Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 158391 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Carla Tinaningsih
"Tulisan ini membahas perkembangan ekonomi Cina pasca Mao Zedong dan hubungan ekonomi Cina dengan ASEAN-Cina Free Trade Area. Deng Xiaoping merupakan tokoh sentral dalam usaha modernisasi di Cina, reformasi Cina yang dicanangkan pada tahun 1978, yaitu program ?Reformasi dan Keterbukaan' (Gaige Kaifang) yang telah membawa Cina pada sebuah sistem perekonomian baru ala Cina yaitu sistem pasar-sosialis. Pada tahun 1982 perekonomian Cina telah terbuka pada perdagangan luar negeri dan investasi asing. Hal ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi Cina terus mengalami peningkatan, pada tahun 2002 negara-negara anggota ASEAN melakukan kerjasama perdagangan bebas dengan Cina mengenai penurunan tarif, bea masuk dan pajak. Integrasi ekonomi ini memacu masuknya Foreign Direct Investment (FDI) yang akan membantu menstimulasi pertumbuhan ekonomi di ASEAN dan di Cina melalui perbaikan teknologi, penciptaan lapangan kerja, pembangunan sumber daya manusia (human capital) dan memperluas akses ke pasar dunia.

This paper discusses China's economic development post Mao Zedong and China's economic relations with ASEAN - China Free Trade Area. Deng Xiaoping was a central figure in the effort of modernization in China. China's reform, proclaimed in 1978, which is a program of ?Reform and Openness' (Gaige Kaifang), has brought China to a new Chinese-style economic system, i.e. a socialist-market system. In 1982, China's economy had been open to foreign trade and foreign investment. This caused China's economic growth to continue to increase. In 2002, ASEAN member countries conducted free trade cooperation with China regarding the reduction in tariffs, duties and taxes. This economic integration has spurred the entry of Foreign Direct Investment (FDI) which will help stimulate economic growth in ASEAN and in China through technological improvement, employment procurement, human resource development (human capital); and will expand access to the world market."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Inggita Prasasya Swasti
"This thesis uses general equilibrium model to examine the economic impact of ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) on Indonesia. The analysis covers how price and quantity change in response to tariff liberalization under ACFTA framework. Demand and supply elasticity is needed to calculate welfare effects. Difference-in-differences method is applied to estimate demand elasticity while supply elasticity is calculated through Instrumental Variable (IV) regressions using tariff as an instrument.
The results show that Indonesia's demand is elastic enough and supply to Indonesia is fairly elastic. Indonesia consumers are willing to substitute products between different sources due to price changes. ACFTA would increase production quantity for all member countries but had insignificant effect on reducing price of goods. Furthermore, I confirm result from existing literature that trade creation effect is dominated than trade diversion effect."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haura Marjorie Herbayuning
"ABSTRAK
Cina menganut sistem sosial patriarki, yang berarti laki-laki menjadi poros utama dalam kehidupan masyarakat Cina. Hal ini membuat peran perempuan Cina tidak terlalu dianggap. Namun, ketika Mao Zedong berkuasa 1949 mdash;1976 , ia memiliki beberapa kebijakan yang dapat mengembangkan peran perempuan Cina khususnya di bidang politik dan ekonomi. Jurnal ini berfokus pada pemaparan alasan Mao membuat kebijakan untuk mendukung peran perempuan, menjelaskan cara Mao dalam meimplementasikannya, serta memaparkan perkembangan perubahan partisipasi perempuan Cina pada saat itu. Penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan historis. Penulisan jurnal ini bertujuan untuk melihat perubahan partisipasi perempuan Cina saat Mao memimpin.

ABSTRACT
China adopts the patriarchal social system, which means men become the main axis in the life of Chinese Society. This makes Chinese women rsquo;s role not so much considered. But, when Mao Zedong came to power 1949 mdash;1976 , he has some policies to developed Chinese women rsquo;s role especially in politics and economics. This Journal focus on the explanation of the reasons Mao makes policies to support women rsquo;s role, how he implementing it, and also the explanation of the development of Chinese women rsquo;s participation at that time. The writer will be using qualitative method with historical approach. The aim of this journal is to see the changes of Chinese women rsquo;s participation during the reign of Mao. "
2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Wildan
"Penelitian ini berusaha untuk memahami dan menjelaskan berbagai faktor atau alasan apa yang membuat Cina berupaya meningkatkan hubungan kerjasama ekonomi dengan ASEAN dan bagaimana hubungan kerjasama itu berlangsung antara tahun 1998 hingga 2003. Untuk mengamati hal ini, penulis menggunakan pendekatan neo-realis dengan didasarkan pada landasan teoritik tentang kepentingan nasional dan konsep saling ketergantungan.
Hipotesis dalam penelitian ini adaiah bahwa peningkatan kerjasama ekonomi yang dilakukan Cina dengan ASEAN merupakan bagian tidak terpisahan dari upaya Cina dalam mewujudkan kepentingan nasionalnya, terutama dalam hal penguasaan pasar intemasional dan untuk mcmpermudah mendapatkan akses bahan mentah. Untuk mewujudkan itulah Cina bemsaha menggandeng ASEAN, bahkan kedua pihak memperkuat hubungan ilu dalam bentuk kelembagaan dengan mendesainnya kedalam China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA), yaitu suatu kerjasama ekonomi yang menciptakan wilayah perdagangan bebas antara kedua pihak.
Hasil peneiitian yang ditemukan menunjukkan bahwa ternyata Cina meningkatkan hubungan kerjasama ekonomi dengan ASEAN dengan berbagai dorongan tertentu, yang juga merupakan bagian tidak terpisahkan dari kepentingan nasionalnya, yaitu (1) adanya keinginan Cina untuk meneruskan kebijakan reformasi ekonominya (2) karena kebijakan Cina yang memang menempatkan ASEAN sebagai bagian dari negara tetangga yang baik (3) karena kedekatan geografis dan sejarah antara Cina dengan ASEAN (4) karena keterbatasan bahan mentah yang Cina (5) karena pada saal yang sama ASEAN juga ternyata memiliki kehendak yang kuat untuk menjalin hubungan ekonomi yang lebih erat dengan Cina (6) karena Cina mempunyai keinginan yang kuat untuk menggantikan posisi hegemoni ekonomi Jepang di ASEAN.
Perlu disampaikan juga bahwa hubungan kerjasama ekonomi yang dilakukan Cina dengan ASEAN dalam periode 1998 hingga 2003 temyala terbukti perdagangan intemasional dan aktivitas penanaman modal asing yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Dalam konteks ini terlihat bahwa dari tahun ke tahun terdapat kenaikan volume perdagangan yang disertai dengan adanya keuntungan timbal balik antara kedua belah pihak dalam melakukan hubungan ekonomi tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T 22154
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Santi Hapsari Paramitha
"Keinginan untuk meningkatkan perekonomian kawasan menjadi dasar kuat bagi negara-negara ASEAN untuk membuat kerjasama perdagangan regional dengan partner dagang yang potensial dalam perekonomian dunia. Digagasnya ACFTA dengan China merupakan institusionalisasi dari keinginan tersebut sebagai bentuk regionalisme ekonomi, di mana kepentingan negara-negara yang terlibat di dalamnya menjadi elemen yang penting dalam pembentukan ACFTA. Indonesia, sebagai negara ASEAN yang terlibat di dalamnya melihat bahwa keberadaan ACFTA mendatangkan peluang dan keuntungan yang besar terlepas dari defisit yang terjadi di Indonesia. Penelitian ini menganalisis mengapa Indonesia mempertahankan dan terlibat lebih jauh dalam ACFTA sejak tahun 2002 hingga 2012 mengingat defisit yang dialami dan tingginya tekanan domestik untuk melakukan renegosiasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa melalui kerjasama regional, negara dapat memperoleh manfaat yang signifikan baik secara eksternal maupun internal. Walaupun mengalami defisit perdagangan, Indonesia dalam hal ini mendapatkan insentif dari keterlibatannya di ACFTA karena memutuskan untuk tidak terlibat sama sekali justru akan mendatangkan kerugian yang berupa ketertinggalan pertumbuhan ekonomi dibandingkan negara-negara lain yang terlibat di dalamnya.

The desire to grow the regional economy became the main reason for ASEAN states to create regional trade agreement with a potential trading partner in the world economy. The establishment of ACFTA, between ASEAN and China was an institutionalization of that desire as a step striving for economy regionalism, in which the interest of the states involved, being an important element in ACFTA. Indonesia as one of ASEAN states who took part in the agreement, seeing the existence of ACFTA could provide the opportunity and potential gain, though the deficit occured in Indonesia. This research is purposed to analyze why Indonesia decided to stay and expand its involvement in ACFTA since 2002 to 2012 through various agreement, remembering the deficit and the domestic pressure to do the renegotiation. The result of the research shows that through regional agreement with potential partner, states could achieve the benefits, both externally and internally. Despite the deficit, Indonesia still gained incentive from its involvement in ACFTA, as Indonesia believed that being left in regional trade agreement would only cause no gain and greater loss in economic growth than the other parties involved.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S55500
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamal Hamidi
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak penerapan ACFTA terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia-China dalam jangka panjang dan jangka pendek. Penelitian ini menggunakan data time series dari triwulan 1 tahun 2000 sampai dengan triwulan 4 tahun 2011 dengan menggunakan metode estimasi Error Correction Model (ECM). Perjanjian ACFTA disahkan pada 1 tahun 2005, sedangkan dampak penerapannya pada neraca perdagangan bilateral Indonesia-China secara efektif adalah sejak 1 Januari tahun 2008. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dibuat dua model regresi untuk dua periode ACFTA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel ACFTA mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia-China hanya dalam jangka panjang dan untuk periode ACFTA yang dimulai 1 Januari 2008.

The aim of this study is to know the impact of ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) on Indonesia?s-China Balance of Trade in the long term and in the short term. This study uses time series data from 2000 to 2011 (quarterly basis) and the estimation method used is Error Correction Model (ECM). ACFTA agreement was legally implemented starting from January 1, 2005, whereas the impact of the implementation on Indonesia?s-China Balance of Trade was effectively on January 1, 2008. Therefore, there are two regression models for two periods of ACFTA agreement. The result of this study is variable ACFTA has significant effect to Indonesia?s-China Balance of Trade only in the long term and for period of ACFTA agreement starting from January 1, 2008."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
T39043
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
S7928
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Pribadi Sutiono
"Dalam menghadapi perlawanan kaum nasionalis Guomindang, Mao Zedong pada awal perjuangannya sudah melihat potensi yang dimiliki oleh masyarakat Cina, yaitu terbaginya masyarakat dalam berbagai kelas. Dari kelas--kelas yang ada di Cina, Mao Zedong kemudian membaginya menjadi dua kelas yang besar, yaitu kelas revolusioner dan kelas yang tidak revolusioner (yang cenderung memihak lawan). Penbagian Mao Zedong atas kelas-kelas itu bertitik tolak dari teori-teori Marxisme-Leninisme ditambah dengan situsi keadaan Cina saat itu. Oleh Mao Zedong, kelas-kelas revolusioner ini dimanfaatkannya untuk mendapatkan jumlah massa pengikut Partai komunis Gongchandang guna menjalankan revolusi melawan partai Nasionalis Guomindang. Mao Zedong menganggap bahwa revolusi dapat dijalankan hanya bila dipimpin oleh kelas -kelas revolusioner yang dipimpin oleh kelas Proletar. Meskipun demikian, Mao Zedong telah membuat suatu kesalahan yang cukup memberatkan untuk suatu teori. Mao Zedong beberapa kali membuat suatu pernyataan yang bertentangan dengan situasi atau metode yang sebenarnya dijalankan olehnya. Hal ini merupakan suatu kelemahan dari teori revolusi yang dibuatnya. Meskipun demikian hal ini juga merupakan bentuk dari kepraktisan Mao Zedong dalam menyesuaikan situasi yang ada di Cina. Dengan analisis kelas masyarakat di Cina ini, Mao Zedong telah berhasil memenangkan pertikaian antara Partai Komunis dengan Partai Nasionalis pada saat itu. Dan hal ini membuktikan bahwa Mao Zedong telah berhasil memanfaatkan situasi Cina saat itu dan dengan bertolak dari teori Marxisme-Leninisme yang dipahaminya."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triasti Budhiyani
"Isu faksionalisme yang ada dalam sebuah organisasi, terutama dalam partai politik seperti pada Partai Komunis Cina (PKC), seperti tak ada habisnya dijadikan bahan penelitian. Hal ini disebabkan masih adanya data-data yang masih belum dibuka untuk umum dan juga karena faksionalisme dalam PKC mempunyai karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan partai politik lainnya. Contohnya adalah pertentangan antar faksi pada masa Revolusi Kebudayaan 1966-1976 dan Tragedi Tiananmen 1989. Keduanya mendapat perhatian besar karena jatuhnya begitu banyak korban jiwa baik dari pihak intern partai maupun luar partai seperti intelektual, mahasiswa, dan rakyat biasa. Porsi yang besar atas kedua peristiwa seperti mengecilkan faksionalisme yang berlangsung masa awal PKC antara 1921-1949, padahal dari periode awal inilah dapat dilihat bagaimana awalnya faksionalisme terjadi dalam partai tersebut dan pengaruhnya terhadap periode selanjutnya.Penggambaran atau deskripsi serta analisa atas faksionalisme dengan menggunakan teori faksionalisme dapat membuka cakrawala dan pemahaman atas isu tersebut. Pihak-pihak yang bertentangan secara garis besar memang terbagi dua yaitugaris Soviet dan garis non Soviet, tapi dari pembahasan selanjuinya dapat diamati bahwa yang terjadi tidak sesederhana itu.Munculnya Mao Zedong sebagai pemenang dari persaingan antar faksi ini membuatnya dipuja-puja rakyat, akan tetapi belakangan Mao justru menimbulkan masalah akibat keinginannya untuk selalu menang. Dapat dilihat Mao sebagai seorang tokoh yang berpengaruh besar merupakan faktor yang menyebabkan munculnya faksi, sekaligus mempengaruhi hasil faksi. Beberapa faktor lain memang ikut berpengaruh. Walau demikian Mao menjadi tokoh terpenting dalam PKC dari sekian tokoh lainnya yang ikut berperan dalam persaingan antar faksi ini."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S13068
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>