Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 205680 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Debby Naztty Pratiwi
"Skripsi ini membahas bagaimana kekuatan hukum alat bukti petunjuk yang dihasilkan dari persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti surat dalam pembuktian di persidangan pidana Indonesia, pengaruh alat bukti petunjuk bagi Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa serta bagaimana hakim agung menyikapi alat bukti yang minim dan pengaruhnya terhadap putusan melalui studi putusan Mahkamah Agung No. 979 K/PID.SUS/2011. Penelitian ini merupakan penelitian berbentuk yuridis normatif yang menggunakan data-data sekunder berupa peraturan perundang-undangan dan literatur terkait serta data primer berupa hasil wawancara dengan beberapa narasumber dari kalangan akademisi maupun praktisi yang diolah dengan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Alat bukti petunjuk memiliki kekuatan hukum yang bebas sehingga peran aktif hakim dalam menggali persesuaian antara alat bukti lainnya sangat besar. Persesuaian tersebut terjadi apabila korelasi antara alat bukti mengaruh pada suatu kondisi tertentu bahwa benar terdakwa yang melakukan tindak pidana. (2) Hakim Agung menjalankan kewenangannya sebagai judex juris sehingga dalam menyikapi alat bukti yang minim, hakim melihat pada penerapan hukum pembuktian di tingkat judex factie (3) Majelis Hakim yang menangani perkara dalam putusan No. 979 K/PID.SUS/2011 telah menggunakan alat bukti petunjuk sebagai salah satu dasar memutus pidana terdakwa, tetapi proses diperolehnya alat bukti petunjuk kurang tepat.

The result of this research explained that (1) Judicial Evidence has free legal strength so that the judge should actively take a role in finding correspondence between other legal evidences. That correspondence occurs when there is correlation between legal evidences which leads into a certain condition telling the truth that the defendant the only one who commit a crime. (2) The court judges execute their authotity as judex juris so that in addressing the lack of evidence they will take a look at the use of law of evidence in judex factie. (3) The court judges who handle the criminal case in Supreme Court’s decision No. 979 K/PID.SUS/2011 has used judicial evidence as one basic requirement in making verdict to the defendant, but the process in obtaining that judicial evidence is not suitable with the national regulation.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2015
S58803
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ichsan Zikry
"Penelitian ini dibuat untuk mengkaji kedudukan pelaku tindak pidana yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam rangka mempermudah terbongkarnya suatu tindak pidana baik dalam bentuk mengakui kesalahan perbuatannya, memberikan bukti-bukti atau keterangan mengenai keterlibatan orang lain dalam tindak pidana (dikenal sebagai Saksi Mahkota, Justice Collaborator dan Whistleblower) dikaitkan dengan insentif yang diberikan dan sepatutnya diberikan oleh aparat penegak hukum, serta proses pemberian insentif tersebut. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pelaku yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum pada dasarnya belum sepenuhnya dilindungi dikarenakan regulasi yang belum memadai dan masih terdapat kelemahan secara kelembagaan dalam memberikan insentif bagi pelaku yang bekerjasama.

This research made to discussed about position of criminal subject who cooperate with law enforcement agency in order to help breaking a case with giving a plead guilty of his act or direction about evidences or information of others involevement (known as Crown Witness, Justice Collaborator and Whistleblower) and relevancy with an incentives they got and properly deserved provided by law enforcement agency as a retain of their cooperation and the process of incentives implementation. This research concluded that the regulation not utterly protect cooperative criminal subject and institutionally there is any weaknesses on giving protection for cooperative criminal subject.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S47578
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Margie Marina Syam
"ABSTRAK
Pesatnya perkembangan teknologi, terutama teknologi
komunikasi telah membawa kita memasuki era baru yang
disebut sebagai era digital (digital age). Surat
Elektronik, baik dalam bentuk e-mail, layanan pesan
singkat (SMS) ataupun hasil cetak komunikasi yang telah
dilakukan dengan menggunakan alat elektronik telah
memiliki andil yang besar dalam setiap kehidupan manusia.
Perkara pidana yang diatur dalam KUHP dan yang diatur
diluar KUHP yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak
Pidana Korupsi, memerlukan suatu upaya yang maksimal
dalam hal penanganan dan pemberantasan. Beberapa perkara
pidana akhir-akhir ini ditemukan karena adanya surat
elektronik antara para pihak yang terkait. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi pasal 26 A dan Undang-undang No. 25 Tahun 2003
Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 15 Tahun 2002
Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah mengatur
tentang alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk, selain
yang diatur dalam KUHAP, juga termasuk alat bukti lain
yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik.
Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, semakin
maraknya perkara pidana dan sesuai dengan yang telah
diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan
Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, maka surat
elektronik adalah sebagai salah satu alat bukti petunjuk.
Penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian
kepustakaan dengan metode penulisan menggunakan
pendekatan kualitatif dengan hasil penelitian yang bersifat
Evaluatif-Deskriptif-Analitis."
2004
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahala David Domein
"Keterangan ahli sebagai alat bukti dalam peradilan pidana semakin mendesak dalam proses pembuktian karena sifat pembuktian yang semakin ilmiah. Namun, di Indonesia pengaturan terkait keterangan ahli sangat minim dan tidak menyeluruh. Keadaan ini berdampak pada permasalahan terkait posisi ahli terhadap pihak dalam perkara. Beberapa kasus gugatan terhadap ahli terjadi belakangan ini di Indonesia karena ketidakpastian ini. Pada praktik peradilan pidana di berbagai negara, terdapat perbedaan kebijakan mengenai perlindungan ahli dalam bentuk hak imunitas. Oleh karena itu, skripsi ini akan membahas mengenai pertanggungjawaban ahli terhadap para pihak dalam peradilan pidana dan hak imunitas yang secara khusus diberikan kepadanya, kemudian dikaitkan dengan posisi serta kualifikasi ahli. Penelitian ini bersifat deskriptif dan bertujuan untuk mencari permasalahan dari suatu fenomena. Penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan dari berbagai bahan hukum untuk dapat menganalisis penerapannya di Indonesia pada pertimbangan hakim dalam putusan No. 47/Pdt.G/2018/PN.CBI, selain itu ditambah data hasil wawancara dari penegak hukum dan ahli sendiri. Penelitian ini menyimpulkan bahwa diperlukan kebijakan yang tegas mengenai posisi ahli terhadap para pihak supaya ada kepastian mengenai pertanggungjawaban ahli. Maka dari itu, disarankan agar dibentuk suatu pengaturan yang tegas dan komprehensif mengenai ahli dengan mempelajari perkembangan di negara dengan berbagai sistem peradilan pidana, misalnya Amerika Serikat dan Belanda.

Expert testimony as means of evidence in criminal justice system is increasingly urgent in the also increasingly scientific nature of proof. Meanwhile, in Indonesia, regulations relating to expert and expert testimony are minimal if any and are not comprehensive. This problem affects, foremost, the position of expert toward parties in the case. Several cases of claims against expert have recently arisen in Indonesia because of this problem. In criminal justice practices across countries, there are different policies regarding expert legal protection in the form of immunity rights. Therefore, this thesis will discuss the expert liability towards parties in criminal justice system and immunity that specifically given to experts, then connected with the position and qualification of experts. This research is descriptive by nature and aims to find the problem of this phenomenon. This research was conducted with a literature study of various legal materials then to analyze the application in Indonesia, particularly in decision No. 47/Pdt.G/2018/PN.CBI. with addition to the data interviews with law enforcer and expert themselves. This research concludes that a firm policy is needed regarding the position of expert toward parties in the case so that there is certainty on expert’s liability. Therefore, this research recommends that a firm and comprehensive regulation need to be established regarding expert by considering developments in countries with various criminal justice systems, for example the United States of America and Netherlands."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aaron Pietter
"Perjanjian secara lisan merupakan suatu hal yang tidak bisa lepas di dalam kehidupan sehari-hari manusia. Disetiap momen dalam kehidupan sudah dapat dipastikan bahwa kita sebagai manusia selalu melaksanakan ataupun membuat suatu perjanjian secara lisan baik secara sadar maupun secara tidak sadar. Dalam lingkup persidangan, perjanjian secara lisan pun digunakan sebagai suatu media untuk membuktikan dalil yang disampaikan oleh pihak yang bersengketa agar mencapai pemenuhan hak dan kewajiban bagi pihak yang terikat dalam perjanjian secara lisan tersebut. Perjanjian secara lisan tersebut memiliki kekuatan dan tingkat efektivitas sendiri dalam menjadi alat bukti dihadapan persidangan apabila dibandingkan dengan alat bukti lainnya yang sah. Untuk meneliti bagaimana penerapan dan tingkat efektivitas suatu perjanjian secara lisan sebagai alat bukti dihadapan persidangan, perlu diteliti bagaimana peraturan dan ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian secara lisan serta perlu dilakukan analisa perbandingan putusan yang telah dipilih oleh Penulis dalam menentukan tingkat efektivitas masing masing perjanjian secara lisan di dalam Putusan tersebut.

Verbal agreement is something that cannot be separated in our daily life. It is confirmed that in every moment we always make a verbal agreement consciously or unconsciously. Within the scope of the court, verbal agreement is also used by the parties to prove their arguments so they can earn their rights and fullfill the other party obligations. Compared to the other type of evidence, verbal agreement have its own power and effectiveness level when being used as a legitive evidence before the court. To observe about the application and effectiveness of a verbal agreement as a legitive evidence before the court, it is necessary to examine how the rules and regulations regulate the verbal agreement and do a comparative analysis about the sentence that the writer have selected in determining the level of effectiveness of the verbal agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarisha Jasmine Arqietha
"Alat bukti dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya perbuatan tindak pidana, yang dibutuhkan dalam sistem pembuktian persidangan yang bersifat legally guilt. Dalam hal ini, keterangan saksi memiliki kedudukan penting dalam pembuktian dengan memuat informasi mengenai alur terjadinya suatu kejahatan. Saksi bisa saja melakukan penyimpangan hukum dikarenakan kepentingannya dipersulit oleh pihak tertentu sehingga melakukan tindak pidana. Kekuatan pembuktian dalam menetapkan perubahan status saksi menjadi tersangka perkara tindak pidana korupsi berdasarkan konsep factual guilt berdasarkan Pasal 183 KUHAP setidaknya harus memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti yang menunjukkan saksi tersebut secara formil dan materil memiliki keterlibatan untuk dijadikan tersangka agar pembuktian dapat dilakukan. Skripsi ini membahas mengenai kekuatan pembuktian alat bukti dalam menetapkan perubahan status saksi menjadi tersangka berdasarkan konsep legally guilt dan factual guilt dimana penerapan konsep keduanya diterapkan dalam proses persidangan tindak pidana korupsi, dengan menggunakan metode doktrinal dengan pendekatan kualitatif serta menggunakan bahan kepustakaan. Penelitian ini menemukan bahwa putusan pengadilan dapat digunakan sebagai alat bukti surat dalam menetapkan saksi menjadi tersangka, yang dibutuhkan Jaksa Penuntut Umum sebagai bukti dalam pembuktian factual guilt. Kemudian proses persidangan dapat dilanjutkan apabila Jaksa Penuntut Umum yakin bahwa alat bukti yang ada dapat menimbulkan keyakinan hakim dalam pembuktian berdasarkan konsep legally guilt.

Evidence is used as evidentiary material in order to create a judge's belief in the truth of the existence of a criminal act required in a trial evidence system that is legally guilt. In this case, witness' testimony has an important position in evidence by the information about the flow of a crime. Witnesses may commit legal deviations because their interests are complicated by certain parties so that they commit criminal acts. The strength of proof in determining the change in the status of a witness to a suspect in a corruption case based on the concept of factual guilt, based on Article 183 of the Criminal Procedure Code, must fulfill at least 2 pieces of evidence that show that the witness formally and materially has involvement to become a suspect so that proof can be carried out. This thesis discusses the evidentiary power of evidence in determining changes in the status of witnesses to suspects based on the concepts of legally guilt and factual guilt where the application of both concepts is applied in the trial process for corruption crimes, using doctrinal methods with a qualitative approach and using library materials. This study found that court decisions can be used as written evidence in determining witnesses to be suspects needed by the Public Prosecutor as evidence in proving factual guilt. Then the trial process can be continued if the Public Prosecutor believes that the existing evidence can lead to the judge's confidence in proving based on the concept of legally guilt."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nababan, Adetya Evi Yunita
"Skripsi ini membahas penerapan asas unus testus nullus testis dalam praktik peradilan pidana di Indonesia serta kekuatan pembuktian keterangan saksi de auditu berdasarkan KUHAP yang melekat pada keterangan penyidik dalam pertimbangan majelis hakim sebagai salah satu akibat yang ditimbulkan dari kelemahan penerapan asas unus testis nullus testis. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak semua hakim yang memeriksa perkara pidana dapat menerapkan dengan tepat ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang lebih dikenal dengan asas unus testis nullus testis.
Terdapat respon yang berbeda terkait penerapan asas tersebut. Hal ini karena belum ada peraturan yang mengakomodir kelemahan dari asas tersebut, yaitu keterbatasan alat bukti yang tersedia dalam suatu tindak pidana. Selain itu, penelitian ini juga akan memperlihatkan perbandingan atas tanggapan para hakim Indonesia dan tanggapan hakim di peradilan Negara bagian dalam menilai kekuatan pembuktian saksi de auditu (hearsay evidence). Peranan aktif hakim dalam menemukan kebenaran materiil melalui perannya menentukan kekuatan pembuktian keterangan saksi yang memiliki kekuatan pembuktian bebas juga dipaparkan dalam penelitian ini.

The focus of this study is the application of the principle unus testis nullus testis in the practice of criminal justice in Indonesia as well as the strength of evidence on witness testimony de auditu based on Indonesian Criminal Procedure are attached to the description of the investigator in the judges?verdict as one of the weakness from the application of the principle 'unus testis nullus testis'. The research method used is this study is normative literature. The results of this study indicate that not all judges are examining a criminal case by applying the appropriate provisions of Article 185 paragraph (2) Indonesian Criminal Procedure Code which is better known as the principle of unus testis nullus testis.
There are different responses related to the application of this principle. This is because there is no regulation that accommodate the weaknesses of this principle, namely the limitations of the available evidence in a criminal act. In addition, this study will also show the comparison of the responses of the judges of Indonesia and the responses of judges in Texas state courts in assessing the strength of evidence the witness de auditu (Hearsay evidence). The study also describes the active role of judges in finding the material truth through its role to determine the strength of statements of witnesses evidence who have the independent verification power.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S398
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Radinal
"Ketentuan mengenai saksi dalam hukum acara pidana di Indonesia yang selama ini diatur dalam Pasal 1 angka 26 dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap melaui putusan Mahkamah Konstitusi nomor 65/PUU-VIII/2010. Dengan adanya putusan tersebut maka perlu dilihat bagaimana sifat dari putusan tersebut mempengaruhi baik kedudukan saksi dalam hukum acara pidana di Indonesia, maupun dalam hukum acara pidana pada umumnya, yang mana kedudukan saksi untuk dapat memberikan keterangan saksi dalam suatu perkara pidana dianggap cukup penting.

The provisions on witness in criminal procedure law in Indonesia provided in article 1 points 26 and 27, article 65, article 116 subsection (3) and subsection (4) and Article 184 subsection (1) letter a Law No. 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure (Indonesian Code of Criminal Procedure) is declared to be contrary to Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 and has no absolute legal force of law according to the Constitutional Court Award No. 65/PUU-VIII/2010. Following the ruling, the is necessity to see how the nature of the decision affects the position of witness both in criminal procedure law in Indonesia, as well as in the law of criminal procedure in general, considering the importance of the witness competence in giving testimony for the criminal trial."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42816
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>