Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 107858 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
"The Siraman Gong Kyai Pradah Tradition is one of the local cultures in Blitar Regency, East Java Province. This Traditiona is still held twice a year by the supporting people in lodoyo, Sutojayan district, Blitar Regency.This is because the public belelves that supporters of this tradition will gain benefir for his or her life...."
PATRA 10 (3-4) 2009
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Soekisno
"Kearifan tradisional masyarakat desa Tenganan di permukiman yang melestarikan lingkungan hidup, baik lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan buatannya merupakan dambaan bagi setiap warga untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik bagi diri dan keluarganya. Permukiman desa Tenganan adalah salah satu kawasan permukiman tua di Bali, terletak di Kecamatan Manggis, Karangasem, Bali. Dibangun sebelum masuknya Majapahit ke Bali, dikenal dengan sebutan desa Bali Aga atau Bali Mula, sedangkan desa-desa di Bali lainnya dibangun setelah pengaruh Majapahit berkembang, dan disebut sebagai Bali Dataran, dimana desadesa di Bali Dataran ini merupakan mayoritas kawasan permukiman di Bali sekarang ini.
Sebagai kawasan permukiman, desa Tenganan ini memiliki ciri khas yang tidak ditemui di desa Bali yang lain, yaitu:
1. Masyarakat desa ini memeluk agama Hindu aliran Indra, dengan tradisi berbeda dibandingkan masyarakat Bali pada umumnya.
2. Desa ini memiliki awig awig (peraturan adat) desa Tenganan, yang mengupayakan pelestarian lingkungan hidup.
3. Masyarakat desa ini memiliki keahlian merajut kain dengan teknik dobel ikat, salah satu dari dua desa di dunia yang memiliki keahlian ini, yang dipergunakan untuk keperluan upacara, namun sekarang dalam jumlah terbatas sudah mulai diproduksi untuk konsumsi wisatawan.
Dengan demikian, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana masyarakat desa Tenganan mengupayakan pelestarian fungsi lingkungan hidup melalui adat dan budaya setempat. Sedangkan manfaat penelitian dapat memberikan masukan pada pengelolaan pariwisata di Bali yang mengembangkan potensi wisata pedesaan, dan dapat mengembangkan pemikiran tentang "etika lingkungan" masyarakat desa Tenganan yang didasarkan pada norma budaya yang ada.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana nilai-nilai tradisi masyarakat desa Tenganan yang melestarikan fungsi lingkungan hidup masih berjalan hingga saat ini, dan bagaimana persepsi masyarakat desa ini terhadap kegiatan wisata dan teknologi.
Penelitian dilakukan dengan metoda deskriptif, tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, nyata dan akurat, dan mempelajari masalah masalah yang ada di masyarakat serta tata cara yang berlaku dalam situasi tertentu di masyarakat, termasuk yang harus diamati adalah hubungan, pandangan, kegiatan kegiatan, sikap sikap, serta proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena (Nazir, 1988: 63-65).
Sampel diambil dan ketiga Banjar Desa yang berpenduduk 605 orang dalam 233 KK, diambil jumlah responden sekitar 10% dari jumlah KK, yaitu sebanyak 26 KK. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling, mengingat ketiga banjar merupakan masyarakat desa yang homogen. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara terstruktur, wawancara mendalam, pengambilan foto dan data data primer serta studi literatur. Data data setelah dikelompokkan dianalisa secara deskriptip.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan hasil sebagai berikut :
1. Awig awig desa Tenganan Pagringsingan yang ditulis kembali tahun 1925 teryata hanya mengatur upaya pelestarian lingkungan alam dan lingkungan sosial, sedangkan upaya pelestarian lingkungan buatan tidak tersentuh oleh awig . awig tersebut. Untuk mengatasi kesenjangan ini, masyarakat desa ini membuat peraturan khusus tentang tata cara perluasan atau perbaikan rumah pada tahun 1987, namun tampaknya tidak sepenuhnya berhasil, karena beberapa perubahan fisik tetap dilakukan warga desa.
2. Persepsi masyarakat desa ini terhadap unsur unsur pembaharuan dibidang pendidikan, kesehatan, pariwisata dan teknologi ternyata ditanggapi positif, meskipun disadari bahwa ekses negatip yang muncul akibat kedatangan wisatawan tetap ada.
3. Unsur pendidikan ternyata menjadi unsur pokok yang merubah pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap nilai-nilai tradisi yang melestarikan lingkungan hidup.

The Traditional Discretion and Sustainable Environment (The Case Study at Tenganan Pagringsingan Villages, Karangasem, Bali)The traditional discretion at the habitat which is conserve living environment, weather nature environment, social environment and human made environment is every people deire for getting a better life for him and his family. The traditional villages of Tenganan, is one of oldest habitat area in Bali, they are at Manggis Distract, Karangasem, Bali. Tenganan it was built before the Majapahit people come to Bali which is called as Bali Aga village or Bali Mula, but the other villages in Bali was built after the Majapahit influence have been grown, and called as Bali Dataran, where the Bali Dataran villages is the majority of the habitat area in Bali nowdays.
As the Tenganan villages has a specific caracteristic which is can't found in other village in Bali, that is :
1. The people in this village embraces the Indra Hindus religion, different with the Bali society.
2. This village have awig awig (the traditional rules), which is trying to conserve environment.
3. They have skill todo a textile with a double bundle technique, which one out of two village in the world has this skill, used for the ceremonial. Nowdays, in limited addition have been produce for tourist consumption.
Indeed the goal of this studies is to know how the people of Tenganan Pagringsingan village conserving the living environment function through its culture and tradition. On the other hand, the using of this study has made an input to Bali tourism center, which is to open tourist potention in the village, and also to expend the mind about "environment ethics" of Tenganan Pagringsingan villagers, which is based on cultural ethics.
The problem of this study is how the traditional discretion of Tenganan people to sustained on living environment function still running in this days, and how this villagers perception to tourism activity and technology.
The study being established by descriptive method, the goals of this study is to make description, sistematic, phenomena description, real and accurate, and to study problems within the society and action has been done at specific situation, including the study of relationship, the view, activities, manners, and the running process also the impact of a fenomena.
Samples taken form the three banjar village, which have 605 peoples in 233 families, and the respondent about 26 families. Sample has been taken with purposive sampling, knowing that the three banjar villagers is homogen. Data gathered which structured interview, inside interview, photo and primer data also literatures study. The data being analize descriptively.
The result of study and examination shows as follows :
1. The awig awig of Tenganan villages was rewriten in 1925, actualy only to organize nature and social conservation. But the human made concervation not writen on it. To solve this, the villager made a special rule, which is about how to maintance home in 1987, but it is not fully work, because some of phisical changes still been done by the villagers.
2. Villagers perception about some changes in education, health, tourism and technology has positive feed back, although it is realized also has a negative side due to tourist visitors.
3. Education turn up to be the main elemen transformed to knowladge, attitude and people behavior to traditional vallues which is conserves living environment.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Chairul Anam Bagus Haqqiasmi
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang globalisasi dan wacana dalam bahasa Inggris berhubungan dengan dampak yang ditimbulkannya secara kultural di Kampung Inggris, Kota Pare, Kabupaten Kediri. Hubungan antara bahasa dan kebudayaan menjadi fokus utama sorotan analisis tulisan ini. Pembahasan inti dari tulisan ini adalah respon speech community di Kampung Inggris terhadap pembelajaran bahasa Inggris, varian-varian yang muncul dalam proses kontekstualisasi bahasa Inggris, dan proses rekacipta bahasa Inggris sebagai upaya melawan kekuatan hegemonik dari globalisasi untuk menjaga tradisi lokal. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan analisis deskriptif. Hasil penelitian menyatakan bahwa pembelajaran bahasa Inggris tidak hanya bisa dilihat sebagai pembelajaran alat komunikasi saja, namun pembelajaran bahasa Inggris juga membawa nilai-nilai kultural atau wacana dari kebudayaan English-speaking countries. Respon terhadap flow of culture ini bermacam-macam. Di Kampung Inggris Pare, bahasa Inggris direkacipta dan dikontekstualisasi agar sesuai dengan nilai-nilai tradisi lokal Jawa santri.

ABSTRACT
This thesis discusses globalization and discourses in English related to its impact culturally in Kampung Inggris, Pare, Kediri. The relationship between language and culture became the main focus of this paper analyzes. The core topics of this paper is a response speech community in Kampung Inggris to learning English, variants that arise in the process of contextualization English, and (re)invention English process as the resistance against the hegemonic power of globalization to maintain local traditions. This research is a qualitative with descriptive analysis. The study states that learning English is not only seen as a means of communication only, but learning English also carry cultural values ​​or cultural discourses of English-speaking countries. The response to the flow of culture is diverse. In Kampung Inggris Pare, English remade and contextualized to fit the values of local Javanese santri tradition.
"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S65802
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhia Ratu Salsabila
"Dari adanya adaptasi budaya modern foto prewedding tentu akan memiliki kaitan dengan fenomena lain, terutama dari rangkaian acara pranikah yang sudah ada sebelumnya, seperti tradisi pingitan atau masa dipiare dalam adat kebudayaan masyarakat Betawi. Terdapat modifikasi pada masa piare demi melakukan foto prewedding yang dinilai memiliki nilai yang lebih substansial. Penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak munculnya tren foto prewedding di kalangan generasi milenial dan keterkaitannya dengan praktik masa piare dalam kebudayaan orang Betawi. Penelitian ini juga menggali lebih dalam tentang bagaimana masa piare masa kini direproduksi menjadi aktivitas yang tetap ada namun tidak dijadikan aktivitas wajib yang perlu dilakukan, karena adanya produksi budaya baru yang modern dan dinilai lebih substansial, yakni tren budaya foto prewedding. Dalam penelitian ini, digunakan pendekatan teori subjectivity, practice, dan cultural value. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik piare saat ini dinilai tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Ini karena di masa sekarang calon pengantin milenial harus melakukan beragam aktivitas pranikah seperti technical meeting dengan para vendor, fitting gaun, testing food, bridal shower, dan yang utama yaitu foto prewedding. Hal-hal tersebut dinilai lebih substansial sehingga menjadi alasan para calon pengantin milenial Betawi melakukan negosiasi pada pelaksanaan praktik masa piare dari sebulan menjadi hanya beberapa hari saja.

From the adaptation of modern culture, prewedding photos are related to other phenomena, especially from a series of prewedding events, such as the tradition of the dipiare period among the Betawi people.There was a modification during the piare period due to the practice of prewedding photos which were considered to have substantial value. This study aims to examine the impact of the emergence of the prewedding photo trend among the millennial generation and its relation to the practice of piare in Betawi culture. This research also digs deeper into how the current piare period is reproduced into an activity that still exists but is not mandatory, due to the existence of a new, modern cultural production, known as the prewedding photo trend. In this research, the theory of subjectivity, practice, and cultural values is used. The results of the study show that the current practice of piare is considered no longer relevant to the times. This is because nowadays millennial brides-to-be have to carry out various prewedding activities such as technical meetings with vendors, dress fittings, food testing, bridal showers, and most importantly, prewedding photos. These things are considered to be more substantial, so they are the reason for Betawi millennial brides to negotiate the implementation of the piare period from a month to just a few days."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tradisi nikah paksa adalah sebuah kebiasaan masyarakat Madura dalam menjodohkan atau menikahkan anak perempuannya secara paksa dengan lelaki pilihan orang tua. Biasanya mereka dijodohkan ketika masih dalam kandungan atau masih anak-anak. Umumnya usia anak perempuan yang dinikahkan di bawah 18 tahun. Bahkan ada yang berusia sekitar 12-15 tahun. Pelestarian warisan leluhur tersebut bisa dilihat di beberapa daerah tertentu di Madura meliputi Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Tradisi ini terbentuk karena hukum adat yang melebur dengan pemahaman keagamaan masyarakat Madura tentang Islam, didukung pula dengan kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah."
390 JP 20:1(2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Noormila Stiatin Vitrie
"ABSTRAK
Upacara tiwah adalah upacara kematian tahap terakhir yang diselenggarakan Dayak Ngaju penganut agama Kaharingan, untuk mengantar roh orang yang meninggal ke Lewu Tatau (Surga). Upacara yang dilaksanakan secara turun-temurun ini merupakan kewajiban keluarga yang hidup, apakah dia wanita atau pria terhadap kerabatnya yang meninggal dunia.
Pandangan hidup orang Dayak Ngaju didasari asas"mendeng sama kagantung, munduk sama karandah" (berdiri sama tinggi, duduk sama rendah) menunjukkan kedudukan wanita dan pria yang sederajat dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari baik dalam rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat yang lebih luas. Masalah yang menarik untuk diteliti adalah peranan wanita dalam upacara tiwah yang menunjukkan kesederajatannya dengan pria.
Penelitian ini mengikuti kerangka teori bahwa peranan adalah pola perilaku yang ditentukan bagi seseorang yang menempati kedudukan atau status tertentu. Status itu menjadi berarti bila dua atau lebih individu diperbandingkan. Keluarga dan rumah tangga memberi status dan oleh karenanya peranan tertentu kepada anggotanya sesuai dengan budaya masyarakatnya.
Penelitian yang menerapkan metode kualitatif berprespektif wanita ini mengumpulkan data melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Data lapangan diperoleh melalui pengamatan dan wawancara dengan kesepuluh orang informan dan dua narasumber yaitu rohaniwan agama Kaharingan (Basir). Kesepuluh informan terdiri atas wanita dan pria yang meniwah, baik yang beragama Kaharingan maupun beragama lain.
Penelitian ini menemukan dalam upacara tiwah lima peranan wanita yaitu (1) sebagai penanggung jawab, (2) sebagai petugas, (3) sebagai pembantu, (4) sebagai pemasak dan (5) sebagai peserta upacara. Walaupun peranan tersebut mengesankan pembagian kerja berdasarkan jender, ada hubungan saling melengkapi di antara peranan wanita dan peranan pria. Ungkapan "simbiose mutualistis" kiranya tepat untuk menggambarkan hubungan wanita dan pria Dayak Ngaju."
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>