Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28489 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dimas Prabowo Wicaksono
"Teroris memberikan puzzle baru dalam penggentaran karena sifatnya yang berbeda dengan negara. Teoris penggentaran arus keempat membuat inovasi baru dengan menggunakan tiga pendekatan dan dua cara dalam penggentaran. Tiga pendekatan dalam penggentaran arus keempat adalah pendekatan neoklasik, pendekatan intepretif, dan pendekatan pemecahan. Dua cara dalam penggentaran adalah penangkalan dan hukuman. Kajian literatur ini akan membahas preskripsi yang diberikan oleh teoris penggentaran arus keempat dengan mengelompokannya sesuai dengan pendekatan dan cara.

Terrorists puzzle deterrence theorist because their characteristics are different from state's characteristics. Fourth wave deterrence theorist invented new innovation using three approaches and two means in deterrence. The three approaches are neoclassic approach, interpretive approach, and decomposing approach. The two means in deterrence are deterrence by denial and deterrence by punishment. This literature review will elaborate various fourth wave deterrence theorists prescriptions and categorizing it by the approaches and means
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anggalia Putri Permatasari
"Tesis ini membandingkan upaya penanggulangan terorisme di Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia pasca-serangan 9/11 untuk mengetahui faktorfaktor di tingkat negara yang menjadikan Indonesia target serangan teroris transnasional terbanyak di Asia Tenggara dalam satu dekade terakhir. Data mengenai penanggulangan terorisme di keempat negara dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan kerangka teori penggentaran. Hasil penelitian menyarankan bahwa agar tidak secara default menjadi target serangan yang paling menarik, Indonesia perlu memperkuat instrumen tumpul penanggulangan terorismenya, terutama dalam hal kontrol perbatasan maritim, kontrol imigrasi, mitigasi dampak serangan, dan regulasi finansial, sembari memperbaiki instrumen tajamnya melalui revisi bersyarat UU Anti-Terorisme dan penguatan sistem penahanan serta pengawasan pasca-penahanan.

This study compares post-9/11 counter-terrorism efforts in Singapore, Malaysia, the Philippines, and Indonesia to understand factors at the state level, which allows Indonesia to become the most attractive target of transnational terrorist attacks in Southeast Asia during the last decade. Data in this study are analyzed through the lens of deterrence theory using qualitative-comparative approach. This study suggests that in order to prevent Indonesia from becoming a default site for transnational terrorist attacks, it must strengthen its blunt counterterrorism instruments, especially with regards to maritime borders security, immigration control, impact mitigation, and financial regulation. Meanwhile, it must improve its sharp instrument, namely intelligence-driven law operation, by cautiously strengthening its anti-terrorism legislation and improving its detention and post-detention system."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T33026
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beaufre, Andre
New York: Frederick A. Praeger, 1966
355.43 Bea d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Catherine
"Sepanjang sejarah hubungan internasional, kebijakan keamanan selalu berevolusi demi merespons kemunculan ancaman keamanan baru. Di abad ke-21, ancaman keamanan nontradisional berupa terorisme—dengan intifada kedua dan insiden 11 September sebagai titik puncaknya—memicu pergeseran kebijakan keamanan ke arah perang nonkonvensional. Salah satu kebijakan keamanan baru yang dinilai kontroversial adalah pembunuhan yang ditargetkan. Selama penggunaannya sebagai instrumen kontraterorisme, praktik ini menuai banyak kritik yang menganggap kebijakan ini ilegal, imoral, dan inefektif. Namun, tidak sedikit pula pihak yang berupaya mempertahankan legalitas, legitimasi, dan efektivitas praktik tersebut. Atas latar belakang ini, penulis merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: “bagaimana perkembangan literatur akademis tentang pembunuhan yang ditargetkan dalam konteks kontraterorisme?” Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut, penulis melakukan tinjauan pustaka terhadap 27 literatur akademis terakreditasi internasional yang mengangkat isu ini dengan batasan waktu publikasi dari tahun 2000 sampai Juli 2021. Tulisan ini mengadopsi metode pengorganisasian literatur taksonomi untuk mempermudah penulis dalam mengintegrasikan perspektif interdisipliner dalam tinjauan pustaka ini serta memungkinkan penulis mengidentifikasi tema-tema yang masih kurang berkembang. Dengan menggunakan metode taksonomi, penulis memetakan tulisan-tulisan tersebut menjadi dua kategori: (1) dimensi normatif pembunuhan yang ditargetkan dalam kontraterorisme, yang dibagi menjadi tiga subtema berupa legalitas, legitimasi, dan transformasi faktor-faktor ideasional terkait pembunuhan yang ditargetkan; dan (2) efektivitas pembunuhan yang ditargetkan sebagai instrumen kontraterorisme. Penulis berargumen terdapat tiga masalah yang memunculkan kesenjangan penelitian dalam badan literatur pembunuhan yang ditargetkan, antara lain inkonsistensi fondasi konseptual, perbedaan paradigma kontraterorisme, dan ketimpangan tren pendirian literatur di antara kategori yang berbeda. Tinjauan pustaka ini menemukan enam karakteristik yang menggambarkan perkembangan diskursus akademis tentang pembunuhan yang ditargetkan dalam kontraterorisme: (1) lemahnya fondasi konseptual; (2) kesenjangan metodologis antarkategori; (3) pertentangan paradigma penegakan hukum dan perang; (4) derajat efektivitas yang sangat bervariasi; (5) konsistensi pendirian netral dalam literatur normatif; dan (6) diversifikasi pendirian dalam literatur praktis. Tulisan ini merekomendasikan penguatan kerja sama antara akademisi dan pelaku kebijakan untuk mengonsolidasi kajian tentang praktik ini, perumusan instrumen hukum internasional baru untuk meregulasi pembunuhan yang ditargetkan, identifikasi center of gravity kelompok teror dan hubungannya dengan praktik pembunuhan yang ditargetkan, serta merefleksikan praktik ini bagi kebijakan kontraterorisme Indonesia.

Throughout the history of international relations, security policy continues to evolve in response to emerging new security threats. In the 21st century, terrorism as a nontraditional security threat—with the second intifada and the September 11 attacks as its peaks—shifted the security policy towards nonconventional warfare. Targeted killing is among one of the controversial new security policies. In the course of its implementation as a counterterrorism instrument, this practice has been opposed for its perceived illegality, immorality, and inefficacy. Nevertheless, some scholars attempt to defend the legality, legitimacy, and effectivity of the practice. Against this backdrop, the author formulates the following research question: “how is the development of academic literature on targeted killing in counterterrorism context?” To answer the research question, the author conducts a literature review on 27 internationally accredited academic literature on this topic within the publication period of 2000 to July 2021. This paper adopts a taxonomy methodological approach to enable the author to integrate interdisciplinary perspective into the literatur review as well as to identify underdeveloped thematic categories. By utilizing taxonomy methods, the author divides the literature into two categories: (1) the normative dimension of targeted killing in counterterrorism, divided into three subthemes, namely legality, legitimacy, and ideational transformation of targeted killing; and (2) the effectivity of targeted killing as a counterterrorism instrument. The author argues three main issues gave rise to the research gaps in the body of literature on the topic, namely inconsistent conceptual foundation, differing counterterrorism paradigms, and disparity in the trends of literature stances across categories. The findings of this literature review identify six characteristics that portray the development of the academic discourse on targeted killing in counterterrorism: (1) a weak conceptual foundation; (2) a methodological gap between categories; (3) clashes between law enforcement and armed conflict paradigms; (4) varying degrees of effectivity; (5) consistency of neutral stance in the normative group; and (6) diversified literature stances among practical literature. This paper recommends for an intensification of cooperation between scholars and policymakers to consolidate studies on targeted killing, a formulation of a new international law instrument to regulate targeted killing, an identification of center of gravity in terror group and its relation to targeted killing practices, and a reflection of this practice for Indonesian counterterrorism efforts."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2021
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Putu Hadi Pradnyana
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi Indonesia menginisiasi ASEAN Our Eyes. Selain itu, diamati juga implementasi strategi baru kontra terorisme ASEAN di bidang kerjasama pertukaran informasi intelijen, yaitu ASEAN Our Eyes di Indonesia. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh lemahnya koordinasi dan integrasi terkait pertukaran informasi intelijen antar negara anggota ASEAN khususnya dalam penanganan terorisme di kawasan. Teori yang digunakan adalah Proactive Counterterrorism: Intelligence Model. Teori Proactive Counterterrorism: Intelligence Model menjadi pisau analisa untuk mengamati implementasi dari ASEAN Our Eyes di Indonesia, termasuk mekanisme, prosedur, teknis, dan lain sebagainya. ASEAN Our Eyes dibentuk pada tahun 2017 dan telah diratifikasi oleh seluruh negara anggota ASEAN pada tahun 2018. ASEAN Our Eyes merupakan sebuah kolaborasi konkret ASEAN khususnya di bidang pertukaran informasi intelijen sebagai bagian dari proses untuk membangun fondasi keamanan regional terkait kontra terorisme. Hasil analisa adalah Indonesia menginisasi pembentukan ASEAN Our Eyes dalam upaya memperkuat stabilitas kawasan dan domestik dari eskalasi ancaman terorisme. Disisi lain sebagai upaya menjaga sentralitas ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara.

This research aims to analyze the factors that influence Indonesia to initiate ASEAN Our Eyes. In addition, it was also observed the implementation of a new ASEAN counter-terrorism strategy in the field of intelligence exchange cooperation, namely ASEAN Our Eyes in Indonesia. This was motivated by weak coordination and integration related to the exchange of intelligence information between ASEAN member countries, especially in dealing with terrorism in the region. The theory used is Proactive Counterterrorism: Intelligence Model. The theory of Proactive Counterterrorism: Intelligence Model becomes an analytical knife to observe the implementation of ASEAN Our Eyes in Indonesia, including mechanisms, procedures, techniques, and so on. ASEAN Our Eyes was formed in 2017 and has been ratified by all ASEAN member countries in 2018. ASEAN Our Eyes is a concrete collaboration between ASEAN, especially in the field of intelligence information exchange as part of the process to build a regional security foundation related to counter terrorism. The results of the analysis shows that Indonesia initiated the formation of ASEAN Our Eyes in an effort to strengthen regional and domestic stability from the escalation of the threat of terrorism. On the other hand, it is an effort to maintain ASEAN centrality as a regional organization in Southeast Asia."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Leonardis Arthur Parlindungan
"ABSTRAK
Tesis ini membahas penetapaan oleh AS terhadap sejumlah negara sponsor kelompok terorisme. Pembahasan dilakukan untuk memahami bagaimana kebijakan AS tersebut dapat ditinjau sebagai deterrence yang mengalami perluasan konsep dan non tradisional. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Dari hasil penelitian akan teridentifikasi variabelvariabel pembentuk deterrence yang dapat menangkal (denial) atau menghukum (punish) negara pendukung kelompok pelaku teror. Hasil penelitian ingin menyarankan pengembangan teori deterrence secara lebih luas dan penerapannya dapat lebih terukur efektivitasnya untuk memperkaya keilmuan dan kebijakan negara guna merespon ancaman terorisme internasional.

ABSTRACT
The thesis will discuss about the designation of state-sponsors of terrorism by the US upon several terrorist group supporting states. This discussion aims to build a comprehension on how the designation policy by the US could be reviewed as a broader, and a non-traditional concept of deterrence. Research is conducted with descriptive method on qualitative approach.
Results will determine and identify the variables that form deterrence effect on a denial and punishment purpose against state-sponsors of terrorism. At the end, this thesis would also like to encourage the future development of a broader yet measurable deterrence concept in order to enrich the studies and state policy on responding potential threat posed by international terrorism.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Nury Hikmah Sabry
"Perang Irak telah membatasi baik kemauan politik, kredibilitas, serta kapabilitas militer AS dalam melancarkan perang baru. Apalagi dengan naiknya Barack Obama sebagai orang nomor satu negara adidaya tersebut, artikulasi kebijakan luar negeri dan keamanan nasional AS menjadi sangat "anything but Bush." Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini ingin melihat bagaimana cara Obama menggunakan military power Amerika pasca efek traumatis Perang Irak.
Hasil penelitian ini menunjukkan suatu paradoks yang sangat menarik. Dalam kasus di mana kepentingan AS dipertaruhkan, tujuan dan cara Obama sebenarnya tidak terlalu beda dengan pendahulunya, George W. Bush. Dalam hal ini, Obama akan sangat bersedia untuk menggunakan tindakan unilateral. Sebaliknya, dalam kasus di mana kepentingan AS tidak begitu signifikan, Obama akan cenderung menggunakan cara-cara multilateral. Akan tetapi, terlepas dari pendekatan berbeda yang digunakan Obama dalam kedua kasus yang diangkat, Obama memang telah membentuk strategi baru yang "lighter, cheaper but harder" dalam kebijakan keamanan nasional AS.

The Iraq war has limited the U.S. political will, credibility, as well as military capabilities in waging a new war. Particularly with Barack Obama winning election and reelction, the articulation of U.S. foreign policy and national security is very much 'anything but Bush.' Therefore, this study is aimed to see and analyze how Obama used American military power after the traumatic effects of the Iraq War.
The results of this study show a very interesting paradox. In cases where U.S. interests were at stake, Obama's approach was not too different from his predecessor, George W. Bush. In this case, Obama would be very willing to use unilateral action. Conversely, in cases where U.S. interests were not too significant, Obama has tended to use multilateral means. However, regardless of the different approaches used in both cases, this study finds that Obama does manage to formulate a new strategy in the American way of war which is characterized by a "lighter, cheaper but harder" strategy."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S44755
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Windhy Dewitasari
"Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian mengapa Korea Utara melakukan pengembangan senjata nuklir periode 2003-2010. Analisa penelitian ini menggunakan teori nuclear deterrence strategy untuk menjelaskan bentuk pengembangan senjata nuklir yang dilakukan sebuah negara dan implementasi pengembangan nuklir untuk memproduksi berbagai senjata nuklir yang ditujukan untuk membangun kekuatan penangkalan nuklir. Imbas dari pengembangan senjata nuklir tersebut, pada akhirnya, tidak hanya bersifat defensif atau penangkalan dalam mempertahankan keamanan nasional saja, juga memiliki kekuatan ofensif, yaitu kekuatan untuk memberikan pengaruh di dalam interaksi antar negara. Analisa penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat eksplanatif, yaitu jenis penelitian yang menjelaskan pola sebab akibat antar dua variabel yang diteliti. Penelitian ini menggambarkan pola interaksi antar dua variabel, yaitu variabel pengembangan senjata dan variabel strategi nuklir sebagai langkah perimbangan kekuatan Korea Utara terhadap Amerika dan aliansinya. Interaksi antar dua variable ini mengindikasikan bahwa terdapat bentuk pengembangan nuklir yang dimulai pada paska keluarnya Korea Utara dari perjanjian NPT (Non Proliferation Treaty) tahun 2003. Paska keluarnya Korea Utara dari NPT, negara tersebut memulai pengembangan nuklirnya untuk menghasilkan berbagai uranium sebagai bahan utama dalam menghasilkan senjata-senjata nuklir. Kepemilikan senjata nuklir ini kemudian menjadi sebuah strategi penangkalan nuklir Korea Utara dalam menghadapi permusuhan dengan Amerika Serikat. Senjata nuklir yang dijadikan sebagai kemampuan penangkalan mengindikasi bentuk strategi penangkalan yang bersifat defensif dan ofensif. Kemampuan defensif Korea Utara terletak pada pembangunan senjata nuklir yang berimplikasi pada pembangunan kredibilitas kekuatan nuklir yang dapat membuat pihak lawan mengurungkan niat untuk melakukan invasi mengingat bentuk serangan balasan atas invasi yang jauh lebih destruktif. Sedangkan kemampuan ofensifnya terletak pada besaran pengaruh dan intimidasi yang dilakukan Korea Utara di dalam interaksi yang dapat mendegradasi dominasi Amerika dan aliansinya dalam konteks perundingan dan diplomasi.

This analysis stands to answer research question which states that why North Korea did the development of nuclear weapons in 2003-2010 period. To do the analysis, this research uses nuclear deterrence strategic theory to explain the development of nuclear weapons done by country and its implementation in producing any weapons which is purposed to create nuclear deterrence strategy. To do such analysis, this research lies on quantitative method which focuses on the interaction between two variables to explain the causality or resiprocal interaction between variables. Empirically, this research is done to figure out about interaction pattern of two variables, namely the development of nuclear and nuclear strategy as the strategy to reach equilibrium power of North Korea toward America and its ally. The interaction between two variables indicate that North Korea begun its nuclear development program in 2003 after its turning out to leave the NPT. After leaving NPT, it started to begin the development of uranium enrichment to create certain nuclear weapons. These nuclear weapons purposed to increase its defensive and ofensive capability are restored as a part of deterrence strategy implemented by North Korea as strategy to face America, South Korea, and Japan. In summary, North Korea defensive capability has great implication to prevent any military invasion attack from its enemy, considering the second strike capability of nuclear attack which can employ great destruction. On the other side, ofensive capability of North Korea can boost up its influence among parties interaction. Its ofensive capability lies on the way of North Korea getting involved in diplomatic activity and negotiation and the degradation of America?s domination to intimidate and influence North Korea."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
T29648
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Alisha Putri Ramadhanti
"ABSTRACT
Pameran keliling harus dapat memamerkan informasi dengan cara yang sama di tempat yang berbeda-beda dan hal ini menjadi faktor utama yang mempengaruhi proses mendesain pameran keliling. Sehingga, keseimbangan antara kebutuhan representasi pameran yang spesifik dan kebutuhan untuk dapat berpindah-pindah sangat penting untuk diperhatikan. Strategi yang spesifik hadir untuk membentuk elemen arsitektural pameran keliling yang bersifat portabel dengan memanfaatkan material yang spesifik pula yakni plywood. Untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan, penulis melakukan analisis secara langsung di Pameran Pink Floyd: The Mortal Remains yang berlokasi di London; wawancara online dengan pihak penyelenggara pameran terkait dan menganalisis video konstruksi pameran terkait. Berdasarkan studi kasus yang telah dilakukan, sistem konstruksi modular yang bersifat repetitif serta berbentuk frame dan panel dan juga dipasang menggunakan metode dry-assembly menjadi strategi yang utama ketika membentuk elemen arsitektural pameran yang dapat berdiri sendiri dan bersifat independen dari konteksnya. Hal ini dilakukan agar modul-modul dapat dilepas pasang secara efisien dan dipindahkan ke lokasi selanjutnya secara flat-packed. Dampak dari penggunaan plywood yang sedemikian rupa adalah pameran dapat dibangun tepat waktu 2 minggu pameran berhasil dipindahkan ke lokasi selanjutnya secara efektif hal yang tidak dapat dihindari adalah perlunya penyesuaian dengan cara memproduksi ulang beberapa modul untuk disesuaikan dengan konteks yang baru.

ABSTRACT
A travelling exhibition is slightly different with a general one, because a travelling exhibition has to represent a story in a specific way and also focus on the portability function of the exhibition itself. In order to achieve those needs, a specific strategy has to be used to utilize a specific material in this case is plywood to build a portable architectural element of the travelling exhibition. An analysis of a travelling exhibition called Pink Floyd The Mortal Remains in London 2017 was done and it turns out, modular system and dry assembling method was used to create the exhibition. Framing and panel method and repetitive module method were also used to utilize the material. These module was turned into to be flat packed when being transported to the next exhibition location. In conclusion, those strategies helped the travelling exhibition to be assembled effectively in 2 weeks. Portable construction that was used to create the exhibition was also compatible with three Vitruviuss design aspect firmitas, utilitas, and venustas based on J. Postell view point. Apparently, some adjustment still has to be done by producing a custom module for the new context. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>