Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25001 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Dominggas Nari
"Penelitian ini ingin memperoleh gambaran mengenai peman£aatan organisasi tradional dan aturan-aturannya dalam pembangunan kelembagaan irigasi sawah. Studi ini merupakan studi kasus pada kelompok tani sawah di kecamatan Wamena. Dan melihat mengapa jaringan irigasi yang dibangum dengan sangat baik oleh pemerintah tidak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dan apakah organisasi lokal dan aturan-aturannya dapat bermanfaat dalam pembangunan irigasi serta apakah dapat terjadi perpaduan antara pranata lama dan pranata baru.
Dengan melihat bagaimana petani dapat memanfaatkan organisasi lokal dan aturan-aturan yang ada di dalamnya untuk membentuk suatu kelompok tarsi sawah, dan bagaimana mereka dapat memadukan pranata mereka yang lama dengan pranata yang baru sehingga dapat membentuk kelembagaan irigasi sawah sebagai suatu pranata yang baru. Untuk menganalisa masalah ini penulis menggunakan konsep Institution, yang dikembangkan oleh Ostrom (1992). Dengan konsep ini penulis menganalisa mengapa beberapa institusi atau pranata yang ditentukan untuk penyediaan dan penggunaan air irigasi tidak berjalan sehingga pembangunan proyek irigasi tidak sustainable. Dan melalui konsep ini penulis juga akan melihat perubahan-perubahan yang terjadi dalam pranata "pengelolaan air" komunitas suku Dani. Disini Ostrom mengemukakan bahwa pembangunan irigasi dapat suistainable apabila terjadi crafting institution Melalui crafting institution penulis juga melihat apakah ada perubahan pranata dalam hal ini terjadi rekayasa atau perpaduan antara pranata lokai dan pranata irigasi sawah.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan, disini data yang dikumpulkan bersifat umum dan dijadikan dasar serta pendukung bagi wawancara mendalam. wawancara mendalam disini mencakup pengetahuan komunitas lokal mengenai pengelolaan sumberdaya air, lebih difokuskan pada pengelolaan air dalam kebun ubi jalar dan sawah (aturanaturan yang digunakan, organisasi kelompok tani dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan) serta rekayasa (ketrampilan) kelompok tani dalam pengembangan kelompoknya.
Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa, pembangunan irigasi di lembah Balim belum dapat dimanfnatkan dengan baik oleh komunitas suku Dani karena belum terjadi crafting institution. Dimaksudkan di sini dengan pembangunan irigasi tidak dimanfaatkan dengan baik karena belum terjadi crafting adalah, proses ini dapat terjadi apabila ada keterbukaan diantara kedua belah pihak (masyarakat dan pernerintah) namun yang terjadi pemerintah menyediakan fasilitas irigasi dan memberikan kepada masyarakat untuk memanfaatkan. Masyarakat berusaha sendiri dengan memanfaatkan pranata lokal terutama pranata pengelolaan air dalam kebun ubi jalar yang sangat berbeda dengan pengelolaan air dalam irigasi mengairi sawah. Pemerintah belum menciptakan semacam kondisi yang membuat ada keterpaduan pranata antara aturan aturan lokal yang dimiliki masyarakat dan aturan formal yang ada dan jika hal ini terjadi maka pembangunan irigasi dapat dimanfaatkan dengan baik."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Ridwan Maksum
"Penelitian ini membandingkan antara praktik pengelolaan air irigasi tertier di Kabupaten dan Kota Tegal dengan model Dharma Tirta, Subak di Kabupaten Jembrana Bali, dan di Hulu Langat, Malaysia. Oleh karena analisis perbandingan menuntut harus dipenuhinya prinsip-prinsip ketepatan dalam membandingkan antarobyek, maka ketiga lokasi mencerminkan kesederajatan tingkatan, yakni pada tingkatan kedua dalam sistem pemerintahan. Penelitian ini tidak mempersoalkan bentuk negara, sehingga walaupun Hulu Langat tepat di bawah Negara Bagian Selangor, yang seharusnya secara normatif berbanding dengan Provinsi di Indonesia; dalam penelitian ini disejajarkan dengan Kabupaten/Kota ditilik dari luas wilayah dan keseluruhan jenjang pemerintahan di Malaysia. Pendekatan verstehen menjadi kerangka umum metodologis karya ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan tipe deskriptif. Teknik penggalian data dilakukan dengan triangulasi-eklektik. Di samping itu, berbagai key informan diperlukan dalam penelitian karya ini dengan teknik analisis multilevel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga praktik bukanlah ejawantah dari desentralisasi fungsional walaupun di Indonesia potensial mengarah ke dalam praktik desentralisasi fungsional, sedangkan di Malaysia sepenuhnya sentralisasi melalui aparatus dekonsentrasi dengan karakter masing-masing. Praktik desentralisasi di Indonesia khususnya di bidang irigasi, baru menyangkut desentralisasi territorial, sedangkan desentralisasi fungsional tidak dipraktikkan meskipun wacana akademik dan potensi serta kebutuhan akan adanya lembaga yang merupakan perwujudan desentralisasi fungsional sudah muncul. Di tingkatan mikro menunjukkan terdapatnya kegagalan dalam pengelolaan urusan irigasi tersier khususnya dan urusan irigasi pada umumnya. Kegagalan tersebut juga didorong oleh kondisi makro persoalan distribusi urusan sektor irigasi yang berpaku pada desentralisasi teritorial semata. Pemerintah perlu membenahi organisasi pengairan di level grassroots dalam kerangka peningkatan kinerja pertanian dan pengelolaan sumberdaya air secara holistik bahkan sampai terciptanya regime irigasi lokal. Perubahan pasal 18 UUD 1945 agar lebih tegas kembali memasukkan konsep desentralisasi fungsional yang pernah digunakan pada 1920-an oleh Hindia Belanda.

This research compared tertiary irrigation management in the Municipality and Regency of Tegal, the Regency of Jembrana, and the Regency of Hulu Langat Selangor Malaysia. Malaysia has been developing water board at National and State Level. Although the two countries differed in governmental arrangements, the locus used in this research experienced the same level of governments. Verstehen has been as a general framework of this research approach. Qualitative and descriptive were the method of this research. Data are gathered using eclectic-triangulation methods and analyzed with multilevel tools. This research concluded that the tertiary irrigation in those three locus in Indonesia were not established based on functional decentralization, eventhough it has potential to do so. It is different from Malaysia which is fully centralized through deconcentration. Only the teritorial decentralization is the basic of tertiary irrigation management in Indonesia. Functional decentralization is not being practiced in tertiary irrigation management both in Indonesia and Malaysia. Empirically, Government should improve the performance of irrigation organization at the grassroot level in order to increase the whole agricultural performance which creating special local regime in the irrigation management. Furthermore, amandment to the constitution of 18th article should induce the concept of functional decentralization that was practiced in Indonesian local government system in 1920."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2006
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Herlambang Prijatno Soeparto
"ABSTRAK
Berbagai penelitian terdahulu menyatakan bahwa pada pengoperasian jaringan irigasi selain meningkatkan intensitas tanam dan produksi padi, juga berpengaruh pada kualitas tanah, penggunaan masukan produksi dan pendapatan usahatani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahwa keuntungan yang diperoleh dari pemberian air irigasi juga memberikan kerugian lingkungan terutama terhadap keberlanjutan usahatani.
Penelitian ini dilakukan di daerah irigasi Solo (Proyek Irigasi Bengawan Solo), yang terletak pada tiga wilayah administrasi kabupaten yaitu Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar dan Sragen, Propinsi Jawa Tengah, pada musim tanam I (MT I ) 1994/1995.
Pemilihan petani contoh dikaitkan dengan letak usahatani. pada lahan sawah beririgasi (terkena proyek) dan lahan tadah hujan (tanpa proyek). Karena keterbatasan waktu penelitian, maka pendekatan untuk mengetahui kondisi tanpa proyek digunakan kondisi lahan sawah tadah hujan di daerah sekitar proyek. Pemilihan petani contoh dilakukan secara stratifikasi dan perwakilan. Perwakilan dilakukan menurut pembagian daerah irigasi yaitu bagian hulu dan bagian tengah (Kab. Sukoharjo) dan bagian hilir (Kab. Karanganyar dan Kab. Sragen). Pada setiap bagian daerah irigasi, pengambilan contoh untuk data sosial ekonomi petani/responden dan usahatani dilakukan pada 20 orang petani responden. Pengambilan contoh untuk data kondisi kualitas tanah dilakukan pada setiap bagian daerah irigasi (hulu, tengah dan hilir) masing-masing pada tiga kali ulangan/petak sawah.
Pengumpulan data sifat fisik tanah dilakukan pengamatan lapang dan sifat kimia tanah dilakukan dengan pengambilan contoh tanah yang selanjutnya dilakukan analisis laboratorium di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pengambilan contoh air dilakukan pada saluran tersier dan petakan sawah pada lahan sawah beririgasi, masing-masing dua kali ulangan. Analisis laboratorium untuk kualitas air dilakukan di Laboratorium Kimia, Laboratorium Pusat, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa :
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Pada pengelolaan lahan sawah beririgasi maupun lahan sawah tadah hujan (tanpa irigasi), petani cenderung menggunakan pupuk buatan (Urea, TSP dan KC1) melebihi dosis anjuran, dan pada lahan sawah beririgasi lebih tinggi dibandingkan dengan lahan sawah tadah hujan. Pola penggunaan masukan sarana produksi padi yang melebihi dosis anjuran secara jangka panjang akan mengakibatkan penurunan kualitas tanah, kualitas air dan dikhawatirkan akan mempengaruhi pemanfaatan lahan jangka panjang dan mengganggu keberlanjutan usahatani.
2. Akibat pemberian pupuk buatan yang melebihi dosis anjuran dan penanaman padi sepanjang tahun menurunkan kualitas tanah pada lahan sawah beririgasi yaitu nilai kemasaman tanah (pH) dan Kejenuhan Basa (KB). Kandungan N-total dan C-organik tanah pada lahan sawah beririgasi lebih tinggi dibandingkan dengan lahan sawah tadah hujan, sedangkan kandungan P-tersedia, K-tersedia dan Kapasitas Pertukaran Kation (KPK) relatif sama.
3. Akibat penggunaan pupuk buatan yang melebihi dosis anjuran menurunkan kualitas air, yaitu nilai Nitrit (N-NO2), Amonia bebas (N-NH3), Magnesium (Mg) dan Oksigen terlarut yang melebihi kadar maksimum yang diperbolehkan sesuai dengan kualitas air golongan C.
4. Hasil produksi padi rata-rata per hektar pada lahan sawah irigasi berbeda nyata dibandingkan dengan lahan sawah tadah hujan, masing-masing yaitu 7.191,40 kg/ha dan 3.652,75 kg/ha.
5. Pendapatan bersih usahatani padi pada lahan irigasi berbeda nyata dengan lahan tadah hujan, masing-masing yaitu Rp. 1.255.705,90/ha/musim dan Rp. 443.669,12/ha/musim.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa dampak sistem irigasi terhadap pengelolaan usahatani, yaitu terjadi kecenderungan penurunan kualitas tanah dan peningkatan penggunaan masukan sarana produksi padi yang diperkirakan akan mengakibatkan keberlanjutan usahatani terganggu, meskipun terjadi peningkatan produksi padi dan pendapatan bersih usahatani.

ABSTRACT
Many researches concluded that the operation of irrigation system do not only have effect on yield and cropping intensity, but also on soil quality, use of agricultural inputs, and net income. This study was designed to identify whether that the advantage from using water irrigation, also give environmental damage, especially on the farming management sustainability.
The study was carried out at Bengawan Solo Irrigation Scheme (Bengawan Solo Irrigation Project), covering 3 administrative districts (kabupaten), i.e. Sukoharjo, Karanganyar and Sragen, in the Central Java Province, during the period of cropping season in 1994/1995.
The criteria of the participating farmers as respondents were selected in term of their farm site, which located on the irrigated rice field (with project) and rain fed rice-field (without project), respectively. The selection of respondents conducted by stratification and representation sampling. Due to time constraints, approach to identify without project condition was based on the condition of rain fed rice-field in the surrounding of the project. The representation was based on irrigation scheme areas : upper region (hulu), middle region (tengah) and lower region (hilir). In each irrigation region, data on farm management and socio-economic status of the farmers house-holds were collected randomly for 20 respondents. Samples of the soil condition observed, i.e. soil physics and soil fertility were conducted through soil samples collection and laboratory analysis in Laboratory of Soil Science, Faculty of Agriculture, Sebelas Maret University, Surakarta. Water quality samples were observed on farm level and tertiary channel, whereas laboratory analysis were conducted in the Chemistry Laboratory, Centre Laboratory, Sebelas Maret University, Surakarta.
Results of the study are :
1. On farm management due to on the irrigated rice-field and non-irrigated rice-field, the farmers tend to use fertilizers (Urea, TSP and KC1) higher than standard dosage that recommended by Ministry of Agriculture; and on the irrigated rice-field higher than on the non-irrigated rice-field. Such pattern will cause decrease in the soil and water quality, and tend to affect the long-term utilization and sustainability of the farming management.
2. In the irrigated rice-field, the utilization of fertilizer that higher than standard dosage and the continuous rice monoculture system affect on the decreasing of soil acidity and base saturation. But the soil N-total and soil C-organic of the irrigated rice-field higher than the non-irrigated rice-field; and P, K, and Cation Exchange Capacity tend not different.
3. The effect of the utilization of the fertilizer that higher than standard dosage tend to decrease the water quality i.e. Nitrite (N-NO2), Ammonia (NNH3), Magnesium (Mg) and Dissolved Oxygen higher than maximum standard of the water quality standard for C.
4. The average of production rice yield in the irrigated rice field is significantly different compared with the rain fed rice field, i.e. 7.191,40 kg/ha (irrigated) and 3.652,75 kg/ha (non-irrigated), respectively.
5. The net income of rice yield in the irrigated ricefield is significantly different compared with the rain fed rice field, i.e. Rp 1.225.705,90/ ha/season (irrigated); and Rp. 443.669,12/ha/ season (non-irrigated).
The summary of this study is the impact of irrigation system of Bengawan Solo on farming management sustainability having the trend to decrease of soil and water quality index and to increase of using rice production inputs which is estimating to disturb of the farming management sustainability, although the yield of the production and net income is increasing.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rohsapto P. Mardjuki
"Ketersediaan air irigasi sangat penting bagi program intensifikasi tanaman pangan (beras). Kebutuhan air irigasi meningkat sejalan dengan peningkatan kemajuan di pedesaan, sedangkan efisiensi penggunaan air irigasi masih relatif rendah yang bersumber dari kelemahan manajemen. Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) yang merupakan pengguna dan sekaligus pengelola irigasi partisipatif dipublikasikan mempunyai kinerja yang rendah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel bebas (independent variable) dari indikator-indikator sosialisasi kebijakan, keadaan organisasi dan kerjasama masyarakat terhadap kinerja P3A. Penelitian ini menggunakan data cross section yang dikumpulkan dengan metoda survei menunakan kuesioner tertutup dan terbuka, sedangkan data sekunder yang dikumpulkan menggunakan metoda eksplorasi. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive sampling) di Daerah Irigasi Papah Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta. Jumlah sample sebanyak 10% dari populasi dengan tingkat kesalahan 1%-5% berdasarkan Tabel Isaac dan Michael. Parameter diestimasi dengan skala likert yang dimodifikasi dan kategori. Data diolah menggunakan paket program komputer Statistical Package for Social Science for Windows versi 7,5. Analisis data menggunakan analisis deskriptif dan analisis regresi berganda model persamaan tunggal.
Kinerja P3A di lokasi penelitian ini tergolong cukup baik, meskipun hasil penelitian di tempat lain menyatakan bahwa kinerja P3A rendah. Variabel terikat (dependent variable) kinerja P3A (Yi) signifikan dipengaruhi oleh variabel-variabel bebas yang terdiri dari: (1) persetujuan petani terhadap kebijakan kebijakan irigasi partisipatif Xi3 yang berpengaruh positif, (2) dorongan untuk berpartisipasi terhadap kebijakan irigasi Xi4 yang berpengaruh positif, (3) manfaat pembinaan irigasi yang dirasakan petani Xi6 yang berpengaruh negatif, (4) intensitas konflik Xi12 yang berpengaruh negatif, (5) persentase peserta gotong-royong Xi14 yang berpengaruh positif, (6) besarnya iuran Xi18 yang berpengaruh negatif, dan (7) kecukupan iuran Xi19 yang berpengaruh positif.
Variabel-variabel bebas persetujuan petani terhadap kebijakan irigasi partisipatif Xi3, persentase peserta gotong-royong Xi14, dan dorongan untuk berpartisipasi Xi4 lebih mampu mempengaruhi variabel terikat kinerja P3A. Namun diperlukan usaha perubahan yang lebih besar pada semua variabel bebas tersebut di atas untuk melakukan sedikit perubahan pada kinerja P3A karena kinerja P3A tidak peka oleh perubahan variabel bebas.
Saran untuk para pengambil kebijakan: (1) memperbanyak sosialisasi dan konsultasi dengan petani agar jumlah petani yang setuju terhadap kebijakan irigasi partisipatif, (2) melibatkan petani dalam proses pengambilan keputusan untuk meningkatkan respons masyarakat dalam menanggapi program irigasi partisipatif yang dicanangkan pemerintah, (3) memperbaiki kualitas pembinaan yang diberikan, (4) meningkatkan penegakan kepastian peraturan agar konflik dalam pemakaian air menurun, (5) mempersiapkan program kegiatan gotong-royong dengan baik agar setiap penyelengaraannya dihadiri lebih banyak peserta, (6) besarnya nilai iuran tidak memberatkan anggota P3A, dan (7) mencari alternatif sumber pembiayaan lainnya. Saran untuk penelitian lebih lanjut: model kinerja P3A supaya memaksimalkan cara pengukuran menggunakan rasio sehingga data yang dihasilkannya lebih bersifat kontinum."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4682
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daeli, Sorni Paskah
"Since the issuance and effective application of decentralization policy, the irrigation management authority, which is previously handled by the central government is handed over to local governments and community, in accordance with the Presidential Instruction Number 3 of 1999 concerning Irrigation Management Policy Reform (IMPR). IMPR is substantially aimed at community empowerment and participatory in irrigation management to achieve the objectives, task and responsibility redefinition of the farmers in irrigation management, as well as Water User Association and Federation (WUA/WUAF) is substantially required. Action program of IMPR consists of WUA empowerment facilitation and counterpart service. Concrete action of the program is mobilization of a number of farmer counterparts (TPPI Facilitators) to correspond members of WUA/WUAF for institutional independence and self-sufficiency in irrigation management Short-term objective of the program is to ensure farmers' independency and self-determination in irrigation management, no more dependence to government, starting out from planning, activity implementation, maintenance and operational funding, to utilization of irrigation benefits. This study is aimed at analyzing performance of program implementation and influencing factors. Research is conducted in Daerah Istimewa Yogyakarta Province, one of national rice production centers. There have been 53 Water Users Association Federation (WUAF) spreading over Sleman, Bantul, Kulon Progo and Gunung Kidul Districts which are considered analysis units.
According to field research, performance of program implementation for four years (2001 to 2004) is satisfactory, but not optimal, showing that: (a) water-using farmers registered as members in the WUA and WUAF are not self-sufficient in irrigation management, from financing to scheme maintenance; (b) management of water users' contribution fee (WUCF) which should become a potential source of fund is not completely applied; and (c) many tertiary schemes are not functional for being damaged or plugged. Program activities conducted just include establishment of WUA organization, member registration, and merging WUAs to several WUAFs, while some of them have prepared organization statutes (AD/ART). In brief, WUA empowerment facilitation and counterpart service Di. Yogyakarta Province covering 35 irrigation areas with 20,450 hectares width, has not provided significant impact on farmers' income-generating.
There are two variables significantly influence the implementation performance, namely: (1) insufficiency of human resources, especially field facilitators; and (2) insufficiency of financial support, especially for facilitators to cover all activities as they are just provided with limited fund to settle transportation cost. Fund limitation influences time for counterpart. Field counterpart service is just provided for 2 to 3 months. Responsive actions to be taken to improve implementation performance in the future consists of, among others: (1) allocation of proportional facilitators by taking work volume and target accessibility into account; (2) adequate budget allocation by considering money value to goods and services required for field implementation; and (3) communication consistency and intensity should be significantly improved to ensure that policy and action program is completely informed to target groups."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T14212
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: LP3ES , 1991
631.587 IRI
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sutrisno
"Pemerintah telah menetapkan kebijaksanaan untuk menyerahkan jaringan irigasi kecil dibawah 500 ha kepada perkumpulan petani pemakai air (P3A). Pelaksanaan kegiatan penyerahan irigasi kecil selain dimaksudkan untuk memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada P3A dalam mengelola jaringan irigasi juga untuk mengurangi beban biaya pemerintah pada sub sektor irigasi.
Tulisan ini mengkaji sampai sejauh mana keberhasilan pengelolaan irigasi kecil yang dilaksanakan oleh P3A pasca penyerahan. Jaringan irigasi sampel yang dilakukan di DI Cinangka II dan DI Cipanumbangan, Jawa Barat. Sejumlah analisis yang dilakukan adalah : (i) Kemampuan teknis dan finansial P3A dalam pengelolaan O&P menghasilkan kinerja efisien, efektif dan memuaskan anggotanya. (ii) Analisis NPW, IRR dan B/C bila pelaksanaan O&P dilakukan oleh pemerintah dan P3A menghasilkan nilai NPW Rp 7.160.813, IRR 41,93% .sId 42,64% dan B/C 3,92-3,99 sehingga kegiatan tersebut layak diberi prioritas utama. Bilamana pola tanam diganti dengan yang mempunyai penghasilan yang lebih baik (bawang putih) maka menghasilkan IRR 73,33% s/d 151,07% dan BIC 8,91 s/d 29,87. (iii) Analisis konstruksi dan O&P dilakukan oleh investor hasilnya P3A dapat mengembalikan dana pinjaman. (iv) Analisis regresi dengan memasukkan faktor infasi (4 model) hasilnya 1. LY = 1,824 + LX2, 2. LY = 0,881 + LXI, 3. LY = 0,786 + LXI, 4. LY = 0,498 + LXI, dan analisis regresi dengan memasukkan faktor rate US $ hasilnya LY 1,824 + LX2.
Dimana X1 adalah faktor konstruksi dan X2 faktor O&P. Seluruh model menghasilkan Y (benefit) yang positif.

The Government has implemented the policy of handing over of small irrigation schemes (below 500 ha) to Water User Associations (WUAs or P3As). Implementation of handing over activities in addition to giving more authority to WUAs/P3As in water management of schemes also helping reducing the Government burden of funding for irrigation sub-sector.
This paper analyses howfar the success of WUAsIP3As succeeded in the irrigation management following the hand over. The schemes that have been taken up for sample analysis are DI Cinangka II and DI Cipanumbangan in West Java. The following analysis have been carried out: (i) The technical and financial abilities of WUAs/P3As in carrying out operation and maintenance (O& M/ O&P) in efficient and effective manner to satisfy the board members. (ii) Economic and financial analysis such as NPW, IRR and BIC in the case of operation and maintenance of the scheme carried out by the Government and WUAs/P3As resulted in NPW of Rp. 7,160,813. IRR of 41.93% upto 42.64% and BIC of 3.92 upto 3.99. Thus the activity of operation and maintenance by WUAs/P3As can be given forst priority. If the paddy is replaeed by crop which has more income than paddy say garlic resueted in an IRR of 73.33% upto 151.07% and BIC of 8.91 upto 29.87. (iii) Loan repayment capability of WUAs/P3A based on the investor point of view on construction, operation and maintenance, proved to be feasible. (iv) Regression analysis using inflation factor (4 models) resulted in 1. LY =1.824 + LX2, 2. LY = 0.881 + LX1, 3. LY = 0.786 + LXI 4. LY = 0.498 + LXI, and the regression analysis by considering the effect of exchange rate factor of USA resulted in LY = 1.824 + LX2.
Where XI is construction factor and X2 in O&M factor. All the above 4 (four) methods have shown profitable and positive results.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2001
T4683
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nono Hartono
"Pelaksanaan program penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi, dari pemerintah kepada P3A, pada awalnya didorong keinginan pemerintah untuk melaksanakan Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi (PKPI). Kebijakan tersebut dituangkan dalam Intruksi Presiden Nomor 3 tahun 1999 dan PP No 77 Tahun 2001 Tentang Irigasi. Keberhasilan pelaksanaannya sangat tergantung kepada kesiapan P3A untuk mampu dan siap menerima penyerahan kewenangan pengelolaan jaringan irigasi. Tetapi juga sangat dipengaruhi oleh kesiapan pemerintah untuk menyerahkan kewenangan pengelolaan irigasi kepada organisasi P3A.
Pelaksanaan kebijakan ini telah mempengaruhi perubahan sosial masyarakat dalam pengelolaan irigasi. Proses pelaksaaan program PPI telah melalui berbagai tahapan kegiatan, namun hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan, karena dalam pelaksanaannya masih berorientasi kepada target ketimbang proses pelaksanaan. Hal ini memperlihatkan belum adanya perubahan paradigma pembangunan yang menempatkan masyarakat sebagai obyek dan subyek pembangunan.
Berbagai tahapan kegiatan telah dilakukan di tingkat lokasi diawali kegiatan Profil Sosio Ekonomi Teknik dan Kelembagaan (PSETK), kegiatan ini didasarkan bahwa, pembangunan yang dalam setiap kawasan ekologi, membutuhkan solusi khusus berdasarkan data kultural dan data ekologi setempat. Karena itu, pembangunan berwawasan ekologi dilaksanakan berdasarkan kriteria pembangunan yang dihubungkan dengan setiap kasus tertentu, dan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Untuk memperkuat organisasi P3A, telah ditugaskan Tenaga Pendamping Petani (TPP) yang direkruit dari kalangan LSM dan perguruan tinggi.
Walaupun bentuk organisasi instansi pemerintah telah mengalami perubahan, baik struktur, tanggung jawab maupun kewenangannya, tetapi belum diimbangi dengan adanya perubahan paradigrna, hal ini ditujukan dengan lemahnya komitmen dalam upaya mendorong penguatan posisi dan peran masyarakat dalam pengelolaan jaringan irigasi. Adanya program PPI menimbulkan rasa ketakutan dari petugas, karena merasa akan kehilangan perannya dalam pengelolaan jaringan irigasi. Kondisi tersebut menimbulkan langkah-langkah kontradiktif dengan upaya penguatan organisasi P3A, padahal komitmen aparat pemerintah sangat berpengaruh terhadap motivasi pengurus P3A dan angggotanya dalam mengembangkan organisasinya.
Sedangkan proses perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat dapat dilihat dari fungsi adaptasi sosial masyarakat dalam bentuk organisasi P3A dan kepengurusan yang mampu untuk mengorganisir sumberdaya yang ada dalam daerah itu, seperti pembiayaan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi. Fungsi integrasi, mengatur pola hubungan antara unit organisasi P3A, gabungan P3A, sehingga dapat membangun solidaritas untuk mencapai tujuan bersama. Pemeliharaan pola yang tersembunyi, dalam bentuk pemeliharaan sistem, yaitu melakukan sosialisasi tentang pengurus dan aturan main organisasi (AD/ART) untuk mendorong pengurus dan anggota P3A mau melaksanakan fungsi dan tugasnya.
Atas dasar perubahan yang terjadi, secara prinsip Organisasi P3A siap menerima penyerahan pengelolaan jaringan irigasi dari pemerintah, kesiapan tersebut ditunjukan dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh petani seperti; perubahan struktur organisasi P3A yang sesuai dengan tuntutan perubahan dan kebutuhan pelayanan kepada anggotanya. Bentuk struktur organisasi P3A di daerah irigasi Cihea terdiri dari; unit P3A, Gabungan P3A dan Induk P3A, sedangkan di daerah irigasi Susukan Gede hanya unit P3A dan gabungan P3A. Kesiapan lain yaitu, organisasi P3A legalitas formal telah diakui, karena di kedua daerai irigasi organisasi P3Anya telah mempunyai AD/ART P3A yang telah disahkan oleh Bupati. Perbedaan bentuk struktur tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik jaringan irigasi.
Kemampuan teknis operasi dan perneliharaan jaringan irigasi oleh P3A, telah mampu dilakukan terutama untuk kegiatan pembabatan rumput, pengangkatan sedimentasi dan penutupan saluran bor. Sedangkan untuk pengaturan air baik di Cihea maupun di Susukan Gede telah mempunyai jadwal pergiliran air sesuai hasil musyawarah. Tetapi untuk pengooperasian pintu bendung di kedua lokasi ini sementara ini masih tetap dilakukan oleh petugas pemerintah, karena apabila salah operasi akan sangat beresiko. Sedangkan sumber pembiayaan untuk pengelolaan irigasi berasal dari iuran anggota, sebesar 50 kg/ha/ musim. Tetapi hasilnya belum mampu untuk membiayai pelaksanaan operasi dan pengelolaan jaringan irigasi. Untuk itu, sumber pembiayaan dari pemerintah menjadi sangat penting untuk tetap menjaga keberlanjutan fungsi jaringan irigasi.
Untuk memperkuat pelaksanaan implementasi PPI, dalam pelaksanaannya dibentuk kelompok kerja irigasi. Unsur keanggotaanya masih didominasi oleh aparat birokrasi pemerintah yang mewakili berbagai dinas instansi pada tingkat kabupaten dan kecamatan. Sementara unsur diluar pemerintah hanya diwakili oleh beberapa orang pengurus P3A dari kedua daerah irigasi. Keberadaannya didasarkan bahwa, pengelolaan irigasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, tetapi juga perlu melibatkan stakeholders lain yang punya kepedulian terhadap nasib petani, karena irigasi tidak hanya dilihat dari perspektif telmis saja, melainkan juga perlu dilihat dari perspektif sosial."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14423
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>