Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 213516 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ryandi Dwi Prakoso
"Empat spesies ikan yang berasal dari wilayah tenggara Kalimantan, yaitu Rasbora cf. volzi, R. cf. elegans, R. cf. trifasciata, dan R. cf. bankanensis telah diideskripsikan. Deskripsi dilakukan dengan mengukur morfometrik, menghitung meristik, mendeskripsikan pola pigmentasi, dan diuji dengan PCA. Rasbora cf. volzi dapat dibedakan dengan spesies lainnya berdasarkan adanya: pola pigmentasi pada garis mediolateral berbentuk pita, retikulasi basal dapat terlihat di 5 baris sisik longitudinal dari bagian atas gurat sisi, dan retikulasi periferal terlihat 4 baris sisik longitudinal dari bagian dorsal. Rasbora cf. elegans dapat dibedakan dengan spesies lainnya berdasarkan adanya: pola pigmentasi garis mediolateral yang berbentuk persegi panjang pada pertengahan samping tubuhnya, retikulasi basal terlihat 4 baris sisik longitudinal dari bagian atas gurat sisi, dan retikulasi periferal terlihat 3 baris sisik longitudinal dari bagian dorsal. Rasbora cf. trifasciata dapat dibedakan dengan spesies lainnya berdasarkan adanya: terdapat pola pigmentasi basicaudal spot, jarak antara gurat sisi dengan sirip ventral hanya 1 sisik, dan memilki sisik circumferential ½ 4, 1, 1 ½. Rasbora cf. bankanensis dapat dibedakan dari spesies lainnya dengan melihat ciri-ciri sebagai berikut: tidak memiliki basicaudal spot, jarak antara gurat sisi dengan sirip ventral 2 sisik, terdapat noktah hitam di jari-jari sirip anal, dan memiliki jumlah sisik circumferential ½ 4, 1, 2 ½. Keempat spesies tersebut termasuk ke dalam kelompok spesies Rasbora sumatrana (Rasbora cf. volzi dan R. elegans), dan kelompok spesies Rasbora trifasciata (R. cf. trifasciata dan R. cf. bankanensis).

Four species of fishes, Rasbora cf. volzi, R. cf. elegans, R. cf. trifasciata, and R. cf. bankanensis, are described from southeastern Kalimantan. Description is done by measuring morfometrics, counting meristics, seeing the color pattern, and tested by PCA. Rasbora cf. volzi is distinguished from the other species by having the black medial lateral stripe forming a thick line, basal reticulation covering five longitudinal scale rows from dorsal lateral line, and peripheral reticulation covering four longitudinal scale rows along dorsolateral portion of body. Rasbora cf. elegans is distinguished from the other species by having the black medial lateral stripe forming a square profile in the middle of their body, basal reticulation covering four longitudinal scale rows from dorsal lateral line, and peripheral reticulation covering three longitudinal scale rows along dorsolateral portion of body. Rasbora cf. trifasciata is distinguished from the other species by having basicaudal spot, having one scale between lateral line and ventral fin, and having circumferential formula ½ 4, 1, 1 ½. Rasbora cf. bankanensis is distinguished from the other species by not having basicaudal spot, having two scale between lateral line and ventral fin, having a black spot in anal fin rays, and having circumferential formula ½ 4, 1, 2 ½. These species are from the Rasbora sumatrana-Group (Rasbora cf. volzi and R. elegans), and the Rasbora trifasciata-Group (R. cf. trifasciata and R. cf. bankanensis).
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S57245
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"kan Bada (Rasbora argyrotaenia) merupakan salah satu komoditas ikan asli di Danau Maninjau-Sumatera Barat. Ikan tersebut memiliki nilai ekonomis sebagai sumber protein masyarakat lokal, dan juga sangat berpotensi sebagai ikan hias. Kebutuhan terhadapnya selama ini masih mengandalkan hasil penangkapan, yang tentu saja sangat terbatas dan dikhawatirkan dapat menyebabkan penurunan populasi ataupun kepunahan bila tidak diimbangi dengan upaya pelestariannya. Usaha pelestariannya telah mulai dirintis dengan mencoba mengembangkannya. Penelitian ini ingin mengetahui kemampuan adaptasi ikan tersebut pada beberapa tingkat suhu media pemeliharaan, guna memprediksi kemampuannya dalam menghadapi pemanasan global apabila benar-benar berlangsung dan juga untuk mengetahi suhu terbaik untuk pengembangannya. Penelitian dilakukan pada bulan JuliOktober 2009 di Pusat Penelitian Limnologi-LIPI, Cibinong. Masing-masing 30 individu anak ikan bada umur 1,5 bulan dipelihara pada beberapa kisaran suhu air pemeliharaan yaitu: 24,526,0oC (kontrol);>2628 oC; >2830 oC; >3032 oC; dan >3234oC. Parameter adaptasi yang dianalisis yaitu ketahanan hidup dan pertumbuhannya. Hasil menunjukkan bahwa ikan bada mampu beradaptasi untuk hidup pada empat kisaran suhu dengan sintasan akhir antara 6070 persen, sedangkan pada kisaran suhu >3234oC ikan hanya mampu hidup selama 1 bulan dengan sintasan sebesar 19,85 persen, Pertumbuhan terbaik diperoleh pada kisaran suhu normal (kontrol) dengan pertumbuhan mencapai 30,74 mm atau pertumbuhan harian 0,256 mm/hari."
551 LIMNO 20 (1-2) 2013
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"ikan rasbora argyrotaenia merupakan ikan aslib yang tersebar luas di wilayah perairan darat Indonesia."
2010
551 LIMNO 17:2 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Budidaya ikan bada (Rasbora argyrotaenia) secara ex-situ diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sumber protein hewani masyarakat di sekitar Danau Maninjau, Sumatera Barat. Salah satu permasalahan umum dalam budidaya perikanan adalah senyawa nitrogen amoniak dan nitrit yang bersifat toksik bagi ikan. Kedua senyawa tersebut merupakan hasil dekomposisi secara mikrobiologis bahan-bahan organik, termasuk feses. Penelitian dilakukan di Puslit Limnologi LIPI selama 15 minggu dengan kepadatan ikan 4, 8, dan 12 ekor/akuarium. Pemantauan terhadap parameter pH, suhu, oksigen terlarut, amonia, nitrit, dan nitrat, dan produksi feses dilakukan setiap minggu selama 6 minggu. Adapun pertumbuhan dan sintasan ikan bada dipantau setiap minggu masing-masing selama 13 dan 15 minggu. Pada akhir pengamatan kadar amonia dan nitrat mengalami kenaikan di semua tingkat kepadatan ikan, sementara kadar nitrit berfluktuasi. Kadar amonia, nitrit, dan nitrat tertinggi di setiap pengamatan ditemukan pada kepadatan 12 ekor/akuarium, lalu berturut-turut diikuti oleh kepadatan 8 dan 4 ekor/akuarium. Pertumbuhan berat harian ikan bada selama 13 minggu pada kepadatan 12 ekor, 8 ekor, dan 4 ekor/akuarium masing-masing sebesar 0,0119 g, 0,0119 g, dan 0,0110 g. Sintasan pada 2 bulan pertama masing-masing 100%, sedangkan sintasan sampai 16 minggu pemeliharaan pada kepadatan 12 ekor/akuarium hanya mencapai 67%."
551 LIMNO 18:2 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Poppy Intan Tjahaja
"ABSTRAK
Penelitian tentang cicak rumah dari genus Hemidactylus dan Cosymbotus sangat jarang dilakukan. Pada tahun 1915 pernah dilakukan inventarisasi genus Hemidactylus beserta distribusinya di Indonesia. Karena berubahnya kondisi lingkungan maka perlu dilakukan kembali inventarisasi Hemidactylus dan Cosymbotus beserta distribusinya di Indonesia.
Dalam penelitian ini dilakukan penghitungan jumlah lamellae pada jari kaki, jumlah lubang femoral pada hewan jantan, serta pengukuran beberapa bagian tubuh Hemidactylus dan Cosymbotus.
Dari hasil inventarisasi terhadap sampel yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, dijumpai 3 spesies Hemidactylus, yaitu: H. frenatus, H. brooki, dan H. garnoti, serta 1 spesies Cosymbotus, yaitu C. platyurus. H. frenatus dan C. platyurus terdapat hampir di seluruh kepulauan Indonesia. H. brooki hanya terdapat di pulau Alor, Flores, Roti, Sumba, dan Sulawesi. Sedangkan H. garnoti terdapat di pulau Sumatera, Jawa, Lombok, Sumba, Kalimantan, dan Sulawesi.
Jumlah lamellae pada jari kaki Hemidactylus dan Cosymbotus tidak dapat dipakai untuk membedakan spesies. Sedangkan jumlah lubang femoral, serta ukuran beberapa bagian tubuh dapat digunakan untuk membedakan spesies."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzia Humaida
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik lima spesies ikan cupang menggunakan DNA mitokondria 16S rRNA sebagai DNA target. Amplifikasi daerah 16S rRNA dilakukan menggunakan primer 16S rRNA forward dan 16S rRNA reverse. Hasil elektroforesis produk PCR menunjukkan bahwa daerah 16S rRNA lima spesies ikan cupang berukuran 500?600 bp. Berdasarkan hasil alignment sekuens sampel, menunjukkan bahwa terdapat keragaman genetik dari kelima spesies ikan cupang. Analisis filogenetik menggunakan metode Neighbor Joining (NJ), menunjukan kekerabatan lima spesies ikan cupang. Betta unimaculata, Betta pallifina, dan Betta strohi yang merupakan spesies dari Kalimantan berkerabat dekat dibandingkan dengan Betta bellica dan Betta imbellis yang berasal dari Sumatera. Kekerabatan spesies ikan cupang yang berasal dari Kalimantan dan Sumatera cukup jauh, yaitu ditunjukkan dengan perbedaan percabangan dalam pohon filogenetik.

This study aims to determine the genetic variation of five species Betta fish using mitochondrial DNA 16S rRNA as the DNA target. The primer set of 16S rRNA forward and 16S rRNA reverse were used to amplify the 16S rRNA region. Gel electrophoresis result showed that the size of 16S rRNA of those Betta fish were 500?600 base pair. Based on sequence alignment result that showed genetic diversity of five spesies Betta fish. Phylogenetic analysis by Neighbor Joining (NJ) method showed a genetic relationship or kinship of five spesies Betta fish. Betta unimaculata, Betta pallifina, and Betta strohi from Kalimantan are related more closely compared to Betta imbellis and Betta bellica from Sumatera. Kinship of Betta fish from Kalimantan is far enough with Betta fish from Sumatera, that indicated by the difference in the cluster of phylogenetic tree.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S57128
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wita Wardani
"Athyrium adalah marga paku sejati dari suku Athyriaceae yang beranggotakan 160-220 jenis, yang sebagian besar anggotanya berada di Asia Timur. Delapan jenis Athyrium yang diketahui dari Jawa dan dua jenis dari Bali belum pernah dievaluasi kekerabatannya, baik secara morfologi maupun molekuler. Kajian filogenetika molekuler dilakukan dengan menggunakan lima marka kloroplas DNA dari total 78 sampel yang 22 sampel diantaranya baru diperoleh dalam penelitian ini. Kajian fenetik difokuskan pada penguraian kekerabatan berdasarkan kesamaan morfologi pada kelompok Athyrium nigripes yang mengalami permasalahan penyematan nama secara tidak konsisten. Hasil analisis menunjukkan bahwa A. nigripes Jawa dan Bali berbeda dari sampel yang berasal dari Cina, yang menguatkan pendapat bahwa penggunaan nama tersebut dalam flora daratan Cina adalah tidak tepat. Karakter yang bermanfaat dalam memisahkan jenis-jenis dalam kumpulan yang serupa ini adalah rambut-rambut pada rakis dan pina rakis, serta adanya tonjolan semacam duri pada sisi adaksial tulang-tulang daun Dengan demikian, Jawa terkonfirmasi memiliki delapan jenis sedangkan Bali dua jenis, seluruhnya merupakan jenis yang juga terdistribusi di luar Jawa dan Bali sehingga tidak ada jenis yang endemik.

Athyrium is a large genus in the Athyriaceae with 160-220 species that most of it are concentrated in the eastern Asia. Java is known to have eight species and two species from Bali, which relationship between them has not being evaluated. A molecular phylogenetic study was conducted using five chloroplast markers with 78 samples, 22 of it were newly generated. A phenetic study was carried, focused to elucidate the relationship within Athyrium nigripes based on morphological similarity. The name has been inconsistently applied to various form of bi- and tripinnate Athyrium. The analyzes show that A.nigripes of Java and Bali nested in different clade with sample from China, which prove the misapplication of the name to Chinese plants. A. pulcherrimum is closely related to A. nigripes, but here is treated as one as the differences between the two is scanty. A. erythropodum and A. nitidulum nest in different clades and are confirmed as separate species. Characters useful to differentiate species in a looked-a-likes gathering are hairs on rachis and pinna rachis, and the spine-like protuberance on the adaxial side of leaf axis. Both A. atratum and A. puncticaule are also segregated as separate species. It is now confirmed that Java has eight species and Bali has two, and none of the are endemic."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Rohmatin Isnaningsih
"ABSTRAK
Morfologi cangkang spesies-spesies anggota Famili Thiaridae memiliki variasi intra spesies yang sangat tinggi sehingga dapat menyulitkan penentuan identitas tiap-tiap spesiesnya. Studi ontogeni, mekanisme, dan strategi reproduksi merupakan pendekatan lain yang dapat digunakan untuk menyempurnakan identitas dan sistematika suatu spesies. Pengamatan terhadap morfologi cangkang pada spesies Tarebia granifera Lamarck, 1822 , Melanoides tuberculata M ller, 1774 , dan Stenomelania punctata Lamarck, 1822 menunjukkan variasi terutama pada karakter dimensi cangkang, warna cangkang, ornamen cangkang, serta kuat lemahnya garis tumbuh spiral dan aksial. Hasil studi ontogeni dan reproduksi pada ketiga spesies tersebut menunjukkan bahwa T. granifera dan M. tuberculata bereproduksi secara euvivipar, sementara S. punctata bersifat ovovivipar. Data ontogeni memperlihatkan adanya perbedaan dalam kisaran jumlah, ukuran, dan morfologi embryonic shell antara spesies T. granifera dan M. tuberculata. Jumlah embryonic shell yang tersimpan dalam subhaemocoelic brood pouch T. granifera lebih banyak 9-203 dibandingkan dengan jumlah embryonic shell yang mampu dihasilkan oleh satu individu M. tuberculata 1- 66 . Adapun kisaran ukuran embryonic shell pada T. granifera adalah 0,22-5 mm dan M. tuberculata sebesar 0,12-5,95 mm. Informasi mengenai ontogeni dan mekanisme serta strategi reproduksi selanjutnya dapat dijadikan sebagai bukti terjadinya fenomena-fenomena biologi di alam seperti kolonisasi, radiasi atau evolusi.Kata kunci : Morfologi, ontogeni, reproduksi, variasi intraspesies, Thiaridae.

ABSTRACT
The shell morphology of some Thiarid rsquo s species are known to have highly inter species variation. Hence, species identification based on morphological characters only is quite difficult. The morphological observation of species Tarebia granifera Lamarck, 1822 , Melanoides tuberculata M ller, 1774 , and Stenomelania punctata Lamarck, 1822 from Indonesia indicates that interspecies variation occur especially on the characters of shell dimensions, colour, ornaments, as well as the strength of spiral and axial growth lines. Studies on ontogeny, mechanisms and strategies of reproduction is another approach that can be used to enhance the valid identity and determination of Thiarid rsquo s species. The studies on ontogeny and reproductive of that three species reveal that T. granifera and M. tuberculata reproduces by eu viviparity while S. punctata are ovo viviparous. Ontogeny data exhibit the differences in the range number of embryonic shell as well as size between embryonic shell of T. granifera and M. tuberculata. Tarebia granifera have more embryonic shell stored in a subhaemocoelic brood pouch 9 203 individu compared with the number of embryonic shell that can be produced by one individual of M. tuberculata 1 66 individu . Tarebia granifera embryonic shell sizes ranging from 0.22 to 5 mm in height. While the size of M. tuberculata embryonic shell are between 0.12 to 5.95 mm. Information about ontogeny and mechanisms as well as reproductive strategies then can be used as an evidence of the occurrence of biological phenomenon in nature such as colonization, radiation as well as evolution.Key words Morphology, ontogeny, reproductive, inter species variation, Thiaridae "
2017
T46889
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Furqan Agussalim
"Latar Belakang Oculomycosis didefinisikan sebagai infeksi jamur pada mata, dengan Candida albicans, Aspergillus, dan Fusarium menjadi tiga etiologi yang paling umum. Insiden tahunan oculomycosis diperkirakan mencapai 1.000.000 kasus di seluruh dunia, dengan jumlah kasus tertinggi berasal dari Asia dan Afrika. Di Indonesia, lebih dari 7,7 juta orang menderita infeksi jamur, namun sangat sedikit literatur yang meneliti prevalensi oculomycosis secara spesifik. Oleh karena itu, makalah ini mengeksplorasi sebaran spesies jamur yang diperoleh dari sampel mata pasien di Jakarta, Indonesia. Metode Penelitian ini menggunakan desain deskriptif cross sectional study dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari rekam medis pasien infeksi jamur di rumah sakit di Jakarta pada tahun 2009 hingga 2020. Data tersebut disaring untuk mengetahui oculomycosis, asal sampel, dan hasil uji sensitivitas. Aplikasi program statistik untuk ilmu sosial (SPSS) 20 digunakan untuk menghitung mean, deviasi standar, dan uji-t untuk membuat representasi data secara statistik dan grafis. Hasil Terdapat 161 spesimen jamur yang dikumpulkan, 152 (94%) diantaranya diperoleh dari kornea, 5 (3,1%) vitreous humor, 2 (1,2%) alis, 1 (0,6%) fibrosis intraokular, 1 (0,6%) sekret mata. . Sampelnya adalah laki-laki sebanyak 125 orang, sedangkan perempuan sebanyak 36 orang dengan rata-rata usia 47,92 tahun. Tiga spesies dengan jumlah kasus terbanyak pada tahun 2009-2020 adalah Fusarium (n=48), Aspergillus (56), dan Dematiaceae (14). Uji kerentanan menunjukkan bahwa Fusarium rentan terhadap vorikonazol namun resisten terhadap itrakonazol (P ≤ 0,05). Kesimpulan Fusarium, Aspergillus, dan Dematiaceae sebagai tiga penyebab paling umum infeksi mata. Mayoritas pasien adalah laki-laki dan berada dalam usia produktif. Uji kerentanan menunjukkan kerentanan banyak spesies terhadap azol dan poliena.

Introduction Oculomycosis is defined as a fungal infection of the eye, with Candida albicans, Aspergillus, and Fusarium being the three most common etiologies. The annual incidence of oculomycosis is estimated to be 1,000,000 cases worldwide, with the highest prevalence in Asia and Africa. In Indonesia, over 7.7 million people have fungal infection, yet very little literature have explored the prevalence of oculomycosis specifically. Thus, this paper explores the distribution of fungal species obtained from eye samples of patients in Jakarta, Indonesia. Method The research utilizes an analytical cross sectional study design using secondary data obtained from medical records of patients with fungal infection from hospitals in Jakarta from 2009 till 2020. The records were screened for occulomycosis, the origin of the sample, and results of sensitivity test. The statistical program for social sciences (SPSS) application 20 is used to calculate descriptive statistics and t-test. Results There are 161 fungal isolates collected, 152 (94%) of which were obtained from the cornea, 5 vitreous humor, 2 eyebrow. 125 of samples were male patients, while the remaining 36 were female, with an average age of 47.92 years. The three species with the highest number of cases from 2009-2020 are Fusarium, Aspergillus, and Dematiaceae. Susceptibility tests indicate that Fusarium was susceptible to voriconazole but resistant to itraconazole (P ≤ 0.05). Conclusion Fusarium, Aspergillus, and Dematiaceae as the three most common cause of ocular infection. Majority of patients were male and within the productive age. Susceptibility test shows susceptibility of many species to azoles and polyene."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>