Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123907 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alwin Hernawan
"Pada penelitian ini, peneliti melihat bahwa Pasukan Lima Jari sebagi band genre reggae mengkonsepsikan diri mereka sebagai genre reggae yang berbeda dengan band genre reggae lainnya. Hal tersebut merupakan reaksi dari Pasukan Lima Jari terhadap label menyimpang yang dilekatkan kepada genre reggae. Reaksi dari Pasukan Lima Jari disebabkan mereka menentang konsepsi masyarakat yang cenderung melekatkan label menyimpang pada genre reggae, sehingga mereka membuat sebuah identitas baru yang melepas atribut rastafari namun tetap melakukan kritik sebagaimana genre reggae sejatinya. Secara garis besar penelitian ini menggunakan kriminologi kritis sebagai pendasaran utama. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif yang bersifat observasi partisipan agar peneliti dapat melakukan observasi secara langsung dan memahami pemikiran juga pemaknaan dari Pasukan Lima jari. Pada akhirnya penelitian menukan bahwa usaha yang dilakukan Pasukan Lima Jari bertujuan untuk menghapus label menyimpang yang dilekatkan kepada genre reggae.
In this research , researchers saw that Pasukan Lima Jari as a reggae band concept themselves as a raggae bandn that different other form of reggae band .The reaction of Pasukan Lima Jari against deviating label attached to a reggae .The reaction of an Pasukan Lima Jari caused they fight society conception that tends to make a label deviating on reggae, so that they make a new identity which unties the attribute of rastafari but still do criticism as basic of reggae .As a broad outline this research using critical criminology as main principal. This Research is conducted by the qualitative method with participating observation from researcher, so researcher can do a direct observation and understand the thought also purport of Pasukan Lima Jari. Eventually this research found the efforts by Pasukan Lima Jari that aims to remove the label deviating attached to reggae."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S57747
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tata Septayuda Purnama
"Konsep diri merupakan permasalahan yang dihadapi oleh sebagian selebriti ibukota untuk dapat terus menerus menyesuaikan diri. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi konsep diri di antaranya religiusitas dan dukungan sosial. Permasalahan dalam penelitian ini, yaitu seberapa besar kontribusi variabel religiusitas dan dukungan sosial secara bersama-sama dapat menjelaskan varians peningkatan konsep diri selebriti yang tergabung dalam kelompok pengajian.
Penelitian ini dilandasi tiga teori, yaitu konsep diri menggunakan teori Fitts (1971) yang memiliki delapan dimensi, religiusitas merujuk pada laporan Fetzer Institute (1999) yang menjelaskan dua belas indikator, dan dukungan sosial menggunakan teori Sarafino (2002) yang mencakup lima dimensi.
Metode penelitian menggunakan pendekatan analisis kuantitatif dengan metode survei yang bersifat statistik deskriptif (descriptive statistics), berupa sampel 85 responden komunitas selebriti yang bergabung di Kelompok Pengajian Orbit, Jakarta Selatan. Analisis penelitian ini menggunakan regresi linier dan pengolahan data menggunakan program SPSS- 18.
Kesimpulan penelitian ini diketahui bahwa dimensi dari religiusitas dan dukungan sosial secara bersama-sama bisa diterapkan pada dimensi konsep diri sebesar 86,5%. Sedangkan sisanya sebesar 13,5 % disebabkan oleh aspek-aspek lainnya yang dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku konsep diri.

The self-concept of celebrity is a problem faced by some popular celebrity to be able to adjust their continuous personal conformity. Many factors can affect self-concept, such religiosity and social support. This study investigates the contribution of religiosity and social support variables trough the increasing of celebrity's self-concept who joined in the religious study groups.
This study based on three theories: Fitts's self-concept theory (1971) which has eight dimensions, Fetzer Institute report refers religiosity (1999) which describes twelve indicators, and Sarafino's social support theory (2002) which covers five dimensions.
The research method uses quantitative analysis approach with descriptive statistics (descriptive statistics) in a survey method, which took 85 samples joined in religious study celebrity groups named Pengajian Orbit Group, placed in South Jakarta. The study use linear regression analysis, with SPSS-18 data processing programme.
The conclusion of this study note that among 86.5% dimensions of religiosity and social support can be applied for personal self-concept. And the rest of 13.5% influence the behavior of self-concept in other aspects.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T29856
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Namirah Tzalsavila
"Penelitian ini membahas konsep diri yang ada dalam ekspresi dengan kata umpatan di Twitter yang dilakukan oleh dewasa muda yang tinggal di perkotaan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif untuk melihat konsep diri para pengumpat di Twitter. Penelitian ini memiliki tujuan untuk memahami bagaimana konsep diri yang merupakan bagian dari Teori Interaksionisme Simbolik dalam ekspresi mengumpat oleh kaum dewasa muda melalui media sosial Twitter dan mengetahui alasan individu dewasa muda mengumpat menggunakan Twitter. Pengambilan subjek penelitian ini dilakukan menggunakan teknik snowball sampling. Subjek penelitian ini terdiri dari lima orang yang berusia 21-22 tahun dan berdomisili di perkotaan yakni Jakarta dan Surabaya. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang dapat menjawab pertanyaan penelitian. Kesimpulandari penelitian ini menjelaskan bahwa konsep diri setiap individu yang berbeda didapatkan dari interaksi sosial individu dengan keluarga, teman, dan media sosial tetap memicu individu mengungkapkan ekspresi dengan kata umpatan yang kemudian hal ini memberikan kontribusi bagi perilaku mengumpat di Twitter.

This study discusses the self-concept that exist in the expression of swear words on Twitter by young adults who live in urban areas. This research is qualitative research to see the self-concept of the slanderers on Twitter. This study aims to understand how the self-concept which is part of the Symbolic Interaction Theory in the expression of swearing by young adults through social media Twitter and to find out the reasons why young adults swear using Twitter. The subject of this research was taken using snowball sampling technique. The subjects of this study consisted of five people aged 21-22 years and domiciled in urban areas, namely Jakarta and Surabaya. Data collection was carried out by in-depth interviews to obtain data that could answer research questions. The conclusion of this study explain that each individual's different self-concept obtained from individual social interactions with family, friends, and social media still triggers individuals to express expressions with swear words which then contribute to cursing behavior on Twitter."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amaliah
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran konsep diri pada pemain yang eRepublik yang berada pada periode dewasa muda. Partisipan penelitian ini adalah pemain eRepublik yang berusia 18 hingga 40 tahun, sebanyak 89 orang. Konsep diri dalam penelitian ini dilihat dari sudut pandang teori Fitts (1971) yang mengatakan bahwa konsep diri adalah diri yang dilihat, dipersepsikan dan dialami oleh individu. Alat ukur yang digunakan adalah Tennessee Self-Concept Scale (TSCS).
Pemain eRepublik dikelompokkan menjadi dua berdasarkan durasi waktu bermain selama seminggu, yaitu kelompok normal (yang bermain kurang dari 45 jam seminggu) dan extreme gamers (yang bermain lebih dari 45 jam seminggu).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok normal memiliki konsep diri yang negatif dan kelompok extreme gamers memiliki konsep diri yang positif, tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara konsep diri dan dimensi-dimensinya dari kedua kelompok.

This research aims to describe the self-concept of young adulthood who plays eRepublik. The participants for this research are 89 of eRepublik players, ranging from 18 to 40 years old. The term "self-concept" in this research was based on Fitts (1971) point of view that said self-concept is self that looked, perceived and experienced by onelself. The instrument that used for measuring personality profile is Tennessee Self-Concept Scale (TSCS).
eRepublik players divided into two groups based on time duration that spent to play eRepublik in a week, those are normal group (who plays less than 45 hours in a week) and extreme gamers (who plays more than 45 hours in a week).
The results indicate that the normal group has negative self-concept and extreme gamers group has positive self-concept, but they were not significantly different in self-concept and its dimensions.
"
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Arya Wiryawan
"ABSTRACT
Prestasi akademis mahasiswa merupakan indikator keberhasilan mahasiswa selama mengenyam ilmu di Perguruan Tinggi. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi prestasi akademis seseorang adalah kejelasan konsep diri (self-concept clarity). Penelitian penelitian sebelumnya terkait pengaruh self-concept clarity terhadap prestasi akademis menunjukkan hasil yang berlawanan. Mengacu pada teori self-regulation dan growth mindset, hubungan antara kedua variabel bisa dimediasi oleh variabel grit. Hasil penelitian yang dilakukan pada 349 Mahasiswa Universitas Indonesia semester 3 ke atas menunjukan bahwa grit memediasi secara penuh (fully mediated) pengaruh self-concept clarity terhadap prestasi akademis (indirect effect = 0.0432, BootSE = 0.0128, CI[0.0202,0.0705]).

ABSTRACT
Student academic achievement is an indicator of student success while studying in Higher Education. One factor that can affect one's academic achievement is self-concept clarity. Previous research related to the effect of self-concept clarity on academic achievement shows the opposite results. Referring to the theory of self-regulation and growth mindset, the relationship between the two variables can be mediated by the grit variable. The results of research conducted on 349 University of Indonesia students in semester 3 and above show that grit mediates fully (fully mediated) the effect of self-concept clarity on academic achievement (indirect effect = 0.0432, BootSE = 0.0128, CI [0.0202.0.0705]).
"
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Sofiati
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3507
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"This study was conducted to find out wheher multicultural awareness and self - concept are correlated with the student critical reading achievement. One hundred and twenty three undergraduate students consisting of 23 males and 100 females of English Study Program Faculty of Teacher Training and Education were involved in this study..."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nurlaksmi Handayani
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran konsep diri penderita SLE (Systemic Lupus Erythematosus) sebelum dan setelah didiagnosis menderita SLE. SLE adalah suatu penyakit yang menyebabkan peradangan yang kronis dengan penyebab yang tidak diketahui dan mempengaruhi kulit, sendi, ginjal, paru-paru, sistem syaraf, membran serous, dan organ tubuh lainnya (Schur dalam Kelley, Harris, Jr., Ruddy, & Sledge, 1981).
Sebagai suatu penyakit kronis, SLE memiliki dampak terhadap berbagai aspekaspek kehidupan penderitanya dan dapat mempengaruhi konsep diri penderitanya. Berbagai gejala fisik yang harus dialami oleh penderita, keterbatasan-keterbatasan daiam melakukan aktivitas sehari-hari, stigma negatif seperti rasa iba dan penolakan dari keluarga dan lingkungan dapat membuat penderita merasa frustrasi dan stres.
Wanita dari tahapan usia subur (18-40 tahun) merupakan golongan terbanyak menderita SLE. Seringkali mereka merasa takut tidak dapat memiliki keturunan disebabkan oleh penyakit ini. Padahal tahapan usia tersebut merupakan tahapan usia dewasa muda dimana salah satu tugas perkembangannya adalah berkeluarga dan membesarkan anak (Havighurst dalam Hurlock, 1980). Sementara itu di masyarakat telah berkembang suatu harapan yang kuat bahwa wanita sewajarnya menjadi seorang ibu (Russo dalam Hyde, 1985).
Berbagai permasalahan di atas dapat mempengaruhi cara pandang penderita terhadap dirinya sendiri. Taylor (1999) menyebutkan bahwa suatu penyakit kronis dapat menghasilkan perubahan drastis dalam konsep diri seseorang. Sedangkan konsep diri dalam Hurlock (1979) diartikan sebagai elemen yang dominan dalam pola kepribadian seseorang, dan merupakan kekuatan yang memotivasi perilaku seseorang. Konsep diri menyangkut persepsi seseorang terhadap dirinya, kemampuannya, dan bagaimana ia berpikir tentang dirinya. Di samping itu juga menyangkut bagaimana seseorang mempersepsikan hubungannya dengan orang lain dan berbagai macam aspek dalam kehidupan serta nilai-nilai yang menyertai persepsi itu (Rogers dalam Hall & Lindzey, 1978).
Konsep diri dapat mempengaruhi perilaku dan reaksi seseorang terhadap situasi yang sedang dihadapinya, termasuk penyesuaian dirinya atau coping terhadap stres yang diakibatkan oleh penyakit yang sedang dihadapinya (Hurlock, 1979). Oleh karena itu konsep diri penderita SLE memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kehidupannya di masa sekarang maupun di masa mendatang.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan teknik wawancara dan observasi. Subyek dalam penelitian ini adalah 3 orang wanita penderita SLE pada tahapan usia dewasa muda (18-40 tahun) yang diambil dengan menggunakan teknik purposive sampling secara insidental agar memudahkan peneliti.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan dalam keempat kategori konsep diri penderita. Keempat kategori konsep diri tersebut adalah konsep diri dasar, konsep diri sementara, konsep diri sosial dan konsep diri ideal, yang masing-masing berkaitan dengan komponen fisik dan psikologis (Hurlock, 1979). Pada konsep diri dasar, umumnya penderita merasa bahwa fisik mereka tidak sekuat dahulu sehingga hal ini menjadi penghambat bagi mereka dalam beraktivitas. Kegiatan-kegiatan mereka mulai dibatasi untuk menjaga kondisi diri dan mencegah kambuhnya penyakit.
Penderita juga menjadi lebih perhatian terhadap kondisi kesehatannya. Perubahan penampilan yang merugikan dan menetap membuat penderita menjadi minder dan tidak percaya diri. Penderita juga menjadi lebih rentan terhadap stres dan tidak dapat menerima berita-berita yang tidak menyenangkan baginya. Selain itu penderita juga menjadi lebih giat dalam kegiatan keagamaannya. Sebagian penderita merasa pesimis dalam memandang hidupnya karena merasa tidak dapat hidup normal seperti orang sehat pada umumnya. Namun ada pula penderita yang tidak merasa terlalu terganggu oleh hal tersebut karena sudah lebih dapat menerima keadaan dirinya. Dalam hal ini, penderita tetap optimis dalam memandang kehidupannya.
Dalam konsep diri sementara, kondisi fisik yang memprihatinkan terutama pada masa-masa awal dideritanya SLE membuat penderita menilai dirinya lebih negatif untuk sementara. Di lain pihak kejadian-kejadian yang menghasilkan emosi-emosi positif seperti keberhasilan dalam meraih hal tertentu membuat penderita menilai dirinya secara lebih positif untuk sementara.
Pada konsep diri sosial, penderita merasakan pandangan iba dan kasihan dari keluarga dan lingkungan. Keluarga pada umumnya memberikan perhatian lebih dan dukungan pada penderita. Hal ini dapat diekspresikan secara berlebihan sehingga memicu kecemburuan pada anggota keluarga yang lainnya. Namun dapat pula terjadi pengabaian dan penolakan oleh keluarga serta lingkungan penderita. Penolakan ini disebabkan karena penderita dianggap sebagai beban keluarga dan dipandang aneh oleh lingkungan sehingga memancing ejekan, cemoohan serta gunjingan. Pada penderita yang belum berkeluarga terdapat kekhawatiran bahwa lawan jenis akan memandang mereka dengan sebelah mata disebabkan oleh penyakitnya tersebut.
Pada konsep diri ideal, penderita berharap agar dapat menjalani kehidupan yang layak dan baik seperti orang lain, yaitu ingin agar dapat bekerja, berumah tangga, memiliki keturunan, diterima oleh keluarga dan lingkungan, serta ingin agar SLE-nya tidak kambuh lagi sehingga mereka dapat hidup seperti orang sehat pada umumnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S2866
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meinora Haryati
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3330
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Oktavia Hidayati Nur Oktavia Hidayati, aythor
"Isu gender dan masalah psikososial merupakan salah satu isu penting dalam Lapas. Tahun 1999, kira-kira 285.000 tahanan dan narapidana yang berada dalam lapas mengalami gangguan jiwa. Di Amerika Serikat sendiri tercatat 73% narapidana yang mengalami gangguan jiwa adalah perempuan. Harga diri rendah merupakan salah satu masalah yang banyak dikeluhkan oleh narapidana perempuan yang ada di Lapas Bogor, sehingga perlu sekali suatu terapi seperti EFT yang berguna untuk meningkatkan harga diri mereka. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh Emotional Freedom Technique (EFT) terhadap peningkatan harga diri narapidana perempuan. Desain penelitian adalah one group pre test ? post test (before and after). Teknik penarikan sampel penelitian adalah purposive sampling dengan jumlah sampel 32 responden. Analisis data univariat dengan menganalisis variabel-variabel secara deskriptif dengan menghitung distribusi frekuensi dan proporsi, mean, median, standar deviasi, minimal ? maksimal, 95%CI. Analisis bivariat menggunakan dependent sample t-test dan rank-spearman test. Hasil penelitian menunjukkan rata?rata umur responden 28,03 tahun, rata ? rata lama masa hukuman adalah 2,72 tahun, pendidikan paling banyak berada pada tingkat SMA, dan responden paling banyak berstatus kawin. Rata-rata harga diri sebelum EFT adalah 21,16 dan rata-rata harga diri sesudah EFT adalah 24,72. Ada perbedaan yang signifikan antara harga diri sebelum dan sesudah EFT (p-value=0,000), ada hubungan yang signifikan antara umur dan harga diri setelah diberikan EFT (pvalue=0,000), tidak ada hubungan antara pendidikan, status perkawinan dan lama masa hukuman dengan harga diri setelah diberikan EFT. Dari hasil tersebut perlu adanya pelatihan-pelatihan dan seminar tentang EFT bagi tenaga kesehatan khususnya keperawatan dalam upaya meningkatkan pelayanan keperawatan bagi komunitas terbatas seperti narapidana yang ada di Lapas.

The most important issues that exposed in the prison is gender and psychosocial problems. Approximately, 285,000 inmates experienced mental disorder in 1999. In the United States, 73% of women inmates have experienced mental disorders. Low self esteem which is one of the problems that complained by many women inmates in the Lapas Bogor, so it is necessary to give useful therapy like EFT to improve their self esteems. The goal of this research to determine the influence of Emotional Freedom Technique (EFT) for self-improvement of women inmates. The design research is one group pre test - post- test (before and after). The type of sampling research is purposive sampling, which the number of samples are 32 respondents. Univariat data analysis analyzes variables descriptively with calculating the
frequency distribution and proportion, mean, median, deviation standart, minimal ? maximal, 95%CI. Bivariat analysis uses dependent sample t-test and rank-spearman test. The Results of this research shows the average age of respondents are 28.03 years old, the average of sentences are 2.72 years, the most education is on high school level, and most respondents are married. The average value of self esteems before the EFT are 21.16 and the average value of self esteem after the EFT are 24.72. There are significant differences in the self esteem level before and after EFT (p-value = 0.000), there is significant relation between age and self esteem after EFT (p-value = 0.000), there are no relation between education, marital status and duration sentences period with self esteem after given by EFT. This result encourages necessary training and seminars about EFT for health worker especially nurse in effort to improve nursing services in the limited community such as inmates in prison."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>