Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 129087 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Diana Susanto
"Heparin-induced thrombocytopenia (HIT) adalah salah satu efek samping penggunaan heparin, yang dicurigai bila terdapat penurunan trombosit ≥50% pada hari ke-5 sampai ke-10 pascaheparinisasi dan dapat disertai komplikasi tromboemboli. Mekanisme HIT melibatkan pembentukan antibodi terhadap kompleks PF4-heparin (anti-PF4). Pemeriksaan diagnostik HIT terdiri dari uji fungsional dan immunoassay. Pemeriksaan immunoassay, yang mendeteksi anti- PF4 dengan metode ELISA memiliki sensitivitas tinggi dan paling sering digunakan untuk deteksi HIT. Angka kejadian HIT sangat bervariasi karena banyak faktor yang mempengaruhi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi kejadian HIT dan proporsi pasien yang memiliki anti-PF4 pada pemberian terapi heparin di RSCM. Penelitian ini melibatkan 120 pasien rawat inap yang mendapat drip heparin atas indikasi profilaksis atau pengobatan, dengan dosis minimal 10.000 U/24 jam. Pasien yang memenuhi kriteria masukan dan tolakan dilakukan pencatatan data usia, jenis kelamin, diagnosis klinis, riwayat pemakaian heparin 3 bulan terakhir, dan dosis heparin yang dipakai. Pada hari ke-7 dan ke-10 pascaheparinisasi (H7 dan H10) dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan hitung trombosit dan anti-PF4. Diagnosis HIT didasarkan atas penurunan hitung trombosit ≥50% pada H7 atau H10 yang disertai adanya antibodi anti-PF4.
Hasil uji ketelitian within-run dan uji ketepatan pemeriksaan anti-PF4 mendapatkan CV 7,73% dan penyimpangan (d) 2,5-17,4%. Pada 19 dari 120 subjek (15,8%) ditemukan anti-PF4, tetapi kejadian HIT tidak ditemukan. Berdasarkan klasifikasi risiko terjadinya HIT menurut American College of Chest Physician (ACCP), terdapat 46/120 subjek (38,3%) berisiko rendah, 65/120 subjek (54,2%) berisiko tinggi, 8/120 subjek (6,7%) berisiko sangat tinggi, dan 1 orang tidak terklasifikasi. Uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara temuan anti-PF4 dengan penurunan trombosit ≥50% (p=0,588). Hal ini diduga karena kurangnya jumlah subjek penelitian yang diperlukan. Antibodi anti-PF4 lebih sering ditemukan pada subjek perempuan dan dengan riwayat heparinisasi.
Proporsi ditemukannya anti-PF4 berturut-turut lebih banyak pada pasien pascabedah vaskular dan ortopedi, trombosis arteri dan vena, kemudian pasien medis yang mendapat profilaksis heparin. Tidak ada perbedaan bermakna proporsi anti-PF4 positif pada subjek dengan atau tanpa riwayat heparinisasi (p=0,293), perbedaan dosis heparin (p=0,141), dan populasi risiko HIT rendah, tinggi, dan sangat tinggi (p=0,662). Empat dari 19 subjek yang memiliki anti-PF4 positif mengalami penurunan trombosit 20-46% pada H7 dan H10.

Heparin-induced thrombocytopenia (HIT) is an adverse effect of heparin, that suspected when platelet count fall ≥50% in 5 to 10 days following heparin initiation and may be accompanied with thromboembolic complications. Mechanism of HIT is mediated by the formation of PF4-heparin complex antibody. There are 2 kind of diagnostic test for HIT, functional assay and immunoassay. Immunoassays, that detect anti-PF4 antibody using ELISA method, have high sensitivity and considered the most frequent assay for detecting HIT. The incidence of HIT varies due to many factors.
The aim of this research is to find the proportion of HIT events and also the proportion of anti-PF4-heparin antibody positive in patients with full-dose heparin in Cipto Mangunkusumo hospital. One hundred and twenty participants, who were our hospital in-patients given heparin infusion with minimal dose of 10.000U/24 h for profilactic or treatment indication, participated in this research. Patients met the inclusion and exclusion criteria were noted for age, gender, clinical diagnosis, heparin exposure in the last 3 months, and heparin dose. On day 7 and 10 after heparin initiation, blood sample were collected for platelet count and anti-PF4 antibody assay. Diagnosis of HIT was based on platelet count fall ≥50% on day 7 or 10 after heparin initiation accompanied with anti-PF4 antibody in the circulation.
Within run precision and accuracy tests for anti-PF4 assay showed a CV of 7,73% and deviations of -2,5 – 17%. Nineteen of 120 subjects (15,8%) had anti-PF4 antibodies, but HIT was not found. Based on the risk classification of HIT from American College of Chest Physician (ACCP), 46 subjects (38,3%) categorized as low risk to HIT, 65 (54,2%) high risk, 8 (6,7%) very high risk, and 1 as unclassified. Statistics showed there was no significant relationship between anti-PF4 antibodies in the circulation with platelet count fall of ≥50% (p=0,588). This was probably due to inadequate sample size for this study. Anti-PF4 antibodies were detected more frequent in females and subjects with past heparin exposure.
The proportion of positive anti-PF4 antibodies were highest in postoperative vascular or orthopedic surgery patients, followed by arterial or venous thrombosis patients, then medical patients using profilactic dose of heparin. There were no significant difference of positive anti-PF4 antibodies in subjects with vs without past heparin exposure (p=0,293), in subjects using 10.000U/24h vs >10.000U/24h heparin dose (p=0,141), and in subjects with low vs high vs very high risk of HIT (p=0,662). Four of 19 subjects having anti-PF4 antibodies had platelet count fall 20-46% on day 7 and day 10.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rosdeni Arifin
"Latar belakang : Trombosis dikenal sebagai dasar patogenesis oklusi vena
retina (OVR). Adanya trombosis vena retina dapat diketahui dari funduskopi dan
angiografi fluoresin. Selain itu, adanya gangguan hemostatik ditunjukkan oleh
penurunan kadar protrombin didalam plasma dan nilai intemational normalized
ratio (INR). Prinsip penatalaksanaan pada OVR adalah memperbaiki sirkulasi
darah dengan cara mencegah pembentukan trombus dan meningkatkan
fibrinolisis. LMWH subkutan sebagai antikoagulan mempunyai peranan pad a
kedua cara tersebut, sedangkan Warfarin hanya mampu mencegah koagulasi
material-material darah yang akan terjadi. Tujuan : untuk menilai efektivitas
terapi LMWH terhadap perbaikan abnormalitas vaskular penderita oklusi vena
retina (OVR). Bahan dan cara : Penelitian ini merupakan uji klinis prospektif.
secara random. Subjek penelitian dibagi menjadi kelompok penerima LMWH
subkutan untuk 10 hari dan tumpang tindih dengan warfarin pada hari ke delapan
serta kelompok penerima menerima warfarin sejak hari pertama lerapi.
Pemeriksaan hemostatik dan angiografi fluoresin dilakukan pad a kedua
kelompok. Efektivitas terapi dinilai pada hari ke 19 dengan Survival analysi~ dan
Cox regression. Hasil : Efektivitas terapi LMWH ditemukan 11 kali lebih baik dari
warfarin dengan 95% CI bermakna. Kesimpulan : Terapi LMWH menunjukkan
peranan didalam mencegah koagulasi dan meningkatkan fibrinolisis pada OVR."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T58805
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tandry Meriyanti
"Sepsis merupakan respons inflamasi sistemik pejamu terhadap infeksi. Respons inflamasi dimediasi oleh sitokin yang akan dilepaskan ke sirkulasi. Pelepasan sitokin akan menyebabkan terjadinya aktivasi koagulasi melalui peningkatan ekspresi tissue factor (TF) dan penurunan inhibitor alamiah, serta penurunan fibrinolisis. Tissue factor (TF) merupakan inisiator penting pada proses koagulasi, yang diekspresikan di sirkulasi darah oleh monosit aktif. Aktivasi TF selain menyebabkan aktivasi koagulasi juga dapat memodulasi inflamasi pada pasien sepsis berat. Heparin selain sebagai antikoagulan, berperan sebagai antiinflamasi. Berdasarkan fungsi heparin sebagai antiinflamasi dan peranan TF dalam inflamasi, ingin diteliti apakah pemberian heparin dapat menurunkan aktivitas TF yang diekspresikan monosit pada keadaan inflamasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan aktivitas TF monosit pada orang sehat dan pasien sepsis berat dan perbedaan aktivitas TF monosit pada pasien sepsis berat dengan pemberian heparin in vitro dibandingkan dengan kelompok tanpa heparin.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan sampel 10 orang pasien sepsis berat dan 5 orang sehat. Darah sitrat dipisahkan sel mononuklear darah tepi (peripheral blood mononuclear cell/ PBMC) dengan teknik Ficoll-Paque, dan isolat monosit diperoleh dari PBMC menggunakan Monoclonal Antibody Cell Sorter (MACS) microbeads. Isolat monosit dipisahkan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok pertama langsung diperiksa aktivitas TF, kelompok kedua diinkubasi 6 jam dengan heparin 0.1 IU, dan kelompok ketiga diinkubasi 6 jam tanpa heparin. Isolat monosit kemudian dibuat lisat sel dan supernatan diukur aktivitas TF (Actichrome TF).
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan bermakna aktivitas TF monosit pada pasien sepsis berat dibandingkan orang sehat (p=0.002). Aktivitas TF monosit pada pasien sepsis berat yang mendapat heparin 0.1 IU berbeda bermakna setelah jam ke-6 dibandingkan tanpa heparin (p=0.003).

Sepsis is a host systemic inflammatory response to infection. Inflammatory response is mediated by cytokines released into circulation. Cytokine leads to coagulation activation by elevating tissue factor (TF) expression, reducing natural inhibitors, and impeding fibrinolysis. TF is an important initiator in coagulation process, expressed in blood circulation by active monocytes. TF activates coagulation and modulates inflammation in severe septic patients. Heparin acts as anticoagulant and antiinflammatory agent. Based on heparin as antiinflammatory agent and role of TF in inflammation, heparin can decrease TF activity expressed on monocyte in inflammation.
This study aims to find the difference between monocyte TF activities in healthy people and severe septic patients, and also between monocyte TF activities in severe septic patients receiving heparin in vitro and without heparin group.
This study is a laboratory experiment using 10 samples from severe septic patients and 5 healthy samples. Peripheral blood mononuclear cells (PBMCs) are separated from citrate blood using Ficoll-Paque technique. Monocyte isolation is performed using Monoclonal Antibody Cell Sorter (MACS) microbeads. Monocyte isolate is divided into three groups, first group is measured for TF activity directly, second group is incubated 6 hours with heparin 0.1 IU, and third group is incubated without heparin. Cell lysate is processed from monocyte isolate and supernatant is measured for activity TF (Actichrome TF).
The result shows a significant difference between monocyte TF activity in severe septic patients compared to healthy people (p = 0.002). Monocyte TF activity in severe septic patients with heparin 0.1 IU/mL in the 6th hour is also significantly different than without heparin group (p = 0.003).
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The aim of this volume is to summarise the developments that have led to the current status of both heparins as drugs and the field of heparin research, with a focus on the particularly rapid progress that has been made over the past three decades. Individual sections are dedicated to the nature of heparin as a biological molecule, the current approaches and techniques that are used to ensure the safety and reliability of heparin as a medicine, the clinical pharmacology of heparin as an anticoagulant drug, effects and potential applications of heparin aside of those involving haemostasis and, finally, the nature and potential uses of heparin-like materials from both natural and synthetic sources."
Berlin: Springer, 2012
e20401539
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Thiara Maharani Brunner
"Latar Belakang: Pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik memiliki risiko perdarah pasca-operasi cardiopulmonary bypass (CPB) yang tinggi .Pada CPB, heparin digunakan sebagai antioagulan, dikembalikan dengan protamine sulfat dan diukur menggunakan activated clotting time (ACT). Heparin dapat menginduksi perdarahan dan protamine sulfat berlebih dapat berperan sebagai antikoagulan. Penelitian mengenai hubungan antara dosis awal heparin dan nilai ACT pasca pemberian protamine terhadap perdarahan pasca-operasi belum diteliti pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik di CMGH.
Tujuan: Untuk menilai korelasi antara dosis awal heparin dan nilai ACT pasca pemberian protamine terhadap perdarahan pasca-operasi pada pasien anak dengan penyakit jantung bawaan sianotik di CMGH.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian descriptive-analytical, dengan metode cross-sectional. Pasien berusia 0 hingga 17 tahun, memiliki penyakit jantung bawaan sianotik, dan menjalani operasi jantung terbuka elektif disertakan dalam penelitian ini. Sebanyak 100 rekam medis dari Januari 2016 hingga Maret 2018 di CMGH digunakan dalam penelitian ini. Analisis dilakukan dengan mencari korelasi antara dosis awal heparin dan nilai ACT pasca-pemberian protamine terhadap perdarahan pasca-operasi.
Hasil: Terdapat korelasi positif antara dosis awal heparin dengan perdarahan pasca-operasi (p=0,011). Korelasi antara ACT pasca pemberian protamine dengan perdarahan pasca-operasi adalah p=0,257. Perdarahan pasca-operasi yang dialami pasien adalah 15,3 mL/kgBB (3,0 – 105,6 mL/kgBB).
Konklusi: Penelitian ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara dosis awal heparin dan perdarahan pasca-operasi; dosis tinggi menghasilkan perdarahan yang lebih banyak pada pasien anak yang sianotik di CMGH. Selanjutnya, tidak ditemukan adanya korelasi antara nilai ACT pasca-protamine dan perdarahan pasca-operasi.

. Background: Pediatric cyanotic CHD patients have an increased risk of post-operative bleeding following cardiopulmonary bypass (CPB). In CPB, heparin is used as an anticoagulant, reversed by protamine sulphate and measured using activated clotting time (ACT). Heparin can induce bleeding and excess protamine sulphate can act as an anticoagulant. No studies of the same kind has been done to assess the relationship between the initial heparin dose and post-protamine ACT value to post-operative bleeding in pediatric cyanotic congenital heart disease cases in CMGH.
Aim: To assess the correlation between initial heparin dose and post-protamine ACT value to post-operative bleeding in pediatric cyanotic congenital heart disease patients in CMGH
Method: This is a descriptive-analytical study, utilizing cross-sectional method. Patients aged 0 to 17 years old with cyanotic congenital heart disease, undergoing elective open heart surgery were included. A total of 100 medical records from January 2016 to March 2018 in CMGH were used. The correlation between initial heparin dose and post-protamine ACT value to post-operative bleeding was analyzed.
Result: Initial heparin dose and post-operative bleeding showed a positive correlation (p=0.011). The correlation between post-protamine ACT value and post-operative bleeding is p=0.257. Post-operative bleeding experienced by the patients is 15.3 mL/kgBW (3.0 – 105.6 mL/kgBW).
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Januar Rizky Adriani
"Pendahuluan: Deep Vein Thrombosis (DVT) memiliki kecenderungan terus meningkat dengan koinsidensi mortalitas jangka pendek dan morbiditas jangka panjang. COVID-19 dapat menyebabkan hypercoagulable state dan menjadi predisposisi terjadinya DVT. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kadar fibrinogen, D-Dimer, dan dosis heparin teraupetik berdasarkan kadar APTT dengan adanya COVID-19 pada pasien DVT. Metode: Desain penelitian komparatif dan kohort prospektif digunakan untuk membandingkan kadar fibrinogen, D-Dimer, dan dosis heparin terapeutik antara pasien COVID-19 dan non COVID-19 yang menderita DVT di RSPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Maret 2020 – Maret 2022. Penegakan diagnosis DVT dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonografi dan/atau computed tomography angiography (CTA) fase vena. Data variabel utama dan lainnya diperoleh dari rekam medis pasien. Uji T independen atau Mann-Whitney digunakan untuk menganalisis perbedaan nilai variabel antara kedua kelompok. Hasil: Dari total 253 sampel, tidak terdapat perbedaan karakterisitik awal antara kelompok DVT COVID-19 (n=44) dan DVT non COVID-19 (n=209), kecuali pada parameter Wells Score. Kelompok DVT COVID-19 memiliki kadar Fibrinogen, D-Dimer, dan aPTT yang lebih tinggi daripada kelompok DVT non COVID-19, baik sebelum terapi maupun sesudah terapi heparanisasi (semua nilai p =0,000). Pada akhir pengamatan, didapatkan dosis heparin terapeutik pada kelompok DVT COVID-19 lebih tinggi dibanding pada kelompok DVT non COVID-19 (30,00 (20,00-40,00)x103 U vs. 25,00 (20,00-35,00)x103 U, p=0,000). Kesimpulan: Kadar fibriongen, D-Dimer, dan dosis heparin terapeutik pada pasien DVT yang menderita COVID-19 lebih tinggi dibandingkan pada pasien DVT yang tidak menderita COVID-19. Inisiasi pemberian dosis heparin terapeutik dosis tinggi dapat dipertimbangkan pada pasien DVT dengan komorbid COVID-19 dan dipandu oleh hasil pemeriksaan biomarker koagulasi darah.

Introduction: Deep Vein Thrombosis (DVT) has an increasing trend with a coincidence of short-term mortality and long-term morbidity. COVID-19 can cause a hypercoagulable state and predispose to DVT. This study aims to analyze the relationship between fibrinogen levels, D-Dimer, and therapeutic heparin doses based on APTT levels in the presence of COVID-19 in DVT patients. Methods: A comparative study design and a prospective cohort were used to compare levels of fibrinogen, D-Dimer, and therapeutic heparin doses between COVID-19 and non-COVID-19 patients suffering from DVT at Cipto Mangunkusumo Hospital in March 2020 – March 2022. Diagnosis of DVT was performed by ultrasound examination and/or computed tomography angiography (CTA) venous phase. The primary variable data and others were obtained from the patient's medical record. An Independent T-test or Mann-Whitney was used to analyze the differences in variable values between the two groups. Results: Of 253 samples, there was no difference in initial characteristics between the DVT COVID-19 (n=44) and non-COVID-19 DVT groups (n=209), except for the Wells Score parameter. The COVID-19 DVT group had higher levels of fibrinogen, D-Dimer, and aPTT than the non-COVID-19 DVT group, both before and after heparinization therapy (all p-values = 0.000). At the end of the follow-up period, the therapeutic dose of heparin in the COVID-19 DVT group was higher than in the non-COVID-19 DVT group (30.00 (20.00-40.00)x103 U vs. 25.00 (20.00-35.00)x103 U, p-value=0.000). Conclusion: The levels of fibrinogen, D-Dimer, and therapeutic doses of heparin in DVT patients who have COVID-19 are higher than in DVT patients who do not have COVID-19. Initiation of a higher therapeutic dose of heparin can be considered in DVT patients with comorbid COVID-19 and guided by the results of blood coagulation biomarkers."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Feline Husen
"Pendahuluan: Heparin dapat digunakan sebagai terapi bagi pasien COVID-19. Namun, indikasi dan efeknya masih berbeda di berbagai penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas pemberian heparin dalam menurunkan keparahan gejala klinis. Metode :Studi retrospektif dilakukan dari rekam medis pasien COVID-19 kondisi sedang-berat yang dirawat di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI). Parameter yang diperiksa adalah kondisi klinis pasien (tingkat mortalitas dan total lama perawatan), kadar D-dimer, dan trombosit pada dua kelompok, kelompok yang diberikan heparin dan yang tidak. Hasil:Penelitian ini menyertakan 110 subjek penelitian. Terdapat tingkat mortalitas yang lebih tinggi pada kelompok heparin dibandingkan kontrol (45,3% vs 5 10,9%; p<0,01). Hal ini dapat disebabkan perbedaan derajat sedang dan berat. Mayoritas kelompok heparin berkondisi berat (58,1% vs 28,2%) jika dibandingkan kontrol. Pada pengecekan laboratorium, heparin menurunkan kadar D-dimer (790 ke 500 vs 725 ke 4.475 µg/L) dan trombosit (366 ke 208x103 vs 217 ke 318x103/µL)secara signifikan (p<0,01). Kesimpulan: Kelompok heparin memiliki tingkat mortalitas yang tinggi akibat tingkat kondisi yang lebih berat, tetapi kadar D-dimer dan trombosit menurun dibandingkan kelompok kontrol.

Introduction: Heparin can be used as therapy for COVID-19 patients. However, the indications and effects still differ in various studies. Therefore, this study aims to assess the effectiveness of heparin administration in reducing the severity of clinical symptoms. Methods: A retrospective study was conducted from medical records of moderate-severe COVID-19 patients treated at the University of Indonesia Hospital (RSUI). The parameters examined were the patient's clinical condition (mortality rate and total length of treatment), D-dimer levels, and platelets in two groups, those given heparin and those not. Results: This study included 110 research subjects. There was a higher mortality rate in the heparin group compared to controls (45.3% vs 5 10.9%; p<0.01). This is due to the difference in moderate and severe degrees. The majority of the heparin group had severe conditions (58.1% 28.2%) when compared to controls. In laboratory tests, heparin reduced the levels of D-dimer (790 to 500 vs 725 to 4,475 µg/L) and platelets (366 to 208x103 vs 217 to 318x103/µL) significantly (p<0.01). Conclusion: The heparin group had a high mortality rate due to more severe conditions, but D-dimer and platelet levels decreased compared to the control group"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Fadjri AS
"Adesi dan agregasi pletelet serta pembentukan trombin merupakan rangkaian proses pembentukan trombus yang mendasari sindrom koroner akut (SKA). Oleh karena itu terapi utama SKA adalah heparin dan anti agregasi platelet, disamping obat anti iskemia. Heparin berat molekul rendah (low molecular weight heparin LMWH) memiliki profil farmakokinetik yang lebih baik jika dibandingkan dengan heparin tak terfraksinasi (unfractionated heparin / UFH). Dari berbagai jenis LMWH, hanya enoxaparine yang memperlihatkan keuntungan jika dibandingkan dengan UFH dalam mencegah kematian, infark miokard dan angina berulang pada SKA. Manfaat tersebut mungkin bukan hanya disebabkan oleh efeknya terhadap pembentukan trombin tetapi juga oleh pengaruhnya terhadap adesi dan agregasi platelet melalui interaksi dengan faktor von Willebrand (vWF). Penelitian ini dilakukan untuk melihat efek UFH dan enoxaparine terhadap peningkatan nilai vWF pada akhir terapi dan 48 jam setelah penghentian terapi pada penderita APTS atau IMA non-Q. Pada penelitian ini nilai vWF diperiksa dengan menggunakan teknik double antibody sandwich ELISA Penelitian dilakukan terhadap 37 subyek yang terdiri dari 19 subyek yang diterapi UFH dengan target APTT 1,5 - 2 x kontrol dan 18 subyek diterapi enoxaparine 1 mg/kg BB subkutan, 2 x sehari. Dilakukan pemeriksaan nilai vWF pada awal terapi (vWF1), akhir terapi (vWF2) dan 48 jam setelah penghentian terapi (vWF3). Terdapat efek penekanan. terhadap peningkatan nilai vWF hingga saat penghentian terapi secara bermakna oleh enoxaparine (192,1 ± 57,5 % menjadi 172,8 ± 63,0 %, rerata lama terapi 4,8 ± 1,0 hari, p=0,23), tetapi tidak demikian halnya dengan UFH (165,4 ±42,1 % menjadi 216,1 ±66,5 % rerata lama terapi 52,0 hari, p= 0,009). Terdapat perbedaan bermakna peningkatan nilai vWF pada awal hingga saat penghentian terapi (A vWF2-1) antara kedua kelompok tersebut (p =0,01). Dengan menggunakan data yang dapat dilengkapi hingga pemeriksaan nilai vWF 48 jam setelah penghentian terapi (UFH n=9 dan Enoxaparine n-13) masih dijumpai efek penekanan oleh enoxaparine terhadap peningkatan nilai vWF. Efek tersebut tidak dijumpai pada subyek yang diterapi dengan UFH."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57290
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khie, Chen
"Latar Belakang: Proses inflamasi dengan respons maladaptif merupakan mekanisme terjadinya disfungsi multiorgan dan kematian pada sepsis. Heparin merupakan sediaan yang digunakan secara luas untuk terapi gangguan koagulasi, secara in-vitro heparin juga memiliki pengaruh sebagai antiinflamasi melalui penurunan aktivitas nuclear factor kappa B (NFkB) dan tumor necrosis factor alpha (TNF-. Penggunan heparin pada sepsis, khususnya sebagai antiinflamasi, masih merupakan kontroversi dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
Tujuan Penelitian: Tujuan primer penelitian ini adalah mengetahui pengaruh terapi heparin terhadap konsentrasi NFkB, inhibitor kappa B kinase beta (IKK dan TNF-pada pasien sepsis berat Tujuan sekunder adalah menilai pengaruh terapi heparin terhadap mortalitas dan perbaikan disfungsi organ.
Metode: Uji klinis acak tersamar ganda membandingkan terapi heparin tidak terfraksinasi, dosis 10 unit/kg berat badan/24 jam, infus kontinu selama 72 jam, dengan plasebo. Kriteria inklusi adalah: subjek usia 18 tahun atau lebih dengan sepsis berat awitan maksimal 48 jam dan bersedia berpartisipasi dalam penelitian. Seleksi subjek dilakukan secara konsekutif dengan alokasi subjek secara acak. Pemantauan terhadap respons klinis dilakukan dengan menilai mortalitas 14 hari serta perbaikan skor APACHE II. Analisis intention to treat (ITT) dilakukan terhadap subjek yang telah mendapat terapi heparin minimal selama 24 jam, pada subjek yang melengkapi seluruh protokol penelitian dilakukan analisis per-protocol (PP).
Hasil: Sebanyak 115 subjek telah diinklusi dan dirandomisasi, 58 subjek mendapat heparin dan 57 subjek plasebo. Rentang usia 21 hingga 82 tahun dengan rerata 51 tahun. Analisis ITT dan PP dilakukan terhadap masing-masing 46 dan 22 subjek kelompok heparin dan 50 dan 28 subjek kelompok kontrol. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna konsentrasi NFkBterfosforilasi dan IKK terfosforilasi kelompok heparin dibandingkan kontrol. Didapatkan penurunan konsentrasi TNF-pada kelompok heparin dibandingkan kontrol walaupun secara statistik belum bermakna. Didapatkan penurunan mortalitas pada analisis PP (RR 0,212 [IK 95% 0,053 - 0,815], p = 0,008), dengan ARR 33,8 % dan NNT 3. Terdapat kecenderungan perbaikan disfungsi organ pada kelompok heparin, walaupan secara statistik belum menunjukkan kemaknaan.
Simpulan: Terapi heparin memberikan pengaruh terhadap proses inflamasi pada pasien sepsis berat, terlihat dari penurunan konsentrasi TNF-, walaupun pada pengujian statistik tidak didapatkan perbedaan bermakna. Tidak didapatkan pengaruh terapi heparin terhadap penurunan konsentrasi IKKdanNFkB. Heparin memberikan manfaat terhadap penurunan mortalitas, terutama pada subjek yang mendapat heparin selama 72 jam. Pada pengamatan selama 72 jam, heparin belum telihat memberikan pengaruh terhadap perbaikan disfungsi organ.

Background. Multiple organ dysfunction and mortality in sepsis are developed as the consequence of the inflammation with maladaptive host response. Heparin has been widely used as an anticoagulant treatment. Based on in vitro evaluation, heparin has an antiinflammatory property by reducing the activity of nuclear factor kappa B (NFkB) and tumor necrosis factor alpha (TNF-. However, the effect of heparin as the anti-inflammatory agent is still controversial. To ascertain the anti-inflammatory effects of heparin in sepsis, further study is needed.
Objectives. The primary aim of this study was to determine the effect of heparin in severe sepsis based on the concentration of NFkB, Inhibitor kappa B kinase beta (IKK), and TNF-. Secondary objective was to determine the effect of heparin on mortality rate and improvement of organ dysfunction.
Methods. A randomized, double-blind, clinical trial was conducted to compare the unfractionated heparin (UFH) treatment, in dosage of 10 units/ kg BW for 24 hours, continuous infusion for 72 hours, in comparison to placebo. The inclusion criteria were subject 18 years old or above, with severe sepsis in maximum 48 hours after onset and agreed to participate in this study. Furthermore, subjects were consecutively selected and randomly allocated. Clinical responses were monitored by evaluating the 14-days mortality rate and improvement of APACHE II score. Subjects who had received heparin treatment for at least 24 hours were analyzed by intention to treat (ITT), while others who had completed all the protocol, were analyzed by per protocol (PP).
Results. There were 115 subjects included and randomly assigned to heparin (n = 58) and placebo (n = 57) groups. The range of age was 21 to 82 years, mean of age was 51 years. ITT and PP analysis were conducted to 46 and 22 subjects in heparin group; 50 and 28 subjects in control group respectively. There were no significant differences in concentration of Phosphorylated-NFkB and Phosphorylated-IKK in both groups. The concentration of TNF-decreased in heparin groups, although statistically was not significant. The 14 days mortality rate reduced in PP analysis (RR 0.212 [95% CI 0.053 – 0.815], p = 0.008), with ARR 33.8 % and NNT 3. Moreover, there are trend of organ dysfunction improvement in heparin group, yet not statistically significant.
Conclusion. Heparin treatment has an impact on inflammatory process in severe septic patients; as shown in the reduction of the TNF- concentration, although was not significant statistically. There was no clear impact of heparin treatment on IKK and NFkB concentration. Moreover, heparin shows benefit in reducing the mortality, especially in subjects who has received heparin for 72 hours. No benefit on improvement of organ dysfunction was shown in 72-hour monitoring of heparin treatment."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Marliau
"Latar belakang: Modified Blalock-Taussig Shunt (MBTS) merupakan terapi paliatif untuk pasien dengan penyakit jantung bawaan (PJB) sianotik, namun memerlukan tatalaksana antikoagulan pascaoperasi agresif untuk mencegah komplikasi oklusi shunt dan perdarahan yang berujung pada kematian. Penelitian ini menilai efektivitas pemeriksaan koagulasi alternatif yaitu Activated Clotting Time (ACT) yang lebih mudah dan cepat dihasilkan dibandingkan dengan Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) untuk regulasi antikoagulan yang lebih agresif untuk mencegah komplikasi pascaoperasi MBTS.
Metode: Desain penelitian adalah retrospektif longitudinal. Semua pasien yang menjalani MBTS di periode Januari 2017 hingga Mei 2018 dibagi menjadi dua kelompok, yang menggunakan ACT setiap jam dan kelompok APTT yang diperiksa setiap empat jam. Kedua kelompok dievaluasi selama perawatan pascaoperasi adanya kejadian oklusi shunt, perdarahan, operasi ulangan, dan kematian
Hasil: Total subjek adalah 174 pasien yang menjalani MBTS, sebanyak 59 pasien dilakukan regulasi heparin pascaoperasi dengan ACT dan 115 pasien dilakukan pemeriksaan APTT. Angka kejadian operasi ulangan lebih rendah signifikasn pada kelompok ACT dibandingkan APTT sebesar 6,77% (p= 0,023).Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok pada kejadian oklusi (p=0,341; OR 0,571 IK95% 0,178-1,834), perdarahan pascaoperasi (p= 0,547; OR 0,563 IK95% 0,149-2,128), dan kematian (p=0,953; OR 0,975 IK95% 0,369-2,554). Kelompok ACT menunjukkan kecenderungan protektif terhadap kejadian-kejadian morbiditas pascaoperasi MBTS.
Simpulan: Regulasi dosis heparin menggunakan pemeriksaan ACT nenurunkan kejadian operasi ulangan dan menunjukkan hasil protektif terhadap morbiditas pascaoperasi MBTS lainnya sehingga dapat dipertimbangkan penggunaannya.

Background: Modified Blalock-Taussig Shunt (MBTS) is a palliative treatment for cyanotic congenital heart disease (CHD) which needs postoperative anticoagulant treatment to prevent shunt occlusion and postoperative bleeding. This study was to find out the effectivity of alternative coagulation test of Activated Clotting time (ACT) which is faster and easier to produce compared to Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) for a more aggressive anticoagulant regulation to prevent postoperative complcations.
Methods: The study design is retrospective longitudinal study. All patients that underwent MBTS from January 2017 to Mei 2018 is deviden into 2 groups, first using ACT to regulate heparin and the second group using APTT. Both groups are studied for the incidence of shunt occlusion, bleeding, redo operation, and death.
Results: Total subjects who underwent MBTS were 174 patients. Postoperative heparin is regulated using ACT in 59 patients and APTT in 115 patients. There are less shunt occlusion in ACT group (6,78%) compared to APTT (11,03%) but statistically insignificant (p = 0,341). Bleeding is less in ACT group (5,08%) compared to APTT (8,69%) but statistically insignificant (p= 0,547). Mortality is lower in ACT group (11,86%) compared to APTT (12,17%) but statistically insignificant (p = 0,953). Redo operation is significantly lower in ACT group (6,77%) compared to APTT (20%) with p = 0,023. Although statistically insignificant, ACT group showed clinically significant lower shunt occlusion, bleeding, and mortality.
Conclusion: No significant difference between ACT and APTT in shunt occlusion, bleeding, and mortality, but redo operation is significantly lower in ACT group. ACT might be considered as alternative test for easier and faster method to regulate postoperative MBTS heparin dose.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>