Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138783 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ardam Rafif Trisilo
"[Skripsi ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana unsur-unsur humor digunakan untuk memarodikan konsep maskulinitas agen rahasia dalam film Austin Powers : International Man of Mystery dan Austin Powers : The Spy Who Shagged Me dan menunjukkan bagaimana parodi dan tawa bekerja untuk mempertahankan atau menolak sebuah ideologi dominan maskulinitas agen rahasia James Bond. Penelitian dilakukan dengan mengidentifikasi tipologi humor yang digunakan dalam kedua film dan membandingkan atribut-atribut maskulinitas Austin Powers dengan konsep maskulinitas agen rahasia ideal menggunakan pendekatan semiotik. Penelitian menemukan bahwa di satu sisi kedua film berusaha untuk membongkar konsep maskulinitas ideal tersebut, sementara di sisi lain ditemukan juga adanya peneguhan konsep maskulinitas ideal yang dilakukan oleh kedua film.

The purpose of this thesis is to show how the typology of humor in parody films is used in Austin Powers : International Man of Mystery and The Spy Who Shagged Me to strengthen and/or resist the dominant ideology represented by the ideal male secret agent masculinity ideology in James Bond movies. The analysis is conducted by identifying the typology of humor used in the films and comparing Austin Powers’ masculinity attributes to the ideal secret agent masculinity attributes using semiotic approach. The findings reveal that the films strengthen
and resist the ideal masculinity concept simultaneously.;The purpose of this thesis is to show how the typology of humor in parody films is
used in Austin Powers : International Man of Mystery and The Spy Who Shagged
Me to strengthen and/or resist the dominant ideology represented by the ideal
male secret agent masculinity ideology in James Bond movies. The analysis is
conducted by identifying the typology of humor used in the films and comparing
Austin Powers’ masculinity attributes to the ideal secret agent masculinity
attributes using semiotic approach. The findings reveal that the films strengthen
and resist the ideal masculinity concept simultaneously., The purpose of this thesis is to show how the typology of humor in parody films is
used in Austin Powers : International Man of Mystery and The Spy Who Shagged
Me to strengthen and/or resist the dominant ideology represented by the ideal
male secret agent masculinity ideology in James Bond movies. The analysis is
conducted by identifying the typology of humor used in the films and comparing
Austin Powers’ masculinity attributes to the ideal secret agent masculinity
attributes using semiotic approach. The findings reveal that the films strengthen
and resist the ideal masculinity concept simultaneously.]
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2015
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prilly Priscillia Harventhy
"ABSTRAK
Dalam sebagian besar film Hollywood dengan genre action-spionase spy , protagonis utama dimainkan oleh seorang agen rahasia laki-laki, sementara karakter perempuan dimainkan sebagai ldquo;kaki tangan rdquo; dari agen rahasia tersebut. Namun, film Spy 2015 menantang stereotip dan peran jender yang dikaitkan dalam film action-spionase pada umumnya dengan memerankan wanita sebagai protagonis agen rahasia utama dan menggambarkan karater laki-laki kebalikan dari stereotip agen rahasia. Penelitian ini berfokus pada bagaimana pergeseran stereotip dan peran jender sebagai agen rahasia tersebut digambarkan dalam film Spy. Analisis tekstual digunakan untuk menyelidiki pergeseran dan pengaruhnya, dan kerangka teoritis yang digunakan adalah Women Existence in Espionage Movies oleh Amalina 2015 dan The Evolution of Female Gender Roles oleh Bayard 2015 . Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa ada perubahan yang signifikan antara karakterisasi tokoh perempuan dan laki-laki sebagai agen rahasia.

ABSTRACT
AbstractIn most of Hollywood action espionage movies, the main protagonists are male secret agents, while female characters play the role of the secret agents rsquo sidekicks. However, Spy 2015 challenges the stereotypes and the attributed gender roles in action espionage movies by having female protagonist as the lead secret agent and depicting the male characters the opposite of secret agent stereotypes. This research focuses on how the shift of stereotypes and gender role of secret agents are portrayed in Spy. Textual analysis is used to investigate the shifts and its effects, and the theoretical frameworks used are Women Existence in Espionage Movies by Amalina 2015 and The Evolution of Female Gender Roles by Bayard 2015 . The research findings reveal that there are significant changes between the female and the male characterizations as secret agents.Keywords Gender Role, Stereotype, Secret Agent"
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Austin, James C.
New York: Twayne, [1964]
817.3 AUS a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Queen, Ellery
London: New English Library Limited, 1967
823 QUE w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Conrad, Earl
New York: Paperback Library, 1961: New York, 1961
923.1 Con m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Austin, James E.
Cambridge, UK: Gunn & Hani Publishers, Inc., 1981
363.890 172 AUS n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Austin, James E.
Baltimore: John Hopkins University Press , 1980
362.5 AUS c (2)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Quinta Binar Resista
"Skripsi ini membahas tokoh Bean dalam serial televisi Mr. Bean (1990) sebagai contoh parodi terhadap ide maskulinitas Britishman. Parodi terhadap maskulinitas Britishman akan dianalisis melalui cara tokoh Mr. Bean memperlakukan tubuh tanpa memandang konsep heteronormativitas yang hidup di lingkungan sekitarnya, berdasarkan beberapa adegan yang terdapat dalam episode Mr. Bean, The Return of Mr. Bean, dan The Curse of Mr. Bean. Selain itu, parodi terhadap ide maskulinitas karakter Britishman pada teks penelitian akan ditinjau dengan kebiasaan para mahasiswa Oxford dan Cambridge University (Oxbridge Men) di awal abad 19, yang diketahui sebagai cikal bakal konsep Britishman di Inggris. Melalui penelitian ini, penulis menemukan bahwa Mr. Bean adalah seorang dengan identitas jender yang tidak dapat didefinisikan, namun ia telah menjadi subjek atas tubuhnya sendiri.

The purpose of this final thesis is to analyze the character of Bean in the Mr. Bean tv shows (1990) as a form of parody toward the concept of Britishman masculinity. The analysis is conducted by examining how Mr. Bean treats his own body without a regard to the concept of heteronomativity around him, based on several scenes from the episodes of Mr. Bean, The Return of Mr. Bean, and The Curse of Mr. Bean. Furthermore, the parody toward the concept of Britishman masculinity in this paper will be examined in its connection with the habit of students from Oxford and Cambridge University (Oxbridge Men) in the beginning of 19th century, which has been known as the role model of an ideal Britishman in England. Through this study, the writer found that Mr. Bean is a gender entity who can't be easily defined, and instead mould his own identity as a subject based on his body."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43429
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Padmarani Novianty
"Novel Andrew and Joey, A Tale of Bali dan The Java Man keduanya merupakan karya Jamie James, seorang penulis berkebangsaan Amerika. Masing-masing novel menampilkan representasi tentang Bali serta representasi tentang Jawa yang sarat dengan muatan politis Amerika, yang menaklukan, menjinakkan atau mengecilkan Timur.
Melalui analisis yang mempergunakan pendekatan pascakolonial Edward Said, diperlihatkan bagaimana ideologi orientalisme pengarang bekerja melalui pemilihan tokoh-tokoh yang menjadi vokalisasi novel serta bagaimana tokoh-tokoh tersebut ditampilkan. Tokoh-tokoh ini kemudian menjadi suara bagi Timur dalam novel Andrew and Joey, A Tale of Bali, karena dalam novel ini tokoh dari Bali sama sekali tidak diberi kesempatan untuk bersuara.
Meski novelnya yang kedua, The Java Man menampilkan suara dari Timur, namun suara yang keluar adalah pengukuhan dari oposisi biner antara Timur dan Barat, dengan posisi yang dominan dipegang oleh Barat.

Andrew and Joey, A Tale of Bali and The Java Man, both are the works of an American writer, Jamie James. Each novel produces the representations of Bali and Java, loaded with American politics, which conquers, demeans or belittles fast.
By applying Edward Said's postcolonial approach, it is shown how the writer's orientalism works. By creating and selecting the characters which in turn becoming the.el's vocalization, the representation of Bali in Andrew and Joey, a Tale of Bali, is produced. This is then becomes the only voice of Bali since the Balinese in this novel comes to the reader only through the American's point of view.
In the second novel, the Javanese is given the chance to speak But the voice which comes out then became the validation of the binary opposition between the East and the West, in which the West holds the dominant position.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17895
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Hamdan Basyar
"Kekerasan politik pada pemilu 1997 di Pekalongan disebabkan oleh adanya disempowerment dari penguasa kepada masyarakat yang berbeda aliran politik. Hal itu dilakukan baik di bidang sosial, ekonomi, dan maupun bidang politik. Sedangkan penyebab kekerasan politik tahun 1999 adalah adanya perbedaan penafsiran antara masyarakat NU terhadap khittah NU yang dimulai tahun 1984. Pada pemilu 1997, kekerasan politik terjadi antara pendukung PPP dan pendukung Golkar. Pada pemilu 1999, kekerasan politik terjadi antara pendukung PPP dan pendukung PKB.
Ulama sebagai tokoh penutan tidak cukup efektif dalam penyelesaian kekerasan politik tersebut. Dalam kajian dengan masalah politik tersebut, Ulama di Pekalongan, dapat digolongkan menjadi tiga kelompok. Pertama, mereka yang berpendapat bahwa kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, menurut mereka keterlibatan ulama dalam masalah politik sehari-hari adalah suatu keharusan. Kelompok ulama inilah yang kemudian secara langsung ikut terlibat dalam partai politik. Kedua, mereka juga berpendapat bahwa kehidupan keagamaan dan kemasyarakatan, termasuk politik, tidak dapat dipisahkan. Hanya saja, mereka merasa tidak perlu melibatkan diri dalam politik praktis. Kelompok ulama ini, peduli pada masalah politik dan kenegaraan, tetapi tidak mau menjadi pendukung salah satu partai politik, secara terbuka. Ketiga, mereka yang tidak mau, dan tabu dengan urusan kehidupan politik. Mereka merasa kehidupan berpolitik bukan merupakan bidang urusan ulama. Kelompok ini membatasi kiprahnya hanya dalam masalah moral keagamaan. Mereka sengaja menghindari kehidupan politik, karena hal itu dianggap "terlalu dunia".
Dimana kelompok pertama tidak dapat berperan secara efektif, karena seringkali dicurigai oleh pihak lain yang berbeda aliran politiknya. Ulama kelompok kedua kurang efektif dan efisien dalam berperan menyelesaikan kekerasan politik, karena cara yang dilakukannya tidak secara langsung dan memakan waktu yang agak panjang. Sedangkan ulama kelompok ketiga tidak berperan, karena mereka dengan sengaja menghindari masalah politik dalam kehidupannya.
Dengan tidak berperannya ulama di Pekalongan dalam penyelesaian kekerasan politik, maka keadaan masyarakat menjadi mengambang. Mereka seakan kehilangan tokoh panutan yang mengarahkan kehidupan politiknya. Sebagian masyarakat menjadi apatis terhadap kehidupan politik. Sebagian yang lain terlalu bersemangat dalam kehidupan politik, tanpa memperhatikan hak politik warga lainnya. Akibatnya, mereka menjadi rawan dan rentan terhadap adanya perbedaan aliran politik.
Kondisi itu tentunya bisa menggangu ketahanan wilayah Pekalongan yang pada gilirannya akan mengganggu pula ketahanan nasional. Hal itu dikarenakan berbagai pihak, baik tokoh formal maupun informal, tidak menggunakan pendekatan "ketahanan nasional" secara jelas.
Kalangan ulama, misalnya, tidak begitu memperhatikan asas tannas yang melihat sesuatu secara komprehensif integral atau menyeluruh terpadu. Padahal asas ini bisa disamakan dengan apa yang dalam Islam disebut sebagai "kaffah". Masyarakat Pekalongan yang "agamis" tidak menyeluruh dalam mengamalkan ajaran agama yang mereka anut. Yang mereka lakukan adalah sesuatu yang lebih menguntungkan diri atau kelompoknya, sehingga masalah kekerasan politik di sana tidak dapat diselesaikan dengan tuntas."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T906
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>