Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176557 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Catharina Ari Wilandani
"Latar belakang. Kulit kering dilaporkan pada 20–30% pasien HIV namun belum ada penelitian pelembap pada keadaan tersebut.
Tujuan. Membandingkan efikasi dan efek samping petrolatum dengan satu obat jadi sebagai terapi kulit kering pasien HIV. Metode. Uji klinis acak tersamar ganda. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok, antara mendapat petrolatum atau obat jadi. Evaluasi setelah 2 minggu dan 4 minggu terapi dengan mengukur transepidermal water loss (TEWL) dan skor kulit kering pada tungkai bawah. Dinilai efek samping objektif dan subjektif. Hasil. 32 orang mengikuti penelitian, 16 orang mendapat petrolatum dan 16 orang obat jadi. TEWL kelompok petrolatum 11,0 g/m2/jam, menjadi 7,9 g/m2/jam dan 5,9 g/m2/jam setelah 2 dan 4 minggu terapi sedangkan TEWL kelompok obat jadi 9,95 g/m2/jam turun menjadi 8,8 g/m2/jam dan 6,9 g/m2/jam. Skor kulit kering dasar, setelah 2 minggu, dan 4 minggu pengobatan kelompok petrolatum adalah 4, 3, dan 1 sedangkan pada kelompok obat jadi adalah 3, 2, dan 1. Nilai TEWL dan skor kulit kering di dalam masing-masing kelompok menurun secara bermakna. Perbandingan penurunan nilai TEWL dan skor kulit kering antarkedua kelompok tidak bermakna. Keluhan subjektif terdapat pada 11 orang di kelompok petrolatum dan 5 orang di kelompok obat jadi.
Kesimpulan. Petrolatum maupun obat jadi mampu menurunkan nilai TEWL dan skor kulit kering secara bermakna, namun tidak ada perbedaan penurunan nilai TEWL ataupun skor kulit kering antara keduanya. Efek samping subjektif lebih banyak akibat petrolatum.

Background. Xerosis reportedly affecting up to 30% of patients with HIV, but there were no research on moisturizer therapy for that condition. Aim. To compare efficacy and side effect of petrolatum vs one commercial moisturizer on HIV patients with xerosis. Method. Double blinded randomized controlled study. Participants was divided into 2 group, either received petrolatum or commercial moisturizer. Evaluation was done after 2 and 4 weeks treatment by measuring transepidermal water loss (TEWL) and dry skin score on lower leg.
Objective and subjective side effect were recorded. Result. 32 participants enrolled in the study, 16 received petrolatum while 16 received commercial moisturizer. TEWL in petrolatum group was 11,0 g/m2/jam, down to 7,9 g/m2/h and 5,9 g/m2/h after 2 and 4 weeks therapy whereas in commercial group was 9,95 g/m2/h down to 8,8 g/m2/h and 6,9 g/m2/h. Dry skin score in petrolatum group at baseline, 2, and 4 weeks of treatment was 4, 3, and 1 respectively whereas in commercial group was 3, 2, and 1 respectively. 11 persons in petrolatum and 5 in commercial group has subjective side effect.
Conclusion. Both petrolatum and commercial moisturizer significantly reduce TEWL and dry skin score. There were no difference in the reduction of TEWL nor dry skin score between the two group. Petrolatum caused more common subjective side effect.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Indria Anggraini
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Prevalensi xerosis pada lanjut usia (lansia) berkisar antara
30-85%. Tatalaksana xerosis yang tidak adekuat dapat menimbulkan komplikasi. Urea
sebagai humektan dan lanolin 10% dalam petrolatum yang bersifat oklusif dan emolien
mampu memperbaiki hidrasi kulit. Penelitian ini bertujuan membandingkan efektivitas
dan efek samping krim yang mengandung urea 10% dengan lanolin 10%/petrolatum
pada pengobatan xerosis lansia.
Metode: Penelitian uji klinis acak tersamar ganda dilakukan pada 35 orang penghuni
suatu panti lansia di Jakarta. Evaluasi skin capacitance (SC), specified symptoms sum
score (SSRC), dan derajat gatal dilakukan pada awal terapi, minggu kedua dan keempat.
Setelah prakondisi selama dua minggu, setiap subjek penelitian mendapatkan pelembap
yang berbeda secara acak pada kedua tungkai bawah.
Hasil: Persentase peningkatan nilai SC setelah empat minggu lebih besar pada tungkai
yang mendapat krim urea 10% dibandingkan lanolin 10%/petrolatum (64,54% vs.
58,98%; p=0,036). Persentase penurunan SSRC setelah empat minggu tidak berbeda
antara kedua kelompok perlakuan (100%; p=0,089). Derajat gatal pada minggu kedua
menurun pada kedua kelompok, hingga menjadi tidak gatal pada seluruh SP (100%)
setelah minggu keempat. Efek samping rasa lengket lebih banyak ditemukan pada
kelompok krim urea 10% daripada lanolin10%/petrolatum, tetapi tidak bermakna secara
statistik.
Kesimpulan: Pelembap yang mengandung urea 10% meningkatkan SC lebih besar
secara bermakna daripada lanolin 10%/petrolatum setelah empat minggu pengolesan
pada tungkai lansia yang xerotik. Efek samping tersering adalah rasa lengket yang lebih
sering ditemukan pada lanolin 10%/petrolatum, tetapi tidak berbeda antar kelompok perlakuan.ABSTRACT Background and objectives: The prevalence of xerosis among elderly is 30-85%.
Inadequate treatment may result in complications. Urea as a humectant and 10% lanolin
in petrolatum as an occlusive agent and emollient can restore skin hydration. This study
aimed at comparing the efficacy and side effects of cream containing 10% urea and 10%
lanolin/petrolatum in the treatment of xerosis in elderly
Methods: A randomized, double blind clinical trial was conducted in 35 elderly from a
nursing home in Jakarta. Evaluation of skin capacitance (SC), specified symptoms sum
score (SSRC), and pruritic degree were measured at baseline, week-2 and -4 after the
start of therapy. Following a 2-week precondition period, each subject received a
random moisturizer for each limb, to be applied twice daily.
Results: The percentage of SC increase at week-4 was significantly higher in limb
receiving cream containing 10% urea than 10% lanolin/petrolatum (64.54% vs. 58.98%;
p=0.036). The percentage of SSRC decrease at week-4 did not differ between groups
(100%; p=0.089). Pruritus was equally improved in both groups at week-2, and
completely diminished at week-4. Sticky feel was more frequent in
lanolin10%/petrolatum than 10% urea cream, although not statistically significant.
Conclusion: After four-week application, moisturizer containing 10% urea gave higher
percentage of SC increase than 10% lanolin/petrolatum in the xerotic limbs of the
elderly. Sticky feeling was more frequently found in 10% lanolin/petrolatum group, but statistically not significant."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Satya Wydya Yenny
"ABSTRAK
Penyebab PV adalah Malassezia spp. atau disebut juga Pityrosporum orbiculare dan Pityrosporum ova/a, merupakan jamur serupa ragi yang bersifat saprofit, dalam kondisi tertentu berubah menjadi bentuk miselium yang bersifat patogen. Dalam hal kesembuhan, PV prognosisnya baik tetapi masalah utama adalah kekambuhan yang sangat tinggi. Tingkat kekambuhan pada tahun pertama setelah pengobatan 60% dan pada tahun kedua setelah pengobatan 80%. Hal ini terjadi karena Malassezia spp. merupakan flora normal pada kulit, kadang terdapat lebih dalam pada folikel rambut, selain itu juga karena faktor predisposisi yang tidak dapat dihindari.
Berbagai faktor yang berperan pada penyakit ini antara lain faktor lingkungan yang lembab dan panas, pakaian tertutup, genetik, hormonal, imunodefisiensi, kulit berlemak, malnutrisi, hiperhidrosis, pengobatan dengan kortikosteroid atau imunosupresan, dan penggunaan antibiotika jangka lama, serta pemakaian kontrasepsi oral. Faktor lingkungan yang berperan pada PV antara lain adalah lingkungan mikro pada kulit, misalnya kelembaban kulit. Kelembaban kulit dinilai dengan mengevaluasi skin capacitance (SC) dan transepidermal water loss (TEWL). Pada kulit normal SC dan TEWL seimbang, pada kulit lembab SC meningkat sedangkan TEWL berkurang. Pada pasien PV diduga kelembaban kulit tinggi.
Sepengetahuan penulis belum ada penelitian mengenai hubungan PV dengan kelembaban kulit. Diharapkan dengan hasil penelitian ini dapat membantu memberikan asupan dalam penatalaksanaan PV.
Malassezia spp. merupakan flora normal pada kulit. Pada kondisi tertentu bentuk ragi berubah menjadi bentuk miselia yang memberi gambaran Minis PV. Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan ini adalah kelembaban kulit yang tinggi, yang dicerminkan oleh SC dan TEWL.
Perumusan masalah
Apakah ada perbedaan skin capacitance dan transepidermal water loss kulit non-lesi pasien pitiriasis versikolor dengan non-pitiriasis versikolor?."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21447
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noer Kamila
"Berbagai molekul bioaktif yang terdapat dalam sekretom mayoritas merupakan molekul dengan ukuran >20 kDa sehingga sulit untuk melewati epidermis dan menimbulkan efek farmakologis. Metode aplikasi sekretom diduga memiliki peranan terhadap efektivitas sekretom sehingga perlu dilakukan suatu uji klinis untuk membandingkan efektivitas aplikasi sekretom terhadap fungsi sawar kulit yang didahului dengan metode microneedling dan laser fraksional CO2. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar tunggal dengan metode split-face yang dilakukan pada wanita berusia 35-59 tahun di Poliklinik Madya, RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Penilaian transepidermal water loss (TEWL), dan skin capacitance (SCap) dilakukan pada minggu ke-0, 2, dan 4. Pada minggu ke-0 dan ke-2 semua subjek dilakukan microneedling dan laser fraksional CO2 yang diikuti dengan aplikasi konsentrat sekretom. Sebanyak 12 SP mengikuti penelitian ini dengan rerata usia 46,2 ± 6,45 tahun. Terdapat penurunan kadar TEWL yang bermakna pada kelompok laser fraksional CO2 (p-value 0,002) dan microneedling (p-value 0,002). Pada analisis lebih lanjut penurunan TEWL bermakna terdapat pada minggu ke-4. Tidak terdapat perubahan kadar TEWL yang signifikan pada kelompok laser fraksional CO2 dibandingkan dengan microneedling. Terdapat peningkatan kadar SCap pada kelompok laser fraksional CO2 dan microneedling namun tidak bermakna secara statistik. Tidak terdapat perbedaan perubahan nilai SCap yang signifikan pada sisi laser fraksional CO2 dibandingkan dengan microneedling. Prosedur laser fraksional CO2 dan microneedling sebelum pemberian konsentrat sekretom memiliki efektivitas yang serupa dalam memperbaiki fungsi sawar kulit. 

Most of the various bioactive molecules present in the secretome are molecules with a size of >20 kDa, making it difficult to pass through the epidermis and cause pharmacological effects. Secretome application method is thought to have an important role in the effectiveness of the secretome, so a clinical trial is needed to compare the effectiveness of the secretome application on the skin barrier function which is preceded by the microneedling method and fractional CO2 laser. A single-blind, randomized split-face was conducted on women aged 35-59 years at Madya Clinic, dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Transepidermal water loss (TEWL) and skin capacitance (SCap) assessments were carried out at weeks 0, 2, and 4. At weeks 0 and 2 all subjects underwent microneedling and fractional CO2 laser followed by application of secretome concentrate. Twelve participants took part in this study with an average age of 46.2 ± 6.45 years. There was a significant decrease in TEWL levels in the fractional CO2laser (p-value 0,002) and microneedling (p-value 0,002) groups. Significant decreases in TEWL were found at week 4. There was no significant change in TEWL levels in fractional CO2 laser group compared to microneedling. There was an increase in SCap levels in fractional CO2 laser and microneedling groups but it was not statistically significant. There was no significant difference in SCap value changes on the CO2 fractional laser side compared to microneedling. Fractional CO2 laser and microneedling procedures prior to administration of secretome concentrate have similar effectiveness in improving skin barrier function"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhli Aulia Mughni
"Latar belakang: Untuk menghasilkan rambut dan kulit kepala yang sehat, produk perawatan harus digunakan dengan frekuensi tepat. Perempuan berhijab semakin umum dijumpai di Indonesia. Saat ini belum ada kesepakatan mengenai frekuensi keramas yang paling tepat pada perempuan berhijab. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian yang membandingkan pengaruh frekuensi keramas berbeda terhadap nilai transepidermal water loss (TEWL) dan hidrasi kulit kepala perempuan berhijab.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara frekuensi keramas dengan nilai TEWL dan hidrasi kulit kepala perempuan yang menggunakan hijab.
Metode: Sebanyak 60 perempuan sehat usia reproduksi berhijab menjadi subjek penelitian dan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 30 subjek pada kelompok A (keramas sering, setiap 1-2 hari sekali) dan 30 subjek pada kelompok B (keramas jarang, setiap 3-5 hari sekali). Dilakukan pengukuran nilai TEWL dan hidrasi kulit kepala pada baseline, hari ke-14, dan hari ke-28. Uji kemaknaan perbedaan nilai TEWL dan hidrasi kulit kepala antara kedua kelompok dilakukan menggunakan analisis Mann-Whitney.
Hasil: Median nilai TEWL kulit kepala hari ke-14 kelompok A adalah 20,07 g/m2/h dan kelompok B adalah 17,05 g/m2/h (p<0,05). Median nilai TEWL kulit kepala hari ke-28 kelompok A adalah 20,87 g/m2/h dan kelompok B adalah 17,67 g/m2/h (p<0,01). Median nilai hidrasi kulit kepala hari ke-14 kelompok A adalah 8,18 AU dan kelompok B adalah 12,52 AU (p>0,05). Median nilai hidrasi kulit kepala hari ke-28 kelompok A adalah 11,48 AU dan kelompok B adalah 12,77 AU (p>0,05).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara frekuensi keramas dengan nilai TEWL kulit kepala perempuan berhijab. Frekuensi keramas yang sering dapat meningkatkan nilai TEWL kulit kepala perempuan berhijab secara bermakna, tetapi tidak terdapat hubungan antara frekuensi keramas dengan nilai hidrasi kulit kepala perempuan berhijab

Background: To obtain healthy hair and scalp, care product should be used in the right frequency. Women wearing hijab are becoming more common in Indonesia. There is no unified consensus regarding the correct frequency of hair washing in women wearing hijab. Therefore, research is needed to compare the influence of different hair wash frequencies on the scalp skin transepidermal water loss (TEWL) and hydration in women wearing hijab.
Objective: To assess the correlation between hair wash frequency with scalp skin TEWL and hydration in women wearing hijab.
Methods: Sixty healthy women in reproductive age are recruited and allocated into two groups, 30 subjects in group A (frequent hair wash, every 1-2 days) and 30 subjects in group B (infrequent hair wash, every 3-5 days). Measurements of scalp skin TEWL and hydration was performed on baseline, day-14, and day-28. Significance test of the difference in scalp skin TEWL and hydration scores between groups was done using Mann-Whitney analysis.
Results: The day-14 median value of scalp skin TEWL was 20,07 g/m2/h in group A and 17,05 g/m2/h in group B (p<0,05). The day-28 median value of scalp skin TEWL was 20,87 g/m2/h in group A and 17,67 g/m2/h in group B (p<0,01). The day-14 median value of scalp skin hydration was 8,18 AU in group A and 12,52 AU in group B (p>0,05). The day-28 median value of scalp skin hydration was 11,48 AU in group A and 12,77 AU in group B (p>0,05).
Conclusion: There is a correlation between hair wash frequency and scalp skin TEWL score in women wearing hijab. Frequent hair wash may significantly increase scalp skin TEWL score in women wearing hijab. However, there is no correlation between hair wash frequency and scalp skin hydration in women wearing hijab
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caroline Oktarina
"Peningkatan frekuensi penggunaan hand sanitizer dan mencuci tangan dengan sabun disinyalir menyebabkan peningkatan insidens dermatitis pada tangan. Tenaga nonmedis yang bekerja di rumah sakit juga mengimplementasikan hand hygiene secara rutin sehingga ikut mengalami peningkatan kejadian dermatitis pada tangan. Penelitian ini bertujuan menganalisis dermatitis pada tangan tenaga nonmedis, derajat keparahannya, serta penggunaan hand sanitizer terhadap transepidermal water loss (TEWL) dan skin capacitance. Penelitian observasional dengan desain potong lintang ini dilakukan pada bulan Juli hingga September 2022 di ruang penelitian kelompok staf medis (KSM) Dermatologi dan Venereologi, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Subjek dipilih berdasarkan kriteria penelitian dengan metode cluster random sampling. Identitas, data penggunaan hand sanitizer dan mencuci tangan, stigmata atopi, dan durasi dermatitis pada tangan didapatkan melalui anamnesis. Penilaian keparahan dermatitis pada tangan dilakukan dengan hand eczema severity index (HECSI). Pemeriksaan TEWL dan skin capacitance dilakukan dengan Tewameter® TM 300 dan Corneometer® CM 825. Analisis data dilakukan dengan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 21.0. Terdapat masing-masing 24 subjek yang direkrut pada kelompok dengan dan tanpa dermatitis pada tangan. Berdasarkan karakteristik sosiodemografik dan klinis, tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok kecuali frekuensi mencuci tangan dengan air dan sabun. Subjek dengan dermatitis lebih sering mencuci tangan dengan air dan sabun dibandingkan dengan subjek tanpa dermatitis (6 vs 4,5 kali/hari; p = 0,005). Proporsi kejadian dermatitis pada tangan pada tenaga nonmedis pengguna hand sanitizer adalah 10% dengan median durasi penyakit 22 minggu dan rerata nilai HECSI 9,25 ± 6,33. Tidak terdapat perbedaan TEWL dan skin capacitance yang bermakna kedua kelompok (p > 0,05). Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara TEWL dan skin capacitance dengan skor HECSI (p > 0,05). Mayoritas tenaga nonmedis yang mengalami dermatitis pada tangan memiliki derajat keparahan ringan. Kerusakan sawar kulit kemungkinan sudah terjadi akibat peningkatan praktik hand hygiene walaupun belum tampak gejala secara klinis sehingga tidak terdapat perbedaan fungsi sawar dan hidrasi kulit yang bermakna antara kelompok dermatitis dan kelompok tanpa dermatitis.

Increased frequency of hand sanitizer use and washing hands with soap allegedly caused the increasing incidence of hand eczema (HE). Nonmedical personnel who work in the hospital also implement hand hygiene practices routinely so they also experience increased incidence of HE. This study aims to analyze the HE in nonmedical personnel, its severity, and the effect of hand sanitizer use on transepidermal water loss (TEWL) and skin capacitance. This observational cross-sectional study was conducted from July to September 2022 at the Department of Dermatology and Venerology, Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital, Jakarta. Subjects were recruited based on the study criteria with cluster random sampling method. Subject’s identity, data related to hand sanitizer use and hand washing, atopic stigmata, and duration of HE were documented through history taking. The severity of HE was assessed with hand eczema severity index (HECSI). TEWL and skin capacitance were measured with Tewameter® TM 300 and Corneometer® CM 825. Data were analyzed with Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) version 21.0. Both HE and control groups consisted of twenty-four subjects, respectively. Based on sociodemographic and clinical characteristics, there was no significant difference between both groups, except for the frequency of hand washing. Subjects with HE washed hands more frequently compared to normal subjects (6 vs 4.5 times/day; p = 0.005). The proportion of HE incidence in nonmedical personnel using hand sanitizer was 10% with median duration of disease of 22 weeks and mean HECSI score of 9.25 ± 6.33. There was no significant difference of TEWL and skin capacitance between both groups (p > 0.05). There was no significant correlation between TEWL and skin capacitance with HECSI scores (p > 0.05). Majority of nonmedical personnel suffering from HE had mild severity. The disruption of skin barrier might have already occurred due to increased of hand hygiene practice although clinical symptoms had not become visible, leading to no significant difference of barrier function and skin hydration in both groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Djajadiman Gatot
"ABSTRAK
Infeksi HIV dapat terjadi melalui hubungan seksual, pemakaian alat-alat kedokteran yang tercemar, pemakaian komponen darah yang telah terpapar HIV ataupun secara transplasental dari ibu yang terinfeksi HIV.
Pada anak, umumnya infeksi ini terjadi melalui transfusi komponen darah, terutama mereka yang secara terus menerus memerlukannya karena menderita penyakit tertentu seperti hemofilia atau thalassemia.
Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui proporsi infeksi HIV pada anak yang telah menerima transfusi komponen darah berulang, khususnya penderita hemofilia dan thalassemia.
Selama periode satu tahun (Sept 92- Sept 93) telah diteliti serum dari 40 penderita hemofilia dan 40 penderita thalassemia mayor, terhadap infeksi HIV dengan metoda ELISA.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak satupun dari para penderita tersebut yang telah terpapar HIV.

ABSTRACT
Human immunodeficiency virus infection can occur via direct bloodstream inoculation from blood or blood products or infected needles, through sexual contact and transplacentally from an infected mother.
In children, the major mode of transmission of HIV is from transfusion of blood or blood products, especially those who require repeated and regular transfusion because of their specific illness.
The purpose of this study is to investigate the proportion of HIV infection in children with hemophilia and thalassemia who had received repeated blood or blood product transfusions.
During a period of 12 months (Sept. 92 - Sept. 93) sera from 40 children with hemophilia and 40 children with thalassemia were tested against HIV infection using ELISA method.
Result of this study showing no HIV infection could be detected in all children."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Rahadi Rihatmadja
"Sepengetahuan penulis, belum ada data koinfeksi VHS-2 dan T. pailidum pada individu yang terinfeksi HIV di Indonesia. Mengingat tingginya transmisi HIV melalui rute heteroseksual di Indonesia maka kiranya perlu dilakukan penelitian mengenai prevalensi kedua 1MS tersebut. Data yang diperoleh diharapkan dapat berguna bagi program pencegahan transmisi HIV di Indonesia. Diagnosis infeksi kedua IMS pada penelitian ini akan dinyatakan dengan kepositivan pemeriksaan serologik antibodi terhadap VHS-2 serta RPR dan TPHA.
Penelitian ini akan dilakukan di Poliklinik Kelompok Studi Khusus (Pokdisus) AIDS Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kelompok ini dibentuk sejak ,kasus AIDS ditemukan pertama kali di Indonesia tahun 1986. Pokdisus AIDS mengerjakan berbagai aktivitas yang terkait dengan pengendalian HIVIAIDS, termasuk pendidikan dan pelatihan di bidang kesehatan, Iayanan telepon hotline khusus AIDS, konseling dan pemeriksaan laboratorium, akses ke fasilitas diagnostik dan pengobatan, dan juga berfungsi sebagai pusat rujukan. Dalam kegiatannya tersebut Pokdisus AIDS telah membantu Iebih dari 1000 orang penderita infeksi HIVIAIDS memperoleh ()bat antivirus sejak tahun 1999. Dalam dua tahun terakhir, Pokdisus AIDS menangani kira-kira 700-800 kasus infeksi HIV baru. Selain kegiatan medis, Pokdisus AIDS juga melakukan berbagai penelitian pada populasi penderita HIVIAIDS khususnya di Jakarta. Dari penelitian yang pemah dilakukan, dapat dikemukakan di sini bahwa herpes simpleks merupakan salah satu infeksi oportunistik yang sering dijumpai, dan infeksi HIV di kalangan IDU amat tinggi, hingga mencapai 80%.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
5
1. Berapakah proporsi kepositivan pemeriksaan antibodi (IgG) terhadap VHS-2 pada pasien HIV/AIDS yang berobat di Pokdisus AIDS RSCM/FKUI?
2. Berapakah proporsi kepositivan pemeriksaan serologik terhadap Treponema pallidum (RPR dan TPHA) pada pasien HIVIAIDS yang berobat di Pokdisus AIDS RSCM/FKUI?
3. Faktor sosiodemografi dan perilaku seksual apakah yang berhubungan dengan kepositivan pemeriksaan IgG VHS-2, RPR dan TPHA pada pasien HIVIAIDS yang berobat di Pokdisus AIDS RSCM/FKUI?
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21451
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwinanda Aidina Fitrani
"Latar belakang: Infeksi virus Epstein-Barr (EBV) dapat menjadi infeksi oportunistik pada anak dengan HIV. Gejala infeksi EBV sulit dibedakan dengan infeksi HIV dan bersifat laten. Infeksi EBV laten dapat reaktivasi mulai dari gangguan limfoproliferatif hingga terjadinya keganasan. Di Indonesia belum ada data mengenai infeksi EBV pada anak dengan HIV.
Tujuan: Mengetahui proporsi, karakteristik dan faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya infeksi EBV pada anak dengan HIV di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Metode: Penelitian potong lintang untuk melihat karakteristik infeksi EBV pada anak dengan HIV dan faktor-faktor yang berhubungan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, periode bulan September 2020 hingga Februari 2021. Sampel darah diambil untuk dilakukan pemeriksaan PCR EBV kualitatif (whole blood), darah perifer lengkap, kadar CD4 dan viral load HIV.
Hasil: Total subyek 83 anak dengan HIV. Proporsi subyek terinfeksi EBV sebesar 28,9%, dengan rerata usia 9,58 tahun. Limfadenopati merupakan gejala terbanyak, meskipun tidak dapat dibedakan dengan infeksi lain. Dua anak mengalami keganasan akibat EBV yaitu Limfoma Non Hodgkin dan leiomiosarkoma. Sebanyak 75% subyek terinfeksi EBV yang berusia di bawah 12 tahun mengalami anemia (rerata Hb 10,68 ± 2,86 g/dL), dapat disebabkan infeksi EBV atau penyebab lain. Hasil analisis bivariat menunjukkan kadar viral load HIV > 1000 kopi/mL berhubungan dengan terjadinya infeksi EBV pada subyek (OR 2,69 (1,015-7,141); P = 0,043).
Simpulan: Proporsi anak dengan HIV yang terinfeksi EBV di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta adalah 28,9%, dengan kadar viral load HIV > 1000 kopi/mL berhubungan dengan terjadinya infeksi EBV pada anak dengan HIV.

Background: Epstein-Barr virus (EBV) infection can be an opportunistic infection in HIV-infected children. EBV infection is difficult to be differentiated from HIV infection, and it can be latent. Latent EBV infection can reactivate into lymphoproliferative disorders and malignancy. There is no data on EBV infection in HIV-infected children in Indonesia.
Objective: To identify the proportion, manifestations and factors associated with EBV infection in HIV-infected children in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Hospital Jakarta.
Methods: Cross-sectional study to examine the manifestations of EBV infection in HIV-infected children and it’s associated factors in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Hospital Jakarta, during September 2020 to February 2021. Blood samples were taken to examine qualitative EBV PCR (whole blood), complete blood count, CD4 levels and HIV viral load.
Results: Total subjects were 83 HIV-infected children. The proportion of children infected with EBV was 28.9%, with mean age 9.58 years. Lymphadenopathy was the most common symptoms, although it was difficult to differentiate from other infections. Two children have malignancy due to EBV, namely Non-Hodgkin's lymphoma and leiomyosarcoma. Total 75% of EBV-infected subjects under 12 years of age were anemic (mean Hb 10.68 ± 2.86 g/dL), could be due to EBV infection or other causes. Bivariate analysis showed HIV viral load levels > 1000 copies/mL were associated with EBV infection in subjects (OR 2.69 (1.015-7.141); P = 0.043).
Conclusion: The proportion of EBV infection in HIV-infected children in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Hospital Jakarta is 28.9%, with HIV viral load levels > 1000 copies/mL were associated with the EBV infection in HIV-infected children.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vita Siphra
"Latar belakang: Diabetes melitus (DM) dapat menimbulkan komplikasi kulit kering yang berkorelasi dengan pembentukan ulkus pada pasien DM. Pemakaian pelembap sebagai bagian dari perawatan kaki dapat mencegah pembentukan ulkus. Tujuan: Mengetahui efektivitas dan keamanan pelembap yang mengandung krim urea 10% dan vaselin album untuk mengatasi kulit kering pada pasien DM tipe 2. Metode: Uji klinis acak tersamar ganda dilakukan pada 68 pasien DM tipe 2 dengan kulit kering pada bulan Juli-Oktober 2018. Setiap subjek penelitian mendapat terapi krim urea 10% atau vaselin album untuk masing-masing tungkai. Perbaikan kulit kering dilihat dari skor klinis specified symptom sum score (SRRC), hidrasi kulit (korneometer) dan fungsi sawar kulit (tewameter) pada minggu kedua dan keempat. Hasil: Tidak terdapat perbedaan efektivitas yang bermakna antara kelompok krim urea 10% dan vaselin album. Kedua pelembap ini tidak menimbulkan efek samping. Kesimpulan: Kedua jenis pelembap ini sama efektif dan dapat dipertimbangkan untuk terapi kulit kering pada pasien DM tipe 2.

Background: Diabetes mellitus (DM) could cause xerotic skin which correlates with ulcer formation in DM patients. Daily use of moisturizer as part of foot care were expected to prevent it. Objective: To asses the effectiveness and safety of moisturizers containing 10% urea cream and white petrolatum in overcoming dry skin in type 2 DM patients. Methods: A double blind randomized clinical trial was conducted on 68 diabetes patients with xerotic skin in July-October 2018. Each study subject received 10% urea cream or white petrolatum for each leg. Repair of xerotic skin assessed from the specified symptom sum score (SRRC), skin hydration (corneometer) and skin barrier function (tewameter) in the second and fourth weeks. Results: There was no significant difference in effectiveness between the two groups. Both moisturizers were well tolerated."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>