasi dan skor Gensini digunakan untuk menilai derajat stenosis arteri koroner.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara ketebalan lemak epikardial dengan kadar dan HsCRP derajat stenosis arteri koroner pada pasien DM tipe 2 dengan CCS.
Metode: Studi potong lintang pada 47 pasien DM tipe 2 dengan CCS yang berusia antara 35 sampai 87 tahun dan menjalani angiografi koroner di Laboratorium Kateterisasi Jantung PJT-RSCM. Nilai ketebalan lemak epikardial diperoleh dari hasil pemeriksaan ekokardiografi, skor Gensini dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan angiografi koroner, dan kadar HsCRP diperiksa menggunakan metode Imunoturbidimetri.
Hasil: Diperoleh median kadar HsCRP sebesar 1,9 mg/L (RIK 0,8–3,30 mg/L), rerata ketebalan lemak epikardial sebesar 6,06 ± 2,14 mm, dan median skor Gensini sebesar 34 (RIK 14–84). Didapatkan korelasi positif sedang antara ketebalan lemak epikardial dan HsCRP (p<0,05; r = 0,500, namun tidak menemukan adanya korelasi yang bermakna antara ketebalan lemak epikardial dan skor Gensini (p > 0,05).
Kesimpulan: Ketebalan lemak epikardial hanya menunjukkan adanya korelasi yang bermakna dengan kadar HsCRP pada pasien DM tipe 2 dengan CCS, namun tidak dengan derajat stenosis arteri koroner yang dinilai berdasarkan skor Gensini. Jadi dengan memeriksa ketebalan lemak epikardial dengan ekokardiografi kita dapat memperkirakan tingkat inflamasi pada pasien DM tipe 2 dengan CCS

Background: T2DM patients showed an increased risk of CAD with more severe coronary artery atherosclerosis. Epicardial fat thickness (EFT) was presumed to be associated with inflammatory conditions and the severity of coronary artery stenosis in patients with T2DM and CCS, wherein HsCRP levels can be used as an inflammatory marker and Gensini score to quantify the severity of coronary artery stenosis.
Objective: To determine the correlation between EFT and HsCRP levels and the severity of coronary artery stenosis in patients with T2DM and CCS.
Methods: A cross sectional study conducted among 47 patients with T2DM and CCS between the age of 35 to 87 that had underwent coronary angiography at the Heart Catheterization Laboratory of PJT-RSCM. Results of echocardiography was evaluated to determine EFT, while the Gensini score was calculated based on the results of coronary angiography, and HsCRP levels was evaluated using a commercial Immunoturbidimetry kit.
Results: Median HsCRP levels was 1.9 mg/L (IQR 0.8–3.30 mg/L), mean EFT was 6.06 ± 2.14 mm, and median Gensini score was 34 (IQR 14–84). There was a moderate positive correlation between EFT and HsCRP (p < 0.05, r = 0.500), but found no significant correlation between EFT and Gensini score (p > 0.05).
Conclusion: EFT only showed significant correlation with HsCRP levels in patients with T2DM and CCS, but showed no correlation with the severity of coronary artery stenosis that was quantified by Gensini score. So, by echocardiography evaluation of epicardial fat thickness, we could have an estimation of inflamation degree in patients with T2DM and CCS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqa Sari
"Latar belakang dan Tujuan: Penyakit jantung koroner adalah penyakit kardiovaskular yang paling banyak di dunia. Aterosklerosis arteri koronaria adalah penyebab terbanyak dari penyakit tersebut. Stenosis aterosklerosis arteri koronaria dapat dinilai dengan multislice computed tomography coronary angiography (MSCT angiografi koronaria). Permasalahan saat ini adalah modalitas tersebut tidak tersedia di semua institusi kesehatan. Beberapa penelitian telah banyak menghubungkan angka kejadian perlemakan hepar dengan stenosis aterosklerosis arteri koronaria. Pemeriksaan perlemakan hepar dapat dilakukan dengan berbagai modalitas radiologi, salah satunya dengan pemeriksaan CT non dengan mengukur densitas hepar yang memiliki tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang baik. Pemeriksaan ini lebih sering dan mudah dilakukan daripada pemeriksaan MSCT angiografi koronaria. Mengetahui peranan pemeriksaan derajat perlemakan hepar diperlukan dalam memperkirakan derajat stenosis arteri koronaria.
Metode : Penelitian potong lintang menggunakan data sekunder pada 32 pasien yang dilakukan pemeriksaan MSCT angiografi koronaria di RSPAD dalam rentang waktu Juni 2015 - Desember 2015. Penilaian dilakukan dengan mengukur derajat perlemakan hepar pada CT Scan non kontras dan derajat stenosis aterosklerosis arteri koronaria pada MSCT angiografi koronaria.
Hasil : Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara derajat perlemakan hepar dengan derajat stenosis aterosklerosis arteri koronaria. Terdapat hubungan concordant yang cukup baik antara adanya perlemakan hepar dengan stenosis aterosklerosis arteri koronaria.
Kesimpulan : Berat ringannya derajat perlemakan hepar tidak mempunyai hubungan dengan berat ringannya derajat stenosis arteri koronaria, tetapi adanya perlemakan hepar dapat menjadi prediktor adanya stenosis arteri koronaria.

Background and Objective : Coronary heart disease is common cardiovascular disease in the world with the most common cause is coronary artery atherosclerosis. Stenosis of the coronary artery atherosclerosis assessed by multislice computed tomography coronary angiography. The problem is the modality is not available in all health institutions. Several studies have been associate between incidence of fatty liver with stenosis of coronary artery atherosclerosis. Examination of fatty liver can be done with various radiology modalities, one of them with non contrast CT by measured attenuation of the liver which have a good sensitivity and specificity. These examination are more frequent and easier to do than MSCT coronary angiography. Recognizing the importance of the degree of fatty liver examination is required in estimating the degree of coronary artery stenosis.
Methods : A cross-sectional study using secondary data on 32 patients who underwent coronary angiography MSCT at the army hospital within the period June 2015 - December 2015. The assessment was conducted by measuring the degree of fatty liver in non-contrast CT Scan and the degree of stenosis of coronary artery atherosclerosis in MSCT coronary angiography.
Results: There was no significant correlation between the degree of fatty liver with stenosis of coronary artery atherosclerosis. There is a pretty good concordant relationship between the presence of fatty liver with stenosis of coronary artery atherosclerosis.
Conclusion: Severity of fatty liver degree do not have a relationship with severity degree of coronary artery stenosis, but the presence of fatty liver can be a predictor of coronary artery stenosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hashfi Fauzan Raz
"Latar Belakang: Pasien dengan fraksi ejeksi (FE) rendah memiliki risiko apabila dilakukan BPAK dengan mesin PJP. Pengunaan mesin PJP memiliki risiko cedera miokard yang diakibatkan dari periode iskemia, reperfusi, dan inflamasi yang dapat mengakibatkan aritmia pascaoperasi. Aritmia pascaoperasi BPAK terjadi pada 5-40% dan meningkatkan mortalitas serta morbiditas. Glutamin merupakan asam amino yang memiliki efek anti inflamasi dengan menurunkan mediator inflamasi dan kerusakan oksidatif akibat radikal bebas sehingga menurunkan efek cedera miokard dan dihipotesiskan menurunkan kejadian aritmia pascaoperasi BPAK.
Metodologi: Penelitian ini kohort retrospektif pada pasien penyakit jantung koroner dengan FE rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP. Subjek dibagi menjadi kelompok yang mendapat dan tidak mendapat glutamin intravena praoperasi. Luaran yang dinilai adalah kejadian aritmia pascaoperasi secara keseluruhan, arimita ventrikel dan supraventrikel pascaoperasi BPAK.
Hasil: Kejadian aritmia pascaoperasi lebh rendah secara bermakna pada kelompok yang mendapatkan glutamin intravena praoperasi, yaitu 16,7%dibandingkan 40% (p=0,045). Kejadian aritmia atrium pascaoperasi juga lebih rendah secara bermakna pada kelompok yang mendapat glutamin intravena praoperasi, yaitu 26,7% dibandingkan 73,3% (p=0,026), namun pada kejadian aritmia ventrikel pascaoperasi tidak ada perbedaan bermakna (p=0,74).
Kesimpulan: Pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP, pemberian glutamin intravena praoperasi dapat menurunkan angka kejadian aritmia pascaoperasi.

Background: Low ejection fraction (EF) increases the risk of morbidity and mortality in patients undergoing CABG. CABG with CPB induces myocardial injury caused from ischemia, reperfusion and inflammation, causing postoperative arrhythmias. Arrhyhtmias occur in 5-40% patients after CABG and increase postoperative mortality and morbidity. Glutamine is an amino acid that has antiinflammatory effect, decerasing inflammatory mediators and oxidative stress from free radicals. In turn, glutamin lower the effect of myocardial injury and hypothesized to lower postoperative arrhythmias after CABG.
Methods: This is a cohort retrospective study in patients with coronary artery disease with low EF undergoing CABG with CPB. The subjects were divided into two groups based on given or not given intravenous glutamin preoperative.The outcomes of the study is incidence of arrhythmias after CABG and the incidence of ventricular and supraventricular arrhythmias after CABG.
Results: The subjects in the intravenous glutamin group have lower incidence of postoperative arrhythmias compared to control (16.7% vs 40% respectively, p=0.045). Supraventricular arrhythmia incidence in intravenous glutamin group is also lower compard to control (26.7% vs 73.3% respectively, p=0,026). There are no significant differences of postoperative ventricular arrhythmias between two groups (p=0.74).
Conclussion: In patients with low EF undergoing CABG with CPB, intravenous glutamin administration can lower the incidence of postoperative arrhythmias.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tessa Oktaramdani
"Latar belakang. Kondisi iskemia pada penyakit jantung koroner (PJK) berkorelasi dengan disfungsi sistem saraf otonom. Revaskularisasi melalui percutaneous coronary intervention (PCI) dapat mengembalikan keseimbangan fungsi saraf otonom dan memperbaiki prognosis. Di sisi lain, perasaan cemas yang muncul menjelang prosedur PCI, dapat memicu hiperaktivitas simpatis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ansietas terhadap perbaikan heart rate variability (HRV), sebuah teknik non-invasif untuk mengevaluasi aktivitas sistem saraf otonom; setelah tindakan PCI.
Metode. Studi dengan desain potong lintang, korelasi pretest-posttest; melibatkan 44 subjek dengan PJK stabil yang menjalani PCI elektif di Pelayanan Jantung Terpadu, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Pengukuran HRV dilakukan sebelum PCI, kemudian diulang pasca tindakan PCI. Ansietas dinilai menggunakan kuesioner hospital anxiety depression score (HADS). Pengolahan data serta analisis statistik dilakukan dengan bantuan software SPSS 20.0.
Hasil. Sebanyak 54,5% subjek mengalami ansietas saat akan menjalani PCI. Pada kelompok tanpa ansietas, ditemukan perbaikan signifikan pada parameter HRV sebelum-setelah PCI; yaitu SDNN [standard deviation of normal to normal intervals] (Median = 26,19 vs. Median = 39,60 ; Z = -3,621 ; p < 0,001) dan parameter RMSSD [root mean square of the successive differences] (Median = 21,90 vs. Median = 30,99; Z = -2,501; p = 0,012). Sementara itu, tidak didapatkan perbaikan bermakna parameter HRV sebelum-setelah PCI, pada kelompok ansietas. Terdapat perbedaan bermakna pada kenaikan nilai SDNN antara kelompok tanpa ansietas dibandingkan dengan kelompok ansietas ansietas (Median = 9,11 vs. Median = 2,83 ; U = 154,00 ; p = 0,043).
Simpulan. Ansietas yang terjadi sebelum PCI elektif dapat menghambat perbaikan HRV pasca tindakan sehingga mempengaruhi prognosis penyakit. Diperlukan penelitian lanjutan mengenai peranan terapi ansietas menjelang PCI dihubungkan dengan luaran klinis serta prognosis pasca PCI.

Background. Chronic ischemic condition in coronary artery disease (CAD) was associated with autonomic dysfunction. Percutaneous coronary intervention (PCI) could restore perfusion so that improving autonomic balance and disease prognosis. On the other hand, pre-PCI anxiety was known to produce sympathetic hyperactivity. The aim of this study was to determine whether pre-PCI anxiety may influence heart rate variability (HRV) improvement, a noninvasive technique for the evaluation of the autonomic nervous system activity; after successful PCI.
Methods. A cross sectional studies, pretest-posttest correlation; enclose 44 patients with stable CAD undergoing PCI in Integrated Heart Service, Cipto Mangunkusumo National Hospital. HRV measurement was done before and after PCI. Anxiety symptoms was collected using hospital anxiety depression score (HADS) questionnaires. Data input and statistical analysis was carried out using SPSS 20.0 for Windows.
Results. As many as 54.5% stable CAD patients undergoing elective PCI experienced anxiety symptoms. In the anxiety group, there were significant post-PCI improvement of SDNN [standard deviation of normal to normal intervals] (Median = 26.19 vs. Median = 39.60; Z = -3.621; p < 0.001) and RMSSD [root mean square of the successive differences] (Median = 21.90 vs. Median = 30.99; Z = -2.501; p = 0.012). Post-procedure HRV improvement was not significant in patients with anxiety symptoms. There was significant difference of the SDNN improvement between non-anxiety and anxiety patients (Median = 9.11 vs. Median = 2.83; U = 154.00; p = 0.043).
Conclusions. Pre-PCI anxiety may affect HRV improvement after revascularization thus influence disease prognosis. Further studies are needed to determine the impact of pre-PCI anxiety treatment on cardiac outcomes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rusydi
"Latar Belakang : Deteksi adanya penyakit jantung koroner PJK pada pasien bradikardi simptomatik yang memerlukan pemasangan pacu jantung permanen perlu diketahui secara dini. Saat ini penggunaan modalitas canggih seperti kateterisasi jantung dan CT kardiak menjadi pilihan utama dalam deteksi adanya PJK pada pasien blok nodus atrioventrikular AV total namun dengan risiko dan biaya yang masih relatif mahal. Gambaran fragmentasi kompleks QRS fQRS pada elektrokardiografi berkaitan dengan adanya jaringan parut atau iskemia pada miokard, namun belum ada studi sebelumnya yang menghubungkan fQRS dengan PJK pada pasien blok nodus AV total yang akan dilakukan pemasangan pacu jantung permanen. Tujuan : Mengetahui hubungan antara fragmentasi kompleks QRS dengan penyakit jantung koroner pada pasien dengan blok nodus AV total yang memerlukan pemasangan pacu jantung permanen. Metode : Penelitian ini merupakan studi analitik kasus kontrol dengan menggunakan data sekunder rekam medis pasien blok nodus AV total yang sudah dilakukan tindakan pemasangan pacu jantung permanen dan angiografi koroner di Rumah Sakit PJN Harapan Kita. Penelitian dilakukan pada bulan April-Agustus 2017. Dilakukan pencatatan karakteristik pasien, faktor-faktor yang diketahui mempengaruhi kejadian PJK serta hasil pemeriksaan ekokardiografi dan angiografi koroner. Pembacaan ekg dilakukan oleh dua orang spesialis jantung dan pembuluh darah konsultan di divisi aritmia. Hasil : Total sampel penelitian ini adalah 46 sampel yang terdiri atas 23 kasus dan 23 kontrol. Gambaran fQRS pada pasien blok nodus AV total menunjukkan kecenderungan 2,4 kali mengalami PJK dibandingkan dengan yang tanpa fQRS, walaupun secara statistik memperlihatkan hasil yang tidak bermakna OR = 2,4; p = 0,236 . Hasil uji Kappa menunjukkan kesepakatan yang baik kedua observer dengan nilai Kappa inter-observer 0,487 serta intra-observer 0,737 dan 0,783. Kesimpulan : Fragmentasi kompleks QRS pada pasien blok nodus AV total memiliki kecenderungan 2,4 kali untuk prediksi PJK namun tidak bermakna secara statistik.Kata Kunci : Fragmentasi kompleks QRS, penyakit jantung koroner, blok nodus AV total, pacu jantung permanen

Background Detection of coronary artery disease CAD in symptomatic bradycardia patients requiring permanent pacemaker implantation should be known early. Currently the use of advanced modalities such as cardiac catheterization and cardiac CT are the primary choice in detection of CAD in total atrioventricular blok patients with relatively high cost and risk. The description of fragmented QRS complex fQRS in electrocardiography associated with the presence of ischemia or scar in the myocardium that can be an alternative detection of CAD in patients with total AV block requiring permanent pacemaker implantation. Objectives To determine the relationship between fragmented QRS complex and coronary artery disease in patients with complete atrioventricular AV nodal block requiring permanent pacemaker implantion. Methods This study is an analytic study of case control using secondary data of medical record of complete AV block patients who have performed permanent pacemaker and coronary angiography at PJN Harapan Kita hospital. The study was conducted in April Agustus 2017. Recorded patient characteristics, factors known to influence CAD events as well as results of echocardiography and coronary angiography. The EKG readings were performed by two cardiologist consultants in the arrhythmia division. Results The total sample of this study was 46 consisting of 23 case and 23 control. The description of Fqrs in patients with total AV nodal block showed a trend of 2.4 times for CAD prediction compared with those without Fqrs, although statistically showed a non significant OR 2.4 p 0.236 . Kappa test results showed good agrreement both observers with Kappa inter observer value 0.487 and intra observer 0.737 and 0.783. Conclusion Fragmented QRS complex in patients with complete AV nodal block had a tendency of 2.4 times for CAD prediction but statistically not significant. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Adip Pradipta
"Latar Belakang Uji latih jantung beban (ULJB) merupakan modalitas diagnostik PJKO yang telah lama digunakan. Meskipun demikian, perannya semakin semakin tergantikan oleh karena tingginya angka positif palsu, khususnya pada respons iskemik sugestif positif. Tujuan studi ini adalah untuk menyusun sebuah model algoritme prediksi menggunakan kecerdasan buatan untuk mendeteksi PJKO pada populasi respons iskemik sugestif positif.
Metode Pasien yang menjalani ULJB dengan hasil respons iskemik sugestif positif dan angiografi koroner invasif dalam rentang 1 tahun pasca ULJB diikutsertakan dalam studi ini. Populasi studi dibagi secara acak menjadi kelompok latihan (80%) dan uji (20%) untuk membuat algoritme prediktif. Total 16 dari 122 fitur yang digunakan, meliputi informasi klinis, faktor risiko dan EKG saat ULJB. Algoritme yang digunakan meliputi support vector machine, logistic regression, random forest, k-nearest neighbor, naive Bayesian, Adaboost, decision tree dan extreme gradient boosting. Hasil Sebanyak 124 dari 513 pasien dengan respons iskemik sugestif positif ikutserta dalam studi ini. Algoritme random forest memiliki nilai akurasi yang paling tinggi 0,75±0,05 dengan indeks Youden 0,37 serta AUC 0,7±0,14. Sebanyak 86(69,35%) populasi terbukti memiliki stenosis signifikan.
Kesimpulan ULJB dengan bantuan kecerdasan buatan dapat mendeteksi adanya PJKO pada pasien dengan sindroma koroner kronik dengan respons iskemik sugestif positif.

Background Treadmill stress testing (TST) used to be an established diagnostic modalities in diagnosing obstructive coronary artery disease (OCAD) among patients with chronic coronary syndrome (CCS). Nevertheless, it has high false positive rate especially especially those with suggestive positive ischemic response (SPIR). We aim to develop an predictive model based on machine learning to detect OCAD among those with SPIR.
Method Patients who underwent TST and coronary angiography (CAG) within 1 year interval were enrolled into the study. They were randomly splitted into training (80%) and testing (20%) dataset for model development. Sixteen out of 122 features were used, including clinical information, risk factor and ECG parameter during TST. Several algorithm were used in model development including support vector machine, logistic regression, random forest, k-nearest neighbor, naive Bayesian, Adaboost, decision tree dan extreme gradient boosting.
Result 124 out of 513 patients with SPIR were enrolled in this study. Random forest algorithm achieved the highest accuracy (0,75±0,05) with Youden index of 0,37 and AUC 0,7±0,14. A total of 86(69,35%) patients had OCAD based on CAG.
Conclusion Machine learning based predictive model can diagnosed OCAD among CCS patients with SPIR.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pramudjo Abdulgani
"ABSTRAK
Dalam upaya meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas hasil uji Iatih jantung dengan beban (ULJB ), beberapa peneliti menghitung kemiringan ST/laju jantung (LJ) maksimal ('maximal ST/HR slope'), yaitu nilai B dari persamaan Y = B (X - Xo). Y : depresi segmen ST, X = laju jantung dan Xo : laju jantung saat mulai akan
timbul depresi segmen ST. Tujuan penelitian ini yaitu meneliti peranan kemiringan ST/LJ maksimal (SLOPE) Serta meneliti adakah peranan Xo dalafn memprediksi berat penyakit jantung koroner(PJK). Penelitian bersifat prospektif pads 23 sukarelawan, yang diIakukan angiografi koroner dan ULJB di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, antara 1 Desembar 1988 sampai dengan 28 Februari
1989. Sebagian penderita dilakukan ULJB dengan metode Bruce (n=7), sedang sisanya dengan modifikasi Bruce (n=16). Semua penderita adalah laki-laki, berumur 38-55 (rata-rata 52, 1_+6,4) tahun. Dua pulun penderita dengan riwayat infark, 2 dengan angina pektoris dan 1 asimtomatis. Bila penderita minum obat (antagonis
kalsium, penghambat reseptor beta) pada saat ULJB, obat tidak dihentikan. Penghitungan SLOPE dilakukan menurut Cara Kligfield. Derajat iskemi miokard diukur menurut skor dari Green Land Hospital (GLH). Tiga penderita tidak dapat dihitung nilai SLOPEnya (13%). Ditemukan korelasi positif antara nilai SLOPE dengan skar GLH(r=0,83 : p<0,00001),yang dapat dinyatakan dengan persamaan :
skor GLH = 2,28 + 0,8 SLOPE. Rata-rata nilai SLOPE pada ke empat kelompok penderita (?normal', 1, 2, 3 penyakit pembuluh darah), berturut-turut adalah 1,04 _+ 0,63 uV/denyut/menit; 2,84 _+ 1,27
UV/denyut/menit; 5, 46 _+ 3,76 uV/denyut/menit; dan 10,62 _+ 2,60 UV/denyut/menit. Secara statistik perbedaan rata-rata dari ke 4 kelompok ini bermakna (p < 0,0005). Sedangkan nilai Xo tidak mempunyai korelasi dengan skor GLH.
Dari penelitian ini kami menyimpulkan bahwa nilai SLOPE
mempunyai nilai prediksi terhadap berat ringan PJK, sedangkan nilai Xo tidak."
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jordan Sardjan
"Latar Belakang: Penyakit kardiovaskular terutama penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab utama kematian pasien dengan penyakit perlemakan hati non-alkoholik (PPHNA). Pengukuran controlled attenuation parameter (CAP) menilai derajat steatosis hati secara non-invasif dan terukur, sementara skor SYNTAX dapat menggambarkan derajat aterosklerosis koroner dan membantu pemilihan modalitas revaskularisasi koroner (PCI atau CABG). Hingga saat ini, belum diketahui korelasi antara nilai CAP dengan skor SYNTAX pada pasien PJK signifikan. Tujuan: Mengetahui korelasi antara nilai CAP steatosis hati dengan skor SYNTAX lesi koroner pada pasien PJK signifikan. Metode: Studi potong lintang dengan populasi terjangkau adalah pasien dewasa yang menjalani tindakan angiografi koroner di ruang cathlab Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada bulan Juli hingga Oktober 2023 dan terbukti menderita PJK signifikan. Selanjutnya dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah, penilaian CAP dengan elastografi transien, dan penghitungan skor SYNTAX. Analisis data dilakukan untuk mencari koefisien korelasi antara nilai CAP dengan skor SYNTAX. Hasil: Didapatkan 124 subjek penelitian dengan dengan rasio laki-laki berbanding perempuan 5:1 dan rerata usia 59,8 ± 11,1 tahun. Rerata IMT 25,6 ± 3,5 kg/m2, dengan 54,8% subjek tergolong obesitas. Sebanyak 94,4% dan 55,6% subjek menderita hipertensi dan DM, dengan tekanan darah dan parameter glikemik relatif terkontrol. Rerata HDL 38,8 ± 10,8 mg/dL dengan 55,6% subjek memiliki HDL rendah, dan median LDL 109,5 mg/dL dengan 89,5% subjek belum mencapai target LDL. Rerata nilai CAP 256,5 ± 47,3 dB/m, dengan 52,5% subjek (IK 95%: 43,3% - 61,5%) menderita steatosis signifikan (nilai CAP ≥ 248 dB/m), Median skor SYNTAX 22. Uji korelasi Spearman menunjukkan korelasi positif dan signifikan antara nilai CAP dengan skor SYNTAX (r = 0,245, p < 0,0001). Kesimpulan: Diantara pasien dengan PJK signifikan, 52,5% diantaranya memiliki steatosis hati non-alkoholik signifikan. Terdapat korelasi positif dan bermakna antara nilai CAP dengan skor SYNTAX pada pasien PJK signifika.

Background: Cardiovascular diseases, particularly coronary artery disease (CAD), is the leading cause of death in patients with non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). The controlled attenuation parameter (CAP) measurement assesses the degree of liver steatosis in a non-invasive and measurable manner, while the SYNTAX score depicts the degree of coronary atherosclerosis and aids in the selection of coronary revascularization modalities (PCI or CABG). To date, the correlation between CAP values and SYNTAX scores in patients with significant CAD remains unknown. Objective: To determine the correlation between controlled attenuation parameter (CAP) value of liver steatosis and SYNTAX score of coronary lesions in patients with significant CAD. Methods: This cross-sectional study was conducted on an accessible population of adult patients who underwent coronary angiography at Cipto Mangunkusumo Hospital catheterization laboratory from July to October 2023, and were proven to have significant CAD. Anamnesis, physical examination, blood tests, CAP assessment with transient elastography, and SYNTAX score calculation were performed. Data analysis was conducted to find the correlation coefficient between CAP values and SYNTAX scores. Results: A total of 124 patients were included in this study, with a mean age of 59.8 ± 11.1 years and 5:1 of male to female ratio. The mean BMI was 25.6 ± 3.5 kg/m2, with 54.8% subjects classified as obese. A total of 94.4% and 55.6% subjects were hypertensive and diabetic with relatively controlled blood pressure and glycemic parameters. The mean HDL was 38.8 ± 10.8 mg/dL with 55.6% of the subjects having low HDL, and a median LDL of 109.5 mg/dL, with 89.5% of the subjects yet to achieve the optimal LDL target. The mean CAP value was 256.5 ± 47.3 dB/m, with 52.5% of the subjects having significant steatosis (CAP value ≥ 248 dB/m). The median SYNTAX score was 22. The Spearman correlation test showed a positive and significant correlation between CAP values and SYNTAX score (r = 0.245, p < 0.0001). Conclusion: Among patients with significant CAD, 52.5% have significant non-alcoholic hepatic steatosis. There is a positive and significant correlation between CAP values and SYNTAX scores in patients with significant CAD."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>