Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101546 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
"The study that located at southern of Lembeh Strait, Bitung, North Sulawesi, include five locations, those are Kandang ayam, Tanjung Merah, Dermaga Penyu and Pin-pin...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Adji Sasongko
"Telah dilakukan penelitian ekologi Pinna muricata yang mencakup kepadatan, morfometri cangkang, sudut posisi kedudukannya lerhadap garis pantai, serta hubungannya dengan kepadalan dan biomassa lamun Cymodocea rotundata di Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan Pinna muricata hanya ditemukan di antara lamun Cymodocea rotundata di 6 transek dari 16 transek yang digunakan, 4 transek (transek 7- 10) di bagian Selatan dan 2 transek (transek 12 dan lj) di bagian Utara. Kepadatan terbanyak terdapat di bagian Selatan pulau (0,6 individu per m3}, sedangkan di bagian Utara puiau kepadalannya hanya mencapai 0,03 individu per m2. Pinna muricata mempunyai panjang cangkang yang berkisar antara 12,5 - 17 cm dengan rata-rata 14,25 cm, sedangkan lebar cangkang berkisar antara 7 - 11,4 cm dengan rata-rata 8,43 cm. Sudut kedudukan Pinna muricata terbanyak (17%) antara 130" - 139° terhadap garis pantai. Kepadalan dan biomassa akar lamun Cymodocea roiundata tidak berkorelasi atau tidak ada hubungannya dengan jumlah Pinna muricata, sedangkan bkimassa daun menunjukkan korelasi negative (R= -0,36).

We examined fan mussel Pinna muricata (Mollusca, Bivalvia) such as the density, shell morphomeiry, angel of shell position against the shoreline, as well as his correlations with the density and the biomass of seagrass Cymodocea rotundata in the Semak Daun Island, Jakarta Bay. Results of Ihe research pointed out Pinna muricata were found only in seagrass meadows Cymodocea rotundata in 6 transects from 16 transects lhat was used, 4 transects (transect 7 - 10) on the South and 2 transects (transect 12 and 13) at the North of Island. The Pinna density was recorded 0.6 individuals per m2 at the southern of the island, whereas at the northern of the island only reached 0.03 individuals per m2. The length and wide of shells were measured between 12,5 - 17 cm (average 14,25 cm) and between 7 ? 11,4 cm (average 8,43 cm) respectively. The most angle of shell positions were measured between 120° - 139" against the shoreline. The density and the leave biomass seagrass Cymodocea rotundata did not correlate with the density of Pinna, whereas the root biomass have negative correlation (R= - 0,36)."
[place of publication not identified]: Sains Indonesia, 2003
SAIN-8-1-2003-1
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hikmah Thoha
"Penelitian Kelimpahan Fitoplankton di Ekosistem Perairan Teluk Gilimanuk, Taman Nasional, Bali Barat telah dilakukan pada bulan Maret 2006. Pengamatan difokuskan pada komunitas fitoplankton dan zooplankton di sepuluh titik stasiun pengamatan. Variasi kelimpahan plankton rata-rata antar kelompok lokasi adalah 4428 - 1716224 sel/m3 dan 23938 individu/m3 (67,73 %) masing-masing untuk fitoplankton dan zooplankton. Struktur komunitas fitoplankton didominasi oleh kelompok diatom dengan tercatat ada 5 (lima) yaitu: Coscinodiscus, Chaetoceros, Guinardia, Navicula, Pseudonitzshia. Namun genus yang pre dominan (> 10 %) adalah Coscinodiscus dengan kelimpahan sebesar 664,665,97 sel/m3 (99,47%) di stasiun 5. Dari kelompok dinoflagellata , hanya marga Ceratium dengan kelimpahan tertinggi di stasiun 7 sebesar 324609 sel/m3 dengan lokasi arah ke atas pulau burung tapi masih dalam kondisi normal. Struktur komunitas makroplankton didominasi oleh kelompok Copepoda terutama Calanoida, Cyclopoida dan Nauplius copepoda dengan kepadatan tinggi yaitu lebih dari 50%. Di sisi lain, informasi tentang ekosistem hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang serta fauna yang berasosiasi dalam ekosistem tersebut di kawasan pesisir Gilimanuk masih sangat kurang, maka perlu dilakukan penelitian yang dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat konsep pengelolalaan sumberdaya laut dikawasan tersebut.

Plankton abundance in Gilimanuk Bay of National Park Ecosystem, West Bali. An observation of plankton condition in Gilimanuk Bay of National Park, West Bali was conducted during March 2006. This study aimed to observ the environmental quality of Gilimanuk Bay water. The parameters observed were focused on the phytoplankton and zooplankton communities. Ten points of observation was done. Plankton abundance varied with location group from 4428 to 1716224 sel/m3 and 23938 individu/m3 (67.73 %) for microplankton and macroplankton, respectively. Microplankton community structure was dominated by the group of diatoms, such as Coscinodiscus, Chaetoceros, Guinardia, Navicula. Pseudonitzshia. The genus Ceratium (the group of dinoflagellates) was found in relatively abundant, but still normal condition. The structure of macroplankton was dominated by copepods 23938 individu/m3 (67.73 %). The other hand, information about mangrove, sea grass and coral reef and asssosiation with fauna in these ecosystem of Gilimanuk Bay very rarely. We need observed this subject for base line data to improving management of marine resources development."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2007
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sulaiman Mamar
"ABSTRAk
Pembangunan masyarakat desa sudah lama menjadi bahan perbincangan para perencana pembangunan dan obyek penelitian para ilmuan, terutama di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Obyek pembahasannya biasa difokuskan pada bidang-bidang tertentu seperti: masalah kependudukan dan lingkungan hidup, masalah kesehatan, masalah pendidikan, masalah pertanian, masalah perikanan dan lain-lain yang pada dasarnya mencari jalan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
Masalah perikanan yang tersebut terakhir termasuk salah satu diantaranya yang mendapat prioritas dan telah digalakkan pembangunannya oleh pemerintah Indonesia sejak beberapa tahun belakangan ini sesuai dengan arah pembangunan melalui Pelita demi Pelita. Pada Pelita kelima (GBHN 1988: 67-68) antara lain disebutkan :
?? Perhatian khusus perlu diberikan kepada usaha perlindungan dan pengembangan perikanan rakyat dalam rangka meningkatkan pendapatan dan taraf hidup nelayan serta memajukan desa-desa pantai. Dalam usaha pengembangan tersebut perlu ditingkatkan peranan koperasi serta keikutsertaan usaha swasta".
Berdasarkan arah dan tujuan pembangunan perikanan rakyat dan desa-desa pantai tersebut, maka pemerintah melalui para ilmuan dan perencana pembangunan telah menggalakkan aktivitas pembangunan perikanan dengan cara mengintroduksi teknologi perikanan berupa perahu motor tempel beserta alat penangkap ikan yang canggih. Menurut hasil survey sosial ekonomi perikanan laut (Dirjen Perikanan, 1978: 10), pembangunan perikanan laut melalui introduksi perahu motor tempel telah dilakukan sejak tahun 1955 sampai tahun 1980-an. Akan tetapi hasilnya belum banyak memperlihatkan peningkatan pendapatan dan taraf hidup para nelayan didesa-desa pantai Indonesia. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan sebagai faktor penyebabnya, antara lain:
1. Masalah kemiskinan yang sampai kini masih mendominasi sebagian besar rumah tangga nelayan. Pada tahun 1982/1983 tercatat sekitar 60% rumah tangga nelayan masih berada di bawah garis kemiskinan (lihat Buletin Nelayan, 1982: 1).
Karena para nelayan tergolong miskin, maka mereka tidak memiliki modal, kurang memiliki skill dan jaringan sosial yang memungkinkan mereka memiliki serta mengoperasikan peralatan modern. Dengan demikian, para nelayan tetap mempergunakan peralatan dan cara-cara tradisional dalam menangkap ikan. Menurut Soegiarto (dalam Pieris, 1998: 47), sampai sekarang ini 95% produksi ikan di Indonesia berasal dari rakyat dengan cara penangkapan tradisional.
2. Masalah mekanisasi yang bukan sekedar memperkenalkan teknologi, tetapi membawa dampak sosial budaya dan lingkungan yang tidak kecil. Misalnya terjadi ketegangan dan kerawanan sosial dikalangan para nelayan, menurunnya jumlah rumah tangga nelayan, dan terjadinya pengurusan sumber hayati ikan pada wilayah-wilayah perairan terentu (Lubin dalam Buletin Nelayan, 1982: 4), yang tidak diikuti dengan meningkatkannya kesejateraan mereka. Akibatnya dapat diperkirakan semakin meningkatnya kesenjangan antara pemilik modal dan nelayan kecil. Hal itu tercermin dalam kasus-kasus ketegangan yang teriadi dikalangan para nelayan.
Ketegangan dan kerawanan sosial yang telah terjadi sebagai konsenkuensi penerapan teknologi yang tidak dimaksudkan (Unitended concenquences) antara lain seperti kerusuhan dan pembakaran rumah serta perahu motor di Muncar Bayuwangi (lihat Emerson, 1977), Kasus kemacetan kredit perahu motor dan dikenakannya PHK buruh nelayan di Jawa Tengah (Buletin Nelayan, 1983: 9), Kasus bentrokan antara nelayan tradisonal dan nelayan pukat teri di Sumatra Utara (Wudianto dalam Buletin Nelayan, 1983: 21), dan masih banyak kasus lain yang tidak sempat dikemukan dalam bagian ini.
Sementara itu, menurunnya sumberdaya ikan di wilayah perairan tertentu terutama disebabkan oleh adanya pemusatan pengoperasian alat penangkap ikan yang canggih yang dilakukan oleh dilakukan oleh investor asing. Misalnya, di perairan Selat Malaka, selat Sulawesi, pantai utara Jawa, perairan Riau dan lain telah terjadi overfishing (Lubis dalam Buletin Nelayan, 1984, Mubyarto, 1988). Bahkan di perairan Jepara pada tahun 1973 sampai dengan 1977, setiap, nelayan mengalami penurunan hasil tangkapan sebesar 58% (Plubyarto, 1984: 1B). Peta tingkat pemanfaatan ikan di?.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kalang, Ferdy
"Penelitan ini dimaksudkan untuk mengevaluasi proses pelaksanaan program pembentukan kader konservasi di Kawasan Taman Nasional Tanjung Puling Kecamatan Kumai Kabupaten Kotawaringin Barat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan sumber data dari observasi, dokumentasi dan infomian. Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara terhadap informan yang terkait, dokumentasi terhadap laporan tertulis dan observasi lapangan. Pemeriksaan terhadap data didasarkan kriteria derajat kepercayaan, keteralihan, kebergantungan dan kriteria kepastian. Kegiatan analisis data berupa mereduksi, menyajikan dan menarik kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masukan program berupa aspek Manusia (Human) ketentuan persyaratan untuk masyarakat sasaran program dapat dipenuhi, penyelenggaraan kegiatan program lebih berkesan sebagai kepentingan administratif, kesadaran dan partisipasi masyarakat sekitar sangat menentukan efektifitas program ini. Aspek Sumberdaya (Material) secara ekonomis program ini diharapkan memberikan tambahan penghasilan bagi masyarakat, program ini adalah (bentuk dan cakupan) kegiatan menyesuaikan pada dana/biaya yang tersedia, panitia mampu memanfaatkan fasilitas yang ada dan mobilisasi perlengkapan cukup efektif. Aspek Gagasan (Ideational) pemetaan terhadap harapan melakukan perubahan dalam jangka pendek, menengah .dan panjang belum cukup jelas, rancangan program disusun dengan komposisi materi mencakup hal-hal yang menurut persepsi penyelenggara dibutuhkan dan dianggap penting, model pengajaran andragogik dirasakan tepat dalam mendukung tujuan untuk melakukan perubahan, kegiatan yang dilakukan bersifat memberi contoh dan disertai dengan sistem insentif yang memadai bagi tindakan yang mendukung, untuk mencapai tujuan konservasi, harus dipikirkan kompensasi yang seharusnya diterima masyarakat. Proses pelaksanaan mencakup aspek rencana intervensi yang dipersiapkan terlalu berat dan sulit untuk dapat dikerjakan secara optimal. Aspek program sebagaimana adanya berupa mekanisme penetapan kader mengingkari prinsip partisipatoris.
Kesimpulan menunjukkan bahwa proses kegiatan program sudah sesuai dengan kondisi normatif, pembentukan kader konservasi dilakukan dalam jenjang atau tingkatan, Panitia kader konservasi selalu berasal dari tenaga struktural dan fungsional, masyarakat yang tinggal disekitar kawasan merupakan pihak paling berkepentingan dengan kegiatan program. Dana program bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, kegiatan pendidikan tidak mengakomodasikan kebutuhan dan persoalan lapangan, fasilitas sudah tercakup dalam pembiayaan, pertengkapan disiapkan sebelumnya bekerjasama dengan mils kerja Balai Taman Nasional Tanjung Puling. Filosofi yang dianut adalah melakukan perubahan terhadap cara berpikir, bersikap dan bertingkah laku ke arah positif. Kurikulum dirancang dengan mengacu pada kebutuhan normatif, kegiatan didominasi oleh model paedagogi, kompetensi dan onentasi administratif yang terlalu kuat menjadi kendala upaya mefakukan perubahan, keterikatan masyarakat secara ekonomis, kultural maupun spritual harus menjadi fokus tindakan konservasi, upaya intervensi terlalu banyak yang dibebankan pada kader konservasi.
Faktor yang mempengaruhi berhasilnya program antara lain adanya permainan yang bertemakan konservasi, adanya keseriusan Balai Taman Nasional Tanjung Puling memberikan pemahaman kepada masyarakat, praktek lapangan yang selalu dilaksanakan dalam kawasan konservasi, pembinaan kader melalui Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia, adanya dukungan masyarakat menyediakan fasilitas dan mendampingi peserta dalam kegiatan di lapangan.
Sedangkan untuk saran, penulis merekomendasikan beberapa butir, diantaranya perlu adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban kader konservasi, tingkatan kader konservasi yang jelas, kebutuhan pendidikan yang compentence based. Waktu pelaksanaan pendidikan sesuai dengan rencana dan menyesuaikan waktu libur untuk peserta dari kalangan pelajar dan mahasiswa."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13938
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muschan Ashari
"Perairan Kabupaten Bengkalis dan sekitarnya, merupakan salah satu perairan yangintensif dengan kegiatan pemanfaatan sumberdaya udang jerbungnya. Data produksiudang jerbung 540,38 ton tahun 2014 lebih tinggi dibandingkan dengan spesiesudang lainnya 317,7 ton . Penelitian ini dilaksanakan di perairan KabupatenBengkalis pada Januari 2014 sampai dengan November 2014. Data dikumpulkanmelalui metode survei dan wawancara. Tujuan penelitian adalah menganalisis statusstok udang jerbung berdasarkan aspek biologi, potensi lestari, dan tingkatpemanfaatannya, serta menentukan opsi pengelolaanya. Analisis data menggunakan2 model kajian yaitu: 1 model analitik terdiri dari analisis panjang berat,pertumbuhan, dan mortalitas sumberdaya udang di perairan Bengkalis menggunakanprogram FISAT II; 2 model holistik terdiri dari analisis CPUE dan upayapenangkapan untuk mengetahui potensi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdayaudang jerbung saat ini. Pola pertumbuhan udang jerbung bersifat alometrik negatifartinya pertumbuhan panjang lebih cepat daripada pertumbuhan beratnya, sementarafaktor kondisi udang jerbung betina lebih luas daripada udang jerbung jantan; Ratarataukuran pertama kali tertangkap Lc lebih besar daripada rata-rata ukuranpertama kali matang gonad Lm yang menunjukkan tingkat pemanfaatan saat inimasih mendukung kelestarian sumberdaya udang; Laju pertumbuhan udang jerbungbetina lebih cepat daripada laju pertumbuhan udang jerbung jantan, dan puncakrekruitmen tertinggi terjadi pada periode bulan Maret-Mei dan September-Oktober.Potensi lestari MSY perikanan udang jerbung di Kabupaten Bengkalis sebanyak386,34 ton/tahun dengan upaya penangkapan optimum sebesar 567 unit trammel net.Tingkat Pemanfaaatan udang jerbung sudah melebihi upaya optimal yang seharusnyadiperbolehkan untuk ditangkap over exploited . Opsi pengelolaan udang jerbung diKabupaten Bengkalis yang dapat dilakukan yakni pembatasan upaya penangkapan,pengaturan ukuran mata jaring yang selektif, relokasi daerah penangkapan,penutupan daerah dan musim penangkapan.

Bengkalis Regency waters were one of intensified area with banana shrimp resourceutilization activities. The data showed that banana shrimp production was highly 540.38 ton than other shrimp species 317.7 ton in 2014. This research conductedin Bengkalis District begin from January until November 2014. Data collectedthrough a survey and interview methods. The research aimed to analyze status stockof banana shrimp based of biologist aspects, sustainable yield, utilization rate, anddetermining management option. Analysis of the research used two models that is 1 Analytical modeling consist of length weight analysis, growth, and mortality ofbanana shrimp in Bengkalis using FISAT II program 2 Holitic modeling consist ofCPUE analysis, fishing effort and the potential analysis for sustainable managementof banana shrimp resources. Allometric growth patterns banana shrimp was negativeif meant that the length growth faster than the growth of the weight, while the femalesbanana shrimp condition factor larger than males banana shrimp The average size ofthe first captured Lc were larger than the average size of the first ripe gonads Lm that indicates the current utilization rate still supports resource conservation ofbanana shrimp The growth rate of the female shrimp faster than the rate of growthof shrimp male, and the peak of the highest recruitment occurred in the period fromMarch to May and September to October. Sustainable potential MSY shrimpfishery in Bengkalis as much as 386.34 tons year with the optimum fishing effortamounted to 567 units of trammel net. The level of utilization of the banana shrimpalready exceeded the optimal effort that should be allowed to be captured. Shrimpmanagement options in Bengkalis to be done are the restriction fishing effort, ruleson mesh size selective, relocation of fishing ground, fishing ground closure and catchseason.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2016
T47035
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwandi Idris
"ABSTRAK
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, dan kurang lebih 17.508 pulau. Dua pertiga atau sekitar 62% (± 3,1 juta km2) dari keseluruhan wilayah Indonesia berupa perairan laut. Wilayah laut ini meliputi 0,3 juta km2 (5,17%) perairan teritorial dan 2,8 juta km2 (48,28%) perairan nusantara. Berdasarkan UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982), Indonesia diberi hak kewenangan memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km2 (46,55%).
Di wilayah pesisir dan laut Indonesia terdapat bentukan-bentukan terumbu karang yang luas, ekosistem hutan mangrove yang luas dan berbagai ekosistem pesisir lainnya seperti padang lamun, pantai pasir, pantai berbatu. Di samping itu peran lain dari wilayah pesisir adalah sebagai kawasan wisata, budidaya perikanan, usaha penambangan, pelabuhan, transportasi dan sebagainya. Keadaan demikian menyebabkan banyaknya penduduk yang hidup di daerah pesisir, sehingga tingkat eksploitasi sumber alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) di daerah pesisir menjadi tinggi, yang disertai dengan turunnya kualitas Lingkungan.
Sementara itu, wilayah pesisir juga memiliki berbagai peranan penting bagi kelestarian fungsi ekosistem alam dan kehidupan umat manusia. Misalnya, dari segi biogeofisik sebagai daerah penyangga bagi kehidupan aneka ragam biota laut; secara ekologis merupakan tempat berkembangnya berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya, dan secara hidrologis berperan sebagai kelestarian sumber tanah dan air di daratan dan kepentingan lainnya.
Pengertian wilayah pesisir dan laut yang mencakup semua aspek yang terkandung di dalamnya masih sulit dilakukan. Namun demikian penelitian ini mencoba mengambil pengertian; bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, sedangkan ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan atau kegiatan manusia di darat.
Dilihat dari segi pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia dihadapkan kepada suatu dilema. Di satu pihak beberapa kawasan pesisir telah dimanfaatkan secara intensif sehingga telah melampaui daya dukungnya seperti tangkap lebih dan pencemaran. Di pihak lain pemanfaatan wilayah pesisir dan laut belum optimal bahkan di beberapa wilayah belum dijamah sama sekali.
Permasalahan yang menyebabkan kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dan laut adalah disebabkan oleh meningkatnya kegiatan sektor pembangunan, baik oleh Pemerintah, swasta, dan masyarakat. Kegiatan pembangunan tersebut di samping belum dilakukan secara terkoordinasi, juga belum sepenuhnya memperhitungkan dampak lingkungan. Sebagai akibat dari kegiatan tersebut potensi sumberdaya laut semakin menurun, seperti kerusakan terumbu karang, menurunnya luas hutan mangrove, gejala penangkapan sumberdaya perikanan yang berlebihan (over fishing) dan pencemaran perairan laut. Apabila ditinjau dari aspek pengelolaan wilayah pesisir dan laut, salah satu penyebab permasalahan ini adalah belum adanya Kelembagaan Nasional dan Daerah yang mempunyai tugas dan wewenang secara khusus mengkoordinasikan perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Sementara instansi yang terkait dalam pengelolaan tersebut cukup banyak, seperti Departemen Pertanian, Kehutanan, Perhubungan, Perindustrian, Pariwisata dan Telekomunikasi, Pertambangan dan Energi, Pekerjaan Umum, Pertahanan Keamanan, Kantor Menteri Negara Lingkungan HidupBapedal, Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas, LIPI, dan lainnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aspek hukum dan kelembagaan serta sektor pembangunan yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan taut, dengan mengambil studi kasus wilayah pesisir di Teluk Arnbon Dalam, Kotamadya Arnbon, Propinsi Maluku. Hipotesis penelitian yang digunakan adalah : " Adanya berbagai kepentingan memanfaatkan sumberdaya alam pesisir dan taut yang terbatas di Teluk Ambon Dalam telah mengakibatkan tumpang tindih tanggungjawab kelembagaan yang mengelola sumberdaya alam, sehingga penggunaan lahan pesisir dan sumberdaya kelautan tidak sesuai dan serasi dengan peruntukan dan daya dukungnya".
Studi dilakukan di kawasan pesisir dan taut Teluk Ambon Dalam dengan difokuskan kepada pengumpulan data dan informasi melalui: (i) Pengkajian kebijakan Pemerintah dalam pembangunan wilayah pesisir dan taut yang dimuat dalam GBHN, Repelita VI Nasional, Pala Dasar Pembangunan Daerah, Repelita Daerah serta fungsi dan tugas instansi terkait lainnya yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan; (ii) Mengumpulkan data dan informasi tentang aktivitas pembangunan di wilayah pesisir, meliputi: potensi aktivitas pembangunan, kondisi lingkungan, Peraturan Perundangundangan, sosial-ekonomi penduduk, tingkat pendidikan dan sosial budaya masyarakat; dan (iii) Pengamatan langsung ke lapang untuk melakukan wawancara semi terstruktur terhadap pengambil kebijakan pada instansi Pemerintah dan masyarakat.
Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif, meliputi kajian terhadap: (i) Aktivitas pembangunan yang ada (Existing Development Activities), (ii) Analisis Keserasian antar sektorlkegiatan Pembangunan (Compatibility Analysis), dan (iii) Analisis Fungsi dan Wewenang Kelembagaan.
Hasil penelitian di Teluk Ambon Dalam menunjukkan bahwa pada saat ini telah berkembang berbagai kegiatan pembangunan seperti, perikanan tangkap, budidaya perikanan, pariwisata, pelabuhan, pangkalan angkatan laut, konservasi alam, industri, pertanian, pertambangan, energi, industri kayu dan perumahan. Namun atas dasar segi kesesuaian yang ideal (ekologis), maka pembangunan sektoral yang dapat dikembangkan di Teluk Ambon Dalam adalah Perikanan Tangkap, budidaya perikanan, pariwisata, pelabuhan/perkapalan, konservasi alam, lahan industri, pertanian dan perumahan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dari segi ekologis keruangan, pesisir Teluk Ambon Dalam telah jenuh dan relatif tidak dapat lagi menampung pengembangan sektoral. Hal ini diperkuat oleh adanya kerusakan lingkungan di wilayah pesisir ini, seperti pencemaran, sedimentasi, dan kerusakan fisik habitat.
Terjadinya tumpang tindih dan pengembangan pembangunan sektor yang saling merugikan yang menimbulkan konflik di Teluk Ambon Dalam disebabkan karena kurang jelasnya tugas dan wewenang sektor, belum terkoordinasinya pelaksanaan tugas antar sektor serta belum jelasnya peran Pemerintah Daerah di wilayah pesisir dan laut.
Penanggulangan permasalahan di atas dalam jangka pendek, perlu dikembangkan sistem pengelolaan yang bersifat terpadu di wilayah pesisir dan laut, melalui adopsi model pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang dilakukan mulai dari proses penelitian, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengembangan. Sedangkan untuk jangka panjang diperlukan adanya restrukturisasi kelembagaan instansi Pusat dan Daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut.
Untuk mendukung terlaksananya pengelolaan terpadu di wilayah pesisir, diperlukan adanya wadah yang berfungsi sebagai koordinator pengelolaan, dengan anggota semua instansi dan lembaga masyarakat yang mempunyai kegiatan di wilayah pesisir dan laut dan memiliki ciri-ciri produktivitas dan kelestarian fungsi.
Prinsip-prinsip keterpaduan yang perlu dikembangkan di Teluk Ambon Dalam adalah: Pertama, Prinsip keterpaduan antara tata lingkungan daratan dengan wilayah pesisir dan laut yang dapat mencerminkan perlindungan dan pelestarian lingkungan. Kedua, Pembentukan suatu wadah koordinasi yang bersifat integral antara instansi Daerah dan antara Pusat dan Daerah untuk mengatur kembali tumpang tindih pemanfaatan lahan dan untuk memelihara kelestarian lingkungan Teluk Ambon. Ketiga, Perlu diprioritaskan perlindungan dan rehabilitasi kawasan hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun.

ABSTRAK
Institutional Arrangements For Marine And Coastal Resource Management (A Case Study in Ambon Dalam Bay, Ambon Regency)Indonesia is an Archipelagic Nation containing 17,508 islands with a coastline of approximately 81,000 kms. Two third of the area of Indonesia (approximately 5.8 million km2) is marine. This vast area is divided into Territorial Sea (0.3 million km2 or 5.2%) Archipelagic sea (2.8 million km2 or 48.28%) and Exclusive Economic Zone (2.7 million km2 or 46.55%)
Coastal and marine areas of Indonesia contain a wide range of ecosystem type; these support some of the largest and most divers assemblages of coral reefs , mangroves and sea grass in the world. These ecosystem also support a wide range of human activities. Marine transportation, port/harbors, mariculture, tourism, oil and gas production and coastal settlements all depends on coastal and marine ecosystem and resources. The multiple use nature of many coastal resources combined with rapid economic and industrial growth in recent decades has attracted an increasing percentage of the Indonesia population to live in coastal areas. With increasing in population and related direct and indirect use pressures, many coastal and marine resources throughout Indonesia have become depleted and degraded.
Coastal areas, as the interface between land and sea, serve several import biological, physical, economic and social functions and are inter-connected with adjacent terrestrial and marine ecosystems via a range of linking processes. For example, a key bio-geophysic function of coastal areas is to "buffer" the impact of land activities on marine areas and vice versa. Via physical and ecological processes and pathways, coastal ecosystems regulate the input of nutrients and sediments to marine waters. Many global studies have shown that the maintenance of these ecosystems and their component processes is required if the functions they serve are to be sustained.
Since function and processes of coastal ecosystems are broad and complex, an holistic approach to coastal and marine resource management is required. This study thus proposes that such an approach requires the definition of the coast as a road ecotone which extends from the inland limit of marine ecosystems on land systems to the seaward limit of land influences on marine ecosystems.
Management of coastal and marine areas poses a particular dilemma in the context of sustainable development due largely to uneven nature of coastal and marine resource exploitation throughout the archipelago. In many areas coastal and marine resources, particularly fisheries, have been overexploited beyond sustainable use (carrying capacity) limits. In other areas various resources remain unutilized or under-utilized, often due to access or technological constraints.
Various studies identified that the major problem facing coastal and marine management in Indonesia is the sectorally-oriented development approach which has been used by government agencies, private sector investors and local communities. Development activities throughout the archipelago have, in general, not been well coordinated, nor have they adequately taken into account the environmental impact of development. As a consequence resources have not been optimally utilized and, in many cases, have been degraded as a result of development activities. That degradation can be described in terms of both loss of ecosystem quantity (e.g. over harvesting of fisheries) and loss of quality (e.g. pollution of coastal waters by industry).
Contemporary coastal management practice now recognizes the important of adequate institutional arrangement that provide the authority and allocate responsibility for co-ordination of resource planning and management. However, at present in Indonesia there are many sectors (e.g. agriculture, forestry, transportation, industry, tourism, telecommunication, mining, public work, defense, environmental management and research) and levels (national, provincial, sub-regional and local) of government which act independently or in an uncoordinated manner in coastal and marine resources management.
The aim of this study is to review legal and institution arrangements and approach that are used in coastal and marine resource management. The study focuses on a case study of Ambon Dalam Bay (Teluk Ambon Dalam) in Ambon Regency, the capital of Maluku Province in Eastern Indonesia. The hypothesis of the study is that because of the uncoordinated and overlapping responsibilities of agencies involved in management of this area, resources are not being used optimally or sustainably.
The data and information for this study was collected from :
1. Reviews of government policy and planning documents and guidelines, including National Policy Guidelines (GBHN), the Sixth Five Years National Development Plan (REPELITA VI), Regional Policy Guidelines (Pola Dasar), the Sixth Five Year Regional Development Plan (REPELITADA), and overview of the role and function of various government agencies.
2. Data and information obtained as part of development activities including information on potential development options, environmental conditions, regulations, community/socio-economic studies; and
3. Field observations and survey interviews (using a semi-structural approach) of the local decision-maker and community leader.
This information was analyzed by descriptive and matrix-based methods which sought to assess (i) existing development activities and responsibilities for development control; (ii) the compatibility of existing development activities with sectoral objectives and (iii) improved institutional arrangements for coastal and marine resource management.
The case study analysis of Ambon Dalam Bay revealed that development activities have expanded considerably over time, both in terms of the area subject to development and in terms of the types of activities undertaken within development areas. These have led to physio-chemical, ecological and socio-economic change in the Bay and around the foreshores. These changes have also generated increasing conflict between resource uses.
Based on results of the compatibility analysis it was observed that activities which are most suitable for Ambon Dalam Bay are :
a) Fish catching/aquaculture;
b) Nature conservation;
c) Industrial development (indemnified areas)
d) Agriculture; and
e) Settlement/housing
When these most suitable activities were compared with the existing development pattern in the Bay area, it was concluded that developments within coastal areas of Ambon Bay currently exceed the carrying capacity of the Bay. Furthermore. it was noted that the overlapping jurisdiction of sectoral agencies have led to conflicting and inappropriate resource use. This is considered to be due largely to the fragmentation of administrative responsibilities and to the lack of clearly defined management authority. These problems are exacerbated by uncertainty about the roles and responsibilities of government agencies at all levels, especially at the local government level.
In order to overcome this problem in the short term, an integrated and systematic approach to coastal and marine resources management has to be imposed. This process should begin with identification and agreement on problems, development of spatial an/or resource use plans which better reflect the sustainable use limits of Bay resources, clarification of management responsibilities and institutional restructuring to facilitate plan implementation and evaluation. This process can be supported by adoption of integrated coastal zone planning and management (ICZPM) principles, including:
a. integrated of environmental management both terrestrial and marine ecosystems to ensure that resource uses within these areas sustainable;
b. establishment of a Co-ordinating board which involves regional and national agencies in Maluku Province and which embraces in the interest of all stakeholders in the Bay, including government agencies, private sector interests and NGOs so at to achieve a more effective balance between economic development and environmental quality; and
c. to define and then conserve andlor rehabilitate key ecosystems in the Bay - the initial priorities identified in this study included mangroves, coral reefs and seagrass ecosystems.
Total of References 68 bibliographies (1967-1997)
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mei Edi Prayitno
"ABSTRAK
Setiap negara bersaing meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan, melalui pemanfaatan sumber daya maritim dan perdagangan lewat laut, yang berdampak pada sengketa wilayah dan konflik, sehingga perlu meningkatkan kekuatan laut, termasuk kapal selam. Permasalahannya tidak banyak publikasi yang menjelaskan formulasi penyusunan postur kekuatan kapal selam, disamping juga negara Indonesia belum memiliki kapal selam untuk perairan dengan kedalaman kurang dari 200 m dan model pengambilan keputusan untuk pembangunan postur kekuatan kapal selam. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyusun formulasi pembangunan postur kekuatan kapal selam, mendesain kapal selam littoral untuk perairan barat Indonesia dan strategi pembangunan kekuatan kapal selam. Metode penelitian untuk formulasi dan strategi pembangunan kapal selam melalui survei kepada purposive random sampling dengan kriteria perwira angkatan laut dan karyawan galangan yang terlibat pembangunan kapal selam klas 209 serta metode trial error untuk desain kapal selam. Data sekunder adalah data kekuatan kapal selam negara blok barat-blok timur selama perang dingin dan postur kekuatan kapal selam negara Asia Pasifik. Dari penelitian dihasilkan formulasi pembangunan postur kekuatan kapal selam negara pantai/kepulauan, desain kapal selam littoral panjang 30 m, kecepatan menyelam maksimum 20 knot dan dapat dioperasikan 10 hari. Strategi meningkatkan postur kekuatan kapal selam diperlukan peran Kementerian pertahanan untuk mendorong pembangunan fasilitas dan SDM industri utama kapal selam.

ABSTRACT
Each country competes to increase prosperity and prosperity, through the use of maritime resources and trade by sea, which has an impact on regional disputes and conflicts, so it is necessary to increase sea power, including submarines. The problem is not many publications that explain the formulation of submarine force structure, Indonesia does not have a littoral submarine which operates in waters depth less than 200 m and submarine force structure development strategy is needed. The purpose of this research is to formulate submarine force structure development, design a littoral submarine for western Indonesian waters and submarine strength development strategy. Research methods for formulation and submarine development strategies through surveys of purposive random sampling with the criteria of naval officers and shipyard employees involved in class 209 submarine construction and trial error methods for submarine design. Secondary data are data on the submarine power of the west-east block country during the cold war and the Asia Pacific nation's submarine force structure. From the research the formulation of the submarine force structure was built, the design of the littoral submarine is 30 m long, 20 knots maximum diving speed and 10 days operation. Improving submarine structure required the role of the Ministry of defense to encourage the development of facilities and human resources of the submarine main industry."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Setianingrum
"Ikan kurisi merupakan salah satu ikan ekonomis penting di perairan Tangerang dan sekitarnya. Intensitas pemanfaatan sumberdaya ikan kurisi akhirakhir ini semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya permintaan akan komoditas ini terutama untuk bahan surimi. Penelitian bertujuan mengkaji aspek biologi ikan kurisi (N. peronii), potensi dan tingkat pemanfaatan, serta optimasi pemanfaatannya di perairan Tangerang. Metode yang digunakan adalah metode survey dengan sampel ikan kurisi pada alat tangkap cantrang dan apollo. Analisis parameter populasi digunakan program FiSAT II dan pengkajian potensi lestari Maximum Sustainable Yield (MSY) dianalisis dengan model surplus produksi. Optimasi pemanfaatan dilakukan dengan analisis Linier Programing.
Hasil penelitian menunjukkan pola pertumbuhan ikan kurisi bersifat allometrik negatif. Panjang dan berat ikan kurisi berkorelasi erat. Ukuran panjang pertama kali tertangkap (Lc) 16,34 cm. Parameter pertumbuhan menunjukkan ikan kurisi diperkirakan mampu mencapai panjang 28,03 cm dengan laju pertumbuhan lambat sebesar 0,49 cm per tahun. Laju mortalitas lebih besar disebabkan oleh kematian alami. Tingkat eksploitasi masih berada di bawah nilai optimum dan perlu kehati-hatian dalam pengelolaannya. Pendugaan MSY dan F-Opt sebesar 494 ton/tahun dan 743 unit alat tangkap standar cantrang. Dari analisis optimasi menghasilkan jenis alat tangkap yang direkomendasikan yaitu 743 unit alat tangkap cantrang.

Threadfin bream is one of the important and high economical fish that can be found in Tangerang's waters and its surounding. The use of threadfin bream increases nowadays, alligned with the increasing demand of these commodities, especially for Surimi. The research is aimed to exercise the biological aspects of threadfin bream (N. peronii); the potential and the number of utilization of it, as well as the optimization of water utilization in Tangerang.The research method used by the writer was a survey method using threadfin bream caught by fishing gear named Cantrang and Apollo as the samples. The writer used FiSAT II program to do the analysis of population parameters, and used a surplus production model to assess the Maximum Sustainable Yield (MSY). Linear Programming Analysis was used to analize the use of optimization.
The research's result showed that the growing pattern of threadfin bream was negative allometric. There was a close correlation between the length and weight of the growing fish with their length when first being caught (Lc) 16.34 cm. Threadfin bream's growth parameters showed that threadfin bream were expected to grow until 28.03 cm long, with a slow growth rate is 0.49 cm per year. Mortality rate was caused by natural fish death. The level of exploitation below the maximum value, so it needs to be managed prudentially. The estimation of MSY and F - Opt are 494 tons/ year, and 743 units of standard Cangkrang fishing gear. From the analysis of optimization, it produced the types of recommended fishing gears, 743 units of Cantrang fishing gear.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
T43050
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>