Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164409 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Feby Anggraini
"Latar Belakang: Industri mebel di Kelurahan Duren Sawit sudah menerapkan teknologi maju di dalam proses produksi. Penggunaan alat-alat bergetar pada lengan dan tangan dapat menyebabkan kerusakan fisik lengan dan tangan, sehingga meningkatkan risiko terjadinya Hand Arm Vibration Syndrome (HAVS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berhubungan antara pajanan vibrasi dan HAVS pada pekerja informal industri mebel.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan menggunakan kuesioner dan pemeriksaan fisik. Subjek penelitian adalah pekerja informal industri mebel di RW 01 dan 02 kelurahan Pondok Bambu yang menggunakan alat serut listrik sebanyak 96 pekerja. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, anamnesis dan pemeriksaan fisik HAVS.
Hasil: Dari 96 subjek, prevalensi pekerja mebel yang menderita HAVS sebesar 49,0%. Berdasar kriteria Stockholm sebanyak 89,36% menderita HAVS pre dominan sensorineural dan sebanyak 10,64% HAVS sensorineural dan vaskuler. Dan tidak didapatkan pekerja mebel laki-laki yang hanya terkena HAVS pre dominan vaskuler. Hasil pengukuran vibrasi pada pekerja didapatkan berada pada nilai median 0,001935 (0,0001- 0,0021) m/det2. Setelah dilakukan analisis bivariat tidak didapatkan hubungan antara faktor sosiodemografi dengan HAVS, faktor kesehatan dengan HAVS dan faktor risiko kerja dengan HAVS. Setelah dilakukan analisis multivariat yang menjadi faktor protektif HAVS adalah kebiasaan olah raga (p=0,039, ORα=0,17; CI95=0,03-0,91) dan kelompok umur ≥30 tahun (p=0,045, ORα=0,39; CI95=0,16-0,98).
Kesimpulan: Pada penelitian ini Prevalensi HAVS pada pekerja mebel laki-laki sebesar 49% dan faktor protektif terjadinya HAVS adalah kebiasaan Olah raga dan umur ≥ 30 tahun.

Background: Furniture industry in Duren Sawit Village has implemented advanced technology in production process. The use of vibrate tools in the workers hand can cause physical damage to the arm and hand, thus increasing the risk of Hand Arm Vibration Syndrome (HAVS). This study aims to determine the associated factors of vibration exposure and HAVS at informal workers in furniture industry.
Methods: This study used cross-sectional design utilize a questionnaire and physical examination. Subjects were 96 informal workers in the furniture industry at Pondok Bambu village that uses as much electricity. Data collected through interviews, history and physical examination of Hand Arm Vibration Syndrome (HAVS).
Results: Of the 96 subjects, prevalence of HAVS are 49.0%. Based on Stockholm criteria as much as 89.36% suffered from HAVS Sensorineural and 10.64% sensorineural and vascular HAVS. In this study didn't found male furniture workers are vascular HAVS. Vibration measurement results obtained on the worker is median value of 0.001935 (0.0001 to 0.0021) m/s2. After analyzing bivariate aren't found relationship among sosiodemografic factors and HAVS, health factors and HAVS and work factors and HAVS. After multivariate analysis that be a protective factor HAVS is exercise (p=0.039, ORα = 0.17; CI95=0.03-0.91) and age group ≥ 30th (p=0.045, ORα=0.39 ; CI95=0.16-0.98).
Conclusion: In this study the prevalence of HAVS in male furniture workers are 49% and protective factor of HAVS are sport and age ≥ 30th.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Fitriyana Herman
"Maldistribusi tenaga kesehatan terutama di Daerah Tertinggal, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) menjadi perhatian dunia karena keengganan tenaga kesehatan untuk tinggal dan bekerja di DTPK. World Health Organization (WHO) merekomendasikan retensi tenaga kesehatan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan ketersediaan tenaga kesehatan di DTPK. Di dalam manajemen sumber daya manusia, retensi merupakan output pemeliharan sumber daya manusia (SDM), artinya bagaimana mempertahankan SDM yang kompeten untuk tetap bekerja dalam periode waktu yang maksimum. Salah satu cara yang dipakai untuk meretensi SDM adalah dengan pemberian insentif, baik berupa material maupun non material.
Penelitian ini dilakukan pada program penugasan khusus tenaga kesehatan di DTPK yang dilaksanakan pada bulan September 2011 di Kabupaten Keerom, Kabupaten Sarmi dan Kota Jayapura Provinsi Papua. Dalam penelitian ini data yang digunakan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam terhadap berbagai informan yang kompeten yaitu dari Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten dan Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan Kementerian Kesehatan. Data sekunder menggunakan data hasil pemetaan tenaga kesehatan yang dilakukan oleh Pusat Perencanaan dan Pendayagunaan SDM Kesehatan, Kementerian Kesehatan tahun 2010.
Hasil penelitian menunjukan bahwa insentif bukan merupakan faktor utama yang mempengaruhi retensi tenaga kesehatan penugasan khusus di DTPK. Faktor kebijakan pemerintah lebih menentukan retensi tenaga kesehatan di DTPK. Pemerintah belum memiliki kebijakan khusus tentang retensi tenaga kesehatan. Untuk memenuhi ketersediaan tenaga kesehatan khususnya di DTPK, pemerintah menggunakan strategi mutasi dan rotasi serta menyelenggarakan program-program yang sifatnya temporarly dan tidak sustainable seperti pengadaan tenaga kesehatan Pegawai Tidak Tetap (PTT), Penugasan Khusus, dan tenaga kesehatan kontrak atau honorer. Oleh karena itu pemerintah perlu melakukan kajian-kajian tentang kebijakan retensi tenaga kesehatan.

Maldistribusi of health workers especially in the Rural, Border and Islands area (DTPK) became the world's attention due to the reluctance of health workers to live and work in DTPK. World Health Organization (WHO) recommends retention of health workers as part of efforts to increase the availability of health workers in DTPK. In the human resource management, retention is the output of human resources (HR) maintenance, which is how to maintain competent human resources to keep working within a maximum period of time. One way used to retaining HR is by providing incentives, either material or non material.
The research was conducted on a special assignment program of health workers in DTPK held on September 2011 in Keerom District, Sarmi District and Jayapura city, province of Papua. In this study the data used consists of primary data and secondary data. Primary data obtained by conducting interviews conducted with a range of competent informants of the Provincial Health Office, District Health Office and Center for Health Human Resources Planning and Utilization of Ministry of Health. Secondary data using mapping data from health workers conducted by the Center for Health Human Resource Planning and Utilization, Ministry of Health in 2010 Republic of Indonesia.
The results showed that the incentive is not a major factor influencing the retention of health workers on special assignment in DTPK. Factors determining government policy over retention of health workers in DTPK. Governments do not yet have specific policies regarding the retention of health personnel. To meet the availability of health workers especially in DTPK, the government uses mutation and rotation strategies and organizing programs that are temporarly and not sustainable as the procurement of non-permanent employee health workers (PTT), Special Assignment, and health workers or temporary contracts.Therefore, governments need to do studies of health personnel retention policies.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
T30278
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tunastiya Retna Wandansari
"Skripsi ini membahas tentang proses pelaksanaan rekrutmen dan seleksi tenaga kerja di Rumah Sakit Annisa Tangerang tahun 2015, untuk mendapatkan tenaga kerja yang memenuhi syarat sesuai dengan kebutuhan rumah sakit. Rumah Sakit Annisa Tangerang ini mengalami kesulitan untuk mendapatkan tenaga kerja yang sesuai dengan kualifikasinya. Pada Januari ? Mei 2015 ini terdapat 318 pelamar, akan tetapi yang diterima hanya 40 kandidat. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, dengan desain deskriptif yang diperoleh dengan cara wawancara mendalam, telaah dokumen, dan observasi.
Hasil penelitian ini menyarankan tim rekrutmen dan seleksi untuk melakukan pertemuan antara bagian SDM, dan unit terkait untuk menentukan jadwal seleksi yang akan dilakukan, perlu adanya tes praktek untuk kandidat yang memiliki keahlian tertentu, melakukan job fair, menambah tes buta warna dan tes pendengaran untuk kandidat.

This Paper is discussing about recruiting and selecting process for
employee at An-Nisa Hospital Tangerang in 2015 to obtain qualified employees fit to the hospital needs. In January to May 2015, 318 applicants enrolled the proposals but only 40 of the applicants met the qualification. This Paper is using qualitative research, by descriptive design through intensive interview, document comprehension and observation.
This research recommend the recruitment and selection team to have a meeting between the Human Resources Department and
the related unit to decide the schedule for the selection, provide practice test for the candidates who have particular ability, do the job fair, and add color blind and hearing test for the candidates.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
S61215
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Muhamad
"Dalam upaya untuk pemerataan pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat, pendayagunaan tenaga kesehatan seeara rasional sangat diper1ukan. Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan melalui program penugasan khusus ke daerah perbatasan. Upaya pemetataan dan penempatan tenaga melalui penugasan khusus untuk ditugaskan di fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas, di daerah terpencillsangat terpeneil, daerah rawan bencanalkonflik dan perbatasan mempunyai nilai strategis dalam menye1enggarakan program kesehatan. Peron dan keberadaan tenaga medis sangat besar pengaruhnya dalam pemeriksaan dan mutu pelayanan kesehatan, sebingga Departemen Kesehatan mengembangkan kebijakan tenaga medis melalui Masa Bakti dengan dikeluarlkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1988 tentang Masa Balrti dan Praktek Dokter dan Dokter Gigi sebagal pe1aksanaan dari pemturan tersebut diterbilkan Keputusan Presiden daerah sehingga masih adanya kesenjangan antara jumlah kebutuhan dan jumlah tenaga medis yang benninat dan mau ditugaskan di daerah terpencil sangat terpencil, perbatasan dan pulau terluar. Penugasan khusus tenaga kesehatan ke daerah perbatasan tidak dapat secara langsung mengakibatkan keberbasilan penurunan angka mortalitas dan mobilitas, karena penduduk di daerah perbatasan sangat kecil sehingga tidak berpengaruh terhadap pernbahan angka mortalitas dan angka mobilitas. Asumsi asumsi masih menggunakan kebijakan-kebijakan penempatan tenaga medis dalarn keadaan khusus seperti keadaan bencana, konflik, daerah terpencillsangat terpencil, masa bakti dan eara lain.
Saran utama yang diajukan kepada pembuat kebijakan adalah penyusunan kebutuhan tenaga keaehatan di daerah perbatasan haadaknya tidak haaya berdasarkan tuntutan kompetensi jenis tenaga yang dibutubkan tetapi perlu dilakekan secara terpadu (integrated} dan memperhatikan berbagai faktor terutama kondisi wilayah daerah dengan asas desentra1isasi sesuai kemampuan dan kondisi daerah. Segera dibahas dan dibentuk kebijakan khusus tentang penempatan khusus tenaga kesehatan di daerah perbatasan. Pola pengernbangan karier tenaga kesehatan pasca penugasan perlu dilakukan secara seimbang antara kepentingan organisasi dengan kepentingan tenaga medis itu sendiri baik jangka pendek maupnn jangka panjang."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
T11515
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dodi Ardiansyah
"Tujuh puluh persen dari seluruh penduduk Indonesia adalah pekerja. Produktivitas kerja serta kelangsungan hidup para pekerja sangat dipengaruhi oleh derajat kesehatan yang dimiliki oleh pekerja. Promosi kesehatan di tempat kerja merupakan salah satu dari bagian integral dari pelayanan kesehatan kerja dan merupakan unsur penting dalam pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan pekerja. Dari hasil laporan menunjukkan bahwa dengan adanya promosi kesehatan di tempat kerja berdampak pada kesehatan pekerja, pekerja yang sehat hanya sedikit sekali kehilangan hari kerja karena mengalami sakit.
Tujuan penelitian ini adalah diketahui gambaran faktor yang mempengaruhi absensi sakit dan prilaku Pekerja hidup pekerja terhadap kejadian absensi sakit di PT.X selama periode waktu Maret 2009-Maret 2010. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional. Hasil yang didapatkan berdasarkan analisa bivariat yaitu variabel-variabel yang berhubungan dengan kejadian absensi karena sakit pada pekerja di PT. X selama periode waktu Maret 2009-Maret 2010 adalah usia (p = 0,030), jenis pekerjaan (p = 0,017), kebiasaan merokok (p = 0,014), pola tidur.

Seventy percent of the entire population in Indonesia is worker. Work productivity and the survival of the workers is strongly influenced by the degree of health which is owned by workers. Health promotion in the workplace is one of the integral part of occupational health services and is an important element in the maintenance and improvement of health status of workers. From the results of the report shows that with the existence of health promotion in the workplace affects the health of workers, health workers has very little loss of working days due to an illness.
The purpose of this study is to be seen the illustration Factors Related to sick absenteeism of worker at PT X during time period of March 2009-March 2010. This research is quantitative research with cross sectional design. Results obtained based on bivariate analysis are variables associated with the incidence of absenteeism due to illness of workers at the PT. X during the time period March 2009-March 2010 were age (p = 0.030), occupation (p = 0.017), smoking (p = 0.014), sleep pattern (p = 0.003). Researchers suggest to do health promotion in the workplace.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
T41347
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yudith Gunawan
"Turnover tinggi pada Generasi Y menjadi masalah serius bagi perusahaan. Berdasarkan tinjauan pustaka, peneliti menemukan salah satu penyebab turnover pada Generasi Y yaitu perbedaan antar generasi (Generasi X dan Generasi Y) yang dapat memicu konflik karena perbedaan work ethics (Society for Human Resource Management, 2004). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan work ethics pada kedua generasi tersebut. Secara teoritis, work ethics adalah suatu kumpulan sikap dan keyakinan individu terkait pekerjaannya (Miller dkk., 2002). Konstruk work ethics terdiri dari tujuh dimensi, yaitu hard work, centrality of work, self-reliance, wasted time, delay of gratification, leisure dan morality/ethics. Hasil pengolahan data menggunakan independent sample t-test, dari 303 responden karyawan Generasi X dan Generasi Y, diukur dengan Multidimensional Work Ethics Profile – Short Form (MWEP-SF), pada sektor aneka industri dan pertambangan, dua dimensi work ethics, yaitu leisure dan delay of gratification terbukti signifikan mempengaruhi perbedaan work ethics di tempat kerja. Sementara itu, lima dimensi work ethics, yaitu hard work, centrality of work, self reliance, wasted time dan morality/ethic tidak signifikan mempengaruhi perbedaan work ethics pada Generasi X dan Generasi Y.

High Generation Y turnover of poses serious problems for the companies. Previous researches show that one of the causes is differences between generations (Generation X and Generation Y) due to differences in work ethics (Society for Human Resource Management, 2004). This study aims to determine differences of work ethic between Generation X and Generation Y. Work ethics is defined as dividual attitudes and beliefs related to work (Miller et al., 2002), consists of seven dimensions: hard work, centrality of work, self-reliance, wasted time, delay of gratification, leisure and morality/ethics. 303 subject (102 of Generation X and 201 of Generation Y) filled out the Multidimensional Work Ethic Profile - Short Form (MWEP-SF). Independent sample t-test showed that Generation X’s score significantly different in leisure and delay of gratification significantly differs in work ethics. There are no significant differences on the remaining dimensions (hard work, the centrality of work, self-reliance, wasted time and morality/ethics) between Generation X and Generation Y.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S58622
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Aditya Media, 1992
331.11 TAN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Arrie Benggolo
Jakarta: Depnaker Republik Indonesia, 1973
331.115 98 ARR t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rosmiyati Hodijah Saleh
"Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan yang mengungkapkan masalah ketenagakerjaan pada umumnya tidak terlepas dari adanya pertambahan penduduk yang sangat pesat setiap tahunnya dengan berbagai akibat yang ditimbulkannya. Seperti di Indonesia salah satu masalah yang sedang dihadapi adalah melimpahnya tenaga kerja terutama yang belum memperoleh kesempatan kerja. Dan juga adanya kelebihan tenaga kerja disatu pihak adalah sebagai akibat langsung dari adanya pergeseran 'mar dari dekade sebelumnya, yang berarti merupakan potensi sumberdaya manusia untuk pembangunan, di lain pihak penciptaan kesempatan kerja masih lauan dibandingkan dengan pesatnya laju pertumbuhan angkatan kerja.
Keadaan yang tidak seimbang antara pertumbuhan angkatan kerja dan kemampuan untuk menciptakan kesempatan kerja akan menimbulkan akibat buruk terhadap pembangunan suatu bangsa, sebab prestasi pembangunan suatu bangsa bukan hanya diukur dengan pertumbuhan ekonomi semata, tetapi lebih daripada itu yakni, dapat menciptakan kesempatan kerja yang lebih luas, mensejahterakan masyarakatnya dan pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Hasih dalam konteks ketenagakerjaan di atas, permasalahan angkatan kerja di Indonesia yang sebagian besar memiliki kualitas yang rendah sebagai akibat pendidikan yang rendah. Selain itu juga, tingkat partisipasinya tidak sepenuhnya sesuai dengan penghasilan yang didapatnya. Terutama pekerja wanita. Adanya kualitas tenaga kerja yang rendah tersebut diduga sebagai akibat dari output atau produktivitas yang dihasilkan masih rendah, yang mengakibatkan penghasilan/upah yang diterimanya juga rendah, sehingga mereka terperangkap dalam lingkaran kemiskinan.
Karena output yang dihasilkan adalah cerminan produktivitas pekerja yang dinilai dengan tingkat upah yang diterimanya, maka tingkat produktivitas dari pekerja dapat berbeda-beda berdasarkan karakteristik yang dimilikinya. Hal yang demikian menarik perhatian penulis untuk melihat adanya perbedaan tersebut yang dituangkan dalam tujuan penelitian ini yakni, untuk melihat adanya perbedaan pola penawaran tenaga kerja wanita berdasarkan status atau perannya dalam rumah tangga di Sumatera Selatan sebagai daerah asal penulis.
Dengan memperhatikan keadaan Propinsi Sumatera Selatan di mana dapat diketahui distribusi penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang termasuk dalam angkatan kerja cukup besar jumlahnya, maisalnya untuk angkatan kerja wanita diketahui adalah sebesar 3808 responder dan wanita yang telah bekerja sebanyak 1645 responden, sisanya diketahui belum bekerja. Dan juga dari yang bekerja tersebut diketahui sebanyak 157 responden adalah merupakan wanita bekerja dan menerimn upah, serta 1478 responden yang merupakan wanita bekerja tetapi tidak menerima upah. Sehingga adanya konstribusi seperti ini mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam mempelajari penawaran tenaga kerja tersebut.
Dari kondisi ketenagakerjaan seperti di atas, maka untuk mempelajarinya timbul pertanyaan-pertanyaan yang dapat dilakukan untuk mengetahui masalah mendasar tentang keadaan ketenagakerjaan didaerah tersebut. Adapun pertanyaan itu antara lain; apakah wanita yang tidak bekerja di luar rumah tidak mempunyai kesempatan untuk memperoleh penghasilan atau upah?, Kalau wanita itu tidak bekerja di luar rumah faktor apa penyebabnya?, mungkin disebabkan oleh upah yang tidak memadai, anak masih kecil (untuk wanita yang berperan sebagai ibu dalam rumah tangga), atau kurangnya ketrampilan yang dimiliki wanita untuk masuk pasar kerja, dan lain sebagainya. Sehingga adanya penetrapan teori Backer tentang alokasi waktu dapat dipelajari disini. Di mana teori tersebut menunjukkan bahwa pengaruh faktor sosial ekonomi dan demografi mempunyai peran besar dalam menentukan penawaran tenaga kerja. Selain itu faktor penentu lainnya yang sangat panting adalah tingkat upah (simanjuntak, 1985). Dikatakannya bahwa banyaknya waktu yang disediakan untuk bekerja sangat tergantung pada tingkat upah yang berlaku. Di mana dalam hal ini jumlah tenaga kerja dapat diartikan sebagai jumlah jam kerja.
Melalui gambaran latar belakang seperti di atas, maka pokok permasalahan yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini juga akan melihat apakah adanya variasi upah ataupun adanya perubahan upah akan menentukan jumlah jam kerja yang ditawarkan oleh para pensupplai tenaga kerja wanita tersebut. Disamping faktor upah apakah ada faktor lain yang juga mempengaruhi jumlah jam kerja yang ditawarkannya.
Dalam mempelajari fungsi penawaran tenaga kerja yang merupakan hubungan antara jumlah jam kerja dan upah, dan juga adanya faktor-faktor sosial ekonomi dan demografi lainnya yang dapat mempengaruhi hubungan tersebut, pendekatan yang digunakan di sini adalah mengunakan model statistik berdasarkan data terputus, dengan menggunakan data sakernas tahun 1987 untuk daerah Sumatera Selatan. Selain itu juga analisa dilakukan secara statistik deskriptif dan statistik infrensial.
Model statistik yang dipakai untuk memperkirakan fungsi penawaran yang menggunakan data sakernas dimana variabel bebas yang diamati adalah variabel upah, serta variabel individu lainnya seperti umur, pendidikan, tempat tinggal, dll, yang diperkirakan mempunyai pengaruh terhadap jumlah jam kerja yang ditawarkan oleh pekerja wanita tersebut, menimbulkan suatu analisa data terputus. Hal ini disebabkan karena variabel upah bersifat simultan, dimana variabel upah disatu sisi sebagai variabel bebas dan disisi lain sebagai variabel tak bebas. Sehingga untuk mendapatkan koefisien estimasinya diperlukan analisa regresi bertahap. yaitu regress, fungsi penghasilan sebagai tahap pertama dan regresi fungsi penawaran tenaga kerja sebagai tahapan selanjutnya. Tetapi dalam melakukan estimnsi fungsi penghasilan analisa terbatas pada pekerja yang memperoleh penghasilan saja, sehingga dalam hal ini kita harus memperhatikan sepasang model yang pada dasarnya digunakan untuk mendapatkan "Heckman Lamdha" atau yang sering di kenal denga Mills Rasio. Setelah mendapatkan Mills Rasio, maka didapat model dengan memasukkan Mills Rasio tersebut sesuai dengan model Heckman untuk mengatasi adanya bias selektif tersebut.
Beberapa penemuan dalam penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
I). Keadaan angkatan kerja di Sumatera Selatan diketahui bahwa % tase angkatan kerja wanita adalah 50,61% yang di ketahui bahwa % tase tersebut adalah lebih besar dari % tase angkatan kerja prianya yaitu sebesar 40,39% .
2). % tase Pekerja wanita menurut kelompok-kelompok yang diperhatikan berdasarkan status atau perannya dalam rumah tangga di ketahui bahwa % tase yang bekerja di desa lebih besar dari pada % tase yang bekerja di kota, yakni 88,27% pekerja yang tinggal di desa, dan 11,73% yang tinggal di kota, hal ini sesuai dengan dinamika penduduk yang mendapakan bahwa penduduk yang tinggal di desa lebih besar bila dibanding dengan penduduk yang tinggal di kota. Disamping itu juga untuk memasuki kerja di desa lebih mudah daripada di kota yang banyak di tuntut persyaratan tertentu.
Sedangkan berdasarkan status upah juga diketahui rata-rata upah yang di terimanya di kota lebih besar dari pada rata-rata upah yang di terima di desa. Untuk tingkat pendidikan yang di tamatkan di ketahui bahwa % tase pekerja wanita tidak gnat SD yang paling besar jumlahnya yaitu sebesar 52,10% , untuk yang tamat SD sebesar 39,98%, untuk yang tamat SLTP sebesar 3,35% dan untuk yang tamat SLTA sebesar 4,57% . Gambaran seperti itu menunjukkan bahwa rendahnya produktivitas yang dihasilkan sebagai akibat rendahnya kualitas pekerja tersebut yang % tasenya masih banyak terdapat pada tingkat pendidikan yang rendah yaitu tidak tamat SD. Sedangkan menurut kelompok umur diketahui bahwa % tase pekerja wanita yang menawarkan kerja paling banyak terdapat parka kelompok umur tua, 45 tahun ke atas, yaitu sebesar 23,67% , dan yang paling sedikit menawarkan kerja yaitu terdapat pada kelompok umur muda, 10-19 tahun yaitu sebesar 9,01 % .
3). Untuk masing-masing kelompok wanita berdasarkan status atau peranya dalam rumah tangga diketahui bahwa rata-rata jam kerja yang ditawarkannya hampir sama yaitu berkisar 30-40 jam per minggu. Dan menurut kelompok umur diketahui juga bahwa rata-rata jumlah jam kerja yang di tawarkan % tasenya terlihat mempunyai bentuk seperti huruf u terbalik, dimana pada kelompok umur muda jumlah jam kerja yang di tawarkan sedikit, kemudian pada kelompok umur selajutnya jumlah jam kerja yang di tawarkan meningkat, tetapi setelah mencapai kelompok umur tertentu yakni 30-34 tahun maka jumlah jam kerja yang di tawarkan akan berkurang_ Hal ini dapat dipandang bahwa makin lanjut usia produktivitasnya akan makin berkurang. Sedangkan rata-rata upah yang di terima menurut kelompok umur ini diketahui bahwa upah yang tertinggi diterima oleh kelompok umur 35-39 tahun yaitu sebesar Rp26.255,- per minggunya.
Selain itu bila kita perhatikan menurut kelompok pendidikan yang di tamatkan di ketahui bahwa rata-rata jumlah jam kerja yang ditawarkan juga hampir sama untuk masing-masing kelompok yang di perhatikan yaitu berkisar 30-35 jam per minggu. Dan untuk pekerja wanita di Sumatera Selatan terlihat tingkat pendidikan tamat SLTA+ diketahui % tase jumlah jam kerja yang di tawarkannya paling besar yakni 34 jam perminggu dibandingkan dengan mereka yang tamat pendidikan lain dibawahnya. Disini dapat katakan bahwa wanita di daerah ini bukan wanita pekerja, karena mereka baru akan menawarkan kerja dengan pendidikan SLTA+. Dapat dimungkinkan karena merasa sayang dengan pendidikan tersebut bila tidak bekerja. Dan untuk rata-rata upah yang diterima menurut kelompok pendidikan yang di tamatkan diketahui makin tinggi tingkat pendidikan maka upah yang diterimapun makin besar yakni; untuk pekerja wanita yang tidak tamat SD rata-rata upah yang diterimanya sebesar Rp7.840,- per minggunya, untuk pekerja wanita yang tamat SD rata-rata upah yang di terimanya sebesar Rp9.797,- per minggunya, untuk pekerja wanita yang berpendidikan tamat SLTP rata-rata upah yang di terimanya adalah sebesar Rp 12.222,- per minggunya, dan yang terakhir untuk mereka yang berpendidikan tamat SLTA+ rata-rata upah yang di terimanya adalah sebesar Rp18.445,- per minggunya.
4). Berdasarkan model yang diperhatikan dari hasil temuan empiri menunjukkan bahwa, upah mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perubahan jumlah jam kerja yang ditawarkan oleh pekerja wanita di Sumatera Selatan. Hubungan antara jam kerja dan upah serta variabel individu lainnya seperti; umur, pendidikan, tempat tinggal, dan rasio dependensi yang diasumsikan berbentuk parabola pada akhirnya diketahui bahwa mempunyai pola yang berbeda untuk masing-masing kelompok yang diperhatikan yakni, kelompok wanita berdasarkan status atau perannya dalam rumah tangga. Di mana pola tersebut ada yang berbentuk parabola yang menutup kebawah dan ada juga yang berbentuk parabola yang membuka keatas.
Untuk bentuk parabola yang menutup kebawah berarti grafik fungsi penawaran tenaga kerja wanita didaerah ini mempunyai titik maksimum, di mana apabila upah naik maka, jumlah jam kerja yang ditawarkanpun bertambah, tetapi setelah upah mencapai tingkat upah yaitu yang merupakan titik maksimum tersebut maka, jam kerja yang ditawarkan akan mulai berkurang walaupun upah naik. Sebaliknya, untuk pola penawaran tenaga kerja yang berbentuk parabola yang membuka keatas, seperti untuk kelompok wanita yang berperan sebagai anak atau menantu dalam penelitian ini, diketahui bahwa pola seperti itu berarti grafik fungsi penawarannya mempunyai titik minimum, di mana pada tingkat upah yang rendah jumlah jam kerja yang ditawarkannya cukup tinggi, tetapi dengan adanya perubah upah, upah naik jumlah jam kerja yang ditawarkannya akan makin berkurang. Dan mereka akan menawarkan kerja lagi apabila tingkat upah sudah mencapai pada tingkat upah minimum tersebut. Jadi pada pola penawaran tenaga kerja seperti ini dapat diartikan bahwa kelompok ini tidak akan bekerja atau menawarkan kerja apabila tingkat upahnya tidak atau balm sesuai dengan tingkat upah yang diharapkan mereka yakni setelah mencapai tingkat upah maksimum tersebut.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>