Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 119576 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
TA5963
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Taufik Azis
"ABSTRAK Pada tahun 2010, hipertensi menjadi salah satu faktor risiko kematian secara global dan
diperkirakan telah menyebabkan 9,4 juta kematian Di Indonesia, Berdasarkan data IFLS
5 tahun 2014 prevalensi hipertensi derajat 1 pada usia ≥18 tahun sebesar 15,59%. Suku
Banjar yang mayoritas berdomisili di Kalimantan Selatan (65%) berpotensi menderita
hipertensi derajat 1 dengan mengacu pada data Riskesdas tahun 2013 memiliki prevalensi
hipertensi sebesar 30,8%. Begitupula prevalensi hipertensi di Provinsi Bali sebesar
19,9%, yang ditempati oleh mayoritas Suku Bali (84%). Perbedaan prevalensi tersebut
mendorong peneliti untuk mengetahui perbedaan faktor risiko hipertensi derajat 1 pada
Suku Banjar dan Suku Bali. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Data dari
IFLS 5 tahun 2014. Sebanyak 765 responden Suku Banjar dan 1.087 responden Suku Bali
umur ≥18 tahun menjadi sampel penelitian ini. Data dianalisis dengan menggunakan uji
cox regression. Hasil penelitian Prevalensi hipertensi derajat 1 Suku Banjar dan Suku
Bali masing-masing sebesar 17,3% dan 10,8%. Faktor risiko hipertensi derajat 1 pada
Suku Banjar yaitu obesitas, PR=2,726 (95%CI; 1,913-3,886), umur ≥45 tahun, PR=2,146
(95%CI;1,482-3,107) dan laki-laki PR=1,641 (95%CI;1,149-2,344). Faktor risiko pada
Suku Bali yaitu obesitas, PR=2,971 (95%CI;2,025-4,362), Umur ≥45 tahun, PR=2,144
(95%CI;1,465-3,136), laki-laki PR=1,985 (95%CI;1,341-2,938), pendidikan rendah
PR=1,585 (95%CI;1,076-2,334) dan domisili di perkotaan PR=1,525 (95%CI;1,051-
2,212).Perlunya pengoptimalan kegiatan pencegahan dan deteksi dini untuk mengurangi
prevalensi hipertensi pada Suku Banjar dan Suku Bali.

ABSTRACT
In 2010, hypertension was one of the risk factors for death globally and it estimated to
have caused 9.4 million deaths. In Indonesia, based on data from IFLS 5, in 2014 the
prevalence of hypertension stage 1 at the age of ≥18 years was 15.59%. The majority of
Banjar Ethnic who are domiciled in South Kalimantan (65%) have the potential to suffer
from hypertension stage 1 with reference to the Riskesdas 2013 which has a prevalence
of hypertension of 30.8%. The prevalence of hypertension in Bali Province is 19.9%,
which is occupied by the majority of the Bali Ethnic (84%). This difference in prevalence
encouraged researchers to find out the differences in risk factors for hypertension stage 1
in the Banjar and Bali Ethnic. This study used a cross sectional design. Data from IFLS
5 in 2014. A total of 765 respondents from the Banjar ethnic and 1,087 respondents from
the Bali ethnic aged ≥18 years were sampled in this study. Data were analyzed using cox
regression test. Prevalence hypertension stage 1 in Banjar Ethnic and Bali Ethnic are
17,3% and 10,8%, respectively. Risk factors of hypertension stage 1 in Banjar Etnic are
obesity (PR=2,726; 95%CI; 1,913-3,886), age ≥45 years (PR=2,146; 95%CI;1,482-
3,107) and male (PR=1,641; 95%CI;1,149-2,344). Risk factors of hypertension stage 1 in
Bali Ethnic are obesity (PR=2,971; 95%CI;2,025-4,362), age ≥45 years (PR=2,144;
95%CI;1,465-3,136), male (PR=1,985; 95%CI;1,341-2,938), low education (PR=1,585;
95%CI;1,076-2,334) and urban (PR=1,525; 95%CI;1,051-2,212). The need for
optimization of prevention and early detection activities to reduce the prevalence of
hypertension in the Banjar and Bali Ethnic.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T51792
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Schadee, M.C.
Jakarta : Yayasan Idayu , 1979
572.792 1 SCH k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Satu diantara identitas masyarakat desa adat Sidetapa yang masih dipertahankan saat ini adalah mitos-mitos kepercayaan. Mitos-mitos yang dimaksud yaitu 1). Mitos Rsi Markandeya, 2). Mitos Khayangan Batu Kerotok, 3). Mitos Parahyangan Kayuan, 4). Mitos Pura Petirtan, 5). Mitos Pura Rambut Unggahang (Tunggang), 6). Mitos Pura Munduk, 7). Mitos Pura Puseh. Fungsi dari mitos-mitos tersebut dijadikan jastifikasi untuk memohon perlindungan dan keselamatan. Karena selama ini tempat yang mereka tempati adalah wilayah angker (tenget). Masyarakat desa adat Sidetapa percaya bahwa mitos tersebut bukan buatan manusia melainkan Ida Penembahan sebutan lain dari Sang Hyang Widhi. Fenomena kepercayaan ini sangat penting untuk diaji dalam rangka untuk menyandingkan dalam kehidupan global dan mederenisasi serta pemurnian ajaran keagamaan besar manusia. Penelitian ini dikaji melalui konsep mitos, teori struktur dan dialektika dari Claude levis Strauss. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui jenis mitos-mitos kepercayaan yang ada di desa adat Sidetapa, dan tujuan untuk mengetahui fungsi dari setiap mitos dan ritualnya. "
JNANA 19:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rosyadi
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993
899.225 6 ROS h
Koleksi Publik  Universitas Indonesia Library
cover
Rosyadi
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993
899.225 6 ROS h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Beijing : China Intercontinental Press, 2011
SIN 306.451 GAM ;SIN 306.451 GAM (2)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Djantera Kawi, compiler
"Dialektologi sebagai bagian dari linguistik historis komparatif, sejak kebangkitannya pada tahun 1876, yang disemarakkan oleh munculnya DSA (Deutscher Sprachatlas) oleh George Wenker pada tahun-tahun berikutnya telah memberi angin baru atau memperkaya pandangan para ahli bahasa dalam telaah kebahasaan. Bahkan kemudian pengingkaran atas hukum-bunyitanpa-kecuali (Ausnahmslosigkeit der Lautaesetze), yaitu pandangan kebahasaan yang dianut oleh kelompok yang menamakan dirinya Neogrammarians (Junggrammatiker) dengan tokoh-tokoh seperti Brugmann, Osthoff dan Leskien.
Sejak itu perhatian pada bidang dialektologi yang juga dikenal sebagai geografi bahasa atau dialek semakin meningkat; dan hal ini ditandai antara lain dengan munculnya karya besar Gillieron yaitu ALF (Atlas Linguistique de la France) dengan suatu modifikasi dalam hal metodologinya apabila dibandingkan dengan DSA-nya Wenker. Ferdinand de Saussure, pelopor linguistik struktural yang membuat pembedaan bahasa ke dalam apa yang dinamakan langue (bahasa sebagai sistem tanda) dan parole (pemakaian bahasa atau ujaran) menyebut data DSA sebagai langue dan ALF sebagai parole (Moulton, 1972: 199).
Dalam kontras dengan linguistik historis komparatif, dialektologi dianggap sebagai telaah variasi bahasa pada dimensi (matra) lain dari dimensi waktu. Dialektologi berkenaan dengan dimensi yang berhubungan dengan ruang dan jarak geografis.
Bahasa yang dipakai pada wilayah yang luas sering diucapkan agak berbeda atau sangat berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Perbedaan tersebut mungkin berkenaan dengan fonologi, leksikon dan gramatika. Variasi geografis ini sesungguhnya sudah lama menjadi perhatian para ahli kebahasaan. Oleh karena itu dalam menerapkan hukum bunyi tersebut, para pemuka Junggrammatiker mengatakan bahwa hukum-hukum itu berlaku dalam batas-batas tertentu. Bila ada penyimpangan maka penyimpangan itu akan dirumuskan kembali dalam hukum tertentu yang lain. Bila tidak dapat dijelaskan maka hal itu merupakan akibat dari analogi. Hal ini ditopang oleh penemuan K. Verner dalam tahun 1876, yang kemudian terkenal dengan nama Hukum-Verner. Rumusan Hukum Verner tersebut berbunyi sebagai berikut: 'Frikatif tak bersuara bahasa German akan berubah menjadi frikatif bersuara dalam lingkungan bersuara bila aksen utamanya tidak terdapat pada vokal sebelumnya dalam bahasa Proto Indo-Eropa' (Keraf, 1984. 43).
Di samping itu yang penting dicatat sebagai dampak dari telaah geografi dialek ialah bahwa bahasa-bahasa lokal dengan kebervariasian dan keberbedaannya yang besar mampu menyajikan data yang sangat luas yang berperan sebagai sebuah laboratorium yang dapat dimanfaatkan oleh para ahli bahasa dengan segala ancangan teori telaahnya (Moulton, 1972: 217).
Dari sejarah perkembangan dialektologi, sejak kebangkitannya, pada pertengahan abad ke-19 di Eropah hingg sekarang, tampak bahwa baik dialektologi itu sendiri (juga linguistik historis komparatif sebagai induknya) maupun linguistik umum telah berkembang dengan pesat dan saling menopang. Dengan berkembangnya linguistik struktural yang rumusan-rumusannya didasarkan pada berbagai data lapangan yang sangat bervariasi, maka berkembang pula dialektologi struktural sebagai implikasi dari penerapan teori-teori struktural dalam telaah dialektologi. Begitu pula dalam perkembangan selanjutnya dalam hal penerapan teori generatif dan sosilinguistik.
Apabila dalam sejarah perkembangan linguistik di Eropah, dialektologi--melalui peta-peta--menyajikan segala macam gejala fonologi, leksikal dan gramatikal yang sangat berharga untuk telaah linguistik, maka telaah dialektologi atas bahasa-bahasa Indonesia tentu akan bermanfaat pula bagi para ahli bahasa di Indonesia dan perkembangan linguistik di Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 1991
D00165
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muliawati Saidah Khaerani
"Latar Belakang: Suku Anak Dalam (SAD) memiliki pantangan dalam menggunakan pasta gigi.
Tujuan: Mengidentifikasi perilaku dan kepercayaan dalam memelihara kesehatan gingiva pada Murid Sokola Rimba.
Metode: Penelitian kualitatif etnografi dan kuantitatif desain cross-sectional.
Hasil: Penyebab pantangan tidak menggunakan pasta gigi di sungai adalah takut hilangnya keberkahan dewa. Adat berpengaruh kuat pada kelompok anak dan perempuan. Mereka tidak memiliki kebebasan, terutama pendidikan. Rerata pengetahuan dan sikap untuk memelihara kesehatan gingiva buruk, sedangkan rerata tindakan memelihara kesehatan gingiva sedang.
Kesimpulan: Kepercayaan SAD dalam membersihkan mulut berhubungan dengan perilaku kesehatan gigi mulut sehingga rerata status kebersihan mulut dan inflamasi gingiva sedang.

Background : Suku Anak Dalam ( SAD ) has a belief that using tooth paste is taboo.
Objective : Identify the behaviors and beliefs in maintaining gingival health within the students of Sokola Rimba.
Methods : Qualitative ethnographic and quantitative research with cross-sectional design.
Results : SAD's belief that using tooth paste in the river due to the fear of the loss of the God's blessing. It has strong influence in the group of children and women so that they do not have freedom, especially in education. The mean of knowledge and attitudes in maintaining gingival health is poor and oral health habits are moderate.
Conclusion : SAD belief related to oral cleaning and oral health behaviours affecting the mean of oral hygiene and gingival status being moderate.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tumanggor, Rusmin
"Pemilihan judul ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa kesehatan termasuk kebutuhan pokok. Hal yang menarik, mengapa pengobatan tradisional lewat racikan langsung unsur-unsur alam "natural" bersama upacara religi "supernatural" atau ramuan tradisional yang secara lokal disebut dengan pulungan roha-roha/pulungan hutahuta" masih diminati masyarakat Barus, di saat dunia mengalami kemajuan pesat dibidang pengobatan modern. Komunikasi relatif terbuka ke dunia luar. Buktinya agama-agama besar dapat menjadi anutan mayoritas masyarakatnya. Kristen, Islam disamping agama lokal Sipele Begu. Pranata pengobatan modern: Puskesmas, klinik-klinik pribadi dokter, bidan dan mantri hadir disini. Berada kota yang berpeluang bagi perubahan. Apalagi hampir di setiap desa terdapat warga masyarakat yang memiliki pesawat TV dengan parabolanya.
Dari itu yang menjadi permasalahan dalam disertasi ini adalah eksistensi pengobatan tradisional masih sangat kuat di kalangan masyarakat Barus di tengah-tengah era pembangunan kesehatan modern hingga sekarang. Karena itu pertanyaan penelitian ialah mengapa pengobatan tradisional masih dominan di kalangan masyarakat Barus? Mengapa mereka memilih model penggunaan ramuan tradisional seperti itu? Kepercayaan apa yang terdapat di baliknya? Bagaimana agama-agama yang dianut masyarakat bisa permisif terhadap model pengobatan setempat? Seberapa dalam keterkaitannya dengan nilai-nilai kebudayaan yang berlaku pada masyarakat tersebut? Atas rangkaian itu, penulis berhipotesa bahwa pengetahuan masyarakat Barus tentang kosmologi yang bersumber dari penafasiran mereka atas lintas berbagai agama dan kepercayaan yang diyakininya membawa kerukunan dan kedamaian hidup, menjadi pedoman umum mereka dalam melakukan interpretasi dan kegiatan pengobatan tradisional.
Tujuan yang ingin dicapai adalah substansi kebudayaan berupa pengetahuan dan kepercayaan yang mendorong praktek penggunaan ramuan tradisional dalam sistem pengobatan tradisional warga masyarakat Barus, sebagai kajian teoritis. Sementara signifikansinya berguna dalam memahami makna keragaman kebudayaan berkaitan dengan masalah biologi, psikologi dan sosial dalam pengobatan serta perencanaan SKN (Sistem Kesehatan Nasional) untuk kepentingan terapan.
Kerangka teori. Dalam pengembangan kerangka teori, dimulai dengan kajian atas tulisan para ahli tentang sistem kebudayaan yang meliputi ide sebagai intinya, aktivitas dan benda-benda kebudayaan berupa hasilnya. Dilanjutkan dengan analisa terhadap berbagai tulisan tentang sistem kepercayaan (belief system) yang meliputi kosmologi, makrokosmos dengan kekuatan gaibnya , dan mikrokosmos dalam kaitannya dengan pandangan mengenai kesehatan, penyakit dan penyembuhannya. Juga dikaji bagaimana hal itu berproses menjadi nilai kebudayaan kesehatan dalam masyarakat.
Karena data temuan memperlihatkan bahwa masyarakat Barus menggunakan ramuan tradisional tumbuh-tumbuhan, hewan, benda, diiringi dengan mantra dan jampi (tab's dart tonggo) Berta unit (kusuk) untuk hampir semua jenis penyakit maka teori yang relevan dikaji dalam penelitian ini adalah teori pengobatan lewat cairan "Hurnoral Medicine Theory" yang dikembangkan Hippocrates 460-357 SM dan teori pengobatan lewat manipulasi kekuatan gaib dan pemujaan secara agama 'Magico-Religious Medicine Theory" yang diketengahkan oleh Rivers 1864-1972 . Seberapa jauh faham ini berlaku atau menyimpang di Barus. Dengan kata lain kemungkinan bahwa di Barus memiliki teori tersendiri.
Untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya kemapanan, penyerapan dan perubahan dalam pengobatan tradisional, juga dikaji teori perubahan kebudayaan dari Spradley, Boehisantoso, Suparlan, Kalangie dan Bodhihartono yang intinya sebuah kebudayaan akan mengalami perubahan jika ada: keharusan untuk adaptasi; inovasi; difusi dan terterima oleh masyarakat pendukungnya.
Pendekatan. Sesuai dengan data yang dibutuhkan adalah sistem kepercayaan dan pengobatan tradisional masyarakat yang mengacu pada pandangan mereka sendiri tentang dunianya maka pendekatan yang digunakan adalah "emik". Karena gejala perilaku kesehatan ini tidak akan dapat menjawab dirinya sendiri seutuhnya tanpa melihat kaitannya dengan gejala lainnya dalam satu sistem kebudayaan, dimana harus dilihat hubungannya dengan sistem kepercayaan dan unsur kebudayaan lainnya secara menyeluruh, maka pendekatan dalam pengumpulan data dilakukan secara "halistik" dan "sistemik".
Metode. Sesuai pendekatan tersebut maka metode yang digunakan bersifat kualitatif. Sehiugga yang dituju tersentral pada data yang sifatnya esensial dan substansial. Dan itu dalam pengumpulan data dilakukan lewat wawancara, diiringi observasi terlibat dengan frekuensi tinggi dan intensif, ditambah dengan photografi. Sementara informan terdiri dari para data 'dukun', pasien dan keluarganya, petugas pengobatan modern, orang tua-tua, pimpinan formal dan informal yang terdapat di Barus."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
D446
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>