Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23494 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Marlina
"Kata pinjaman merupakan hasil dari peminjaman kata yang dapat terjadi akibat dari adanya kontak antara penutur satu bahasa dengan bahasa lainnya. Kontak bahasa yang terjadi antara penutur bahasa Arab dengan penutur bahasa Turki pada kekuasaan Islam di Turki telah mempengaruhi bahasa Turki. Salah satu pengaruh yang dapat kita lihat dari kontak bahasa adalah penyerapan kosakata dari bahasa Arab ke kosakata bahasa Turki. Penelitian ini menjelaskan mengenai perubahan fonetis kata pinjaman bahasa Turki yang berasal dari bahasa Arab.
Melalui penelitian ini penulis menemukan bahwa perubahan bunyi yang terjadi pada bahasa Turki yang berasal dari bahasa Arab dapat dikelompokan menjadi disimilasi, syncope, apocope, penambahan bunyi vokal, dan penyesuaian diftong. Meskipun dari segi fonetis mengalami berbagai perubahan, tetapi dari segi makna tidak mengalami perubahan yang berarti.

Loanwords is the result of borrowing words which can occur as a result of contact between speakers of one language to another. Language contact that occurs between speakers of Arabic to speakers of Turkish during the reign of Islam in Turkey has affected Turkish language. One of the influence of language contact that we can see is borrowing vocabulary from Arabic to Turkish vocabulary. The research explain the change in phonetic.
Through this research the author found that the sound changes occur in Turkish loanwords origin from Arabic can be classified into dissimilation, syncope, apocope, addition of the vowels, and diphtong sound adjustment. Although in terms of phonetic changed significantly, but in terms of meaning doesn?t change at all. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
S58162
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farhan Ali Azhar
"Artikel ini membahas mengenai sikap politik luar negeri Amerika Serikat dalam menghadapi sengketa perbatasan Alaska dan British Columbia yang saat itu bersamaan dengan terjadinya Demam Emas Klondike. Pembelian Alaska dari Rusia oleh Amerika Serikat pada tahun 1867 dan bergabungnya British Columbia menjadi salah satu provinsi Kanada pada tahun 1871 menyebabkan Alaska berbatasan langsung dengan wilayah Kanada. Pada tahun 1896, ditemukan emas di wilayah Sungai Klondike di Teritori Yukon dan terjadi demam emas hingga beberapa tahun berikutnya yang berdampak positif pada ekonomi Amerika Serikat dan Kanada. Dampak ekonomi dari demam emas ditambah dengan ketidakjelasan perbatasan menyebabkan Kanada mengklaim sebagian wilayah Alaska yang di mana Amerika menganggap bahwa klaim tersebut tidak sesuai perjanjian perbatasan yang telah diwariskan Inggris dan Rusia pada 1825. Artikel ini disusun dengan menggunakan metode sejarah berupa heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi, dengan menggunakan berbagai sumber primer dan sekunder yang relevan. Penelitian terdahulu mengenai topik ini lebih berfokus membahas penyebab dan proses penyelesaian sengketa dari sudut pandang politik, tanpa membahas peristiwa Demam Emas Klondike yang sebenarnya merupakan faktor penting dalam eskalasi sengketa ini. Artikel ini menunjukkan bahwa sikap politik luar negeri Amerika Serikat dalam kasus ini dipengaruhi oleh bangkitnya imperialisme Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Diharapkan bahwa penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman mengenai geopolitik di Amerika Utara pada akhir abad ke-19.
This article discusses the foreign policy stance of the United States in dealing with the Alaska and British Columbia boundary dispute which at that time coincided with the Klondike Gold Rush. The purchase of Alaska from Russia by the United States in 1867 and the incorporation of British Columbia into a province of Canada in 1871 caused Alaska to border directly with Canadian territory. In 1896, gold was discovered in the Klondike River region in the Yukon Territory and a gold rush occurred over the next few years which had a positive impact on the economies of the United States and Canada. The economic impact of the gold rush coupled with unclear boundary lines caused Canada to claim part of Alaska, which America considered that this claim was not in accordance with the boundary agreement inherited by the United Kingdom and Russia in 1825. This article was prepared using historical methods in the form of heuristics, source criticism, interpretation, and historiography, using a variety of relevant primary and secondary sources. Previous research on this topic focused more on discussing the causes and process of dispute resolution from a political perspective, without discussing the Klondike Gold Rush which was an important factor in the escalation of this dispute. This article shows that the foreign policy stance of the United States in this case was influenced by the rise of American imperialism at the end of the 19th century. It is hoped that this research will improve understanding of geopolitics in North America in the late 19th century."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bima Andika
"Indonesia dan Belanda merupakan dua negara yang memiliki ikatan kuat berdasarkan sejarah kolonialisme selama berabad-abad lamanya. Bahkan, sejak Indonesia merdeka pada 1945, kedua negara telah terlibat dalam berbagai dinamika hubungan bilateral yang cukup fluktuatif. Akan tetapi, kuatnya hubungan tersebut berbanding terbalik dengan perkembangan pembahasannya dalam ranah akademis, terutama dalam kajian ilmu hubungan internasional. Penulis meninjau perkembangan literatur mengenai hubungan bilateral Indonesia-Belanda pasca 1945 melalui sembilan belas literatur yang ditinjau berdasarkan metode taksonomi dengan membagi pembahasan menjadi tiga tema besar, yaitu 1) Hubungan Politik; 2) Hubungan Ekonomi; dan 3) Hubungan Sosial Budaya. Tinjauan pustaka ini disusun dengan tujuan untuk mengidentifikasi konsensus, perdebatan, dan kesenjangan dalam literatur terkait topik ini. Selain itu, penulis juga mengamati tren-tren berupa tema penulisan, asal penulis literatur, serta disiplin ilmu yang digunakan. Penulis menemukan bahwa memori masa lalu menghambat hubungan bilateral seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini kemudian berkontribusi pula terhadap terhambatnya diskusi akademik mengenai topik tersebut. Tinjauan pustaka ini juga mengidentifikasi Masa Revolusi yang merupakan perang antara Indonesia dan Belanda pada tahun 1945-1949 setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya sebagai isu paling dominan dalam pembahasan mengenai hubungan bilateral Indonesia-Belanda pasca 1945. Lalu, celah penelitian yang penulis temukan adalah pembahasan yang cenderung tumpang tindih, minimnya perspektif Indonesia, kurangnya pembahasan mengenai kerja sama bilateral, serta absennya pembahasan mengenai cara Indonesia berurusan dengan trauma kolonialisme.

Indonesia and the Netherlands are the two countries that have strong ties based on the history of colonialism for centuries. In fact, since Indonesia's independence in 1945, the two countries have been involved in various dynamics of bilateral relations which have been quite volatile. However, the strength of this relationship is inversely proportional to the development of its discussion in the academic realm, especially in the study of international relations. The author reviews the development of literature on bilateral relations of Indonesia-the Netherlands after 1945 through seventeen literatures reviewed based on the taxonomic method by dividing the discussion into three major themes, namely 1) Political Relations; 2) Economic Relations; and 3) Socio-Cultural Relations. This literature review was prepared with the aim of identify the consensus, debate, and gaps in the literature related to this topic. Apart from that, the author also observes trends in the form of writing themes, scholar’s origin, and the disciplines used. The author finds that past memories hamper bilateral relations over time. This then contributes to the inhibition of academic discussion on the topic. This literature review also identified the Masa Revolusi which was a war between Indonesia and the Netherlands in 1945-1949 after Indonesia proclaimed its independence as the most dominant issue in the discussion on the bilateral relations of Indonesia-the Netherlands after 1945. Then, the gaps in the research that the authors found were discussions that tended to overlap, the lack of an Indonesian perspective, the lack of discussion on bilateral cooperation, and the absence of discussion about how Indonesia deals with the trauma of colonialism."
2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alif Ariaputra
"Penelitian ini bertujuan untuk menggali dinamika hubungan bilateral Indonesia-Swiss dari tahun 1949-1965. Sejak pernyataan kemerdekaan, eksistensi republik mendapat tantangan dari Belanda. Hal ini turut berdampak kepada konsepsi perjuangan Kementrian Luar Negeri Periode (1945-1949) yang diamanatkan untuk memperoleh dukungan pengakuan internasional guna mencegah kembalinya kekuasaan kolonial. Dalam hal ini Swiss mempunyai peran yang signifikan dan esensial bagi Indonesia. Dukungan moral dan material Swiss bagi Indonesia tiada duanya sebagai salah satu negara Eropa Barat yang tidak dijamah oleh Perang Dunia Kedua. Akan tetapi seperti halnya hubungan secara umum terdapat pasang dan surut (ebb and flow) yang turut mewarnai hubungan bilateral mereka. Berdasarkan latar belakang tersebut penelitian ini mencoba untuk menjawab beberapa rumusan masalah seperti (1) Politik luar negeri Indonesia dan Swiss, (2) dinamika hubungan Indonesia-Swiss dari tahun (1949-1965) dan (3) dampak dari dinamika hubungan Indonesia-Swiss. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang di dalamnya termasuk proses menggali sumber, mengkritik, serta menafsirkan arsip-arsip kementrian baik itu dari Kementrian Luar Negeri Swiss maupun Kementrian Penerangan Indonesia untuk kemudian dapat dianalisis dan ditarik sebuah kesimpulan mengenai arsip tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa kehadiran Swiss ditengah krisis eksistensial Indonesia telah secara langsung membantu dengan membangun kapabilitas dan kapasitas Republik muda ini dalam menjalankan fungsi pemerintahannya. Adapun hubungan kedua negara tersebut juga diwarnai dengan beberapa ‘turbulensi’ di beberapa kejadian dengan kasus yang paling banyak di penghujung masa Orde Lama dan transisi menuju Orde Baru.
This research aims to explore the dynamics of Indonesia-Switzerland bilateral relations from 1949-1965. On August 17, 1945, Indonesia's independence was proclaimed after Japan surrendered to the Allies. Since the declaration of independence, the existence of the republic has been challenged by the Dutch who demanded a military and diplomatic response from Indonesia. This had an impact on the conception of the struggle of the Ministry of Foreign Affairs (1945-1949), which was mandated to gain support for international recognition to prevent the return of colonial rule. In this regard, Switzerland played a significant and essential role for Indonesia. Switzerland's moral and material support for Indonesia was second to none as one of the Western European countries not touched by the Second World War. However, as with relationships in general, there are ebbs and flows that color their bilateral relations. Based on this background, this research tries to answer several problem formulations such as (1) Indonesia and Switzerland's foreign policy, (2) the dynamics of Indonesia-Switzerland relations from 1949-1965 and (3) the impact of the dynamics of Indonesia-Switzerland relations. This research uses the historical method which includes the process of digging up sources, critic, and interpreting ministerial archives from both the Swiss Ministry of Foreign Affairs and the Indonesian Ministry of Information to then be analyzed and interpreted. This research found that the presence of Switzerland during Indonesia's existential crisis as one of has directly helped by building the capabilities and capacity of the young Republic in carrying out its government functions. The relationship between the two countries was also characterized by some 'turbulence' on several occasions with the most cases at the end of the Old Order and the transition to the New Order."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Yassed Satria
"ABSTRAK
Tiongkok adalah satu-satunya negara di Asia yang kebijakan luar negerinya berorientasi kepada negara great power hingga tahun 1979. Pasca open door policy, Tiongkok mulai membuka diri terhadap dunia internasional termasuk ASEAN sebagai kawasan tetangga. Tahun 1996 secara resmi Tiongkok menjadikan ASEAN sebagai mitra dialog permanen dan sekaligus sebagai arah baru orientasi kebijakan luar negerinya. Tulisan ini kemudian akan menjelaskan motif dibalik pemilihan ASEAN sebagai prioritas baru orientasi kebijakan luar negeri Tiongkok dengan menggunakan kerangka teori kebijakan luar negeri. Indikator analisis yang digunakan adalah sintesa argumen K.J. Holsti, Synder dan Rosenau yaitu faktor internal, eksternal dan leadership sebagai penyebab perubahan kebijakan luar negeri.
Temuan skripsi ini pertama, faktor internal yang berpengaruh adalah faktor ekonomi domestik dan perkembangan strategi politik di Tiongkok. Kedua, faktor eksternal yang berpengaruh adalah hegemoni AS dan eksistensi regional ASEAN. Ketiga, faktor leadership dan ideologi pemimpin Tiongkok yang reformis-konservatif. Terakhir, Kebijakan luar negeri Tiongkok saat ini lebih bersifat pragmatis dengan lebih mempertimbangkan untung-rugi dari pada landasan nilai dan ideologi negaranya.

ABSTRACT
Tiongkok is the only country in Asia that foreign policy is oriented to the great power state until 1979. Post open door policy, Tiongkok began opening up to the international community, including ASEAN as a neighboring region. In 1996, officially Tiongkok became a permanent dialogue partner of ASEAN as well as a new direction of its foreign policy orientation. This undergraduate thesis will explain the motive behind the election of ASEAN as a priority foreign policy orientation of Tiongkok by using the theoretical framework of foreign policy. Analysis indicator used is the synthesis of argument KJ Holsti, Synder and Rosenau which are internal factors, external and leadership as the cause of the change in Tiongkok?s foreign policy.
The first findings of this research, internal factors that influence Tiongkok?s foreign policy are the domestic economic factors and the development of political strategy. Secondly, the external factors that influence are the existence of US hegemony and the ASEAN region itself. Third, the leadership factor and the reformist-conservative ideological of Tiongkok?s leader. Finally, Tiongkok's foreign policy today is more pragmatic with more considering the cost-benefit than foundation of values and ideology of the country itself.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S61893
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Aprilia Anggraini
"Perizinan penangkapan ikan oleh kapal ikan asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan suatu norma yang diakui di dalam United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Akan tetapi UNCLOS juga menetapkan indikator-indikator pemberian akses tersebut. Diantaranya apabila negara pantai mengalami surplus atau dengan memperhatikan faktor-faktor yang relevan negara pantai. Berdasarkan kondisi sumber daya perikanan di wilayah ZEEI menunjukkan bahwa Indonesia tidak dalam kondisi wajib memberikan akses perizinan tersebut. Hal tersebut mengingat kebutuhan masyarakat terhadap sumber daya ikan yang tinggi dan beberapa wilayah pengelolaan perikanan Indonesia sudah dalam kondisi over exploited. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini akan menganalisis perizinan penangkapan ikan oleh kapal ikan asing di ZEEI dengan menggunakan konsep critical natural capital. Berdasarkan konsep tersebut menunjukkan bahwa sumber daya perikanan merupakan modal alam yang tidak dapat disubstitusikan. Sehingga pendekatan strong sustainability perlu dilakukan untuk memastikan keberlanjutan sumber daya perikanan. Akan tetapi, mekanisme pemberian akses dan perizinan kapal ikan asing di wilayah ZEEI menunjukkan bahwa mengarah pada pendekatan weak sustainability. Sebagai konsekuensi dari kebijakan perizinan yang lemah, potensi untuk terjadi over-exploited semakin besar yang akan mengarah pada peristiwa yang dikemukakan Garret Hardin sebagai tragedy of the common.

Licensing for fishing by foreign fishing boats in the Indonesian Exclusive Economic Zone (EEZ) in Law Number 11 of 2020 concerning Cipta Kerja is a norm recognized in UNCLOS. However, UNCLOS also sets indicators under what conditions such access can be granted. Among them is if the coastal state experiences a surplus or considers the coastal state's relevant factors. The condition of Indonesia's fishery resources in the EEZ region shows that Indonesia is not in a condition where it is obligatory to grant access to these permits. The reason is that the community's need for fish resources is high, and several Indonesian fisheries management areas are already in an over-exploited condition. This paper uses normative juridical research methods and will analyze fishing permits by foreign fishing vessels in EEZ using the concept of critical natural capital. Based on this concept, it shows that fishery resources are natural capital that cannot be substituted. So that a strong sustainability approach needs to be taken to ensure the sustainability of fishery resources. However, the mechanism for granting access and licensing for foreign fishing vessels in the EEZ region shows that it leads to a weak sustainability approach. Due to the weak licensing policy, the potential for over-exploited is getting bigger, leading to the events Garrett Hardin put forward as a tragedy of the commons."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Cindy Aulia Prasasti
"Panda raksasa murapakan hewan endemik asal Tiongkok yang paling mudah untuk dikenali. Sebab kelangkaan dan ciri khasnya, panda digunakan sebagai alat diplomasi dan simbolisme politik oleh Tiongkok. Akan tetapi, Diplomasi Panda modern sebagai diplomasi publik baru dimulai pada tahun 1950-an sebagai bagian dari kebijakan luar negeri Mao Zedong. Karena popularitasnya, Tiongkok mengubah bentuk Diplomasi Panda yang awalnya merupakan hadiah cuma-cuma untuk membangun hubungan internasional dengan kontrak sewa jangka pendek berbasis komersial. Sewa berbasis komersial kemudian berubah menjadi sewa jangka panjang berbasis konservasi setelah Tiongkok mengaksesi Convention on International Trade of Endangered Species. Skema sewa menyewa berbasis konservasi ini terbukti menjadi upaya bernilai untuk memulihkan populasi panda raksasa, terutama setelah tragedi gempa bumi tahun 2008 di Sichuan yang berdampak pada lebih dari separuh populasi panda di habitat aslinya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum doktrinal melalui kajian doktrin hukum, peraturan, dan literatur lainnya. Melalui kajian tersebut, penelitian ini menemukan pentingnya Diplomasi Panda terhadap konservasi spesies panda raksasa dan menemukan bagaimana kerangka hukum dan diplomasi dapat mewujudkan hal tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi untuk memanfaatkan pinjaman berbasis konservasi satwa endemik langka sebagai upaya konservasi dan alat diplomasi publik di Indonesia.

The giant panda is known to be the most recognizable endemic animal from China. Due to its rarity and distinctive features, pandas are known to have been used as a tool of diplomacy and political symbolism by China. However, the modern Panda Diplomacy as a public diplomacy only started in the 1950s as part of Mao Zedong's foreign policy. Due to its popularity, China changed the form of Panda Diplomacy which was originally a gratuitous gift to build international relation to commercial-based short-term loan contracts. The commercial-based loan later transformed into conservation-based long-term loan as China acceded the Convention on International Trade of Endangered Species. The conservation-based loan has been proven to be a valuable attempt to recover the giant panda population, especially after the 2008 earthquake tragedy in Sichuan which affected more than half of the panda population in its natural habitats. This thesis uses a doctrinal legal research method through a study of legal doctrines, regulations, and literatures. Through the studies, this thesis found out the importance of the Panda Diplomacy toward the conservation of giant panda species and figured out how both of the legal framework and diplomacy could make it possible. Therefore, it aims to provide recommendations to utilize the conservation-based loan of endangered endemic animals as conservation efforts and public diplomacy tools in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fuad Yaumi
"Kebijakan perluasan perdagangan dan kerjasama energi Rusia dengan China, merupakan langkah baru bagi pemerintahan Putin yang selama ini menjadikan Barat (Uni Eropa) menjadi mitra utama. Dengan menggunakan energi sebagai alat kebijakan ekonomi luar negerinya, Putin merancang ulang langkah kepentingan dan tujuan negara yang hendak dicapai Rusia. Isu-isu dalam ekonomi, politik, hingga keamanan turut mempengaruhi terwujudnya peningkatan kemitraan Rusia dengan China dimasa kini. Sementara itu hubungan Rusia dengan UE tidak dapat disampingkan begitu saja karena hubungan interdependensi keduanya masih cukup kuat. Walaupun demikian pilihan strategis yang diambil Rusia saat ini menunjukan peningkatan hubungan dengan China dalam bidang energi.

Russia's trade expansion and energy cooperation policies with China are considered as novel steps in Putin's government which has thus far rendered the West (European Union) as key partner. By employing energy as means in its economic foreign policy, Putin renovates the state's interest and objective aimed to be attained. Economic, politic, as well as security issues also influence the realization of enhanced Russia's partnership with China. Meanwhile Russia's relation with EU cannot be disregarded as the interdependency between the two entities is still intense. Nevertheless, Russia's current strategic decision enhances its relation with China in the sphere of energy.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T42488
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>