Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 205140 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Merdiana Dwi Trasti
"Maloklusi masih menjadi salah satu masalah utama dalam kesehatan gigi dan mulut di Indonesia, khususnya dalam kesehatan gigi dan mulut anak. Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya maloklusi pada anak-anak. Selain karies, perilaku pada anak cukup memiliki peranan yang penting dalam proses terjadinya maloklusi. Perilaku tersebut dapat berupa tindakan kesehatan gigi dan mulut maupun kebiasaan buruk. Kebiasaan buruk pada anak, khususnya kebiasaan buruk oral, jika berlanjut sampai usia dimana gigi permanen mulai tumbuh, akan dapat menyebabkan resiko maloklusi. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan hubungan antara perilaku kesehatan gigi dan mulut dengan status maloklusi kelas I tipe dental pada anak SD usia 9-12 tahun di Cisauk. Penelitian ini merupakan survey potong-silang yang dilakukan pada 153 responden. Analisis data dilakukan dengan uji Nonparametrik Kendall pada program computer. Hasil analisis menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara perilaku kesehatan gigi dan mulut dengan status maloklusi kelas I tipe dental. (p>0,05)

Malocclusion is being one of the oral health status problem in Indonesia, particularly in children?s oral health. There are many factors that affect malocclusion in children. After dental caries, oral health behavior plays the important role in processing malocclusion. Oral health behavior itself is considered by both oral health attitude and oral bad habit. Children with oral bad habit at age when permanent teeth began to erupt have the significant risk to malocclusion. The aim of this research is to explain the relationship between behavior and class I dental malocclusion status. This was conducted to a number of elementary school student age 9 to 12 in Cisauk. This was a crosssectional survey, which wa carried out to 153 respondents. Statistic analysis was done using Kendall Non-parametrik test in computer program. The result showed that there was no significant correlation between oral health behavior and class I dental malocclusion status of elementary school student age 9 - 12 (p>0,05)"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rania
"Latar belakang: Di Indonesia prevalensi kehilangan gigi pada usia 35-44 tahun adalah 35,3% dan terus meningkat seiring bertambahnya usia. Kehilangan gigi dapat menyebabkan penurunan fungsi gigi dan mulut. Untuk mengembalikan fungsi gigi individu dapat menggunakan gigi tiruan, namun hanya 4% penduduk usia 35-44 tahun yang menggunakan gigi tiruan. Literasi kesehatan gigi dan mulut/Oral Health Literacy (OHL) didefinisikan sebagai kapasitas individu untuk memperoleh, memproses dan memahami informasi dasar kesehatan gigi, mulut dan kraniofasial serta pelayanannya yang diperlukan untuk membuat keputusan yang sesuai mengenai kesehatan gigi dan mulut. Oleh karena itu, mungkin saja nilai OHL memengaruhi persepsi kebutuhan individu. Akan tetapi, penelitian mengenai topik ini masih terbatas di Indonesia.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara nilai OHL dengan persepsi kehilangan gigi yang dilihat dari fungsi gigi dan perawatan kebutuhan gigi pada dewasa hingga lansia.
Metode: Penelitian deskriptif potong lintang menggunakan kuesioner The Health Literacy in Dentistry HELD-29 versi Indonesia (skor 0-116) dan pertanyaan mengenai persepsi fungsi gigi serta kebutuhan perawatan prostodonsia. Populasi penelitian adalah orang dengan usia 17 tahun keatas yang sudah mengalami kehilangan gigi.
Hasil: 205 responden berusia 17-82 tahun dan mayoritas perempuan (66,3%). Nilai OHL (82 ± 16,75) lebih tinggi pada kelompok dengan persepsi fungsi gigi sangat baik dan memilih tidak memerlukan perawatan prostodonsia. Terdapat hubungan bermakna (p<0,05) antara nilai OHL dengan persepsi fungsi gigi (r= 0,285), jumlah kehilangan gigi (r= -0,265), jumlah dukungan oklusal berdasarkan indeks Eichner(r= -0,262), dan lokasi kehilangan gigi (r= -0,233). Tidak terdapat hubungan bermakna antara nilai OHL dengan persepsi kebutuhan perawatan prostodonsia (r= 0,083, p>0,05). Terdapat perbedaan bermakna nilai OHL pada usia dan tingkat pendidikan individu (p<0,05). Tidak terdapat perbedaan bermakna nilai OHL berdasarkan jenis kelamin dan status ekonomi individu (p<0,05). terutama pada kelompok usia 17-29 tahun dengan ≥60 tahun (p= 0,006) dan kelompok usia 45-59 tahun dengan ≥60 tahun (p= 0,000) dan tingkat pendidikan SD dengan SMP (p= 0,002), SD dengan SMA (p= 0,000), dan SD dengan perguruan tinggi (p= 0,000). Tidak terdapat perbedaan bermakna nilai OHL berdasarkan jenis kelamin dan status ekonomi individu (p<0,05).
Kesimpulan: Semakin tinggi nilai OHL, semakin baik penilaian persepsi fungsi gigi. Semakin rendah nilai OHL maka semakin banyak jumlah kehilangan gigi, berkurangnya zona dukungan oklusal, dan semakin banyak lokasi kehilangan gigi yang terlibat.

Background: Prevalence of tooth loss in Indonesia is 35.3% at 35-44 years old and continues to increase with age. Tooth loss can lead to decreased oral function. To restore the oral function, individuals with tooth loss can wear denture, but only 4% of the population aged 35-44 years old wears denture. Oral health literacy (OHL) is defined as the degree to which individuals have the capacity to obtain, process, and understand basic dental, oral, and craniofacial health information and services needed to make appropriate oral health decisions. Therefore, low OHL score may be a cause of the low perceived need. Nonetheless, research concerning this issue is still limited in Indonesia.
Objective: To assess the correlation between OHL score and perception of tooth loss in adults to elderly.
Methods: Cross-sectional study was performed using The Health Literacy in Dentistry (HeLD)-29 Indonesian version (score 0-116) and questions about perception of dental function and perceived need for prosthodontics treatment. The population of this study were people aged 17 years old and over who had experienced tooth loss.
Results: There were 205 respondents with age range 17-82 years old and 66.3% of the respondents were female. The mean OHL score was 82. The OHL score was higher in the group of individuals who choose the higher perception of dental function and choose not to get Prosthodontics treatment. There is a significant correlation (p<0.05) between the OHL score and the perception of dental function (r= 0.285), number of tooth loss (r= -0.265), the number of occlusal support based on the Eichner index (r= -0.262), and the location of tooth loss (r= -0.233). There is no correlation between the OHL score and the perceived need for prosthodontics treatment (r= 0.083; p>0.05). There is a significant difference in the OHL score on age and educational level (p<0.05), especially in the aged 17-29 years old with ≥60 years old (p= 0.006) and the aged 45-59 years old with ≥60 years old (p= 0.000) and the level of education between elementary school with junior high school (p= 0.002), elementary school with senior high school (p= 0.000), and elementary school with higher level of education (p= 0.000). There is no significant difference in the OHL score on gender and individual economic status (p>0.05).
Conclusion: Higher OHL scores show better perception of dental function. Lower OHL scores are associated with higher tooth loss, loss of occlusal support zone, and more locations of tooth loss.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akrom Ibaad
"ABSTRAK
Latar Belakang: Kesehatan gigi merupakan salah satu hal yang penting dalam menunjang kesehatan umum, dimana penyakit gigi dan mulut dapat menyebabkan penyakit pada bagian tubuh yang lain ataupun dapat meningkatkan keparahan dari penyakit sistemik yang telah ada. Sebaliknya kesehatan sistemik dapat mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut. Terdapat beberapa penyakit sistemik yang dapat ermanifestasi pada mulut, seperti Diabetes Melitus dan SLE yang merupakan kelainan sistem imun. Etiologi dari penyakit ini masih belum diketahui. Walaupun demikian terdapat faktor-faktor predisposisi yang sudah diketahui.. Faktor predisposisi yang ditemukan antara lain genetik, infeksi, hormonal, antibodi, kompleks imun, sinar matahari, makanan dan minuman, stress dan kelelahan fisik.

Tujuan: untuk mengetahui status kesehatan gigi dan mulut pada Orang Dengan Lupus (Odapus) yang berkunjung di Yayasan Lupus Indonesia(YLI). Dari 30 responden diketahui bahwa 26 orang adalah perempuan dan 4 orang laki-laki. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan wawancara dan pemeriksaan klinis kesehatan gigi dan mulut pada Odapus dengan Index OHIS untuk melihat status kebersihan gigi dan mulut, Index DMFT untuk mengukur kesehatan gigi ,dan Index CPITN untuk mengukur kesehatan jaringan periodontal.

Hasil: Rata-rata Odapus yang diteliti, 21 orang (70 %) memiliki tingkat kebersihan mulut sedang, 13 orang ( 44%) memiliki tingkat kesehatan gigi sedang dan 10 orang (34 %) memiliki kelainan periodontal dengan kedalaman poket antara 4-5 mm.

Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukan bahwa status kesehatan gigi dan mulut pada Odapus masih tergolong sedang. Hal ini dapat dipengaruhi dari tingkat pendidikan yang sebenarnya sudah baik, tetapi dari faktor perilaku yang masih kurang dan dari penyakit SLE yang dapat memperburuk kondisi kesehatan gigi dan mulut

ABSTRACT
Background: Oral health is one of the most important that supports general health. Oral diseases can cause systemic diseases or worsen the existent systemic diseases. On the revearse, systemic diseases can influence oral health. Etiology of this disease is still unknown. Nevertheless, several predisposition factors found, e.g. genetic, infection, hormonal factors, antibody, immune complex, sunburn, food, stress, and exhausted.

Pruposes: to know oral health status of SLE patient that visited Indonesian Lupus Organization. From 30 respondents, it is found that 26 patients are women and 4 patients are men. This research uses interview and clinical examination methods which the respondents are examined with Index OHIS to see oral hygiene status, Index DMFT to messure teeth health, and Index CPITN to meassure periodontal tissue health.

Results: The avarage of SLE patients examined, 21 patients (70%) have moderate oral hygiene, 13 patients (44%) have moderate teeth, and 10 patients (34%) have periodontal diseases with pocket depth between 4- 5 mm.

Conclusion: This research result shows that SLE patients have moderaten oral health status. This condition is influenced by bad behaviour factors, although their education status is good, and also the SLE which worsen their oral health."
2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Ajri Karima
"Tujuan: Mengetahui hubungan status kesehatan gigi dan mulut serta kemampuan mastikasi self-assessed terhadap kualitas hidup lansia independen di beberapa wilayah DKI Jakarta. Metode: Desain studi cross-sectional dilakukan pada 177 subjek yang berusia 60 tahun atau lebih. Standar pemeriksaan klinis WHO, kemampuan mastikasi self-assessed, dan wawancara kuesioner GOHAI versi Bahasa Indonesia dilakukan pada seluruh subjek. Hasil: Dari 177 subjek, 89,3 subjek perempuan dan 10,7 subjek laki-laki dengan rata-rata usia 66,3 tahun. Rata-rata skor kuesioner GOHAI adalah 48,5. Uji korelasi Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antara status kesehatan gigi dan mulut serta kemampuan mastikasi self-assessed dengan kuesioner GOHAI. Kemampuan mastikasi self-assessed dan jumlah gigi asli memiliki hubungan yang bermakna dengan total skor GOHAI r=0,63; r=0,37. Jumlah gigi sehat memiliki hubungan yang bermakna dengan total skor GOHAI r=0,36. Gigi berlubang DT memiliki hubungan yang bermakna dengan penggunaan obat untuk pereda nyeri r=0,18. Gigi yang ditambal FT memiliki hubungan yang bermakna dengan kenyamanan saat makan r=0,18. Status gigi tiruan memiliki hubungan yang bermakna dengan total skor GOHAI r=0,36. Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara status kesehatan gigi dan mulut serta kemampuan mastikasi self-assessed terhadap kualitas hidup lansia di beberapa wilayah DKI Jakarta.
Objectives: To assess the relationship between oral health status and self assessed masticatory ability with quality of life in elderly living independently in some areas of Jakarta. Methods: the study design was cross sectional. The participants n 177 age 60 years old and above were clinically examined using WHO form, self assessed their masticatory ability, and intervewed using Indonesian version of GOHAI questionnaire. Results: Among 177 participants, 89,3 were female and 10,7 were male. The mean age of the participants was 66,3 years old. The mean score of GOHAI was 48,5. Spearman correlation test was used to assess the relationship between oral health status and self assessed masticatory ability with GOHAI questionnaire. Self assessed masticatory ability and the amount of natural teeth are significantly associated with the total score of GOHAI r 0,63 r 0,37. The amount of sound teeth was also significantly associated with the total score of GOHAI r 0,36. Decay teeth was significantly associated with the consumption of analgesic r 0,18. Restored teeth was significantly associated with the comfort while eating r 0,18. Denture status was associated with the total score of GOHAI r 0,36. Conclusion: Oral health status and self assessed masticatory ability are associated with quality of life in elderly in some areas of Jakarta."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Getha Gazela Yuniendra
"Latar Belakang: Komponen terbesar pada indeks DMFT ialah kehilangan gigi dan terjadi paling banyak pada kelompok lansia. Kehilangan gigi dapat mempengaruhi kemampuan dalam mengunyah makanan sehingga berdampak pada kurangnya asupan nutrisi.
Metode: Metode potong lintang yang dilakukan di 4 Puskesmas di wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Jumlah subjek lansia ialah sebanyak 93 subjek dan didapatkan melalui teknik convenience sampling. Pada subjek dilakukan pemeriksaan intraoral, pengukuran antropometri BMI dan diwawancara menggunakan kuesioner Mini Nutritional Assessment MNA.
Hasil: Ditemukan bahwa 53,8 subjek masih memiliki jumlah gigi sebanyak 20 buah atau lebih. Sebanyak 55,9 subjek memiliki risiko terhadap malnutrisi. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah gigi yang tersisa, gigi karies, gigi hilang, gigi yang ditambal dan kemampuan mastikasi p > 0,05 dengan status nutrisi.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara status kesehatan gigi dan mulut dan kemampuan mastikasi terhadap status nutrisi pada lansia.

Background: The biggest component in DMFT index is tooth loss, and mostly occur in elderly. Tooth loss can affect the ability in chewing food then it may affect the lack of nutrition intake.
Methods: The cross sectional study was performed in 4 community health center in Central Jakarta, South Jakarta and East Jakarta. It was involving 93 elderly age ge 60. The sampling method was convenience sampling. Subjects were submitted to intraoral examination, anthropometric measurement BMI and as well as interview using Mini Nutritional Assessment MNA.
Results: 53,8 subjects have 20 or more sum of natural teeth. 55,9 subjects have risk at malnutrition. The results of correlation test showed that sum of natural teeth, decay teeth, missing teeth, filling teeth, and masticatory performance p 0,05 were not significantly correlated with nutritional status BMI and MNA.
Conclusion: There is no relationship between oral health status and masticatory performance with nutritional status in elderly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amiroh
"Latar Belakang :Pesantren merupakan institusi pendidikan di Indonesia yang menjalankan sistem tempat tinggal asrama. Kondisi status kesehatan gigi mulut di beberapa pesantren masih menunjukkan hasil sedang hingga rendah, padahal terdapat lebih dari empat juta remaja yang menempuh pendidikan di pesantren. Upaya meningkatkan kesehatan gigi mulut adalah melaksanakan program promosi kesehatan mulut berbasis sekolah, dan program ini dapat disusun dengan sebelumnya melakukan identifikasi perilaku kebersihan gigi mulut.Tujuan : Menganalisis hubungan antara perilaku kebersihan gigi mulut dengan indeks plak, laju alir saliva, dan kuantifikasi bakteri Veillonella Parvula dalam saliva di komunitas pesantren populasi anak usia 12 – 14 tahun. Metode: Penelitian dilakukan pada 101 siswa Ibnu Hajar Boarding School. Pengisian kuesioner indeks OHB untuk menilai perilaku kebersihan gigi mulut. Pengambilan sampel saliva tanpa stimulasi dan diukur lajur alir, dilanjutkan pemeriksaan indeks plak. Sampel saliva dibawa ke laboratorium untuk mengetahui kuantifikasi bakteri Veillonella parvula melalui metode RT-PCR. Hasil: Koefisien korelasi antara OHB dengan Indeks plak adalah r = 0.127 p-value = 0.204. Koefisien korelasi antara OHB dengan laju alir saliva adalah r = -0.211, p-value = 0.034. Koefisien korelasi antara OHB dengan Ct Veillonella parvula adalah r = -0.156 , p-value = 0.119. Kesimpulan: Terdapat hubungan berbanding terbalik dan bermakna antara perilaku kebersihan gigi mulut dengan laju alir saliva, dan hubungan tidak bermakna antara perilaku kebersihan gigi mulut dengan indeks plak dan kuantifikasi bakteri Veillonella parvula.

Background: Boarding schools in Indonesia operate as residential educational institutions. The oral health status in some boarding schools still indicates moderate to low results, despite more than four million adolescents pursuing education in these institutions. Efforts to improve oral health include implementing a school-based oral health promotion program, which can be designed after identifying oral hygiene behaviors. To date, there has been no study examining the relationship between oral hygiene behaviors and plaque index, saliva flow rate, and quantification of Veillonella Parvula. Objective: To analyze the relationship between oral hygiene behaviors and plaque index, saliva flow rate, and quantification of Veillonella Parvula in a population of 12- to 14-year-old students in a boarding school. Method: The OHB index questionnaire was used to assess oral hygiene behaviors. Unstimulated saliva samples were collected and saliva flow rate measured, followed by plaque index examination. Saliva samples were taken to the laboratory to determine the quantification of Veillonella Parvula bacteria using RT-PCR. Results: The correlation coefficient between OHB and the plaque index was r = 0.127, p-value = 0.204. The correlation coefficient between OHB and saliva flow rate was r = -0.211, p-value = 0.034. The correlation coefficient between OHB and Ct Veillonella Parvula was r = -0.156, p-value = 0.119. Conclusion: There was an inverse and significant relationship between oral hygiene behavior and salivary rate, and a non-significant relationship between oral hygiene behavior and plaque index and quantification of Veillonella parvula bacteria."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairissa muthia, Author
"Latar belakang: Stunting masih menjadi salah satu masalah gizi kronis dengan prevalensi yang cukup tinggi di dunia. Saat ini, di Indonesia, prevalensi kondisi stunting masih melebihi batasan dari ketentuan WHO (World Health Organization) yaitu ambang batas prevalensi masalah stunting sebesar <20%. Penyakit karies dan status gizi seseorang dapat saling berhubungan satu sama lain. Karies gigi sulung yang tidak dirawat dapat berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Tujuan: Mengetahui prevalensi stunting dan karies pada anak usia 5 tahun di Indonesia serta melihat hubungan antara status kesehatan gigi dan mulut dengan stunting anak usia 5 tahun. Metode: Penelitian cross-sectional pada 410 anak berusia 5 tahun melalui kuisioner data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 dan pemeriksaan klinis gigi. Hasil: Prevalensi stunting pada 410 anak usia 5 tahun adalah 25,4%. Tingkat keparahan karies paling banyak ditemukan pada kategori S-ECC sebesar 260 anak (63,5%). Berdasarkan uji Chi-square, terdapat hubungan (p= 0,001) antara stunting dengan tingkat pendidikan orang tua dan sosial ekonomi. Tidak terdapat hubungan antara karies dengan stunting. Kesimpulan:Terdapat hubungan bermakna antara tingkat pendidikan orang tua dan status sosioekonomi dengan status gizi berupa stunting.

Background: Stunting, is one of the chronic malnutrition problems with a relatively high prevalence in the world. Nowadays, in Indonesia, the prevalence of stunting conditions still exceeds the limits of threshold prevalence of the World Health Organization (WHO) provisions which is <20%. Caries disease and nutritional status can be related to one another. Untreated caries in deciduous teeth can affect a nutritional status in individuals. Objective: This study aims to determine the prevalence of stunting and caries disease of 5 year old children in Indonesia and to determine the relationship between oral health status with stunting of 5 year-old children. Method: A cross-sectionl study of 410 children aged 5 years old through clinical tooth examinations and questionnaire of National Health Survey 2018. Results: The prevalence of stunting in 410 children aged 5 years old was 25,4%. Caries severity was mostly found in the S-ECC category of 260 children (63,5%). Based on the Chi-square test, there is a correlation (p=0,001) between stunting with the level of parenteral education and sosioeconomic status. There is no correlation between caries and stunting. Conclusion: There is a significant correlation between the level of parenteral education and socioeconomic status with nutritional status in the form of stunting."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tassya Lay
"Latar Belakang: Kesehatan mulut mengacu pada kesehatan gigi, gingiva, dan seluruh sistem mulut-wajah yang memungkinkan kita untuk tersenyum, berbicara, dan mengunyah. Kesehatan mulut yang buruk dapat memperburuk kondisi kesehatan umum, juga sebaliknya. Kolaborasi yang baik antara tenaga kesehatan merupakan hal yang penting dalam memberikan perawatan mulut. Untuk membangun kolaborasi yang baik, edukasi perawatan kesehatan mulut diperlukan.
Tujuan: Untuk mengetahui tingkat kesadaran, sikap, dan persepsi tentang kesehatan gigi dan mulut yang dimiliki mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, dan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia Angkatan 2021.
Metode: Penelitian deskriptif analitik potong lintang pada 442 mahasiswa Rumpun Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia dengan menggunakan kuesioner yang telah diuji validitas dan realibilitasnya.
Hasil Penelitian: Dari 442 mahasiswa, sebanyak 223 mahasiswa (50,5%) memiliki tingkat kesadaran, sikap, dan persepsi yang tinggi. Namun, tingkat kesadaran, sikap, dan persepsi yang dimiliki mahasiswa FIK lebih rendah dibandingkan mahasiswa FK dan FKG, dengan 65,8% mahasiswa FIK memiliki tingkat kesadaran, sikap, dan persepsi yang rendah, sedangkan mayoritas mahasiswa FK (51,9%) dan FKG (63,2%) memiliki tingkat kesadaran, sikap, dan persepsi yang tinggi.
Kesimpulan: Sebagian besar mahasiswa (50,5%) memiliki tingkat kesadaran, sikap, dan persepsi yang tinggi. Tingkat kesadaran, sikap, dan persepsi responden dipengaruhi asal fakultas.

Background: Oral health refers to the health of teeth, gums, and the entire mouth-face system that enables us to smile, talk, and chew. Poor oral health can worsen general health conditions. Good collaboration between health workers is important to providing oral health care. In order to promote collaborative oral health care, oral health care education is needed.
Objectives: To determine the level of awareness, attitudes, and perceptions of oral health care among students of Health Sciences Cluster, Universitas Indonesia, batch 2021.
Methods: Cross-sectional analytic descriptive study method involving 442 students of Health Science Cluster, Universitas Indonesia using valid and reliable questionnaire.
Results: 223 out of 442 students (50,5%) had high level of awareness, attitudes, and perceptions of oral health care. However, the level of awareness, attitudes, and perceptions of nursing students were lower than medical students and dental students, 65.8% of nursing students had low levels of awareness, attitudes, and perceptions, while the majority of medical students (51.9%) and dental students (63.2%) had high level of awareness, attitudes, and perceptions.
Conclusion: Most students (50,5%) had high level of awareness, attitudes, and perceptions. The level of awareness, attitudes, and perceptions were influenced by faculty.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Tsany Saadi
"Tujuan: Didapatkannya informasi mengenai hubungan Sense of Coherence dengan perilaku dan persepsi subjektif kondisi gigi mulut pada populasi dewasa di DKI Jakarta.
Metode: Studi analitik korelatif cross-sectional pada 375 responden berusia 30-50 tahun yang berdomisili di DKI Jakarta. Data diperoleh menggunakan kuesioner self-administered yang terdiri atas kuesioner SOC-13 dan kuesioner gigi mulut dewasa yang diadaptasi dari kuesioner WHO.
Hasil: Terdapat hubungan bermakna antara SOC dengan kunjungan terakhir ke dokter gigi r = 0,128, kebiasaan merokok r = 0,108, dan frekuensi konsumsi beberapa kudapan manis, yaitu minuman bersoda r = 0,118 dan buah segar r = -0,198. Terdapat hubungan antara SOC dengan beberapa masalah akibat kondisi gigi mulut, yaitu mulut kering r = 0,132, malu akibat penampilan gigi r = 0,102, menghindari tersenyum r = 0,106, kurang toleran terhadap pasangan r = 0,223, dan mengurangi aktivitas sosial r = 0,2.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara Sense of Coherence dengan perilaku kesehatan gigi dan mulut, yaitu kunjungan ke dokter gigi, kebiasaan merokok, dan frekuensi konsumsi kudapan manis yaitu minuman bersoda dan buah segar. Sense of Coherence juga berhubungan dengan beberapa masalah akibat kondisi gigi dan mulut, yaitu mulut kering, malu akibat penampilan gigi, menghindari tersenyum, kurang toleran terhadap pasangan, dan mengurangi aktivitas sosial.

Objective: To obtain information about the relationship between Sense of Coherence with oral health related behavior and subjective perception in adult population living in DKI Jakarta.
Method: A cross sectional analytic correlative study was conducted in DKI Jakarta, with 375 respondents aging 30 50 years old. Data were collected through self administered questionnaires consisted of SOC 13 and WHO Oral Health Questionnaire for Adult.
Result: Association found between SOC with dental attendance r 0,128, smoking habit r 0,108, and frequency of some sweet snack intake, including soft drink r 0,118 and fresh fruit r 0,198. SOC is also associated with some problems related to oral health, including dry mouth r 0,132, embarrassed due to appearance of teeth r 0,102, avoided smiling r 0,106, less tolerant of spouse r 0,223, and reduced participation in social activities r 0,2.
Conclusion: SOC is associated with some oral health related behaviours, including dental attendance, smoking habit, and frequency of some sweet snack intake, including soft drink and fresh fruit. SOC is also associated with some problems related to oral health, including dry mouth, embarrassed due to appearance of teeth, avoided smilin, less tolerant of spouse, and reduced participation in social activities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>