Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105725 dokumen yang sesuai dengan query
cover
JIP 43(2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Harmantyo
"Pemekaran daerah adalah suatu proses membagi satu daerah administratif (daerah otonom) yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonom baru berdasarkan UU RI nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hasil amandemen UU RI nomor 22 tahun 1999. Landasan pelaksanaannya didasarkan pada PP nomor 129 tahun 2000. Sedangkan konflik keruangan (spatial conflict) adalah potensi konflik kewilayahan yang timbul akibat adanya garis batas yang membagi satu wilayah menjadi dua wilayah yang berbeda. Prinsip desentralisasi dan otonomi daerah serta pemekaran daerah di Indonesia sebagai negara kepulauan daerah tropis, memiliki karakteristik tersendiri ditinjau dari besarnya jumlah penduduk yang tersebar tidak merata, keanekaragaman sosial budaya, sumberdaya alam, flora dan fauna serta keragaman fisik wilayah. Berdasarkan keragaman tersebut, dalam perspektif geografi, Indonesia memiliki potensi konflik kewilayahan yang tinggi. Berdasarkan studi awal yang bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan model prediktif kuantitatif terhadap data periode tahun 1999 - 2005 terjadi pemekaran 148 daerah otonom baru (141 kabupaten/kota dan 7 propinsi) atau rata rata bertambah 30 daerah otonom baru. Jumlah tersebut melebihi angka perkiraan hasil perhitungan yaitu sebanyak 460 kabupaten dan kota di bawah koordinasi 46 propinsi.
Berdasarkan model segi enam Christaller, secara teoritis diperlukan paling tidak 2760 bentuk kerjasama antar daerah otonom yang saling berbatasan untuk mengantisipasi peluang terjadinya 2760 konflik kewilayahan (spatial conflict). Penataan kembali konsep desentralisasi dan pemekaran daerah serta instrument penilaian, terutama kejelasan penetapan batas wilayah, merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan kebijakan otonomi daerah.

Area divergence is a process to establish new autonomous region by dividing formerly local authority entity. This process was driven by the Regional Autonomy Law no. 32, 2004 which ensure decentralization mechanism to occur from. Spatial conflict is a term of interregional conflicts that is potentialy related to former administrative divided border line, which then will create border line dispute. This potential for any interregional relationship (including conflict) is a function neighbour number. According to an Internal Affairs report, thus recent phenomena of local divided authorities has been escalating in Indonesia. Since 1999-2005, there has been 148 new local autonomous governments or more than thirty new additional local autonomus government were born annualy. There are two main questions arise from these issues (1) what is the ideal number of local autonomous government in Indonesia, and (2) what is the quantity of interregional relationship needed to relate spatial conflicts.
Based on the central place theory and a spatial conflicts model the ideal number of autonomous districts in Indonesia is 460 of kabupaten/kota and 46 provinces. Theoretically, they need 2760 forms of interregional relationships or six relationship forms in each local government to eliminate the spatial conflict potentialy. Rearrangement of regional autonomous policy focusing on the implementation of areal divergences shall be done as quickly as possible."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2007
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
cover
cover
cover
Winda Roselina Effendi
"Penelitian ini berupaya untuk mendeskripsikan dan menganalisis dualisme kewenangan di Kota Batam yang melahirkan konflik kewenangan antara Badan pengusahaan Batam dan Pemerinta Kota Batam. Latar belakang dari dualisme kewenangan ini disebabkan oleh tumpang tindihnya regulasi yang mengatur Kota Batam dan tidak berjalannya reformasi hukum yang mengatur hubungan pusat dan daerah pasca reformasi. Tumpang tindih kewenangan di daerah pasca desentralisasi di Indonesia merupakan gejala umum yang memicu terjadinya konflik kepentingan di daerah.
Dalam mendeskripsikan dan menganalisis dualisme kewenangan di Kota Batam digunakan teori konflik, desentralisasi dan pendekatan berbasis negara dalam ekonomi politik serta hubungan pusat dan daerah. Penelitian ini merupakan studi kasus yang dijabarkan berdasarkan metode penelitian kualitatif. Sehingga untuk mengumpulkan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan stakeholder dari Badan Pengusahaan Batam, Pemerintah Kota Batam, Pemerintah Provinsi Riau, DPRD, Kamar Dagang Indonesia Kota Batam dan Provinsi Riau. Disamping itu, dilakukan observasi langsung pada dua institusi serta didukung dengan data-data literatur berupa buku, peraturan perundang-undangan, jurnal dan website resmi BP Batam dan Pemko Batam.
Untuk mencapai objektifitas penelitian, digunakan teknik triangulasi dengan mengklarifikasi pada Pemerintah Pusat, Akademisi, LSM, Pengusaha dan Masyarakat. Data yang dikumpulkan direduksi dan disajikan, maka diperoleh kesimpulan bahwa dualisme kewenangan antara Badan Pengusahaan Batam dan Pemerintah Kota Batam merupakan akibat dari ketidaktegasan regulasi yang mengatur hubungan antar instansi di daerah serta hubungan pusat dan daerah. Besarnya kepentingan ekonomi politik pusat di Kota Batam. Sehingga, desentralisasi sebagai amanat UUD 1945 tidak dapat berjalan dengan baik di Kota Batam.
Untuk dapat mengatasi persoalan di Kota Batam, diperlukan ketegasan sikap politik pusat untuk mengakhiri konflik antar dua institusi ini dan melalui penelitian ini disarankan agar pemerintah pusat memberikan desentralisasi asimetris sebagai reorganisasi stuktur untuk mewujudkan Kota Industri Batam. Dengan demikian penelitian ini dapat menjadi acuan bagi pemerintah pusat dalam mengambil keputusan politik, dan menjadi referensi bagi penelitian-penelitian berikutnya, terutama dalam penelitian terkait desentralisasi dan konflik kepentingan antara pusat dan daerah.

This research describes and analyze a dualism of authority in Batam that provoke a conflict of authority between BIFZA (Batam Indonesia Free Zone Authority) and Batam city government. This dualism of authority caused by overlap regulation that organize Batam city and legal reform, which control centralization & decentralization in Soeharto era, is not working. This conflict of authority in decentralization area in Indonesia is a general symptoms that trigger conflict of interest in a district.
Describing and analyzing dualism of authority in Batam city is using theory of conflict, decentralization, and state-based approach in politic economy and the relation between the capital & district. This research is a study case using qualitative research method. Thereby in collecting the data need to do a deep interview with a stakeholder from BIFZA, Batam city government, Riau Province government, DPRD, Chamber of Commerce in Batam & Riau Province. Direct observation to these two institutions which is supported by literature such as books, legislation, journal & official website of BIFZA & Batam city government.
To obtain the objectives of this research, researcher use triangulation techniques that clarifying information from capital government, academics, NGO, enterpreneur, and society. The collected data is reducted and presented. The conclusion is, dualism authority between BIFZA & Batam city government happens from indecision regulation; that control the relation between institutions in a district, the relation between capital and district, and how much politic economy central interest in Batam city. Thereby, decentralization as a mandate from UUD 1945 (State constitution of 1945) cannot work properly in Batam city.
To overcome the conflict in Batam city, politic assertiveness from the capital is needed. From this research conclude a reccomendation that capital government give asymmetry decentralization as structur reorganization to gain Batam industry city. Thereby, this research can be a reference for the next research, especially in research about decentralization and conflict of interest between capital government and district.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T45158
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mustari Irawan
"Masalah desentralisasi di Indonesia berkaitan dengan pengalihan urusan ke daerah yang dimaknai dan diwujudkan dalam pembentukan organisasi perangkat daerah melalui regulasi lokal. Organisasi perangkat daerah yang dibentuk belum sepenuhnya mengakomodir prinsip dan karakter desentralisasi. Sebagai kota periphery dari Jakarta, kota Tangerang dijadikan sebagai city example. Organisasi Perangkat Daerah dianalisis dengan mengadopsi konsep hirarkhi proses kebijakan dari Broomley, berfokus pada analisis tiga level pelembagaan regulasi, regulasi nasional pada level makro, regulasi daerah pada level meso dan mikro. Soft Systems Methodology (SSM) digunakan sebagai analisis metodologi karena bersifat holistic serta pendekatan kualitatif dengan sumber data melalui wawancara terhadap beberapa key informant.
Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa pada level makro, analisis penataan ulang pembentukan organisasi perangkat daerah mengisyaratkan perlunya merevisi Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah terkait muatan tentang kelembagaan organisasi perangkat daerah dengan mempertimbangkan kebutuhan Kota. Pada level meso, penerapan desentralisasi dilakukan dengan mengubah Peraturan Daerah sesuai dengan UU dan PP; pada level mikro-1, organisasi efektif dapat terbentuk apabila SKPD mampu bersifat adaptif, pimpinan yang memiliki kapabilitas dan kapasitas kompetensi dan manajemen kerja yang didukung SDM aparatur. Pada level mikro-2, peningkatan efektifitas organisasi dapat terbentuk apabila dilaksanakan optimalisasi struktur, tugas pokok dan fungsi organisasi yang adaptif terhadap kebutuhan lingkungan.
Rekomendasi level makro adalah revisi dan pengesahan UU dan PP tentang Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah; pada level meso Peraturan Daerah tentang SKPD segera disusun dan diformulasikan agar organisasi perangkat daerah dapat terbentuk sesuai dengan prinsip desentralisasi; pada level mikro-1, pengembangan struktur, tugas pokok dan fungsi secara organisasional dilakukan agar organisasi perangkat daerah dapat adaptif dengan dinamika perubahan; pada level mikro-2, dilakukan melalui penyusunan struktur, tugas pokok dan fungsi berdasarkan pada konsep local governance.

The problem of decentralization in Indonesia is related to transfer of control to local government. This has been implemented by the formation of local government organization under various forms of local regulations. However, this formation has not yet in line with the principles and characteristics of decentralization. As the peripheral city, Tangerang was considered as a city example. The organization of local government was analyzed by adopting the Broomley?s hierarchy concept of policy process. It focused on three levels of institutional regulation, namely national regulation on macro level, and local regulation on mezzo and micro levels. Soft Systems Methodology (SSM) was used as the methodology analysis for its holistic nature. Qualitative method with data source from interviews of some key informant was also employed in this research.
The research concluded that on macro level, the analysis of reconstructing the organization formation indicated that it is required to revise the Law on Local Government and the Government Regulation on Organization of Local Government in accordance with the needs of the city. On mezzo level, the implementation of decentralized system can be employed efficiently by revising Local Regulations in accordance with the Law and the Government Regulation; on micro-1 level, an effective formation of organization shall be formed when the local government is adaptive and that the senior officers in that organization obtain good capability and capacity. Moreover, they ought to develop work management which will be supported by their staffs. On micro-2 level, the effectiveness of organization shall be achieved when the structures, tasks and functions of organization is optimal and adaptive towards the environment.
The recommendation of macro level is that there is a need of revising and stipulating of the Law and Government Regulation on the Formation of Local Government Organization; on mezzo level, it is concluded that the Local Regulation on the Local Government Organization needs to drafted and formulated so that it can be utilized in accordance with the principles of decentralization; on micro-1 level, the structures, tasks and functions development needs to organized so that it will be adaptive towards the dynamic changes; on micro-2 level, there is a need of revising structures, tasks, and functions that are based on the local governance concept.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
D2065
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurrahman Al-Fatih Ifdal
"Perjanjian Indonesia-Portugal mengenai Masalah Timor Timur merupakan objek penelitian yang mengandung aspek intermestik sehingga kajian desentralisasi asimetris yang terlibat di dalamnya juga perlu membahas mengenai diskursus kebijakan politik luar negeri. Penelitian ini hendak mengaitkan diskursus desentralisasi beserta faktor-faktor terkait lainnya dengan struktur desain konstitusional yang termuat dalam Perjanjian Indonesia-Portugal mengenai Masalah Timor Timur. Penelitian ini menilai bahwa kebijakan politik luar negeri cenderung ditetapkan dengan skema ‘kepala menghadap ke luar’. Artinya, kebijakan politik luar negeri difokuskan untuk memberikan respons terhadap faktor-faktor eksternal yang berasal dari luar. Padahal, adanya kebijakan desentralisasi ditentukan untuk menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada daerah otonom sehingga timbul hak untuk mengatur dan mengurus sendiri kekuasaan pemerintahan yang diserahkan. Di sisi lain, kebijakan politik luar negeri melalui perjanjian bilateral antara dua negara dan desentralisasi sejatinya secara inheren tidak memiliki arah pendekatan yang tertuju pada titik temu yang sama. Kebijakan politik luar negeri memiliki domain tujuan mengatasi masalah internasional, sedangkan desentralisasi memiliki domain tujuan mengatasi masalah lokal. Namun, penelitian ini berargumen bahwa keduanya sama-sama memiliki tujuan jangka panjang untuk mencapai stabilitas nasional guna memenuhi kebutuhan nasional. Dengan demikian, penelitian ini hendak menguraikan bagaimana skema konsep desentralisasi asimetris dikonstruksikan dalam suatu negara; mengulas dan mengeksplorasi konstruksi konsep desentralisasi asimetris dalam suatu negara yang lahir dari sebuah perjanjian bilateral antarnegara; dan menjabarkan penerapan konsep desentralisasi asimetris yang lahir dari sebuah perjanjian bilateral antarnegara, dengan berkaca pada Perjanjian Indonesia-Portugal mengenai Masalah Timor Timur.

The Agreement between the Republic of Indonesia and the Portuguese Republic on the Question of East Timor is an object of research that contains an intermestic aspect, in which the study of asymmetric decentralization involved in it also needs to discuss foreign policy discourse. This research seeks to relate the decentralization discourse and other related factors to the constitutional design structure contained in the Indonesia-Portugal agreement. This study assesses that foreign policy tends to be determined with a 'head facing out' scheme. That is, foreign policy is focused on providing a response to external factors that come from outside. In fact, decentralization is determined to transition government power into autonomous regions so that the right to regulate and manage the government power is handed over. On the other hand, decentralization and foreign policy, through bilateral agreements between two countries, inherently do not have an approach directed at the same meeting point. Foreign policy has a domain of overcoming international problems, while decentralization has a domain of overcoming local problems. However, this study argues that both of them have a long-term goal of achieving national stability in order to meet national needs. Thus, this study aims to describe how the concept of asymmetric decentralization is constructed in a country; review and explore the construction of the concept of asymmetric decentralization in a country that was born from a bilateral agreement between countries; and describes the operational application of the concept of asymmetric decentralization that was born from a bilateral agreement between countries, by studying the case of the Agreement between the Republic of Indonesia and the Portuguese Republic on the Question of East Timor."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>